GONE...
By: Einca Ratna Sari
“Mungkinkah kita bisa
menikah?”
Kamu tertawa geli saat lagi-lagi
kutanyakan hal yang sama. Aku tertunduk gelisah sambil mencoret-coret agenda
kecilku. Apa sih yang kamu tertawakan? Pertanyaanku
itu bukan lelucon. Apa kamu tidak tahu bahwa saat ini hatiku benar-benar
gelisah?
“Kenapa kamu nanya gitu?” Tanyamu
setelah tawa itu mereda.
“Mungkin nggak kita bisa menikah?”
Bukannya menjawab aku malah melontarkan kembali pertanyaan yang sama. Dan kali
ini, kamu tidak tertawa. Mungkin kamu mulai memahami kegelisahan yang aku
rasakan saat ini. Ya, kamu pasti tahu.
“Kamu harusnya nggak usah nanyain itu
lagi,” ucapmu lembut,” kamu nggak percaya sama aku?”
Aku menggeleng cepat, padahal tahu
kamu tak bisa melihat gelenganku. Bukan, bukan aku tidak percaya. Aku selalu
mempercayaimu. Hanya saja, saat ini hatiku kembali dilanda keraguan.
“Kita pasti menikah,” katamu
meyakinkan. “Kita pasti akan bersama.”
Pasti? Entah kenapa untuk malam ini,
aku tak bisa mengikuti keyakinanmu. Entah kenapa, rasa gelisah itu malah
semakin menguasai hatiku. Aku ragu. Ya, aku mulai meragukan hubungan ini. Bukan
ragu padamu. Tapi aku meragu pada takdir.
***
“Abang pergi, Kak.” Kabar itu kudengar
dari adikmu, pagi setelah
malamnya kamu meyakinkanku tentang kebersamaan kita.
“Abang pergi, mungkin
karena Kakak. Sadar nggak, Kakak yang terlalu lama menunda, sampai akhirnya
semua prahara buruk itu kejadian. Mungkin Abang udah gila, makanya Abang
mutusin pergi dari rumah. Kakak
puas sekarang?”
Kalimat-kalimat itu
menghantamku. Aku? Aku yang menjadi penyebab kepergianmu? Benarkah?
“Mama mana, Ran? Kakak
bisa ngomong sama Mama nggak?” Tanyaku berharap.
“Mama nggak mau tahu
apa-apa lagi tentang Kakak. Mama nggak mau ngomong sama Kakak lagi. Mama minta
Kakak pergi juga dari keluarga kami.”
Tuhan.... Apa yang harus
kulakukan? Sebesar itukah salahku?
“Ran, siang ini Kakak udah
rencana buat ajak kalian ketemu keluarga Kakak,” ucapku pelan. Aku tahu,
ucapanku barusan mungkin tak akan merubah apapun lagi.
“Udah telat Kak. Abang
juga udah pergi. Ini juga terakhir Rando jawab telpon Kakak. Besok-besok
mungkin nggak." Rando mengucapkan kalimat itu dengan ketus.
"Tapi Ran..."
"Udah ya, Kak.
Assalammualaikum."
“Waalaikumsalam...” aku
hanya bisa menjawab salam itu lirih. Apalagi yang bisa kulakukan selain itu?
Aku bahkan tak tahu lagi harus berbuat apa. Duniaku runtuh dalam sekejap.
Kita pasti menikah. Kita
pasti bersama. Kata-katamu semalam terputar lagi di otakku. Pasti? Tidak.
Sekarang kamu malah pergi meninggalkanku, dengan seluruh salah yang harus
kutanggung. Harus ke mana aku mencarimu?
Tuhan... inikah jawabmu
atas gelisah yang beberapa hari ini aku rasakan? Inikah jawabmu, atas tanyaku
tentang matahari dan bulan yang beberapa hari ini tak tampak?
***
"Menikah?"
Handphone yang sedang tertempel di telingaku nyaris terlepas sore itu. Menikah?
Yang benar saja! Kita baru satu kali bertemu.
"Iya, menikah."
Suaramu terdengar yakin. Tak terdengar nada ragu sedikitpun.
"Tapi, Bang,"
"Kenapa? Keluargaku
udah tahu kamu, begitu juga keluargamu yang udah tahu aku. Ada halangan
apalagi?"
"Menikah nggak
segampang itu. Keluarga kita bahkan belum bertemu."
"Semua bisa jadi
gampang. Asal kamu mengiyakan, bilang sama aku di mana alamat lengkapmu, aku
dan keluargaku bisa langsung ke rumahmu," ucapmu.
Aku terdiam. Bingung. Kamu
adalah laki-laki tergila yang aku kenal. Menikah? Kita bahkan hanya
berkomunikasi lewat ponsel. Bagaimana kamu bisa begitu yakin untuk mengajakku
menikah?
"Ai, kamu mikirin
apa? Aku salah ya?" Suaramu membuatku terjaga dari diamku.
"Bukan, kamu nggak
salah. Hanya saja, apa keluargamu bisa menerimaku?"
