Hurt on Spring Sky
Oleh: Deyanggi Bhi
Tatkala
kita hanya sebatas kata, di sanalah nestapa piawai menguasai rasa
Salju tidak jatuh lagi. Sorot tiap pasang mata
kembali berbinar sehangat mentari. Jaket tebal disimpan rapi dalam lemari,
sedangkan pakaian berbahan tipis digemari lagi. Kacamata penampik sinar
matahari bertenggar hampir di setiap wajah siapa pun yang berlalu di hadapanku.
Golden Gate Bridge tak pernah sepi. Tak
mengenal waktu, jalan penghubung Samudra Pasifik dan Teluk San Fransisco yang
merupakan icon kota terbesar keempat
di California ini ramai dilalui kendaraan, pengayuh sepeda, bahkan pejalan kaki
seperti kita.
Orang-orang tidak lagi membalut diri di balik
selimut atau sekadar mematung di dekat perapian. Musim semi kini meraja, seakan
membebaskan kita dari jeruji berupa gigilnya musim dingin. Segalanya terasa
kembali hidup. Pohon tidak lagi telanjang, dedaunan kembali rimbun bahkan
bunganya pun merekah dengan rupa-rupa warna yang memukau.
Suatu sore pertengahan Mei, kamu mengajakku
berkeliling menikmati pesona teluk yang kita amati di atas jembatan gantung
ini. Berbekal si kenyal marshmallow dan
beberapa batang coklat, kita menyamakan langkah sembari sesekali diselingi
senda gurau yang kamu lontarkan.
“Kapan ya kita bisa kayak gini lagi?”
Aku menengadah dan menancapkan tatapan tajam,
“Apa maksudmu?” tanyaku pada lelaki yang saat ini berdiri sejajar denganku.
“Setelah ini, apa kita bisa begini lagi?”
Dahiku seketika berimpit. Setiap kali aku
sedang asyik menyimak celotehanmu yang terkadang konyol, kerap kali nada
bicaramu berubah dari canda menjadi sesak. Selalu saja kamu begitu.
“JIka nanti kamu kembali, mungkin suasana
semacam ini nggak akan kutemui lagi.” Kamu menghela napas dalam dan
mengembuskannya bagai beban. “Tentu aku akan merindukanmu.”
Kamu mulai mengungkit masalah itu. Beberapa
bulan lagi—setelah kontak kerjaku habis, memang pasti aku akan pulang ke
Indonesia. Tetapi, bukankah kita masih bisa bersua meski hanya bekomunikasi
dengan mengandalkan kecanggihan teknologi?
“Kenapa masam gitu?” Tangan jahilmu menjawil
hidung lancipku. “Kalau cemberut terus, aku makin cinta lho,” ancammu
dilengkapi kelakar yang mengembang.
Balutan merah yang melapisi tiang penyangga
Golden Gate Bridge seolah cerminan pipiku yang memerah sebab tersipu, sedangkan
semburat oranye yang mengintip malu di ujung sana laksana cahaya kasih dan
sayang yang diam-diam menyelusup ke dalam relung hatiku.
* * *
Downtown San Francisco benar-benar membosankan.
Aku tak pernah betah berlama-lama menjalani hari di apartemen. Bayangkan, betapa
muaknya aku hanya sekadar membuka jendela saja suguhan yang kuterima adalah
deretan gedung yang berdesakan. Bentuk bangunnya memang unik dan berbeda satu
sama lain, tetapi karena letaknya yang berdempetan dan hanya dipisahkan trotoar
sempit serta tanpa pekarangan, rasanya mataku lelah memandangnya.
Saat kukeluhkan kejemuan itu, kamu datang
dengan membawa serta referensi tempat yang bisa kusinggahi untuk mengenyahkan
kejenuhan. Masih di kawasan yang sama, tapi setidaknya Union Square bisa
menghiburku.
Lapangan segi empat yang sepertinya cocok
disebut alun-alun ini kukira menyerupai Orchird Road di Singapura, tetapi dalam
skala yang lebih besar.
“Kalau ke sini, coba sambil dengarkan I Left My
Heart in San Francisco-nya Tony Bennett.”
Kamu menyandarkan tubuh tegapmu pada salah satu
bangku yang diposisikan di sekeliling area ini. Kuikuti langkahmu lalu kuambil
duduk tepat di sampingmu.
“Lihat itu!” suruhmu seraya menggerakkan
telunjukmu ke segala arah. Refleks mataku pun mengedar, kuitari seluruh sudut
yang kamu tunjukkan itu.
Banyak patung berbentuk hati yang menampilkan
gambar karya seniman diletakkan di tiap titik tempat yang tengah kita kunjungi
ini.
