KAMU
Oleh: Meilisa Eka Nur Alam
“Sesekali,
biarkan amarahmu lepas,” ujarku santai.
Kau menyalakan sebatang rokok. Mengapitnya
di bibirmu. Pemantik itu, segera menyulut lintingan tembakau secara perlahan.
Aku benci itu, kuakui. Aku membiarkan dirimu hanyut dalam setiap isapan.
Bahkan, setiap isapan itu seakan mempunyai makna. Untukku dan untuk dirimu.
“Sepertinya, kau sudah tidak merasa
terganggu, ya,” balasmu.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku.
Ya, sepertinya, berada di dekatmu aku sudah mulai terbiasa. Aku tahu,
sebenarnya dirimu tak tega, bila aku ikut mengisap asap yang keluar dari mulut
dan hidungmu. Tapi, kau juga tak sanggup bila keterpurukan itu ada dihidupmu.
Kau butuh pelampiasan.
“Apa yang membuatmu bertahan?”
tanyamu seketika.
“Entahlah,” sahutku, “mungkin kisah
hidupmu.”
Ya, aku mengenal dirimu semenjak
dua tahun yang lalu. Mungkin, hanya aku yang sanggup dekat dan selalu mendengar
keluh kesahmu. Tapi, jika kau tahu, kau sangat jauh. Seperti benteng yang berdiri
kokoh. Dan aku, tak sanggup untuk memasuki itu. Misterius.
Kau selalu berkata bahwa aku
seperti lilin. Menerangi orang lain di saat gelap, namun ikhlas jika dirinya
terbakar demi menerangi orang lain. Aku suka akan hal itu. Kupikir, ucapanmu
itu tulus.
Namun, dari beribu alasan, aku
benar-benar menyukai kisah hidupmu. Kisah hidupmu bukan tentang pangeran yang
mengendarai kuda. Bukan juga laki-laki pewaris kekayaan milik keluargamu. Tapi,
kisah hidupmu seperti karang. Selalu memeluk ombak dan bertahan dari badai.
***
Jika
hati ini memilih dirimu, akankah ada alasan untuk berpaling?
“Apa definisi bahagia menurutmu?”
tanyamu ketika kita sedang menikmati azure.
Ya, sebenarnya aku tahu arah tujuan
ini. Kau akan bilang bahwa, kebahagiaanmu adalah ketika kau melihat azure—langit biru yang cerah. Aku tahu
akan hal ini. Sebelum kau memberitahuku.
“Bersama orang yang kucintai,”
ujarku yang juga menatap azure, “itu
membuatku bahagia,” sambungku.
“Hanya itu?” tanyamu lagi.
Aku mengangguk. Mungkin itu adalah
hal remeh untukmu, namun itu adalah hal yang paling membahagiakan. Bersama
dirimu.
“Hmm.... kamu kan jago nulis, coba
buatin aku satu kisah. Tentang azure,
rokok dan kebahagian. Bisa?” tanyamu.
Kamu memintaku untuk membuatkan
kisah tentang azure, rokok dan
kebahagiaan? Bagaimana, kalau aku menceritakan tentang hidupmu? Tentang kisah
kita? Biarkan semua yang kau mau menjadi pemanis dalam kisah kita. Kau setuju?
***
“Maaf aku udah ngecewain kamu.
A....ku....” kamu terdiam cukup lama.
Seperti ada ribuan anak panah yang
melesat menuju hatiku. Ya, aku mengaku kalah dengan dia—perempuan pilihanmu.
Dan asal kau tahu, aku memang hanya sebatang lilin. Seperti katamu waktu itu.
Rela berkorban untuk menerangi, namun harus mengakui bahwa akan meleleh.
“Apa kamu nggak tahu pengorbananku?
Atau..... dia hanya jadi pelampiasan hidupmu? Hah?!” air mata yang dari tadi
kutahan, kini sukses meleleh membentuk muara.
Kau mengembuskan napas teratur.
“Apa kau pernah merasakan kehilangan? Merasa kesepian?”
Sekarang aku yang merasakannya.
Kehilangan dirimu.
“Nggak pernah, kan?!” tanyamu
dengan nada yang cukup keras. “Orang kaya kamu nggak pernah tau artinya
kehilangan. Sakitnya menyayangi dan perihnya ditinggalkan. Kamu tahu bagaimana
hidupku, kan? Itu beban!”
