Diah,
Dia Melodiku
Oleh
: Alzhainmelody
Aku masih ingat ketika Diah bercerita
perihal pria idamannya saat kami masih menginjak usia belasan. Ia bilang,
ketika kali pertama jumpa, pria idamannya itu akan memanggilnya dengan sebutan
“Melody”. Entah apa yang istimewa dari nama belakangnya itu.
Setelah itu, aku terus mengejeknya,
aku berkata padanya bahwa itu hanyalah hayalan anak remaja ababil. Ia menatapku
tajam saat aku mengatakannya, tak lama kemudian ia memecahkan tawanya, lantas kembali
bergelut dengan hayalan-hayalannya.
Diah juga pernah bilang,
dia suka pria romantis dan penyabar. Pria yang dengan senang hati
memperlakukannya dengan lembut meskipun ia selalu kasar dan terkadang pula tak
sopan. Ia juga bermimpi memiliki kehidupan nyata dengan seorang pria yang
bersedia menyanyikannya lullaby’s song
sesaat sebelum ia tertidur dengan pulas.
“Kamu hanya perlu
bermimpi, berusaha, dan berdoa. Sisanya, serahkan kepada Tuhan. Ia Maha Pemurah
dan Pengasih. Ia pasti akan mengabulkan mimpi-mimpimu,” kata Diah sembari
memamerkan gigi-giginya.
***
Kisah Diah dengan pria idamannya bermula
saat ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di salah satu perguruan tinggi
seni di London. Ia melanjutkan studinya di sana dengan bekal beasiswa penuh setelah
melewati proses penyeleksian yang cukup melelahkan. Ia terlihat sangat
antusias, tak nampak raut kelelahan dari wajahnya. Berbeda denganku, aku letih
sepanjang waktu, letih tiap kali memikirkan bahwa ia akan berada jauh dari
pandanganku selama beberapa tahun lamanya.
“Diah, apa kamu yakin
mau kuliah di sana?”
“Kenapa sih, Ram? Kayaknya
kamu tidak suka. Kamu masih ingat tidak? Ini salah satu impian anak remaja
ababil.”
Aku ingat, selalu
ingat. Ia selalu bermimpi melanjutkan sekolahnya di salah satu perguruan tinggi
seni di Eropa.
Aku terdiam sejenak hingga
ia mengagetkanku dengan tepukannya yang lumayan keras di lengan kananku.
“Hahh, aku tahu. Kamu
pasti tidak bisa jauh dariku kan?” tebaknya.
Aku mengalihkan wajahku agar tak
terlihat olehnya.
“Kalau kamu beneran mau
pergi sih, silakan.Yang penting kamu senang,” jawabku akhirnya.
“Aku tahu, kamu adalah
sahabat terbaikku,” ucapnya sembari memeluk tubuhku dengan riang, aku balas
memeluknya dengan erat.
Pelukan itu terasa
hangat, meskipun aku tak yakin akan mendapatkan pelukan sehangat itu lagi
darinya.
***
Diah bertemu dengannya enam bulan
kemudian di sebuah pertunjukan seni di kampus. Ia duduk di bangku paling
belakang Aula karena tidak begitu tertarik dengan seni teater. Ia sedang asik
mendengarkan lagu ciptaannya yang baru saja selesai dibuatnya ketika sebuah
gumpalan kecil kertas putih mengenai dahinya. Ia menyapukan seluruh
pandangannya ke depan, ke arah mahasiswa seni lain yang sedang serius menonton
pertunjukan teater. Tidak satupun dari mereka yang mencurigakan. Tak lama
kemudian, ia menemukan seorang pria berbadan tegap becanda dengan dua orang
perempuan di sebelah kanannya. Ia menautkan kedua alisnya. Curiga,
“Hey you, kau pikir aku
tidak tahu bahwa kaulah yang telah membuang kertas ini ke arahku, seenaknya
saja membuang sampah. Kau pikir aku tempat sampah?”
“Maaf Melody, aku juga
tidak mau melakukannya dengan cara seperti ini, tapi kedua anak ini yang
memaksaku.”