“Patung-patung itu program penggalangan dana
untuk bantuan,” kamu tersenyum simpul, “Nah, lagunya Tony Bennett itu yang
dijadikan inspirasi,” sambungmu kemudian.
Kamu sempat meledek dan terkekeh ketika aku
bertanya layaknya gadis kecil yang masih polos, “Kalau digalang berarti patung
ini akan hilang dong?”
Setiap tahun patung-patung ini dilelang dan
hasil penjualannya disumbangkan ke San Francisco General Hospital. Lalu
setelahnya, akan dibuat lagi patung-patung hati yang baru dengan lukisan hasil
pelukis yang berbeda pula, begitu katamu.’
Aku hanya mengangguk, menandakan bahwa aku
sudah paham. Seringkali aku tak pernah mengacuhkan yang kamu bahas menarik atau
tidak, sebab selalu saja aku menyukai penuturanmu.
“Nanti malam kita jalan lagi, yuk?” Kamu
bangkit lalu mengasongkan lenganmu. “Nggak usah repot dandan berlebihan. Apa
adanya kamu, aku tetap cinta.”
Lagi-lagi kamu memujiku, membuatku begitu
bangga memiliki kesempatan untuk berada dekat denganmu. Saat aku masih serasa
melayang karena pujaanmu, sebuah e-mail masuk
ke ponselku. Urung kusambut uluran jemarimu ketika kubaca teks yang tertera
pada tampilan layar kotak masuk.
Hallo, Sayang. Apa kabar?
Kuharap kamu nggak lupa ke mana harus pulang, dan ingatlah rencana kita bulan
depan. I always love you! J *hug ‘n kiss*
Miris. Bila harus kuakui, jika saat ini di
sekitarku bertebaran patung-patung hati, maka dalam jiwaku pun kini tengah
ditumbuhi dua hati. Kamu dan dia. Ruang hati yang kalian isi sama-sama memiliki
arti yang istimewa. Kumohon jangan tanyakan padaku, sebab aku pun tak memahami
apa makna dari hati yang mendua.
* * *
Ini kali pertamanya aku memasuki rumahmu—hunian
bergaya victoria yang berada di
Painted Ladies. Menghirup napas dan menapakkan kaki di Alamo Square serentak
membangkitkan daya khayalku. Rasanya aku seakan sedang melakukan shooting bersama Mary Kate dan Ashley
Olsen dalam film seri Full House.
“Kenapa kamu nggak bilang mau bawa aku ke
sini?” cerocosku saat kita sampai di beranda tempat tinggalmu.
Kamu berdeham. “Tapi kamu suka, kan?” Alismu
yang menjulur rapi dengan iseng kamu naikturunkan. “Banyak perempuan yang
pengin kuajak ke rumah tapi nggak pernah kugubris. Jadi, bersyukurlah karena
kamu perempuan pertama yang menjejakkan langkah di rumahku,” sambungmu dengan
senyum menggoda.
Malam kian cekatan merangkak menuju singgasananya.
Tidak kuingat sudah berapa lama aku terkapar dalam ruangan yang sama denganmu.
Usai menenggak beberapa gelas brandy,
kita benar-benar mabuk, bahkan sekadar untuk membuka mata pun aku sungguh tidak
kuat
Pernahkah kamu melihat lelaki yang luar biasa
tampan hingga rasanya biarpun disandingkan dengan tokoh di dunia Disney, semua
pangeran akan mencaci karena iri akan kesempurnaannya?
Andai aku dijatuhkan tanya yang demikian,
dengan lantang akan kujawab iya! Kepalaku terasa amat ringan dan imaji liarku
kian meracau. Seorang lelaki berstatus tidak lebih dari teman dekat—yang detik
ini tengah rebah bersebelahan denganku, terlihat begitu memesona menandingi
kharisma kekasihku yang kutinggal di negeri sana.
Telapak tanganmu merangkum wajahku, lalu secara
perlahan menelusuri rambutku. Bau anggur menyeruak memenuhi indra penciumanku
ketika puncak kepalaku kamu tarik ke dalam dekapanmu. Ribuan syaraf yang
tersentuh lincahnya bibirmu menghantarkan aliran hangat dan menciptakan euforia
yang tak mudah kuabaikan.
Sebelum jeratan setan menyeret kesadaranku
hingga terperosok ke dalam perangkapnya, sesosok bayangan berkelebat di
pikiranku. Dalam pejamku, dia menuntut agar aku menghentikan kegilaan kita. Dia
menghantuiku dengan menyajikan ulang rentetan peristiwa yang telah dan kelak
akan kami lakukan.
