KEAJAIBAN
CERITA MERAH BATA
Oleh :
Muhammad Iqbal Imaduddin
Ditulis
di Kota yang penuh kenangan, Kota Kediri. Tahun 2012.
“Maaf
Pak Iqbal.
Ibu Amalia Putri ternyata
mengidap leukemia stadium 3. Akan sangat baik bila segera dilakukan kemoterapi
ataupun operasi.” Kata-kata dari seorang dokter beberapa menit yang lalu ini
terus menghantui pikiranku.
Istriku
Amalia yang sangat aku sayangi sekarang ini sedang tertidur di ranjang Rumah
Sakit Ir. Salahudin, Kediri. Dokter memvonis Amalia dengan penyakit leukemia
(kanker darah). Tubuhku lemas mendengar kabar itu, bagai tsunami yang menerjang
sekujur tubuhku. Bukan hanya itu, kabar ini bahkan menusuk pikiran dan hatiku,
sampai aku tidak berani mengabari anak-anakku yang ada di Sapporo, Jepang dan
Bandung. Aku takut mereka selalu dihantui bayang-bayang ibunya seperti diriku,
padahal mereka anakku, aku merasa sangat pecundang sekarang. Amalia yang ada di
hadapankupun tak membantuku sama sekali. Senyum manis yang biasa terlihat
darinya sekarang berganti raut wajah yang kosong. Aku selalu takut bila
malaikat menjemput istriku sebentar lagi.
“Amalia.
Aku pasti akan menyelamatkanmu. Menyelamatkan senyummu dan janji abadi kita.
Tolong percayalah padaku.” Bisikku di telinga istriku.
Jam
menunjukkan pukul 10, aku keluar ruangan Amalia menuju parkiran rumah sakit.
Sekedar untuk mencari kopi dan makanan ringan untuk menghibur diri yang sedih
ini. Aku memikirkan, jalan apa yang harus aku tempuh sekarang. Operasi
pencangkokan sumsum tulang belakang menurutku yang paling logis, tapi itu perlu
tes kecocokan HLA (Human Leukocyte Antigen) antara pendonor dan penerima. Bapak
dan Ibu Amalia sedang di tanah suci untuk haji, kakaknya Amalia juga sekarang
masih kuliah di Sorbonne, Perancis. Aku tak mampu menghubungi mereka. Mereka
pasti akan langsung pulang ke Indonesia dan meninggalkan kepentingan mereka.
Akupun sampai takut untuk melakukan tes HLA karena kecocokan HLA antara adik
kakak satu ibu dan satu ayah saja cuma 85%. Aku hanya istrinya Amalia yang tak
punya sedikitpun hubungan darah. Aku takut bila HLA kami ternyata tak cocok,
aku merasa bebanku semakin berat nanti.
Setelah
berpikir cukup lama, aku memutuskan untuk ke rumah bibinya Amalia yang ada di
Surabaya untuk mencari solusi. Aku masuk mobil dan melihat tas milik Amalia
tergeletak di bawah. Akupun mengambilnya dan membukanya. Ada map berwarna merah
bata yang asing di penglihatanku. Karena curiga aku membukanya, ada beberapa
lembar kertas. Melihat kertas paling atas aku langsung tahu bila itu cerpen
karya Amalia. Istriku ini memang penulis cerpen yang cukup terkenal di Kota
Kediri. Beberapa dari karyanya pernah masuk dan terbit di majalah Suara Muhammadiyah
dan Koran Radar Kediri. Aku yang masih merasa penasaran segera membuka lembar
kedua dan membacanya.
“DARAHMU
MENGGANTIKAN DARAHKU” Bacaku pelan.
Judul
ini belum pernah aku baca sebelumnya, apa ini karya baru istriku yang belum
dirilis. Tanggalnyapun aku lihat di bagian paling bawah, 1 Dzulhijjah 1455 H /
20 Oktober 2033. Karya ini masih sangat baru, seminggu yang lalu. Atau lima
hari sebelum istriku di rawat di Rumah Sakit Ir. Salahudin ini.
Aku
meneruskan rasa penasaranku dan langsung membuka lembar ke tiga lalu mulai
membaca cerita pendek terbaru istriku ini. Aku terkejut karena aku jarang tahu
Amalia menulis karyanya dengan warna tulisan merah bata.
