Luka
By: Fikry Hasyim
Salah
jika aku ingin dicinta? Salah jika aku ingin dimanja dan dikasihi? Salah
jugakah jika aku ingin mendapatkan kasih sayang dari orang yang telah
mengikrarkan janji sucinya kepadaku? Mungkin salah, karena aku mengharapkan
semua itu dari dia yang ucapnya hanya sampai di bibir tanpa bisa terus meresap
lalu mengendap ke dalam relung.
Kejutan
manisnya, sapaan hangatnya di pagi hari, lelucon jenakanya yang selalu
membuatku tersenyum, bahkan kata-kata puitisnya yang sering ia rangkai sebelum
mataku terpejam di malam gelap, begitu apik ia merangkai semuanya menjadi
topeng kesatria srigala biru. Ia menyembunyikan wajah aslinya dibalik paras
sang pangeran tirta. Menawan. Mempesona. Aku tertipu.
Ingin
rasanya aku berteriak mencaci, meracau di depannya, seraya berkata, ‘kamu
bajingan Andreeee!’ Tapi untuk apa, semua cercaku pasti kan ditampik dengan
segala pembelaan egonya. Mulut
besarnya akan dengan mudah mematahkan rasa kecewaku yang mendalam hanya dengan
beberapa kata. Ya, beberapa kata saja. Itulah lelaki, mereka selalu begitu…
***
“Nabilaaa,
tunggu! Aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Apa yang kamu lihat tadi tidak
sepenuhnya sama dengan apa yang kamu pikirkan.” Andre terus berlari mengikutiku
sambil meneriakkan
kata-kata agar aku berhenti dan mendengarkan semua alasannya.
Aku
tak peduli.
Hujan
deras di tengah malam tak menyurutkan langkahku untuk berlari dan berlari.
Gemuruh angin dan hantaman geledek tak sedikitpun membuat nyaliku ciut menembus
gulita dengan pasti. Aku benar-benar muak dengan kejadian malam ini. Meski
lelah, kupaksakan kakiku untuk terus mengambil langkah demi langkah.
“Nabilaaa,
tunggu!” Andre masih mengejarku. Pikiranku kalap. Yang kumau sekarang hanya
pulang ke rumah orang tuaku. Aku rindu Ibu.
“Taksiiii!”
Kupanggil taksi yang sedang berjalan pelan ke arahku, sambil sesekali menoleh
kebelakang, memastikan bahwa jarak Andre cukup jauh dariku.
Dengan
sigap dan agak tergesa aku masuk ke dalam taksi tersebut, “jalan, Pak!” Setelah
taksi melaju, aku melihat Andre dari balik kaca sedang berhenti
tersengal-sengal, ia mengatur napasnya dengan sedikit merunduk di sisi
trotorar.
Bibirku
kelu, badanku basah kuyup, otakku sudah tidak bisa mencerna lagi kejadian yang
barusan aku lihat di rumah. Semua begitu cepat. Dalam hatiku berharap semua
hanya mimpi. Tapi ternyata tidak. Semua begitu nyata dan tegas menyapaku.
Mungkin, ini adalah akhir dari kisah rumah tanggaku yang hanya seumur jagung.
Perjalanan
tugasku ke Medan dibatalkan. Aku pulang ke rumah tepat jam 10.00 malam. Sungguh
tak disangka. Dibalik semua itu ada sekenario Tuhan yang
ingin Ia sampaikan.
September
kelabu. Rasanya judul lagu tersebut sangat cocok disandingkan dengan kisahku
yang suram. Sungguh sebuah akhir yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Bulan ini tepat bulan ke enam aku menjalani sebuah mahligai rumah tangga
bersama orang yang sudah kutancapkan akan kucintai seumur hidup. Tetapi awal
yang indah, ternyata tidak bisa menjamin mulusnya jalan.
Andre.
Seorang wiraswasta mapan yang melamarku enam bulan yang lalu. Parasnya yang
tampan, serta latar belakang keluarga yang baik cukup, bisa meluluhkan hatiku
dan keluargaku, meski baru kali itu aku mengenalnya secara langsung ketika ia
datang melamar. Sebelumnya, aku hanya mengenal profilnya sekilas dari
penjelasan pamanku. Cukup baik, makanya setelah lamaran, tanpa jeda waktu yang
panjang pernikahan kami pun berlangsung.