Kedua perempuan yang
ditunjuk pria itu kini sedang tersenyum dengan sangat lebar kepada Diah.
“Melody?” Diah bergumam,
ia menyadari suatu hal. Tiba-tiba ia merasa
sangat dekat dengan pria itu. “Have you just called me ‘Melody?’” Ia bertanya
untuk memastikan ia tak salah mendengarkan.
“Yes, I have. Why?”
jawab pria itu dengan mantap.
“Hmm,
nothing.” Ujar Diah pada pria itu sambil menggelengkan kepalanya. Mungkin cuma kebetulan saja. Batin Diah.
Pria itu tersenyum lebar padanya, Diah balas tersenyum, sertamerta melupakan
kekesalannya karena telah tertimpa gumpalan kertas.
“Oh ya, apakah kau
sudah membaca pesan yang tertulis di kertas itu?” kata Pria itu dengan bahasa
Indonesia yang fasih dengan tiba-tiba.
Dahi Diah berkerut, ia
baru saja menyadari bahwa ia memiliki teman sekelas yang berasal dari Negara
yang sama dengannya. Ia lantas menggelengkan kepalanya kemudian membuka dengan
cepat gumpalan kertas yang berada di genggamannya.
Let’s
meet in the park at 4 p.m. today!
David
Adrian
Dahi Diah kembali
berkerut, namun tak lama kemudian ia menganggukkan wajahnya dengan cepat lantas
melemparkan senyum terindahnya kepada pria bermata hitam pekat itu. Pria itu
membisikkan ucapan terimakasih padanya lantas kembali duduk di kursinya,
sedangkan Diah, ia kembali bergelut dengan pikiran-pikirannya, kembali ke masa
2 tahun silam saat ia dan aku masih sama-sama menginjak bangku SMA.
Tanpa berpikir panjang,
Diah segera mengirimkan sebuah e-mail kepadaku. Ia menceritakan setiap detil
kejadian hari bertemunya ia dengan pria idamannya, tentang perasaan bahagianya
karena pria itu benar-benar persis seperti yang diimpikannya selama ini. Berbeda
denganku, pesan itu tak ubahnya bom nuklir, seketika meremukkan tubuhku, sakitnya
merambati seluruh tubuhku, tak lama kurasa dadaku sesak, tak berdaya, bayangan
hitam sekelebat bertebaran di hadapanku. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa
yang terjadi.
***
Diah melempar sebuah
gumpalan besar kertas ke arah pria betubuh jangkung dan tegap yang sedang duduk
membelakanginya di sebuah bangku ruang tunggu bandara beberapa meter di
hadapannya. Sayangnya, lemparan itu tidak benar-benar tertimpa di kepala atau
bagian tubuh lain dari pria jangkung itu. Ia menulis sebuah pesan lagi di buku
catatannya kemudian merobek kertas yang telah ditulisinya itu, menggumpalkannya
lantas melemparkannya lagi ke arah pria itu. Berhasil. Pria itu celingak-celinguk
mencari sosok yang telah berani melemparnya, tak lama mendapati Diah yang
sedang cekikikan, menatap tajam ke arahnya lama, menggelengkan kepalanya kemudian
kembali asik dengan layar kecil di tangannya. Diah menjadi semakin kesal lantas
merobek secarik kertas lagi di buku catatannya, kali ini tanpa pesan apapun, lalu
dilemparkan begitu saja ke arah pria tadi. Ia melakukannya berkali-kali,
melemparinya dengan sejumlah gumpalan kertas tanpa ampun.
“Young Lady! Ini bukan
negaramu. Jangan buang sampah sembarangan ya di sini, kamu bisa kena denda
karena melakukannya,” ujar seorang wanita dengan bahasa Inggris yang sangat
fasih.Wanita itu mengenakan pakaian yang terlihat sangat kontras dengan usianya
yang diduga Diah telah berada di pertengahan empat puluhan.
“Ibu tahu apa tentang
negaraku? Jangan seenaknya menghina ya, Bu! Sejelek dan seburuk apapun
Negaraku, ia tetaplah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan dan aku bangga
menjadi bagian darinya,” ujar Diah dengan kesal sambil menatap nanar wanita di
hadapannya. Ia menarik napas panjang lalu menatap wanita di hadapannya itu lagi
dengan dahi berkerut, menyadari suatu hal: wajah wanita itu sangat familiar
baginya.