--“
Diary Imad dan Latifa. Rusia, 1 tahun
yang lalu . . . . .
Badai
salju masih belum berhenti di Pegunungan Ural, Rusia Utara. Aku, Latifa,
Fussilat dan Revondar masih terjebak di pegunungan ini karena helikopter yang
kami naiki tertembak oleh pasukan musuh. Kami berempat berjalan di tengah
amukan salju untuk mencari tempat aman sementara. Satu kilometer, dua kilometer
kami menerjang badai sampai akhirnya Latifa melihat sebuah rumah kecil di
pepohonan cemara.
“Teman-teman,
ada rumah kecil, ayo ke sana.” Ajak Latifa semangat.
Kami
berjalan naik ke daerah hutan cemara dan sampai di rumah itu. Karena tak ada
jawaban setelah kami mengetuk beberapa kali, kami memutuskan langsung masuk,
ternyata tidak terkunci.
Di
lemari rumah itu, ada beberapa makanan dan minuman. Kami yang sangat kelaparan
langsung memakannya. Bila rumah ini ada penghuninya, kami akan membayar semua
makanan yang kami lahap.
“Revondar,
bisakah kau segera hubungi markas di Moskow. Kita harus segera dijemput di sini
sebelum badai semakin berat.” Mintaku sopan.
“Ya,
Imad. Ini sudah aku coba.” Balas Revondar.
“Halo,
kami dalam masalah di sini, helikopter kami tertembak di Pegunungan Ural, di
utara Kota Selechard. Kirimkan pasukan penjemput segera!” Teriak Revondar
begitu telepon tersambung.
“Ya,
tunggu dulu di sana, kami akan segera menjemput kalian.” Balas seseorang di
markas Moskow.
“Mad.
2 jam lagi pasukan penjemput datang.” Ucap Revondar senang.
Menunggu
2 jam lagi, kami memutuskan tidur dengan selimut hangat yang ada di lemari
kamar. Karena hanya ada dua selimut, aku memakainya dengan Latifa dan yang lain
untuk Revondar dan Fussilat.
2
jam berlalu cepat. Setelah helikopter penyelamat datang, kami berempat naik dan
segera menuju RS Novyi Port untuk merawat cidera Fussilat. Sampai di Novyi Port
1 jam kemudian Fussilat langsung dirawat di dalam. Baru saja kami bertiga ingin
melihat keadaan Fussilat. Tiba-tiba Latifa ambruk, dia pingsan.
“Latifa.”
Teriak Revondar sambil menahan tubuh Latifa.
“Fa.
Latifa. Kau kenapa?” Ucapku sedkit cemas.
“Mad,
aku akan panggil dokter.” Revondar segera berlari.
Beberapa
detik kemudian, seorang dokter datang. Latifa segera dirawat di UGD. Setelah
itu, aku menyuruh Revondar menghubungi markas di Moskow.
“Mad,
sudah tersambung. Ini, kau bisa langsung bicara.” Ujar Revondar memberikan
teleponnya.
“Hey,
bisa aku bicara dengan seseorang dari Indonesia di sana?” Tanyaku sedikit
tergesa-gesa.
“Ya.
Tunggu!”
“Hallo.
Ada apa?” Tanya seseorang di sana.
“Ini
aku Imad. Ini siapa ya?”
“Owh,
Imad. Aku Iqhad. Bagaimana? Kau selamat?” Tanya Iqhad lagi.
“Ya.
Alhamdulillah. Hey, bisa minta tolong Had?”
“Ya.
Apa Mad?”
“Tolong
pergi ke hotel ‘International’ yang ada di pusat kota Moskow. Lalu cari
seseorang yang bernama Aufar, atau Rika dari Indonesia. Kalau tidak ada, siapa
saja orang Indonesia yang umurnya 20-23 tahunan. Yang menginap 1 minggu di
sana. Suruh salah satu dari mereka menghubungi nomorku ini.” Aku mengutus Iqhad
segera.
“Oh.
Oke. Tunggu 20 menit lagi Mad.”
“Ya.
Terima kasih banyak Had.” Aku menutup telepon.
Setelah
itu, dokter yang merawat Latifa tadi datang.
