GONE 2#
NELANGSA
By: Einca Ratna Sari
Dua ratus sembilan hari....
Tepat di pagi hari ke
dua ratus sembilan ini, aku melihatmu, Matahari. Melihatmu di antara puluhan
penumpang lain yang keluar dari gate kedatangan itu. Kamu
tersenyum. Aku tahu, wajahku sekarang pasti sudah memerah hanya karena senyummu
itu. Ya, hanya kamu yang bisa membuatku tersenyum dengan wajah memerah seperti
ini. Lalu, dengan kedua tangan terbuka lebar, kamu berjalan cepat ke
arahku dan memelukku erat.
“Apa kabar, Ai,”
Tuhan... itu suara
Matahariku. Suara yang masih sama seperti beberapa bulan lalu. Suara yang
ternyata masih mampu membuat jantungku berdegup cepat.
“I’ve missed
you, Aira...”
Tuhan... nyaris melompat
aku mendengar kalimat itu. Ya, I’ve missed you to. Aku benar-benar
merindukanmu, Matahari. Aku benar-benar merindukanmu.
***
Siang itu, lagi-lagi
namamu terdengar di rumahku. Namamu yang sudah berbulan-bulan tak pernah
disebutkan lagi. Namamu yang ikut menghilang seiring dengan kembalinya aku di
tengah-tengah keluargaku.
Kamu tahu, Matahari,
adikku mendengar kabar tentangmu. Lega rasanya mendengar kamu baik-baik saja.
Tapi satu tanyaku, kenapa kamu masih membisu dariku? Dan ternyata tanya itu
bukan hanya datang dariku. Adikku, sahabatku, bahkan kedua orang tuaku,
menanyakan kebisuanmu.
“Kak, nggak usah ingat
Abang lagi. Anggap dia nggak pernah ada. Anggap dia udah mati!” Kalimat itu
keluar dari mulut Ayahu dan menjadi keputusan Ayah, Ibu dan adikku.
Tuhan... apa yang harus
aku lakukan? Benarkah tak ada celah bagiku untuk bertemu dengan Matahariku? Tak
bisakah Engkau membiarkan kami bertemu? Tak bisakah Engkau membiarkan
terjadinya gerhana? Gerhana bahkan tak berlangsung lebih dari dua menit.
“Insya Allah,” lirih
kalimat itu kuucapkan. Aku tak bisa menjanjikan lebih dari kalimat itu. Dan aku
berharap Tuhan masih berkenan mendengar doa-doaku. Doa-doaku yang sesungguhnya.
***
“Mau sampai kapan nunggu
Wira?” tanya Adis, setelah memperhatikanku cukup lama.
“Aku nggak nunggu, kok,”
jawabku berusaha cuek.
“Oh ya?” Adis menatapku
sarkartis. “Nggak nunggu? Nggak usah bohong sama aku, Ra. Kamu bahkan belum mau
dengerin lagu sampai sekarang. Kamu masih suka beberapa kali buka emailmu yang
terkhusus untuk Wira doang. Foto-foto Wira juga masih kamu simpan. Iyakan? Kamu
nolak untuk kenal dengan cowok lain. Kamu masih suka nungguin matahari terbit
dan tenggelam. See? Nggak nunggu kamu bilang? Aku sahabatan sama kamu dari
kecil, Ra.”
Aku menghela napas
panjang. Ya, Adis tak salah. Aku memang masih menunggu. Aku masih mengharap.
“Lupain Wira, Ra.” Adis
mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Seolah aku adalah anak SD yang
harus ditekankan dulu, baru bisa mengerti.
Lupain? Kalau aja bisa
segampang itu. Aku ingin melupakan. Sungguh.
“Ra,”
“Aku mau ke Yogya,”
ujarku cepat, sebelum Adis sempat menyelesaikan ceramahnya.
“Hah?” Adis menatapku
tak percaya. “Yogya? Ngapain? Nggak boleh!”
“Aku harus ke Yogya!
Tolong Dis,” pintaku keras kepala. “Please, Dis. Aku Cuma mau tahu
keadaannya. Hanya itu. Satu kali aja, dan aku janji nggak akan nunggu dia
lagi.” Aku benar-benar memohon kali ini. Satu kali Tuhan, perlancarlah jalanku.