“Mom? Melody? Kalian
sudah saling kenal rupanya?” tanya pria yang sedari tadi diserang oleh Diah
dengan gumpalan-gumpalan kertasnya.
Melody dan wanita itu
berbalik ke arah pria itu bersamaan, sama-sama mengerutkan dahinya, mencoba
memastikan bahwa kata-kata yang baru saja didengarnya berasal dari orang yang
sama-sama dikenalnya.
Tiba-tiba, Diah dan
wanita itu mengatakan sesuatu dengan bahasa Indonesia dalam waktu bersamaan. “Kau
mengenalnya?”
Kali ini giliran David
yang mengerutkan dahinya, “Eh, kupikir kalian sudah saling kenal.” David
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lantas melanjutkan kata-katanya yang
tertunda, “Mom, kenalkan, ini Melody!”
“What did you say? Mom?
Is she your mother?” tanya Diah sambil menatap wajah wanita di sebelahnya
dengan tatapan tak percaya. Ia baru sadar, mengapa wajah wanita itu terlihat
begitu sangat familiar, sangat jelas wajah tampan milik David turun dari ibunya
yang rupawan.
“Ya, Melody. This is my
Mom.”
“Dengar ya, David. Mom
tidak setuju kamu dekat-dekat dengan wanita yang tidak tahu sopan santun
seperti dia. Mengerti?” ujar Ibu David dengan wajah yang memancarkan semburat
merah. David terkejut mendengar pernyataan itu keluar langsung dari mulut
ibunya.
“Ibu, bagaimana mungkin
kami tidak boleh saling dekat. Lihat cincin ini, dia sudah melamarku sebulan
yang lalu, dan sekarang Ibu meminta kami untuk tidak saling dekat?” Ujar Diah
semakin kesal dengan wanita itu.
“Ya dia benar, Mom. Dia
sekarang tunanganku. Aku akan menikahinya setelah kami kembali ke Indonesia.”
“Apa? Bagaimana mungkin
kau melamar seorang wanita tanpa persetujuan dari ibumu, David?” tanya wanita
itu.
“Mom, I’m not a kid anymore,” protes David.
“Mom tahu, tapi
setidaknya kamu bisa memilih gadis yang sedikit lemah lembut dan sedikit punya
etika,” jelas wanita itu di depan David dan Diah.
“Maksud Ibu, aku tidak
punya sopan santun? Aku tidak lembut?” Tanya Diah. Kali ini darahnya sudah
mencapai ubun-ubun kepalanya.
“Mel, tolong jangan
bicara keras-keras pada Mom!” Tegur David.
“Sudahlah, Vid. Kalau
itu mau Ibu kamu, kita putus saja!” Ujar Diah dengan tegas sembari melepas
cincin pemberian David dari jari manisnya kemudian meletakkannya di telapak tangan
David. “Dan buat Ibu, makasih sudah membangunkanku dari mimpi-mimpiku yang mungkin
sudah terlampau panjang,” tambahnya kemudian berlari cepat setelahnya.
Samar-samar, Diah
mendengar seruan David dari belakang, namun ia tak mau lagi menghiraukannya. Ia
ingin segera pergi dari ruang tunggu bandara itu, ia ingin menyadarkan dirinya
bahwa ia memang benar-benar sedang bermimpi kali ini. Sekelebat bayangan Rama,
sahabatnya sejak kecil bermunculan, teringat akan kenangan masa kecil mereka, teringat
akan kenangan ketika kali pertama dirinya berbicara dengan Rama pada saat
pelajaran olahraga di lapangan basket sekolahnya. Kenangan yang sudah sejak
lama dilupakannya, bahkan tak pernah lagi diingatnya.
Apa
kabar anak itu? Sudah lama dia tidak menghubungiku? Batin Diah.
***
“Melody, kamu baik-baik
saja?” kata seorang anak lelaki di hadapan Diah, wajahnya terlihat sangat
khawatir.