“Imad,
Latifa kedinginan dan demam. Dia butuh banyak istirahat. Kamu masih belum bisa
melihatnya langsung sekarang.” Ucap dokter itu melarangku.
“Owh,
tapi dia baik-baik saja kan Dok?” Tanyaku ingin tahu.
“Kami
belum bisa putuskan Mad. Dokter utama RS ini masih terjebak badai di Salechard,
mungkin akan tiba 4 sampai 5 jam lagi.” Jelas sang dokter.
“Ya.
Aku mengerti.” Jawabku sambil mengangguk.
Setelah
itu, aku menemui Revondar yang ada di kamar Fussilat dan memintanya untuk
menghubungi Ram dan Sela yang ada di Kandalaksya. Ram dan Sela akan datang ke
sini 3 jam lagi.
Aku
berjalan keliling untuk melihat-lihat seisi rumah sakit ini. 20 menit berlalu,
tiba-tiba ada telepon dari Hotel International.
“Hallo.
Imad.” Sapa seorang wanita.
“Ya.
Ini, mbak Rianti kan?”
“Ya.
Latifa kenapa?” Tanya Mbak Rianti
“Ya.
Dia kelelahan hingga pingsan. Mbak bisa ke sini kan? Menjenguk adik mbak yang
tercinta itu.” Ujarku bermaksud mengajak.
“Ya.
Di mana Mad?”
“RS
Novyi Port. Ehm, suruh Iqhad antarkan saja.”
“Ya,
oke. Tunggu kami. Semua akan ke sana Mad.”
“Cepat
ya Mbak, badai paling besar akan datang 6 jam lagi. Bila telat, nggak akan bisa
ke sini.” Aku mengingatkan Mbak Rianti.
“Okey.
Tenang saja Mad. Kami akan tiba di sana segera.” Mbak Rianti menutup telepon.
Empat
setengah jam aku menunggu kedatangan teman-temanku di ruang istirahat bersama
Revondar.
“Mad.
Kau masih khawatir dengan keadaan Latifa?” Tanya Revondar..
“Sedikit,
wajahnya pucat sekali tadi. Semoga dia baik-baik saja Rev.”
“Amin.
Tenang saja, Latifa gadis yang kuat kok.” Revondar menghiburku.
Aku
keluar dari ruang istirahat dan melihat jam sudah pukul 7 malam. Teman-temanku
belum juga datang, padahal sebentar lagi badai besar datang.
“Imad.
Dokter utama sudah datang.” Ucap dokter yang pertama tadi.
“Eh,
ya. Aku bisa ke kamarnya sekarang?” Tanyaku langsung.
“Ya.
Ikuti aku Mad.” Kami berdua langsung menuju kamar Latifa.
“Dok.
Bagaimana keadaannya?” Aku bertanya sambil duduk di dekat Ifa.
“Ya.
Dia butuh penghangat dan istirahat. Aku akan memeriksa keadaan darahnya dan apa
yang menyebabkan dia demam.” Jelas sang dokter utama.
“Makasih
dok. Bolehkah aku minta waktu, tolong biarkan aku bersama Latifa hanya untuk 5
menit saja, tolong?” Mintaku sopan dan pelan.
“Baiklah,
kami akan keluar Mad. 5 menit.” Jawab sang dokter.
Aku
memandangi wajah Latifa yang pucat dan lemah. Wajah meronanya sedikit pudar,
meski bagiku dia adalah wanita yang paling cantik dan bersinar di mataku. Aku
menggenggam erat tangannya.
“Fa.
Apapun yang akan terjadi, aku pasti melindungimu. Meskipun, itu akan mengancam
hidupku.” Ucapku sedikit pilu dan terputus-putus.
Setelah
5 menit aku keluar di dalam kamar Latifa. Aku menyeka mataku berkali-kali karena
takut terjadi sesuatu yang bahaya. Sang dokter yang menunggu di luar segera
masuk ke kamarnya Latifa dan mengambil sedikit darahnya. Pak Dokter bilang,
hasil tes darah Latifa akan keluar besok pagi. Aku sedikit merasa lega dan
segera berjalan menuju kantin untuk makan malam. Di lorong lantai satu, aku
melihat Rika, Mbak Rianti, serta teman-temanku yang lainnya datang.
“Mad.
Ifa di mana? Bagaimana dia?” Tanya Rika sangat khawatir.
“Ya.
