PENANTIAN IBUNDA
oleh: Ayuyu Pertiwi
Jam
menunjukkan pukul lima sore. Seorang wanita tua berumur sekitar 70 tahun sedang
duduk di serambi rumahnya. Pandangannya yang sudah mulai kabur menatap ke jalan
raya di depan rumahnya. Keningnya berkerut dan matanya menyipit. Ia berusaha
melihat jelas setiap orang yang lalu lalang. Jalan itu juga dilalui banyak
kendaraan yang melintas berlawanan arah, mulai dari sepeda ontel hingga mobil.
Kebisingan jalan raya itu membuat pendengaran si ibu sudah mulai tumpul.
Rambutnya yang memutih telah menjadi saksi perubahan zaman.
“Bu,
masuk, yuk!” Terdengar suara seorang wanita lain di balik pintu. Sang Ibu tidak
memedulikannya. Ia masih sibuk memerhatikan setiap kendaraan dan orang-orang
yang lewat di depan rumahnya. Wanita itu datang menghampirinya. Usianya 40
tahun, namun kecantikannya tetap terjaga. Mereka tinggal berdua di rumah
“setengah modern” bertingkat dua itu. Diulanginya ajakannya, “Bu, hari sudah
senja. Sebaiknya ibu masuk saja.”
Dengan
wajah memohon, ditatapnya anak bungsunya itu. “Biarkan Ibu di sini sebentar
lagi, Nak,” ucap sang Ibu. Anaknya hanya bisa menghela napas panjang. Ia
sebenarnya tidak tega memaksa ibunya masuk. Akhirnya ia ikut menemani ibunya di
serambi mungil itu. Ibu merasa kesepian jika sudah berada di dalam rumah.
Karena itulah setiap sore ia menyempatkan diri untuk duduk di serambi rumahnya
melihat hiruk-pikuk jalan raya. Selain itu, tetangganya juga sering menyapanya.
Dengan begitu, si nenek tidak merasa kesepian lagi.
“Kenapa
Ibu selalu memperhatikan setiap orang yang lewat?” tanya Rosma pada ibunya. Ia
merasa heran dengan gerak gerik ibunya yang tidak biasa. Ibunya seakan-akan
mencari seseorang di antara puluhan orang yang lalu lalang di depan rumahnya.
“Ibu
sedang menunggu abangmu, Nak. Mungkin saja hari ini dia akan datang. Ibu tidak
sabar ingin memeluknya,” jawab Ibu.
Rosma
memiliki empat orang saudara. Abangnya, Dul, merupakan satu-satunya saudara
laki-lakinya. Ia sudah pergi merantau sejak duduk di bangku SMP. Sedangkan
Rosma dan ketiga saudaranya yang lain tinggal di kota yang sama meski
kampungnya berbeda. Ibu sangat menyayangi Dul seperti ia menyayangi
anak-anaknya yang lain. Namun, rasa sayangnya itu telah lama dipendamnya
seiring lamanya Dul merantau. Rasa sayangnya hanya bisa diluapkan ketika Dul
pulang ke kampung halamannya. Kecintaannya terhadap sang anak terkadang
membuatnya menderita. Meskipun jadwal makan Ibu teratur, tapi makanannya tidak
pernah lebih dari setengah piring setiap kali makan. Itu semua karena ibu
terlalu memikirkan Dul sehingga diri sendiri terabaikan.
Rosma
tahu kalau ibunya sangat menyayangi Dul. Tetapi, baru kali ini dia melihat
ibunda tidak sabar menanti kedatangan abangnya itu. Dahulu, Dul muda hanya
sempat pulang kampung setiap lebaran tiba. Mungkin ibu berharap tahun ini Dul
mengajak keluarga kecilnya pulang kampung tahun ini. Akan tetapi, waktu itu
bulan Ramadhan masih sekitar lima bulan lagi. Firasat buruk melintas
dipikirannya, namun Rosma mencoba menepisnya.
***
“Ibu,
Ayah, Dul mau sekolah di luar kota. Boleh, ya?” Dul kecil membujuk orangtuanya
kala itu. “Tapi kamu masih kecil, Nak. Ibu tidak mungkin membiarkanmu merantau
seorang diri.” Ibu menolak permintaan anaknya itu. “Dul bisa jaga diri kok, Bu.
Dul kan laki-laki. Dul kuat kok, Bu,” kata Dul serius. Diperlihatkannya
otot-otot kecilnya untuk meyakinkan sang ibu. Ibu tertawa kecil melihat tingkah
si Dul.