"Bisa," katamu
yakin. "Bisa. Mereka pasti bisa. Toh, Rando juga udah deket banget sama
kamu. Mama juga udah tahu banyak tentang kamu."
Lagi, aku hanya bisa diam.
Entahlah. Aku bahkan tak bisa memikirkan satu katapun saat ini.
"Ai," pangilmu
lembut. "Menikah itu ibadah. Allah suka itu. Dan aku bisa jagain kamu dari
dekat, aku bisa sama-sama kamu kalau kamu sakit lagi. Kamu pikir aku nggak
nelangsa setiap kali cuma dapat kabar kalau kamu sakit? Aku pengen ada di dekat
kamu."
Selalu ingin di dekatku?
Tuhan... itu juga hal yang paling aku inginkan saat ini. Tapi, bisakah kami
menikah? Entah kenapa, hatiku bahkan meragu. Entah apa yang aku ragukan,
padahal aku tahu, aku bisa merasa, tak ada terselip sedikitpun dusta dalam
kalimatmu.
"Ai, kita bisa bersama.
Kita pasti bersama," ucapmu lagi. "Kita ada, untuk bersama. Kamu,
aku. Kita. Kamu percaya aku kan? Cuma satu kata dari kamu dan kita bisa
membunuh jarak yang ada sekarang." Lembut kata-kata itu kudengar.
Ini gila! Kamu memang
gila! Bisa-bisanya melamarku lewat sambungan telpon seperti ini? Ah, tapi aku
menyukai kegilaanmu dan entah dorongan darimana, satu kata yang kamu minta
akhirnya aku berikan. Tuhan... bisakah untuk kali ini Engkau mengiringi doa
dalam jawabku untuknya? Bisakah kali ini Engkau merestui niat kami untuk
bersama?
***
Hah! Lagi, aku terbangun dengan keringat dingin bercucuran.
Setiap mimpi dalam tidurku selalu memutar memori tentangmu. Memutar nyanyian
merdu suaramu yang selalu membuatku luluh. Memutar semua percakapan yang
membuat aku sempat merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia.
Kamu tahu, Matahari?
Ternyata ada nyanyian cahaya yang hilang saat matahari membisu. Aku juga baru tahu, ternyata ada sunyi
yang gelap, saat matahari menghilang. Dulu, aku selalu percaya bahwa matahari
tak akan pernah pergi meninggalkan langit. Dulu aku juga percaya bahwa matahari
itu tercipta untuk bersama bulan. Dan keyakinan dari mataharilah, yang membuat
bulan ikut percaya bahwa langit bercahaya lebih terang jika keduanya bersatu, langit
akan menggelap bila mereka berpisah, dan keduanya akan binasa bila tak bersama.
Mungkin kamu benar, Matahari. Sekarang
bulan nyaris binasa. Langit yang menjadi tempat bulan bergantung , gelap
gulita. Dan perlahan kepercayaan bulan terhadap matahari mulai memudar.
Kamu tahu, Matahari? Alam di
sekelilingku berdengung memintaku melupakanmu. Memintaku menghapus jejak dan
bayangmu dari semestaku. Memintaku tak lagi menunggu hadirmu yang kini semakin
semu.
Bodoh! Itu yang selalu mereka katakan
setiap kali melihatku termenung menunggu hadirmu.
Kamu tahu, Matahari? Aku sekarang
berusaha meminta Tuhan untuk mempertemukan kita di langit yang sama.
Mungkinkah? Mereka bilang, tidak. Matahari dan bulan tak bisa berada di langit
yang sama, karena pertemuan mereka dapat mencipta gerhana, dan tak semua penghuni
bumi menyukai gerhana.
“Kak, udah. Nggak ada gunanya Kakak
terus nunggu Abang seperti ini. Kalaupun dia udah kembali, keluarganya juga
udah nutup diri dari kita.”
Untuk kesekian kalinya dalam tiga
bulan ini, adikku mengucapkan hal yang nyaris sama. Melupakan? Aku ingin
melupakan. Melupakan kamu, yang empat bulan sebelumnya selalu menemani
hari-hariku, siang dan malam. Melupakan kamu, lelaki yang walau baru kutemui
satu kali, tapi mampu membuatku terpikat.
Kuakui, aku mulai lelah mencari. Ini
sudah ujung terjauh yang sanggup kutempuh. Tahukah kamu, sekeliling manatapku
seperti orang tak waras. Mungkin mereka benar. Dan tahukah kamu, aku mulai tak
bisa lagi berlari dari keluargaku. Entah bagaimana, mereka mulai menemukanku padahal
aku belum menemukanmu.
"Kak...”
“Dia pasti kembali,” ucapku yakin.
Lebih tepatnya aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.
“Kalau dia kembali, dia pasti udah
muncul. Tiga bulan, Kak. Tiga bulan nggak ada kabar,” tukas adikku kesal. “Bang
Wira, nggak mungkin kembali lagi ke kita Kak.” Adikku melanjutkan dengan suara
pelan, terselip kesedihan yang dalam pada kalimat terakhirnya.