Dia kedinginan dan butuh istirahat. Tenanglah.” Jawabku ringan.
“Terus,
Ifa di mana sekarang Mad?” Ganti Aufar tanya.
“Ya.
Di kamar no 36 Far.”
“Ayo
ke sana saja.” Ajak Surya.
“Eh.
Jangan. Dia butuh tidur sekarang, besok pagi saja.” Aku melarang.
“Oh.
Ya, kita tunggu instruksi dari dokter saja.” Ujar Ram bijaksana.
Kami
semua pergi ke ruang tunggu di lantai 2. Saat itu Rika bertemu rekannya dari
Rusia yang sesama dokter.
“Ivfaska.”
Panggil Rika.
“Hey,
Rika. Ada apa kok kamu ada di sini?”
“Hahahahaha.
Temanku sakit, dia dirawat di sini. Kamu pulang kampung ya Fas?” Tanya Rika.
“Ya,
sudah seminggu yang lalu Rik. Aku pergi dulu ya, mau ke ruang 36 Rik.” Ivfaska
pamit untuk pergi.
“Eh?
Kamar 36?” Tanya Rika agak heran.
“Ya.
Kamar 36, katanya ada seseorang yang pingsan dan dia belum sadar.”
“Wah,
dia itu temanku yang aku bicarakan itu.” Balas Rika.
“Wah.
Kebetulan sekali. Aku ke sana dulu ya, nanti aku kabari keadaan dia bagaimana.”
Ivfaska lantas pergi ke kamar 36.
Kami
semua menunggu dengan sabar dan juga banyak doa. Kami percaya Latifa akan
baik-baik saja. Dia teman kami yang kuat. Aku, orang yang paling mencintai dan
dicintai oleh Latifa masih percaya bila semua akan baik-baik saja. Meski yang
lain khawatir, aku mencoba sekuat tenaga menenangkan semuanya.
“Ehm.
Rik. Latifa masih belum siuman, dan keadaannya masih belum stabil. Kalian harus
menunggu besok untuk tes darahnya keluar.” Jelas Ivfaska.
“Ya
Fas. Kami mengerti.” Jawab Rika.
“Mad.
Orang tua Ifa bagaimana?” Tanya Aufar.
“Tidak
bisa dihubungi, badai salju besar ini telah mengurung kita. Ya. Semoga saja Ifa
cepat sadar.”
“Eh
maaf. Badai ini mungkin berlangsung selama 6 sampai 10 hari. Jadi kita terputus
dengan dunia luar selama itu.” Tiba-tiba Ivfas menyela.
“Wah.
1 Mingguan. Bagus, jadi kita harus menunggu selama itu dan banyak berdoa.”
Jawab Alvian.
“Ya.
Terimakasih banyak teman-teman.” Ucapku pelan. ”--
Saat
aku akan membuka halaman selanjutnya, tiba-tiba aku teringat Amalia, istriku.
Kenapa aku di sini bersantai, sedang dia sekarang dalam bahaya. Apa aku bodoh?
Apa aku lari dari kenyataan ini? Apa aku telah menyerah?
Tiba-tiba
muncul suara Amalia yang serak di telingaku. “Teruskan saja Sayang. Aku masih
kuat kok. Lakukan apa yang sudah kau kerjakan . . .”
Aku
terkejut, apa sebenarnya itu? Siapa yang membisikkan suara itu?
Aku
putuskan untuk meneruskan membaca cerpen karya istriku ini.
--“
Keesokan harinya, di pagi hari yang masih cukup gelap, tiba-tiba ada yang
membangunkan aku.
“Mad.
Maaf menggangu tidurmu. Dokter memanggilmu sekarang, hasil tes darah milik
Latifa sudah jadi.”
“Eh,
Ivfas. Nggak apa kok. Ayo ke sana.” Aku segera bangkit.
Kami
berdua menuju ruang dokter utama. Di dalam ruangan, dokter menceritakan keadaan
Latifa yang sebenarnya dan sakit yang dideritanya.
“Mad,
Latifa . . . terkena leukemia. Jumlah leukosit (sel darah putih) miliknya
melewati ambang batas. Ini berbahaya buat hidup Ifa.” Jelas sang dokter.