“Apa? Melody? Siapa
yang memintamu memanggilku dengan sebutan seaneh itu. Panggil aku Diah dan
tolong antar aku ke UKS sekarang. Kepalaku sakit sekali.”
“Maafkan aku, aku
benar-benar tidak sengaja,” ucap anak lelaki itu.
“Iya-iya. Aku maafkan,”
balas Diah dengan cuek.
“Makasih ya, Melody
karena sudah mau memaafkanku!” ujar anak lelaki itu.
“Hey, sudah kubilang,
jangan panggil aku dengan sebutan aneh itu,” nada suara Diah berubah tinggi
kembali.
“Baiklah, aku berjanji.
Aku tidak akan memanggilmu dengan sebutan itu lagi. Aku hanya merasa bahwa nama
Melody itu sangat indah, cocok dengan dirimu, makanya aku memanggilmu dengan
nama itu.”
“Apa kamu merasa
seperti itu?” tanya Diah sungguh-sungguh.
“Ya, tapi sudahlah. Aku
akan memanggilmu dengan sebutan Diah mulai saat ini.”
Diah tersenyum senang
lantas berkata, “nama kamu siapa?”
“Aku Rama.”
***
Diah terduduk sambil menatap
lemas nisan di hadapannya. Perlahan bulir air matanya tumpah membasahi pipinya
yang putih bersih. Kenyataan membawanya pada penyesalan yang akan terus membayangi
hidupnya. Betapa bodohnya ia karena telah melupakan kenangannya bersama sahabat
kecilnya itu ketika kali pertama mereka berbicara suatu hari saat pelajaran
olahraga di lapangan basket sekolah.
Seketika Ia kembali
pada kenangannya saat remaja, ia pernah menceritakan mimpinya pada sahabat
kecilnya itu, tentang keinginannya bertemu dengan lelaki idamannya, lelaki yang
saat kali pertama bertemu dengannya akan memanggilnya dengan sebutan ‘Melody’.
Ia tak pernah menyadari bahwa mimpi itu telah menjadi kenyataan jauh sebelum ia
benar-benar memimpikannya.
Kali ini, saat ia
benar-benar menyadari kenyataan itu. Ia tak lagi dapat melakukan hal lain
selain meratapi kebodohannya sendiri. Tangisnya kembali pecah bersama turunnya butir-butir
hujan di sore senja yang sebentar lagi akan berubah menjadi malam. Ia kembali
menatap nisan bertuliskan nama Rama itu dengan kedua matanya yang sudah
membengkak. Berharap sosok itu kembali ke kehidupannya, mengisi hari-harinya
yang mulai membosankan.
Dari kejauhan, sosok
David menunggunya, menatapnya dengan perasaan yang sama pilunya. Bagi pria itu,
menunggu bukanlah pekerjaan yang sulit. Maka dari itu, ia akan terus menunggu,
menunggu hingga melodinya kembali mengalunkan nada-nadanya yang indah. “Diah, dia melodiku. Kumohon jangan bersedih
lagi. Aku akan menjadi dia, pria yang selama ini kau impikan,” bisik pria
itu pada angin. Berharap angin menjelma menjadi gumpalan kertas, mengirimkan
pesan-pesannya hingga akhirnya terbaca oleh melodinya yang sedang sendu.
*TAMAT*
*TAMAT*
TENTANG PENULIS:
Auliyanti SN. atau sering dikenal dengan nama pena: Alzhainmelody adalah dara kelahiran Bulukumba, 3 Januari 1992. Saat ini penulis tinggal di Jalan Daeng Tata I Blok V Tirtamas F/15 Makassar, Sulawesi Selatan. Statusnya masih mahasiswa S2 dan Part-Timer English Teacher di Makassar. Untuk mengenal lebih dekat penulis bisa menghubungi via:
Email: alzhainmelody@gmail.com
Blog : alzhainmelody.blogspot.com
FB : Auliyanti SN (alzhainmelody)
Twitter : @AlzhainMelody
Posting Komentar untuk "CERPEN: "Diah, Dia Melodiku" Oleh : Alzhainmelody"