Adis terdiam cukup lama.
Terlihat jelas bahwa sahabatku itu tak menyetujui permintaanku. “Tolong,
Dis...” pintaku lagi. Kali ini aku mengeluarkan suara super menyayat yang aku
tahu, pasti mampu meluluhkan hati sahabatku ini.
“Kamu udah gila, Ra!”
tukas Adis kesal. Dan Aku tersenyum senang. Aku tahu, Adis menyetujui
permintaanku, aku juga tahu kalau Adis siap membantuku untuk meloloskan diri
untuk satu atau dua hari.
“How long?”
tanyanya kemudian.
“Dua.”
“Satu!”
“Dua, Dis,” aku mulai
merengek.
“Satu! Atau nggak sama
sekali,” tegas Adis. “Satu hari aja aku udah kesusahan untuk cari alasan, Ra.
Apalagi dua.”
Aku menghela napas
kesal. Ya, aku tahu. Adis yang paling kesusahan. Tapi...
“Satu atau tidak!” Adis
kembali menegaskan.
“Oke. Satu.” Aku cepat
mengambil keputusan sebelum Adis mengubah pikirannya. Ini kesempatanku
satu-satunya. Dan, Tuhan... untuk kali ini, tolong kabulkan doaku.
***
Lega. Itu yang
kurasakan. Lega saat melihat dia ternyata baik-baik saja. Kamu tahu, Matahari?
Cahayamu ternyata masih sama. Walaupun senyummuseperti menyimpan luka. Salahkah
kalau aku berpikir bahwa hatimu belum melupakanku? Salahkah kalau aku berpikir
bahwa hatimu juga merindukanku?
Sepertinya tidak,
Matahari. Aku masih mampu merasa tentangmu. Tapi, untuk kali ini, maafkan aku.
Aku harus menepati janjiku pada sahabatku. Aku tak akan lagi
menunggumu. Kalau memang cahaya untuk semestaku tak akan pernah muncul lagi,
biarlah. Aku mulai terbiasa dengan gelap. Aku mulai terbiasa dengan temaram
bintang yang walaupun tak seterang sinarmu, tapi cukup untuk membantuku
menyinari langit malam. Aku mulai terbiasa tanpamu, Matahari. Dan aku sadar,
bulan memang tak harus menyinari dengan bantuan matahari.
***
Hai, Ra. Apa kabar?
Praanggg!!! Satu pesan
singkat itu membuat piring buah yang kupegang terlepas bersama dengan ponselku.
Jantungku berdebar hebat. Kepalaku mendadak pening. Adikku dan Adis yang tengah
nonton TeVe di ruang keluarga langsung berlari menghampiriku di dapur.
“Ada apa, Kak?”
“Kamu kenapa, Ra?”
Pertanyaan mereka berdua
tak langsung kujawab. Yang aku lakukan malah menunjuk ponselku yang tergeletak
di antara pecahan piring.
“Dia, kembali...” ujarku
lirih.
Aku bisa mendengar napas
tertahan adikku juga Adis. Aku tahu mereka berdua sama terkejutnya denganku.
Matahariku kembali. Walaupun kini dia memanggilku dengan sapaan berbeda. Tapi
aku tahu, dia dalam perjalanan menuju kembali.
Tuhan... apalagi ini?
Yang telah hilang dan coba aku lupakan, kini engkau hadirkan kembali. Apalagi
ini, Tuhan? Kini, harus bagaimana aku menanggapinya? Akankah Matahariku kembali
untuk selamanya? Atau hanya sejenak?
“Kak, nggak usah
dibalas,” ucap adikku tegas.
“Iya, Ra, nggak usah
ditanggepin.” Adis menimpali.
Aku terdiam. Aku tahu,
mereka berdua tak ingin aku terluka lagi. Tapi, aku belum menemukan jawaban
dari segala tanya yang menggumpal di kepalaku. Mungkinkah kali ini adalah
kesempatanku untuk menemukan jawab itu? Atau ini hanya akan menjadi jembatan
untuk menuju kehancuran yang lebih parah lagi? Entahlah. Aku bahkan tak bisa
memikirkan apapun. Yang aku tahu, lima menit kemudian, jariku sudah bergerak
lincah di layar handphone.