Aku
terdiam kaku, membisu karena terkejut dengan kabar ini. Jantungku tersentak
keras, sedang Ivfas terlihat menangis di sampingku.
15
menit berlalu, aku masih terdiam sambil menatap Latifa. Sekali lagi dokter
menanyai aku.
“Apa
yang akan kamu lakukan, badai masih belum reda?”
“Dok.
Apapun yang terjadi, aku harus menyelamatkannya dok.” Jawabku bernada pilu dan
sedih.
“Ya,
aku tahu. Dia harus mendapatkan terapi segera.” Ucap sang dokter.
Aku
tak menjawab dan langsung pergi meninggalkan ruang dokter utama itu. Tubuhku
terasa lemas, pikiranku melayang dan tatapanku kosong.
“Mad.
Maaf. Aku tadi mendengar sedikit pembicaraanmu. Ifa kena leukemia ya?” Tanya
Ram tiba-tiba di belakangku.
Aku
hanya menoleh ke arah Ram sejenak dan pergi tanpa menjawab.
Jam
8 pagi. Aku dipanggil lagi oleh sang dokter di depan ruangan Ifa.
“Mad.
Kau harus tentukan jalanmu untuk Ifa.” Minta sang dokter.
Tiba-tiba
semua temanku datang ke depan kamar Ifa. Mereka semua tampak tergesa-gesa. Rika
yang pertama datang langsung bertanya.
“Dok.
Bagaimana Ifa? Hasil tes darahnya bagaimana dok?”
“Dia,
terkena kanker darah (leukemia).” Jawab dokter singkat.
“Deegggkk.”
Semua terdiam, terkejut seolah tak percaya ini.
Mbak
Rianti langsung masuk ke dalam dan semua mengikutinya kecuali sang dokter. Rika
dan Mbak Rianti terlihat langsung menggenggam tangan Ifa, mereka meneteskan air
mata. Surya, Seffin dan Sela juga ikut-ikutan nangis. Sedang aku, Friskila,
Ram, Adit, Alvian dan Aufar hanya terdiam menatap Ifa yang terbaring tak
sadarkan diri sejak kemarin.
“Mad.
Kau, apa kau tak sedih melihatnya?” Tanya Adit.
Aku
tak menjawab, bahkan akupun tak menoleh.
“Mad,
kamu nggak terlihat sedih ataupun menangisinya? Bukannya kau yang sangat
mencintainya.” Tanya Mbak Rianti sambil menyeka air matanya.
“Aku
bukannya tak menangis, aku sangat sedih. Sangat-sangat. Tapi, menangis tak bisa
merubah ini sedikitpun, lebih baik aku berdoa untuknya karena aku sayang
padanya. Aku tak mau bersedih di depan kalian semua.” Jawabku panjang sebelum
aku pergi keluar ruangan.
Aku
terhenti di dekat jendela lorong. Aku menyadari Sela mengejarku tapi dia
akhirnya tak terlihat lagi. Aku menatap keluar jendela, salju sudah mulai
berkurang dan mereda. Apa ini tanda Latifa akan hilang dari sini, di sini. Air
mataku tiba-tiba berjatuhan, kedua tanganku menggenggam erat seolah tak percaya
ini terjadi pada Latifa. Bagai petir yang membelah langit di siang bolong.
“Mad.
Kamu nggak apa-apa?” Tanya Sela pelan mendekatiku.
“Ya.
Aku baik-baik saja.” Jawabku sambil menyeka mataku.
“Latifa
pasti sangat beruntung memiliki orang sepertimu yang sangat mencintainya. Pasti
dia bahagia bila bersamamu Mad. Aku sampai iri dengan kalian.” Ucap Sela pelan.
“Bukan
dia yang beruntung, akulah orang yang paling beruntung karena bersamanya. Aku
belajar banyak hal darinya, terutama ketabahan.”
Sela
terdiam dan hanya menatapku redup.
“Aku
pasti akan mengembalikannya dan menyelamatkannya Sel. Pasti. Tunggulah, badai
ini akan segera selesai.” Balasku sambil memegang bahu Sela.
Aku
segera ke kamar Latifa, di sana ada dokter utama dan Ivfas.
“Dokter.
Aku sudah putuskan, aku akan mencangkokkan sumsum tulang belakangku untuk mengobati
leukemianya.” Ujarku yakin. Aku belum menyerah.