Tahukah kamu matahari? Adikku adalah
orang kedua yang nyaris gila karena kepergianmu. Dia adalah orang kedua setelah
aku yang benar-benar menyayangimu. Dan dia juga sekarang orang yang paling
membencimu.
“Bang Wira nggak akan kembali lagi
Kak,” isak adikku pelan. Wajahnya tertunduk dalam di bahuku, bisa kurasakan
rembesan air matanya yang mengenai bajuku.
Tuhan... jawablah doa-doaku. Aku hanya
ingin tahu di mana dia. Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaannya. Tak ada yang
lain yang dapat kupinta. Aku hanya ingin melihatnya, walaupun hanya satu kali.
Bulan dan matahari itu tercipta
untuk bersama, karena mereka sama-sama menguasai langit. Bersama, kita pasti bersama.
Lagi, kata-katamu berputar di kepalaku.
Benarkah Tuhan? Sesungguhnya aku sudah
sangat lelah. Pencarian ini bahkan tak berbuah apa-apa. Aku malah menyakiti
orang-orang yang masih sangat mempedulikanku. Tuhan... aku lelah. Tak bisakah
Engkau memberikanku satu kesempatan untuk dapat bertemu dengannya?
“Kakak mau nunggu sampai kapan? Kakak
bahkan nggak bisa bangun lagi sekarang,” kata adikku.
Ya, aku bahkan sudah tak sanggup lagi
berjalan. Hanya diam dan berdoa.
“Mungkin, Abang emang bukan buat
Kakak. Nggak selamanya apa yang sama dengan kita itu, bisa menjadi jodoh kita
Kak. Mungkin Tuhan nunjukin sebelum Kakak sama Abang melangkah lebih jauh
lagi.”
Benarkah Tuhan? Kalimat adikku itu
menohokku. Ya, selama ini kita selalu merasa bahwa jodoh tergaris di takdir
kita. Banyaknya persamaan yang ada, sejak kecil hingga sekarang. Bagaimana kita
mampu saling memahami tanpa harus berbicara. Bagaimana kita mampu saling jatuh
cinta walaupun pertemuan baru terjadi satu kali.
Gila. Itu yang selalu kita ucapkan
saat kita menemukan, lagi-lagi hal yang sama. Kita bahkan sama-sama bertanya
pada dunia tentang banyaknya persamaan itu. Dari mulai tanggal lahir, tragedi
sebelum lahir, dan masih banyak lagi.
Tuhan... benarkah dia bukan untukku?
Jika memang bukan, kenapa rasa ini harus Kau munculkan?
“Kak...”
“Abang pasti kembali,” ucapku lirih.
“Entah lewat cara apa, dia pasti akan kembali.” Dan aku mendengar adikku
menghela napas kesal.
“Kakak udah gila!” cetusnya.
Ya, mungkin aku sudah gila. Tapi
entahlah. Aku memang lelah mencari, tapi aku masih sanggup menunggu, setidaknya
untuk satu atau dua kalimat penjelasan darimu. Walaupun mungkin memang bulan tak
bisa bersama matahari, tapi setidaknya Tuhan masih mampu mempertemukan mereka
lewat gerhana.
***
Cinta itu mampu
menunggu...
Walau tak jelas sekalipun,
cinta tetap mampu menunggu...
Cinta tak akan berteriak
lelah untuk menunggu satu jawab akan tanya yang tersimpan...
Cintapun selalu tahu, yang
ditunggu masih layak atau tidak untuk selalu ditunggu...
PROFIL PENULIS
Einca Ratna Sari, gadis
mungil yang biasa dipanggil Eca oleh teman-temannya ini, sudah hobi menulis
sejak kecil. sudah banyak tulisan yang ia buat, akan tetapi hanya menjadi
konsumsi pribadi teman-teman dekatnya saja. Sempat vakum menulis beberapa
tahun, namun sekarang mulai aktif kembali. Baru saja aktif kembali di nunia
blogger berkat dorongan teman-temannya. Untuk lebih mengenal gadis Bengkulu
ini, bisa intip twitternya @eincasarii dan jika ingin mengintip beberapa
tulisannya, bisa dikepoin di eincasarii.blogspot.com.
***
*** ***
Setiap karya yang kami
publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
4 komentar untuk "CERPEN : "GONE..." By: Einca Ratna Sari"
Maaf aku nggak dapat feelnya. Aku bingung ini ceritanya mau dibawa ke mana ((hubungan kita)) *hahaha malah nyanyi*
Coba dipelajari tiap paragraf. Kak Rez bilang kalau beda yang diceritkan beda paragraf. Terus pemilihan katanya belum runut. Yang baca jadi bingung. Terlalu banyak deskripsi perasaan. Hehee.
Over all kalau diksi sudah kaya. Tinggal susunan saja. Dan openingnya (masalahku) bagus. Xoxoxo.
Yuk banyak belajar. Love you, Sis.