“Ini
kita mau kemana ya, Bu?” Sapaan supir taksi di tengah rintik hujan menyadarkan
lamunanku. Aku terhenyak, kemudian mencoba meraba-raba kembali pertanyaan supir
taksi tersebut, aku masih trauma, “hmm, kita ke arah Depok, Pak. Margonda,”
jawabku singkat.
“Bisa
minta tolong turunkan sedikit cooler AC-nya, Pak. Saya kedinginan.” Pintaku
kepada sopir taksi. Pandanganku kosong ke luar. Jalanan terlihat sepi sekali,
hanya beberapa mobil yang masih lalu lalang di tengan malam seperti ini.
Entah
mengapa lajunya taksi terasa pelan dan tidak kunjung sampai. Padahal jarak
antara rumahku yang berada di bilangan Cibubur dengan rumah Ibu tidak terlalu
jauh. Suasana hatiku yang kalut menyebabkan semua begitu melambat. Sudah tidak
sabar rasanya ingin cepat bertemu dengan Ibu. Hanya kepadanyalah aku bisa
berbagi keluh kesah, setelah malaikat penjagaku lebih dulu pergi meninggalkan
Ibu di bulan pertama usia pernikahanku.
Jam digital di dashboard taksi menunjukkan pukul 10.30 am.
Kurang lebih setengah jam yang lalu kejadian itu menimpaku. Dan seketika
bayangan akan kejadian tadi terekam jelas berbayang di memori kepalaku. Sungguh
memilukan. Wanita mana yang tidak tersayat hatinya, melihat orang yang ia
cintai mengkhianatinya di rumahnya sendiri. Hatiku remuk.
Layaknya
seorang wanita yang telah dinikahi, aku ingin menjadi seseorang yang bisa
membahagiakan suamiku tercinta. Menjadi tuan putri di hatinya, dan melahirkan
anak-anak yang pintar hasil buah cinta kami. Pintaku sederhana, aku hanya ingin
mencinta dan dicintai, lalu bersama-sama membangun sebuah istana bernama
keluarga yang bahagia. Tekad yang kubangun di awal pernikahan pun sudah meraja,
menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadanya, dan berusaha saling menguatkan dalam
suka dan duka, adalah niatan tulusku mengabdi kepadanya.
Tapi
semua sirna.
Enam
bulan aku bersabar, selama itu pula suamiku belum mau menjadikan aku wanita
seutuhnya. Entah apa alasannya. Ia hanya bilang bahwa kondisinya tidak
memungkinkan. Ia butuh waktu dan selalu meminta waktu. Dan lagi-lagi sebagai
wanita, aku hanya bisa menunggu dan bersabar, toh selama ini perhatiannya yang
tercurah kepadaku begitu besar, kasih sayangnya juga terasa tulus. Satu
kalimat. Aku bahagia dalam tanda tanya.
***
Rona
kuning lampu jalan, menghias aspal basah menjadi mengkilap indah bak jalan
sutra meruas jingga. Rintikan hujan yang mulai mereda, mengubah kelam yang
tadinya begitu mencekam dengan geretakan petir dan cahaya kilat, menjadi lebih
tentram dan sedikit bersahabat. Aku termenung, mengenang masa indah yang
berakhir luka, sama saja seperti membuat luka baru dan menyiramnya dengan air
garam. Aku luka tapi mencinta. Aku mencintai suamiku dengan segala goresan yang
menorehkan merah di dada.
“Kita
sudah di jalan raya Margonda, Bu. Terus kita mau kemana?”
“Terus
aja, Pak. Nanti lampu merah samping gedung telkomsel belok kanan yaa, Pak. Gak
jauh dari situ kok.”
Sudah
tidak sabar rasanya ingin bertemu Ibu, ingin sekali kuluapkan semua sesakku
dalam peluknya. Aku ingin melepaskan segala gundah yang selama ini mengendap,
dalam belaian hangat titisan surga yang mengalir dari tangannya. Tapi aku masih bingung dengan apa yang
akan aku sampaikan. Meski Ibu tempatku mengadu, untuk masalah ini aku belum
sampai hati menceritakan kepadanya. Ia pasti kecewa dan menitikkan air mata
karenaku. Sebagai anak sulung, akulah yang diharapkan menjadi contoh bagi
adik-adikku dalam membina sebuah rumah tangga.