“Tapi,
kita harus memeriksa, apakah HLA-mu cocok dengan HLA Latifa atau tidak.” Jawab
sang dokter.
“Ya,
silahkan, tapi aku sangat yakin, aku, tulang belakangku, darah dagingku, adalah
anugrah dari Allah, dan mereka semua untuk Latifa juga.” Ucapku penuh keyakinan
melebihi yang tadi.
“Ya.
Aku percaya. Kami akan lakukan yang terbaik.” Balas sang dokter.
“Mad,
kamu siap untuk operasi pencangkokan?” Tanya Ivfas.
“Ya.
Aku siap.” Aku mengangguk.
Aku,
Ivfas, dan Dokter pergi ke ruang operasi. Di luar ruang 36, aku berpamitan
dengan teman-teman.
“Teman-teman,
Latifa pasti akan sembuh. Percayalah padaku.”
“Ya
Mad. Selamat berjuang. Ganbatte . . .” Jawab anak-anak semua.
Darah
dan sumsum tulang belakangku di ambil sedikit dan dicocokkan dengan milik
Latifa. Setelah itu aku tertidur karena merasa tubuhku melemah.
3
jam kemudian. “Dokter. Imad benar-benar hebat. 7/8 dari criteria kecocokan HLA
mereka sudah tepat. Ini, sungguh keajaiban. Padahal mereka bukan saudara.” Ucap
Ivfas pada sang dokter.
“Ya.
Ini memang keajaiban.” Jawab sang dokter.
“Dok.
Aku akan mengabarkan ini pada teman-teman Imad.”
“Ya.
Silahkan.” Sang dokter mengijinkan.
Ivfas
segera mendatangi teman-temanku di ruang tunggu.
“Fas.
Bagaimana?” Tanya Mbak Rianti.
“Ya
. . . Imad adalah Latifa, Latifa adalah Imad . . . Mereka ajaib dan sama, jadi
HLA mereka cocok.” Jawab Ivfas bahagia.
Semua
terlihat senang, sampai-sampai Rika dan Mbak Rianti meneteskan air mata tanda
bahagia. Tapi operasi ini belum tentu berhasil 100%. Semua perlu proses sampai
akhir, sampai masa pemulihan darah Latifa.
Sore
hari, operasi pencangkokan ini dimulai. Sel-sel darah Latifa yang terkena
kanker dan yang menghasilkan kanker dimatikan dengan radiasi sinar gamma. Lalu
sel sumsum tulang belakangku ditanam di tulang belakang Latifa agar
menghasilkan sel darah baru yang sehat. Golongan darah Latifa yang
tadinya A,
akan berubah mengikuti milikku yang golongannya . Untung saja darah A
Latifa bisa menerima darah 0-ku sesuai dengan penggolongan darah. Kata dokter,
Latifa akan pulih satu minggu lagi, mungkin tepat saat badai salju besar
mereda.
Aku
juga perlu pemulihan sel-sel tulang belakangku setelah operasi ini selesai.
Untuk itu, aku dirawat di ruang yang sama dengan Latifa, ruang 36. Dokter
menyarankan agar aku banyak tidur dan minum obat penambah darah. Alhamdulillah,
dengan ini, akhirnya belenggu leukemia Latifa telah terpatahkan.
Malam
hari jam 00.00 tepat, Latifa terbangun dari tidur panjangnya. Dia melihat Imad
tertidur diranjang sebelahnya.
“Mad,
Imad? Kau sakit?” Tanya Ifa pelan.
Aku
membuka kedua mataku yang dari tadi tak mampu tertidur.
“Nggak
kok. Wah, kau sudah terbangun ya Fa.”
Tiba-tiba
air mataku terasa ingin keluar. Aku merasa sangat senang dan semua rasa
khawatirku langsung lenyap tertiup wajah manis Latifa.
“Mad.
Kenapa kamu? Kau menangis?” Tanya Latifa sembari bangkit.
“Ya
Fa. (Akupun bangkit dan kami berdua berhadapan) Fa, Latifa. (Aku berdiri dan
memeluk erat Latifa) Jangan buat aku khawatir lagi.” Ucapku lembut.
Latifa
tidak tahu apa saja yang telah terjadi. Wajahnya sedikit bingung.
“Maafkan
aku ya Mad.” Balas Latifa pelan.
