22 Agustus
By: Rofie Khaliffa
Lingkaran merah pada angka 22
kalender Agustus. Tercatat di kolom keterangannya, 'Tuan Misterius'. Ishika
memandang lekat lingkaran merah itu, lalu mendengus. Ini hari ulang tahun ke 21
si Tuan Misterius.
“Selamat ulang tahun, Tuan,” ujarnya
lirih, lebih kepada si angka 22 dalam lingkaran merah itu, yang dibuatnya
beberapa bulan lalu. “Selamat datang di usia dua puluh satu. Semoga kamu
semakin dewasa, dan bahagia Tuhan menyertaimu. Selalu. Hanya ini doaku. Doa
yang kupanjatkan dari kejauhan. Ya, selain mendoakanmu dari jauh, aku bisa apa,
Tuan?”
Ishika lalu meletakkan kembali
kalendernya di tempat semula. Di atas nakas tempat tidurnya. Sudah dini hari,
pukul dua. Sempat ia pikirkan membeli kado atau membuat kue tart nanti
pagi untuk si Tuan, tapi itu merupakan pilihan yang salah. Ia bukan
siapa-siapa. Ia hanya pengagum rahasia.
“Sebagai pengagum rahasia, aku hanya
bisa mencintai diam-diam. Mendoakan dari kejauhan. Merindu sendirian. Apa ada
yang jauh lebih konyol dari ini semua?”
Ishika lalu terlelap.
***
Ishika bertemu dengannya di
perpustakaan kampus, pertama kali. Tidak, pertemuan mereka tidak sama dengan
adegan-adegan romantis di televisi. Itu bulshit. Tidak ada adegan
tabrak-menabrak, tatap-menatap, lalu ujung-ujungnya kenalan. Drama.
Mungkin Ishika tidak ingat tanggal
dan hari apa mereka bertemu pertama kali, tapi ia tidak akan pernah lupa
bagaimana lelaki itu mampu membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Sosok
lelaki sederhana, yang memiliki hobi menonton film anime Jepang dan seorang
pecandu DOTA. Mahasiswa Sistem Informatika, semester lima.
Namanya Aldre. Ia mahasiswa kelas
pagi, sedangkan Ishika kelas sore. Kebiasaannya, yang sudah sangat Ishika hafal,
ia tak pernah langsung pulang ke rumah ketika mata kuliahnya selesai.
Perpustakaan kampus selalu menjadi tujuan pulangnya yang utama. Memanfaatkan
koneksi wifi gratis di sana untuk mendownload film-film anime yang ia suka. Juga
untuk bermain online game DOTA. Ishika hafal hampir semua gerak-geriknya.
“Lihatin dia lagi?”
Suara itu membuyarkan perhatian
Ishika dari lelaki yang selalu ia sebut 'Tuan Misterius'. Suara milik Genta,
teman sekelasnya. Genta sering sekali memergoki Ishika memerhatikan lelaki itu
dari balik rak-rak. Jujur, Genta muak.
“Buat apa sih lo sibuk merhatiin
dia? Merhatiin orang yang 'nggak merhatiin lo. Bahkan mungkin, dia anggap lo
ada juga enggak,” ujar Genta sambil membolak-balik halaman buku yang pura-pura
ia baca. Tatapannya tak terarah pada Ishika, sengaja.
Ishika melenguh. Ia jauh lebih jenuh
mendengar ucapan Genta daripada mengintip si Tuan Misterius dari balik rak-rak
buku. Setiap kali Genta datang memergoki, baginya, lelaki yang hobi berorasi
dan menulis cerita non fiksi itu tak lebih dari pengganggu. Ia juga muak pada
Genta yang sok ikut campur.
“Bentar lagi kelasnya Pak Wiryo
mulai nih! Sampe kapan lo mau 'ngehabisin waktu percuma di sini? Buang-buang
waktu buat orang 'nggak penting, lo 'nggak capek?” Genta mengangkat sebelah alisnya
tinggi-tinggi, sebelum akhirnya ia memilih lebih dulu pergi.
