Dara
By: Rofie Khaliffa
Nama
sesungguhnya cinta adalah kebencian. Harapan adalah orangtua dari kekecewaan
dan keputusasaan. Kenapa aku baru tahu bayangan yang terlempar ke wajahku
bersama senja itu, diciptakan dari cahaya yang disebut ‘kau’? Sudah lama sejak
waktu antara kau dan aku berhenti, kebencian selalu menjadi penyebab rasa
sakit.
Pernah
ada cerita sebelum kenangan. Pernah ada indah sebelum kekecewaan.
Kadang-kadang, orang tersenyum dengan usaha menyembunyikan kebenaran, bukan?
Seolah-olah bahagia, sementara yang paling benar adalah kebohongan.
Aku
masih ingat hari itu. Hari di mana demi dia kau akhiri kisah bersamaku. Tempat
ini saksinya, Dara. Di bawah langit senja seperti ini, di tepi laut ini, tiga
puluh satu hari lalu yang telah terlewati.
***
Tiga
puluh satu hari lalu…
“Jelaskan
padaku, Dara. Apa yang dia miliki sementara aku tidak?”
Bibir
merahmu yang selalu jadi candu untuk kukecup setiap waktu, hanya terkatup.
Mengantongkan jutaan ribu kata yang kau sembunyikan dalam ketidaktahuanku. Kau
berkhianat, Dara, namun aku masih bersedia memaklumimu. Dan kini, apalagi? Kau
ingin mengakhiri hubungan denganku? Kau gila, Dara!
“Demi
dia yang baru kau kenal beberapa minggu, kau mau mencampakkanku, Dara?” aku
bertanya lagi, sebab kau hanya berdiam diri sejak tadi. “Sehebat apa dia sampai
mampu mencuci otakmu seperti ini? Sejak kau mengenal dia, Dara, aku sudah tidak
lagi mengenalmu.”
“Dinggo,
maafkan aku…”
“Maaf?”
Kau
empaskan napas kasar. Pandanganmu kau layangkan pada secarik cahaya senja yang
berpendar. Ombak meliuk, menciptakan alunan hampa tanpa nada, bagai irama tak
bernyawa. Kau sudah melukai tempat bersejarah kita, Dara. Lima tahun lalu, kau
dan aku mengikat janji setia di sini, dan hari ini, kau punahkan janji itu pun
di sini. Di tepi laut ini.
Siluet
bergambar dirimu kunikmati dalam diam. Warna-warni di sekitarku berubah menjadi
oranye kemerah-merahan dan sebagiannya menghitam. Benar, cinta tak selalu
memiliki akhir yang indah. Cinta tak melulu soal bertukar kasih sayang.
Kenyataannya, cinta bisa berujung pahit. Cinta bisa menciptakan rasa sakit.
Geram,
kutinju angin seolah ia lawan yang pantas kutandingi saat ini. Kau tahu
kebiasaanku, Dara. Aku selalu meninju cermin setiap kali merasa gundah di hati.
Kau, Dara, orang pertama yang selalu melihat tanganku berdarah-darah
setelahnya. Kau berseru, “Bodoh!” Tapi
kali ini, kenapa kau hanya diam? Apa karena hanya angin yang menjadi lawanku?
Apa karena tanganku tidak berdarah-darah? Dara, beri aku penjelasan, apakah aku
harus selalu berdarah-darah demi mencintaimu?
“Kau
mau tahu apa yang dia miliki sementara kau tidak?”
Kuedarkan
pandanganku demi tak bertemu tatapanmu yang tak seteduh dulu. Apa, Dara, apa?!
Apa yang pria itu miliki sementara aku tidak? Cintaku lebih luas dari laut yang
setiap senja kita nikmati ini, Dara. Cintaku lebih tangguh dari pohon-pohon kelapa
di tempat ini yang selalu bertahan melawan gempuran angin laut. Kujamin, Dara,
tak ada pria di dunia ini selain aku yang rela berdarah-darah demi mencintaimu.
“Dia
selalu bisa membuatku nyaman setiap kali bersamanya. Kenyamanan yang tidak
pernah kudapat darimu. Dinggo, kutahu kau mencintaiku lebih dari cintanya, tapi
justru itulah yang membuatku tidak nyaman selama ini. Kau… berlebihan. Kau
mencintaiku lebih dari batas normal, Dinggo.”
“Maksudmu?”
“Kau
sakit, Dinggo! Caramu mencintaiku membuatku tidak bisa bernapas. Caramu
mencintaiku membuatku kehilangan dunia. Jelaskan padaku, Dinggo, apakah cinta
berarti memiliki sepenuhnya? Sebentar saja aku meninggalkanmu demi duniaku yang
selama ini hilang, kau pukul cermin. Sebentar saja aku menghindarimu dan
berlari dengan teman-temanku yang lain, kau mengancam bunuh diri. Kau sakit,
Dinggo!”