“Ya.
Aku juga minta maaf. Jangan pergi lagi ya Fa.”
Latifa
tersenyum kecil. “Aku sayang kamu Mad. Aku takkan pergi lagi.”
Kami
berdua saling menatap, sejenak, lalu wajah kami perlahan mendekat. Latifa
tiba-tiba menutup matanya, akupun menyusulnya.
8
cm, 6.5 cm, 5 cm, wajah kami semakin mendekat. 3 cm, 2 cm . . . 1 cm.
“Fa.”
Aku memanggilnya sebelum ini berdosa. Ifa langsung saja membuka matanya yang
cantik.
“Sssstttt.”
Aku mendesis lalu menaruh jari telunjukku di depan mulut Ifa.
Ifa
tersenyum kecil lagi. “Mad. Bolehkah aku, menci . . . ?”
“Eh.
Jangan Fa. Nanti dosa lowh.” Aku memotong dengan cepat.
“Mencintaimu?”
Ucap Ifa sambil mencium jari telunjukku.
Aku
terdiam. Sedikit salah tingkah, salah pengertian.
“Boleh
Fa. Sangat boleh.” Jawabku sambil tersenyum malu.
“Terimakasih
Mad . . . Eh Mad. Aku merasa tubuhku sangat nyaman dan hangat sekarang. Apa
sesuatu telah terjadi?” Tanya Ifa.
“Kau
pingsan beberapa jam Fa.” Jawabku sedikit berbohong.
“Owh.
Maafkan aku. Aku merasa kelelahan dan sangat kedinginan hingga tubuhku terasa
berat dan aku akhirnya tak sadarkan diri Mad.”
“Ya.
Tak masalah. Lebih baik kau istirahat saja Fa.” Aku menasehati.
“Ya.
Thanks Mad.” Jawab Ifa.
Syukurlah
kami nggak kelewatan, padahal sudah nyaris kedua mulut kami bertemu di sini, di
tempat penuh perjuangan kami berdua, perjuangan untuk tetap hidup. Entah kenapa
kematian serasa menjauh dan kami merasa semakin terhubung dan terikat sama lain
karena darah Latifa telah mewarisi darahku.
“Mad.
Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu kamu berbohong tadi.” Minta
Latifa pelan.
“Fa,
kamu kena leukemia dan aku mencangkokkan sel sumsum tulang belakangku untukmu.
Sekarang kau sudah sembuh kok Fa. Tenanglah.”
Tiba-tiba
Latifa menangis. Akupun hanya menunggunya berhenti. Aku tahu, dia pasti akan
seperti ini saat aku menceritakan kebenaran yang terjadi.
“Kenapa
kau sampai begitu? Bukannya itu juga mengancam hidupmu Mad?” Tanya Latifa
sembari menyeka air matanya dengan tangannya.
“Karena kamu sangat berharga, kau harus
dijaga, meski akan sangat sakit bagiku, semua bisa sembuh saat melihat kau
tertawa.” Jawabku lebay.
“Sebenarnya
siapa yang membuat kamu begini?”
“Aku
diutus Fa. Rasa cintaku padamu dari Allah terus berteriak padaku untuk
melakukan ini.” Jawabku sambil tertawa kecil.
“Alhamdulillah.
Kamu memang utusan terbaik dari Allah untukku Mad. Aku tak tau harus bilang
apa, kau seolah memberi darah baru padaku. Terima kasih banyak.” Ucap Latifa.
Tiba-tiba dia memelukku.
“Ya.
Sama-sama. Yang paling penting, kau selamat Fa. Semua dari Allah kok.” Balasku
cepat.
“Ya.
Darahmu ini, terasa aneh di tubuhku Mad.” Ujar Latifa sambil memegang dadanya.
“Benarkah?
Kau mewarisi darah terbaik lowh Fa.”
“Ya.
Memang, darah 0 ini sangat baik dan juga baik hati. Tapi darah 0 milikmu sangat
berbeda. Aku senang sekali, memiliki orang yang berani mempertaruhkan dirinya
demi aku.” Puji Ifa padaku.
“Ehm.
Ya. Karena aku tau, kau pasti butuh aku Fa. Begitu sebaliknya.”