Seketika aku memekik histeris. Segera kutepis
gerakanmu yang mulai menyentuh bagian tabu pada tubuhku. Detik kemudian aku
beranjak menghindarimu meski dengan kepala penat, penglihatan kabur, dan
langkah terhuyung,
Mendadak aku merasa risih berdekatan denganmu.
Bahkan ketika kamu memanggil namaku dengan lirih dan berusaha merangkulku lagi,
ingin sekali kuhantamkan kepalan tanganku tepat di wajahmu.
“Kamu menyesal?”
Mendapati gelagatmu yang tampak enggan
menyerah, kegusaranku kian menumpuk dan berkecamuk bersama perasaan kalut
lainnya. Bukan hanya penyesalan, kekecewaan pun menyergap dadaku saat ini. Seringkali
kuperingati diriku untuk tidak terlalu jauh berhubungan denganmu, tapi bodohnya aku bersikeras untuk terus
mengarungi waktu bersamamu.
Kugelengkan kepalaku cepat-cepat. “Aku nggak bisa,”
ungkapku terbata dengan napas yang memburu.
“Kenapa?” Suara baritonmu menambah beban yang
melintas di pendengaranku. Seumpamanya aku mampu, sudah kularungkan kejujuran
yang kusembunyikan ini sedari dulu. Tentang kami—aku dan dia, yang tak secuil
pun kamu ketahui.
“Waktu yang kupunya di sini nggak lama lagi,
dan—”
Kamu menyambar dengan seringai yang benci
kusaksikan. “Dan karena itulah, aku harus memilikimu sebelum kamu pergi
meninggalkanku.”
Lagi, aku mengelak. “Tolong, dengar aku.
Sebentar aja,” aku meminta kesabaranmu untuk tidak memotong penjelasanku.
Aku melanjutkan pemaparan, mengulang dari awal
bagaimana kita bisa sampai seperti ini. Kedatanganku dari Indonesia atas
panggilan pekerjaan, tidak adanya yang menemaniku di San Francisco selain kamu,
juga mengenai kekasihku yang setia menanti kehadiranku di seberang sana.
Kamu hanya bergeming, menungguku menuntaskan pengakuan.
Ada sesuatu lagi, satu hal yang lebih menikam dari kesungguhanku barusan.
“Bulan depan kami akan melangsungkan pertunangan,” imbuhku kemudian.
Kerongkonganku serasa tercekat ketika ekor
mataku melirik kamu yang masih saja termangu menyimak ucapanku. “Aku harusnya
nggak merahasiakan masalah ini darimu. Maafkan aku…” aku merintih, “Karena
cintaku padamu, aku jadi lupa diri. Seharusnya kita nggak saling mengenal,
nggak menjadi teman, nggak kayak gini.”
Amarah tersirat nyata di kedua bola matamu.
Gejolak yang bergemuruh dalam jiwamu dapat kutangkap dengan jelas melalui
pancaran garis penuh ketegasan di wajahmu. Kamu yang dulu lembut, kini berubah sangar
dan terasa asing bagiku.
Aku merutuki diri sendiri.
Mencaci segala kekeliruan yang tercipta atas egoku. Menyesali apa yang telah
kumulai, namun tak rela
bila harus kusudahi. Tak
apa jika kamu hendak memakiku dengan kecaman kejam sekalipun. Ini memang
salahku yang tidak pandai menjaga perasaan. Aku dungu. Hatiku tamak. Logikaku
tak bisa kuandalkan.
“Lekas kembali padanya dan lupakanlah aku.”
Sepenggal pesan yang kamu ucapkan
dengan lirih malam ini
sungguh membuat hatiku pilu. Nyeri. Serasa ada cabikan pedih yang menjalari batinku. Begitu
menusuk, hingga aku tak sanggup melakukan apa pun selain menatap ayunan
langkahmu yang gontai dan mulai menjauh. Mengakhiri cerita, meniadakan kita. {}
TENTANG PENULIS
Deyanggi Bhi merupakan penggalan nama milik
gadis kelahiran Bandung, 14 November 1997. Saat ini ia tinggal di kota yang
kerap dijuluki “Swiss van Java” dan tengah menjejaki tingkat akhir pendidikan
SMA jurusan sosial. Memiliki impian untuk menjadi bagian dari Kampus Fiksi dan mahasiswi
Universitas Padjajaran. Celotehan sosok pencinta fiksi dan penyuka puisi ini
dapat ditemui di akun twitter @gi_author atau blog yang berisi tuangan
imajinasinya http://world-sastra.blogspot.com
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Hurt on Spring Sky" Oleh: Deyanggi Bhi "