Tak
lama kemudian, taksi berhenti di depan rumah Ibu. Perlahan aku turun dari taksi
lalu berjalan mendekati pagar rumah. Perasaanku semakin kalut. Tak
henti-hentinya air mata menetes hangat membasahi permukaan pipiku.
Malam
ini tidak seperti biasanya. Lampu ruang tamu depan masih menyala, padahal malam
sudah cukup larut. Sambil masih menitikkan air mata, kupencet bel yang berada
tepat di ujung pagar. Kemudian terlihat adikku Rafa mengintip dari balik
jendela, lalu keluar membuka pintu dengan cepat.
Rafa
datang ke arahku dengan sedikit berlari, “Kak Nabila? Kak Nabila kenapa?”
tanyanya sambil membukakan kunci pagar.
“Ibu
sudah tidur, Raf?” tanyaku dengan suara lirih di sertai sesenggukan.
“Ibu
ada, Kak. Belum tidur, masih wiridan habis sholat witir tadi. Gak biasanya juga
Ibu belum tidur jam segini.”
Aku
dan Rafa masuk ke dalam rumah, setelah ia mengunci pagar kembali. Jantungku
berdebar, dan air mata pun semakin menjadi saat aku memasuki rumah.
“Bu,
ada Kak Nabila, Bu.”
Ibuku
bangun dari tempat sholatnya dan datang menghampiriku yang sudah duduk di sofa
ruang tamu, “Nabila! Kamu kenapa malam-malam begini?”
Kupeluk
Ibuku erat, lalu tumpahlah tangisku dalam rangkulnya. Sungguh pelukannyalah
yang bisa membuatku meluapkan semuanya. Aku belum bisa berucap apa-apa. Hanya
tangis dan tangis yang bisa kucurahkan.
Ibu
membelai lembut kepalaku penuh sayang, “mengangislah, Nak. Menangislah dulu.
Ibu ada di sini.” Mendekapku dalam tangis, membuat Ibu juga meneteskan air
mata. Ia mengerti betul apa yang sedang aku rasakan, walaupun aku belum
bercerita sepatah kata kepadanya.
Puas
sudah aku menangis, dan perlahan sesenggukanku mulai mereda. Kucoba
mengeluarkan kata-kata dari mulutku dengan tertatih, “Ma… Mas Andre, Bu.”
“Mas
Andre kenapa, Nak?”
“Mas
Andre,” aku kembali sesenggukan menyebut nama suamiku.
Ibu
mengusap-usap kepalaku lembut dan terus menenangkanku, “iya, Nak. Ada apa
dengan Mas Andremu?”
“Mas
Andre tidur dengan Rio di kamarku, Bu.”
“Apa?”
Ibuku terkejut, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan.
“Iya,
Bu. Mas Andre tidur dengan Rio. Itu makanya sampai saat ini ia tidak bisa
menyentuhku sebagai istrinya.” Tangisku kembali menderai. Meski luka, aku
merasa sedikit lega telah menceritakannya kepada Ibu.
“Ya
Allah, yang sabar ya, Nak.
Ini ujian bagimu dan bagi kita semua.” Ibu terus menenangkanku.
“Iya,
Bu. Maafkan aku. Rumah tanggaku gagal.”
“Sudah,
Nak. Sudah. Ini bukan salahmu.”
***
28
September 2007. Hari ini aku resmi bercerai dengan Mas Andre, suamiku. Begitu
singkat perjalananku bersamanya. Enam bulan.
Aku
tidak tahu, entah kepada siapa selanjutnya hatiku akan berlabuh. Perjalanan
cinta yang aku impikan hanya sekali seumur hidup berakhir kandas di awal jalan.
Tapi aku yakin semua ada hikmahnya. Rencana Tuhan begitu indah. Perihnya luka
di muka, berarti pertanda tangan-Nya meraihku keluar dari jurang kepedihan yang
lebih dalam.
Aku
ikhlas.
PROFIL PENULIS:
Nama lengkap Muhammad Fikry Hasyim,
kelahiran Jakarta, 1989. Sekarang sedang melanjutkan studi di Al-Ahgaff
University, Hadhromaut, Yaman.Suka mengisi kekosongan dengan menulis di
blog.Pernah menang juara 3 lomba Cerpen yang diadakan Flp yaman dengan judul
cerpen Secangkir Kopi Kemerdekaan. Untuk lebih mengenal Fikry, bisa kepoin
Twitternya @fiki_flame.
***
*** ***
Setiap
karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN: "Luka" By: Fikry Hasyim"