Kau segera menyalakan sebatang
rokok. Mengisapnya secara asal. Dadamu naik turun tak beraturan. Aku tahu ini
pelampiasanmu. Kau melepas amarahmu. Kepadaku.
Aku terdiam cukup lama. Pengakuanmu
tadi adalah mimpi buruk bagiku. Semua yang telah kurencanakan—di otakku, seakan
sirna, hilang dan tak berbekas. Kalau kau tahu, harusnya aku berbicara dengan
perempuan yang kau pilih itu. Memaki dan mempertanyakan apa dia tidak tahu
bahwa aku memperjuangkanmu. Dari awal kita bertemu.
“Kau seharusnya tak membuat kisah
seperti itu. Aku hanya tak ingin menyakitimu terlalu lama,” ujarmu pelan.
Basi! Kau bahkan menyakitiku lebih
dari itu. Dan kau tahu, hatiku ternyata lebih kuat dari karang. Dan sekarang
aku tahu rasanya memeluk ombak. Menyakitkan.
“Coba sesekali kau duduk terdiam.
Menyusuri heningya malam dengan hatimu. Kau akan tahu di mana hatimu akan
pulang.” Aku bangkit dan pergi meninggalkanmu.
Aku harap kau akan pulang.
***
Bagaimana kalau aku memulainya dengan
azure? Aku tahu kau sangat menyukai
itu. Ohh.... aku meralatnya. Bagaimana kalau aku memulainya dengan cerita
tentang kita? Tentang kamu dan aku.
Masih ingatkah saat pertama kali
kita bertemu? Di bawah langit berwarna azure?
Kau tahu, aku menemukan definisi bahagia itu. Ya, bersama orang yang
kucinta. Dan itu bersama dirimu.
Waktu itu, aku tak sengaja melihat
kau sedang tidur terlentang, menatap langit berwarna cerah. Seulas senyum
menghiasi bibirmu. Dan tanpa kau sadari, bibirku pun juga ikut tersenyum.
Bahagia.
Aku mengikutimu. Terlentang
menyaksikan azure. Aku benar-benar
telah jatuh cinta kepadamu. Azure, langit
pagi berwarna biru. Tenang dan menghanyutkan. Seperti dirimu dan cintamu.
Jika kau tahu, benda kecil yang
sering kusebut hati, itu selalu menyerukan namamu. Tak peduli jika panggilan
itu kau abaikan. Ya, bahkan sampai hati ini terasa sesak, ia tetap berteriak.
Menyerukan namamu.
Cintaku terhadapmu terus
bergejolak. Kadang, cintaku seperti sebatang rokok. Candu. Ya, aku begitu
mencintaimu. Bahkan, kepulan asap yang dulu aku benci, kini mulai aku cintai.
Karena kamu.
Namun, aku sadar, bahwa rokok itu
akan habis, seiring kau isap isi tembakaunya. Tapi, apa yang terjadi? Rokok itu
seakan terus hidup, tanpa takut akan habis.
Aku tahu, ada benteng kokoh yang
membatasi kita. Ya, kau membuat benteng itu. Membuat diriku merasa dekat
sekaligus jauh darimu. Aku sulit menggapai dan meraihmu. Padahal, cinta ini
sudah membuatku candu. Ingin memilikimu.
Dan sekarang, lihatlah makna dari azure, rokok dan kebahagian. Kau tak
perlu mencari semua itu. Kau hanya perlu menyadari itu. Semua.
Aku tak akan pernah menyesal
mencintai dan mengenal dirimu. Bahkan, hingga azure itu kembali pada periode gelapnya. Atau bahkan, sebatang
rokok itu lenyap dan kebahagianmu hilang, aku tetap akan mencintaimu. Selalu.
Sent.
PROFILE PENULIS
Cewek yang senang
berceloteh ini, sedang menikmati tahun pertamanya menjadi mahasiswi di salah
satu universitas swasta di bekasi. Selain hobi membaca, hobi dia yang lain
adalah jahilin orang yang ada di sekitarnya. Selalu punya amunisi untuk
berceloteh dengan orang-orang baru. Sering bergentayangan di @meysnaaa dan
lebih suka menjadi stalker.
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "KAMU" Oleh: Meilisa Eka Nur Alam "