“Baiklah,
Dul. Kamu Bapak izinkan untuk sekolah di luar kota,” kata ayah Dul memutuskan.
Sejak tadi ayah tampak serius memikirkan permintaan Dul. Keputusannya itu
membuat ibu dan Dul terkejut. Ibu terkejut karena tidak menyangka suaminya akan
melepaskan anak laki-lakinya itu. Sedangkan Dul terkejut karena tidak menyangka
bisa mendapatkan izin dari sang ayah. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka
saking shock-nya. “Horeeeeee!!” Tiba-tiba suaranya memecah keheningan. Ia
bersorak gembira.
Ibu
menatap ayah dengan penuh tanda tanya. Ia masih terkejut. Kedua tangannya
menengadah, meminta penjelasan dari sang suami. Ayah hanya tersenyum dan
berkata, “Melarangnya hanya akan membuatnya sulit berkembang. Selama itu baik,
untuk apa dilarang?”
Ibu
mengernyitkan dahi, “Apa pertimbangan ayah sampai Dul dibolehkan merantau?”
Ayah
hanya tersenyum dan berkata, “Dul anak yang tangguh. Dia pasti bisa mandiri.
Dia akan sukses di sana.”
Darah
serasa mengalir deras dalam tubuh ibu. Ibu ingin marah kepada ayah atas
keputusan yang sepihak itu. Tapi, senyum ayah selalu meneduhkan hatinya. Ibu
tidak jadi marah. Ibu bahkan tidak berkomentar apa-apa. Meskipun begitu, ibu
tetap tidak sependapat dengan sang ayah.
Sebulan
setelah itu, Dul akhirnya didaftarkan ke sebuah pesantren terkenal di ibukota.
Sejak ayah memutuskan untuk mengizinkan Dul sekolah di luar kota, ibu terus
mengurung diri di kamar. Ia tidak mau membantu Dul mempersiapkan segala
kebutuhannya. Ia tidak ingin Dul pergi. Setiap malam ia menangis di hadapan
Ilahi. Memohon agar Dul mengurungkan niatnya. Sampai pada hari keberangkatan
Dul, ibunda masih tetap menangis dan tidak mau berbicara dengan Dul. Dul yang
pamitan dengan ibu di kamar ikut bersedih. Bibirnya melengkung seperti bulan
sabit terbalik. Ia tidak ingin melihat ibunya sedih akan kepergiannya, tapi ia
juga ingin mengejar cita-citanya.
“Ibu
tidak ingin melihat Dul berangkat?” tanya Dul ketika pamit kepada sang ibu. Ibu
hanya diam saja. Sudah sebulan ibu merajuk seperti anak kecil. Hanya air
matanya yang menjawab. Dul ikut menangis. Diciumnya kening ibunya lalu pamit
kepada saudara-saudara dan ayahnya.
***
Awal
perantauan Dul tiga puluh dua tahun yang lalu sangat menyiksa hati sang ibu.
Namun, kedatangan Dul setiap bulan Ramadhan selalu menenangkan hatinya meski
hanya sebulan saja. Di tahun ke delapan perantauannya, Dul kesulitan untuk
pulang kampung. Kesibukannya sebagai mahasiswa mulai mengusiknya. Selain itu,
krisis moneter mulai mencekik keuangannya. Kiriman uang untuk Dul juga menurun.
Kerusuhan mulai terjadi di mana-mana akibat krisis tersebut. Ayah Dul meninggal
beberapa bulan kemudian akibat terjebak dalam kerusuhan parah sepulang kerja.
Dul yang berduka berusaha untuk pulang melihat ayahnya untuk terakhir kalinya.
Bertahun-tahun kemudian Dul mulai jarang pulang ke kampung halamannya.
Kesedihan ibu karena ditinggalkan oleh sang suami semakin bertambah karena Dul
sudah jarang pulang.
Sejak
saat itu, ibu terus menangis. Meskipun Dul jarang pulang, ia tetap berusaha
menelepon sang ibu setiap bulan. Namun, suara Dul hanya membuat ibu semakin
merindu. Kerinduan yang memilukan. Ibu sangat berharap anak-anaknya bisa
berkumpul bersamanya di sini. Tapi, ibu tidak pernah mengabarkan kesedihannya menanti
kedatangan Dul. Ibu bahkan melarang Rosma untuk menyampaikan keadaannya kepada
Dul. Ibu tidak mau memaksa Dul untuk mengunjunginya. Rosma hanya bisa menuruti
perintah ibunda. Kalau tidak, ibu mengancam tidak mau lagi berbicara dengannya.