Ishika masih sangat ingin
berlama-lama memerhatikan lelaki itu. Berandai-andai duduk berdua, menonton
film bersama, dan hal-hal manis lain yang selalu ia bayangkan sebelum pergi
tidur. Bahkan setiap waktu. Ya, ia selalu memikirkan Aldre. Satu nama yang
paling lama ia perbincangkan dengan Tuhan. Yang tak pernah lupa ia sebut dalam
tiap doa. Namun, ia tidak gila. Tetap saja kuliah menjadi prioritasnya yang
utama. Sedetik kemudian, ia pun putuskan untuk beranjak, menyusul langkah
Genta.
“Dua hal paling benar
ketika yang kaucinta tak peka pada perasaanmu. Pertama, ia melihat terlalu jauh
ke arah yang lain, sehingga ia tak melihatmu. Kedua, ia sudah lupa cara mencinta,
karena luka masa lalu...”
Lelaki itu sempat menoleh ke
belakang. Ke arah derap langkah yang terburu mengejar langkah lainnya. Tidak
ada siapa-siapa. Lebih tepatnya, ia tidak melihat siapa-siapa. Tak ingin ambil
pusing, ia kembali pada layar laptopnya, memasang headphone, lalu mulai
melanjutkan perang mayanya, dalam dunia DOTA.
Begitulah cara seorang Aldre
melupakan sejenak luka lamanya. Masa lalunya…
***
“Maghrib dulu, yuk?”
Ishika menyenggol bahu Winda,
mengajaknya pergi ke musola. Kelas Pak Wiryo baru saja usai. Di belakang kursi
Ishika dan Winda, Genta dan Julian sibuk memperbincangkan soal rencana demo
anak-anak GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Besok, di gedung
pemerintahan pusat Kota Tangerang.
“Lo aja gih! Gue lagi PMS nih,”
sahut Winda sambil memasukkan buku-buku Antropologi ke dalam tas.
“Oke deh.”
Ishika menarik napas, lalu bangkit
dari kursinya. Ia tidak sadar jika Genta memerhatikannya. Bahkan sampai ia
keluar dari kelas, pandangan Genta masih terus mengikutinya. Padahal ia sangat
berharap, Ishika akan mengajaknya, tapi harapan itu pupus seketika. Yang Genta
bisa lakukan hanya, mendengus kecewa. Ini bukan pertama kalinya. Genta sudah
terbiasa.
***
Musola sudah penuh, Ishika terpaksa
harus menunggu giliran. Sembari menunggu, ia mengambil air wudhu terlebih
dahulu. Musola kampusnya memang tidak besar, tempat air wudhunya bahkan hanya
terdapat lima kran, tak diberi pemisah untuk laki-laki dan perempuan.
Ia memutar salah satu kran, kran
yang ketiga, lalu ia mulai basuh kedua telapak tangannya. Sedang
serius-seriusnya, tiba-tiba terdengar suara kran lain yang terbuka, tepat di
sebelahnya. Spontan, ia menoleh. Seorang lelaki. Wajahnya masih sulit ia
kenali, karena poni rambut si lelaki menutupi sebagian sisi wajah.
Mungkin kau bisa menyebutnya... Takdir.
Saat Ishika menyelesaikan wudhunya, tak lama, lelaki itu pun demikian. Ia
mengangkat wajah, membuat Ishika dengan cepat mengenalinya. Detik itu, Ishika
tanpa sadar menahan napasnya. Jantungnya berdebar-debar. Kencang sekali.
Desahan angin yang memiuh terasa mudah membuat bulu kuduknya berdiri.
Lelaki itu... Aldre.
Wajah Aldre terlihat sangat teduh.
Terlebih saat terbasuh air wudhu seperti itu. Ishika tak henti menatapnya,
sampai lelaki itu tersadar, menoleh ke arahnya lalu melayangkan sebuah
senyuman. Senyuman basa-basi. Ishika tahu itu. Namun baginya, senyuman itu
berarti banyak. Sebanyak doa-doa yang ia selalu panjatkan untuk seorang Aldre,
meski ia tahu, Aldre bahkan mungkin tak mengenali namanya.