Tess!
Satu tetes air matamu menetes, disusul
tetesan-tetesan lainnya. Kau juga tahu, Dara, aku lemah melihat air matamu.
Kumohon, hentikan!
“Kau
tahu, Dinggo? Segalanya yang berlebihan selalu berakhir bencana. Seperti hujan
yang turun berlebihan menimbulkan banjir di mana-mana. Lupakan aku, Dinggo.
Relakan aku. Aku sudah tidak bisa menampung cintamu yang berlebihan itu.
Kuharap kau bisa mengerti. Dan, Dinggo, kumohon, jangan lagi-lagi kau lukai
dirimu sendiri. Demi aku, maukah kau berjanji?”
Yang
mampu kulakukan hanya meneguk ludah sendiri. Demi kau, Dara, aku rela mati
menenggelamkan diri di laut ini, detik ini. Namun, kau memintaku tak lagi
melukai diri. Aku harus bagaimana? Aku tak yakin bisa melupakanmu, apalagi
merelakanmu. Jangan paksa aku, Dara. Kepada cinta yang 'katamu' terlampau
batas, lupakan dan relakan tak mampu jadi titik penyelesaian.
Langit
mulai menghitam secara keseluruhan. Kutahu kau mulai tak betah berdiri di
sampingku berlama-lama, Dara. Padahal, aku masih menginginkan ribuan senja
kutatap bersamamu. Padahal, aku masih mendambakan hari-hari indah bersama
tawamu. Namun Dara, benar katamu, segalanya yang berlebihan memang selalu
berakhir bencana. Dan, kau tak ingin bencana karena cintaku yang berlebihan ini
menimpamu, 'kan?
"Pergilah."
Tak
kusangka, satu kata yang kuucap benar membuatmu secepat kilat enyah dari
sampingku. Oh, kini kau sudah bisa bernapas lega, 'kan? Tinggalah hatiku yang
tataannya kini mirip adonan kue gagal.
Dara,
harapanku seketika runtuh. Jika disamakan dengan pahatan, mungkin hatiku kini
sudah persis pahatan rusak yang kemudian dipatahkan oleh pengukirnya sendiri.
Bersama
senja itu, kau hilang. Deburan ombak seakan mengoyak-ngoyak. Hatiku. Jantungku.
***
"Dara..."
Kubuka perlahan kedua mataku yang selama beberapa detik terpejam. Masih di
tempat yang sama, kutunggu senja di tepi laut yang sama. Hanya saja, kini tak
lagi ada kau.
Otakku
kerap kali amnesia dadakan ketika tanpa sengaja melihatmu di perpustakaan
kampus. Dengan senyum terkembang, nyaris kuhampiri kau yang duduk termangu.
Beruntung, langkahku tak sampai benar-benar menghampirimu, saat ingatan tentang
hubungan kita yang telah pupus baru menyadarkanku dari lupa ingatan.
Senyumku
redam. Pria yang kau perjuangkan dengan cara mencampakkanku berjalan pongah
mendekatimu. Aku melihatnya, Dara. Pria itu tersenyum, lalu mengecup bibir
merahmu yang dulu selalu kucumbui. Ah! Rasanya kuingin cepat-cepat bunuh diri.
Kini,
tak ada suara macam apapun selain desir ombak dan embus angin yang terasa
'ngilu di pendengaran. Aku memang pria pengecut, Dara. Aku pria psycho yang
terobsesi memilikimu seutuhnya, untuk diriku sendiri. Aku lupa pada hakikat
cinta dan ketulusannya. Aku memang sakit, Dara!
Lantas,
untuk apa lagi aku hidup? Seperti katamu, aku tak boleh lagi melukai diriku
sendiri, bukan? Namun, melihatmu bersamanya, Dara, hatiku pun terlukai! Aku...
benar-benar ingin mati.
***
Seorang pria ditemukan tewas bunuh diri di
tepi laut, tadi malam. Menurut identitas, pria tersebut bernama Dinggo
Bramasta, mahasiswa Teknologi Informasi Universitas Andalas. Jasadnya akan
dimakamkan hari ini.
DEG!
Dara
melemas usai membaca surat kabar yang ia ambil dari depan pintu rumahnya.
Jantungnya serasa hampir lepas.
"Di-ddi-dingg-ddinggo..."
§§§
Profil penulis:
Rofie Khaliffa, lahir di Jakarta
tanggal 31 Oktober, 21 tahun yang lalu. Sudah sejak SMP mencintai dunia
tulis-menulis dan karyanya pernah memenangkan beberapa kali writing
competition. Mantan penyiar radio ini sedang dalam proses penggarapan novel
perdana.
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATISKLIK DI SINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATISKLIK DI SINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN: "DARA by Rofie Khaliffa"