***
Bertahun-tahun
menanti sang anak membuat ibu tidak memikirkan kesehatannya. Untung ada Rosma
yang menemaninya dan memerhatikan kondisi sang ibu. Saudara-saudaranya yang
lain sudah menikah. Rosma juga sudah menikah, namun ia terpisah jauh dari sang
suami karena urusan pekerjaan. Dua bulan sekali suaminya datang mengunjunginya.
Rosma tidak berniat punya anak. Ia hanya ingin menemani sang ibu sepanjang
hidupnya. Ia bahkan mengizinkan suaminya untuk menikah lagi jika ingin
mempunyai keturunan. Namun suaminya menolak.
Dul
juga sudah menikah. Pernikahannya enam belas tahun lalu dilaksanakan di kota.
Ia hanya mengundang keluarganya untuk datang ke sana. Ibu juga ikut menghadiri
pernikahannya. Ibu turut berbahagia atas pernikahannya. Akan tetapi, ia hanya
mampu melepas rindu pada hari bahagia itu. Keesokan harinya ibu memutuskan
untuk pulang. Ibu tidak betah berlama-lama tinggal di kota. Perpisahan antara
Ibu dan Dul saat itu sangat mengharukan. Ibu tak berhenti menangis dan memeluk
anaknya yang kini menjabat sebagai direktur perusahaan ternama. Dul yang selama
ini tampak tegar juga turut menangis. Dul memeluk sang ibu. Ia meminta maaf
karena kesibukannya membuatnya sulit untuk bertemu sang ibu. Ibu tersenyum
dalam haru. Ia bersyukur Tuhan tidak mengabulkan permintaannya dulu. Ternyata
Tuhan ingin membuat Dul sukses melalui jalan ini. Kalau Dul tidak merantau, ia
takkan bisa sesukses ini.
***
Setelah
pesta pernikahan Dul, ibu belum pernah lagi bertemu dengannya. Dul terlalu
sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ibu tetap yakin bahwa anaknya itu akan datang
menengoknya. Rosma hanya bisa berdoa untuk ibu dan abangnya agar mereka bisa
dipertemukan kembali.
Dari
hari ke hari kesehatan ibu menurun. Ibu seharusnya beristirahat di kamarnya.
Tapi ia tetap memaksakan diri untuk duduk di serambi rumahnya menanti
kedatangan sang anak. Meskipun Rosma melarangnya, ibu tetap tidak mau bergeming
dari tempat duduknya. Dari pagi sampai sore ibu terus menanti kedatangan Dul.
Semakin lama kerinduan ibu pada Dul semakin menjadi. Air matanya tidak pernah
berhenti mengalir karena Dul belum juga datang. Akibatnya, kedua matanya
semakin sulit untuk melihat.
Pada
suatu pagi, terdengar suara dari kamar ibu. Rosma yang sedang berada di dapur
segera berlari ke sana. “Astagfirullah, Bu!! Kenapa ibu bisa jatuh??” tanya
Rosma panik. Ibunya tergeletak di atas lantai. Tempat tidur ibu tidak begitu
tinggi. Beruntung, ibu tidak terluka. Namun, sekujur tubuhnya kesakitan. “Ibu
mau keluar, Nak. Tapi badan Ibu terasa berat, ” jawab ibu sambil berusaha untuk
berdiri. Rosma membantunya untuk berdiri. Ia bermaksud untuk menaikkan ibu ke
tempat tidur. Tapi sang ibu menolak. Dilepaskannya tangan Rosma dari lengannya.
Ibu berusaha untuk menjangkau pintu kamar sendirian. Namun, ibu terjatuh lagi.
Kakinya sudah tidak mampu lagi menumpu tubuhnya untuk berjalan. “Bu... Ibu di
kamar saja. Kalau abang datang, nanti Ros langsung ajak abang ke kamar Ibu,”
janji Rosma. Ibu yang tidak sanggup berjalan akhirnya mau menuruti kata-kata
Rosma. Rosma membantu ibunya kembali ke tempat tidur.