Baik, alhamdulillah.
Bang Wira?
***
Aku nggak tahu.
Sekarang, aku nggak bisa janjiin apa-apa lagi ke kamu. Tapi aku akan usahain
untuk datang ke tempatmu dalam waktu dekat ini. Maaf, Ra...
Aku manatap barisan
huruf yang terangkai di layar ponselku dengan senyum pahit. Pedih. Sakit, saat kata
‘tak bisa’ itu terbaca mata.
Tahukah kamu, Matahari?
Harusnya kamu tak pernah kembali. Harusnya kamu tak pernah datang lagi.
Harusnya kamu tetap diam di sana dan tak muncul lagi. Harusnya kamu tak datang
lagi dengan rasa menyesal dan maafmu.
Tahukah kamu, Matahari?
Airmata ini bahkan diam-diam masih sering mengalir di setiap malam dalam
tidurku. Seharusnya biarlah aku menganggaap semua ini tetap semu.
Tapi kini kamu kembali.
Setelah pergi dan memaksaku ikut pergi. Kini kamu kembali dengan membawa lagi
kenangan manis yang coba kulupakan dari ingatan dan hatiku. Kamu datang dan
membuat usahaku untuk membencimu seketika musnah. Harus bagaimana aku,
Matahari? Rasa ingin mempertahankanmu kembali muncul.
Nelangsa.
Kamu tahu kalau aku tak
akan pernah bisa membencimu. Kamu tahu kalau aku tak akan pernah sanggup
menahanmu. Kamu juga tahu di jauh dan dekatmu, aku tak bisa benar-benar
melepaskanmu dari hatiku.
Tuhan... tak sekuat itu
hati ini mampu menahan. Tak sekuat itu juga hati ini sanggup merelakan. Harus
bagaimana aku?
Drrrttt.... Drrrrttt.... Ponselku
kembali bergetar. Cepat aku membuka pesan singkat yang tentu saja dari kamu.
Aku datang lusa. Tunggu
aku, Aira. Aku akan menjelaskan semuanya. Tunggu aku...
Ya Tuhan....
Sekarang harus
seperti apa? Berlari dan
menghindar? Mematikan hati dan menutupnya? Atau malah mematikan diri dan
menghilang bersama bumi? Mampukah? Bisakah? Mungkin. Tapi, aku masih ingin
mendengar penjelasannya. Ada banyak tanya yang ingin kulemparkan
kepadanya.
Tuhan, untuk satu kali
ini, izinkan aku bertemu dengannya. Bukan bertemu yang hanya aku yang tahu,
tapi kami berdua tahu. Bertemu untuk menjelaskan segala yang tersembunyi 6
bulan ini. Dari dia dan dariku. Izinkanlah kami bertemu, tanpa adanya gerhana.
Ok. Aku jemput di
bandara, lusa. See you Sun...
***
Tentang bulan yang masih
merindukan mataharinya...
Tentang matahari yang
masih berusaha untuk memeluk bulannya...
Tentang semesta yang
mecoba menyatukan keduanya di bawah langit yang sama...
PROFIL PENULIS:
Einca Ratna Sari, gadis mungil yang biasa dipanggil Eca oleh teman-temannya
ini, sudah hobi menulis sejak kecil. sudah banyak tulisan yang ia buat, akan
tetapi hanya menjadi konsumsi pribadi teman-teman dekatnya saja. Sempat vakum
menulis beberapa tahun, namun sekarang mulai aktif kembali. Baru saja aktif
kembali di nunia blogger berkat dorongan teman-temannya. Untuk lebih mengenal
gadis Bengkulu ini, bisa intip twitternya @eincasarii dan jika ingin
mengintip beberapa tulisannya, bisa dikepoin di eincasarii.blogspot.com.
***
*** ***
Setiap karya yang kami
publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
2 komentar untuk "CERPEN: "Gone2# --- NELANGSA" By: Einca Ratna Sari"