“Kita jama'ah aja, ya?” pertanyaan
itu Aldre lontarkan untuk Ishika, saat keduanya memasuki altar musola.
Terdengar biasa, tapi tentu berarti lain bagi Ishika.
Setelah orang-orang keluar usai
jama'ah yang pertama, hanya tinggal dua anak manusia itu yang kemudian mengambil
giliran jama'ah kedua. Ishika tentu takkan melewati kesempatan itu. Menjadi
makmum lelaki yang memang ia idam-idamkan menjadi imam untuk keluarga kecilnya,
suatu saat. Ah, semoga malaikat dan semesta ikut mengamini doanya.
Kelak, aku akan berada satu shaf
tepat di belakangmu, Tuan...
***
“Kamu pasti mahasiswi baru, ya? Aku Aldre,
anak SI. Kamu?”
Lelaki itu pasti tak tahu, Ishika,
perempuan yang sedang ia tanya, bahkan sudah tahu banyak hal mengenai dirinya.
Lebih dari sekadar nama dan jurusannya. Namun, sudahlah. Untuk saat ini, lebih
baik, Ishika berpura tak tahu apa-apa. Ia tak ingin kentara sekali memuja
lelaki itu dengan sangat.
“Aku anak IKOM, Kak. Namaku Ishika,”
jawab Ishika pelan. Tatapannya terus tertuju pada lelaki itu, yang tengah sibuk
menali tali sepatunya.
“Kelas sore?”
Ishika mengangguk. Sulit bicara
banyak, sementara lidahnya terasa kelu, bibirnya terus terkatup. Ia hanya
berharap waktu tak segera berlalu, tapi kenyataannya waktu berputar cepat
sekali ketika ia bersama lelaki itu.
Dan di sana, tak jauh dari altar
musola, tempat Ishika dan Aldre duduk berdua di bawah atap bertulis 'Musola
Al-Yusuf', Genta memerhatikan dengan perasaan kecamuk di dada. Ia enggan
melanjutkan langkah menuju musola, hatinya tak cukup kuat. Lantas, ia memilih
berbalik arah, memutuskan solat di ruang pertemuan GMNI saja. Ia sudah merasa
kalah.
Genta menyukai Ishika. Faktanya.
***
Menurutmu, apa yang terjadi setelah
Ishika dan Aldre berkenalan? Mereka akan menjadi dekat? Tidak. Kisah keduanya
berbeda jauh dengan kisah-kisah ftv. Penuh fiktif. Kenyataannya, tak ada
yang banyak berubah setelah perkenalan. Hanya sesekali, terkadang, Aldre
menyapa Ishika dengan kebasa-basian. Namun tetap, status Ishika sebagai stalker
tak mengalami perubahan.
Padahal, hampir setiap hari Ishika
dan Aldre berkirim chat via BBM. Mereka membicarakan banyak hal. Tentang
hobi masing-masing, tentang dunia kampus, dan banyak hal lain yang terkadang
membuat Ishika senang bukan main. Perhatian-perhatian kecil yang ditunjukkan
lelaki itu pada Ishika seolah menumbuhkan keyakinan bahwa rasa miliknya tak
bertepuk sebelah tangan. Namun, Aldre yang mengobrol dengannya sampai larut
malam di BBM, sungguh berbeda dengan Aldre yang ia temui di
perpustakaan. Mungkinkah lelaki itu memiliki dua kepribadian?
Aldre selalu asik diajak bicara
dalam dunia maya. Entah itu facebook, line, whatsapp,
maupun BBM. Akan tetapi, di dunia nyata, lelaki itu berubah menjadi
sosok yang sebelumnya. Seolah ia sama sekali tak mengenal Ishika.