“Entah
mengapa, kata-kata cinta dan sayang saja masih kurang untuk dirimu Mad. Kau
benar-benar spesial.” Ucap Latifa mesra.
“Ayo,
kita lanjutkan janji kita Fa.” Bisikku pelan.
“Ya
Mad. Ayo . . .” Balas Latifa semangat. ”--
Air
mataku berjatuhan di lembaran cerpen Amalia. Aku tak mengerti mengapa aku
menangis. Tanganku bahkan ikut gemetar. Cerita ini seolah sudah mencerminkan
kejadian yang ada sekarang. Amalia seperti sudah melihat hal ini. Imad dan
Latifa, darimana Amalia mendapatkan nama-nama insan yang mulia ini. Pikiranku
langsung berubah, aku belum boleh menyerah, aku harus bercermin pada Imad. Aku
yakin, Imad adalah aku yang ada di dalam cerita pendek yang dibuat istriku.
Latifa adalah Amalia yang selalu mencintai Imad dan juga aku.
Aku
segera berlari masuk ke dalam rumah sakit sambil membawa naskah ajaib milik
Amalia tadi.
“Dokter.
Aku sudah putuskan, aku akan mencangkokkan sumsum tulang belakangku untuk
mengobati leukemia Amalia.” Ucapku sedikit tergesa-gesa begitu aku masuk ke
ruangan Amalia.
“Tapi
kita harus memeriksa apakah HLA milikmu cocok dengan HLA milik Amalia atau
tidak.” Balas sang dokter.
“Ya,
silahkan, tapi aku sangat yakin, aku, tulang belakangku, darah dagingku, adalah
anugrah dari Allah, dan mereka semua untuk Amalia juga.”
.
. . . . . . . . .
Keajaibanpun
terjadi, semua yang ditulis oleh Amalia terwujud. Sangat mirip detailnya. Darah
Amalia-pun menjadi 0 mengikuti darahku.
.
. . . . . . . . .
Jam
00.00 Amalia terbangun, akupun sudah menunggunya.
“Mas
Iqbal. Di mana ini?” Tanya Amalia yang masih setengah sadar.
“Di
rumah sakit. Kamu pingsan dan aku membawamu kemari Sayang.”
“Aku
sakit apa?”
“Nggak
parah kok. Kamu kelelahan saja.” Jawabku berbohong.
“Eh,
Mas. Itu kan . . .?” Amalia menunjuk map merah bata yang aku bawa.
“Ya,
ini karyamu kan Dik? Kau begitu hebat ya Dik.” Ucapku memuji.
“Jangan-jangan.
Aku leukemia ya Mas?” Tanya Amalia sedikit kaget.
“Hehehe.
Ya, tapi kamu sudah sembuh kok. Kamu telah mengobati dirimu sendiri. Aku
hanyalah perantara kesembuhanmu.”
“Nggak
Mas. Aku sudah tahu, kamu akan melakukan hal yang hebat untukku suatu hari
nanti. Ternyata ini ya. Terimakasih banyak Mas Iqbal.”
Aku
langsung bangkit, dan memeluk Amalia dengan sangat erat.
“Sama-sama
Dik Amalia. Aku pasti akan menjagamu.” Bisikku lembut.
“Ya,
aku sangat mencintaimu Mas.”
Tiba-tiba
tangan Amalia memegang kedua pipiku. Wajahnya mendekat padaku. Akupun
mendekatkan tubuhku padanya. 10 cm, 5 cm, 0 cm . . . Ciuman yang aku sangat
nantikan akhirnya kami lakukan dengan pelan dan mesra.
“Aku
juga sangat mencintaimu Dik.” Ucapku pelan sesaat setelah mulut dan pipi kami
berpisah.
“Mas,
ayo kita selesaikan janji kita segera.” Ajak Amalia.
“Ya.
Ayo . . .”
PROFIL
PENULIS:
Muhammad
Iqbal Imaduddin, lahir di Bojonegoro pada 20 Oktober 19914. Hobby menulis, membaca
dan bermain game. Untuk menghubungi Iqbal bisa ke emailnya :
imadshinn.yukikolatifa@gmail.com
***
*** ***
Setiap karya yang kami
publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap
mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang
di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
1 komentar untuk "CERPEN: "Keajaiban Cerita Merah Bata" By: Muhammad Iqbal Imaduddin"