Ingin rasanya Ishika mengajukan
tanya, agar otaknya tak penuh sesak akan sikap Aldre yang di luar nalarnya,
tapi ia selalu menyerah. Setiap kali hendak mengirim chat pada lelaki
itu, berisi pertanyaan seputar kebingungannya, Ishika selalu saja menghapusnya
sebelum ia sukses menekan tombol 'kirim' pada layar ponselnya. Ah! Lelaki itu
membuatnya nyaris gila.
Kembali di tanggal 22. Ishika
mengerjap, mencoba terjaga dari alam mimpinya. Enam jam ia tertidur, setelah
semalaman, sampai pukul dua, ia menahan kantuk demi lewati tengah malam untuk
mendoakan seorang lelaki. Lelaki yang sedang berulang tahun di hari ini. Aldre,
si Tuan Misterius.
Ia membuka laci nakas dengan posisi
masih menempel di ranjang. Ia raih sebuah buku jurnal di dalamnya. Kalau kau
mau tahu, jurnal itu berisi penuh coretan tangannya tentang si Tuan. Di
tiap-tiap halamannya, terselip foto-foto hasil candid-nya selama menjadi
stalker lelaki itu. Entah sudah ada berapa banyak foto yang ia kumpulkan
selama setahun belakangan.
“Apa yang bisa kulakukan di hari
ulang tahunmu, Tuan?” tanya Ishika sembari meraih salah satu foto Aldre. Lelaki
itu selalu terlihat tampan dari sisi mana pun. Dari tiap sudut Ishika capture
keindahannya, yang lalu ia abadikan dalam kameranya.
Sementara di tempat lain, Aldre
dirundung gelisah sejak tengah malam tadi. Ia mengharap ucapan pertama dari
seseorang nan jauh di sana. Pengharapan terakhir sebelum ia menyatakan benar-benar
menyerah. Namun, harapannya sia-sia. Seseorang itu bahkan mungkin tak ingat
pada hari ulang tahunnya. Lantas, ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia akan
menghargai siapa pun orangnya yang memberi ucapan pertama. Sudah waktunya ia
berhenti memperjuangkan orang yang tak ingin lagi memperjuangkannya. Ia merasa
perlu berhenti, detik ini juga.
Drrrtt... Drrrrttt...
Ponselnya bergetar. Cepat-cepat ia
raih, dan ia dapati sebuah chat BBM yang masuk.
Ishika
Isrofela
· Kak Aldre, happy birthday! Aku baru aja buka fb, ada notif
Kakak yang ulang tahun hari ini. Semoga panjang umur dan bahagia selalu ya,
Kak. Cepet-cepet skripsi dan lulus kuliah. All the best for you deh pokoknya!
Senyum
itu lalu tersingkap di bibirnya. Meski tipis, tapi mampu menyamarkan gelisah di
raut wajahnya. Siapa sangka, perempuan yang belum lama dikenalnya, membawa
kembali secercah harapan yang selama ini lenyap setelah kepergian Nada. Mantan
kekasihnya. Satu-satunya perempuan yang pernah ia cinta, selain ibu dan adik
perempuannya. Nada, perempuan yang juga satu-satunya pernah berani mencampakkannya.
Seharusnya
Aldre paham, setiap yang pergi pasti akan digantikan seseorang baru yang akan
datang. Dan bisa jadi, seseorang itu akan lebih ia cinta, kelak. Hanya tinggal
bagaimana ia mampu mengendalikan waktu, tak selamanya yang berada dalam peluk
akan tetap tinggal. Keabadian hanya milik Sang Pencipta.
"Kenapa masih
ragu, sementara bahagia sudah ada di pelupuk matamu?"
***
Didedikasikan
untuk,
Tuan
Misterius, pecandu DOTA.
Pencintamu.
***
Profil penulis:
Rofie Khaliffa, lahir
di Jakarta tanggal 31 Oktober, 21 tahun yang lalu. Sudah sejak SMP mencintai
dunia tulis-menulis dan karyanya pernah memenangkan beberapa kali writing
competition. Mantan penyiar radio ini sedang dalam proses penggarapan novel
perdana.
*** *** ***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : "22 AGUSTUS" By: Roffie Khalifah"