Setelah
ibu berbaring, Rosma mengambil telepon untuk menelepon abangnya di kota. Ia tak
sanggup lagi melihat kondisi ibunya yang semakin melemah akibat kerinduannya
yang teramat dalam. Kerinduan telah merampas hati dan pikiran sang ibu. Doa-doa
yang dipanjatkan ibu hanya untuk bertemu dengan anaknya. Anak yang semasa
kecilnya selalu ikut bersama ibunya ke mana pun ia pergi. Anak yang dulu
dinantikan kelahirannya karena merupakan satu-satunya anak lelaki sang ibu.
Setelah
berulang kali menelepon abangnya, akhirnya ada yang menjawab teleponnya di
seberang sana.
“Halo,
bang Dul?” ucap Rosma memulai pembicaraan.
“Maaf,
ini dengan siapa?” Suara pria di seberang sana terdengar asing baginya.
“Saya
Rosma, adiknya bang Dul. Apa benar ini rumah bang Dul?”
“Iya,
benar. Tapi Pak Dul dan keluarganya sudah tidak tinggal di sini lagi.”
“Kalau
boleh tahu, beliau sekarang tinggal di mana?”
Pertanyaan
Rosma membuat orang itu terdiam.
Mungkin
dia sedang mengingat-ingat alamat baru Abang, pikir Rosma. Kemudian, suara di
seberang sana terdengar lirih.
“Pak
Dul dan keluarganya meninggal sebulan yang lalu, Bu. Hiks... Hiks...”
Kata-kata
orang itu membuat suasana menjadi hening. Rosma terkejut. Kalau dipikir-pikir,
Dul memang tidak pernah menelepon sebulan ini. Rosma mengira waktu itu kakaknya
sedang memiliki banyak kesibukan. Lagipula, Dul memang sudah jarang menelepon
sejak ia punya pekerjaan.
“Anda
bohong, kan? Anda ini siapa? Kenapa Anda bohong sama saya?” Rosma yang tidak
percaya malah memarahi lelaki di seberang sana.
“Saya
tidak bohong, Bu. Saya ini supirnya Pak Dul. Minggu lalu Pak Dul berniat untuk
pulang kampung. Beliau tidak ingin saya ikut. Beliau hanya ingin pergi bersama
keluarganya. Tapi, mereka malah mengalami kecelakaan beruntun. Mobilnya hancur
dan tidak ada seorang pun yang selamat. Ponselnya juga hancur berkeping-keping.
Kami tidak tahu bagaimana caranya menghubungi keluarga Pak Dul di kampung,”
tukang kebun itu menjelaskan sambil terisak. Tangis Rosma pun pecah. Ia tidak
tahu bagaimana menyampaikan kabar buruk ini pada ibunya.
Sebulan
yang lalu. Hari ketika ibu tiba-tiba tidak sabaran menanti kedatangan anaknya.
Sejak saat itu, kerinduan ibu semakin besar. Kerinduan yang dipendamnya selama
ini seakan tak terbendung lagi dalam tubuh kurusnya. Ternyata, firasat ibu akan
kedatangannya memang benar. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa Dul dan
keluarganya tidak akan sampai ke tempat tujuan. Rosma bahkan tidak mengira
firasat buruknya yang menjadi kenyataan.
Rosma
mencoba menemui ibunya. Di kamar itu, ibu terlihat tersenyum di atas
perbaringannya. “Oh, anakku. Dari mana saja kamu? Kenapa baru datang kemari?
Ibu sangat merindukanmu.” Kelihatannya ibu sedang berbicara dengan orang lain.
Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Tangis Rosma semakin menjadi melihat
ibunya berkhayal. “Siapa ini? Anakmu? Dia cantik seperti ibunya,” kata ibu
sambil menunjuk ke depan. Rosma mendekati ibunya. Dipeluknya sang ibu sambil
menangis. Ia tidak jadi menyampaikan kabar buruk kespada ibunya. “Ros, lihat
abangmu. Dia sudah datang bersama keluarganya. Lihat keponakanmu ini. Dia
cantik, ya?” Ros hanya mengangguk dan terus menangis.
“Ros,
abangmu datang untuk menjemput Ibu. Kamu sebaiknya menemui suamimu. Pasti dia
sangat ingin tinggal berdua denganmu. Sekarang, bang Dul yang akan menjaga
ibu.” Kata-kata ibu membuat Rosma menangis. Airmatanya membasahi baju sang ibu
yang dipeluknya erat-erat. “Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah
mempertemukan hamba dengan anak lelaki hamba. Laa ilaha Illallah, Muhammadun
Rasulullah.” Mata ibu terpejam. Untuk selamanya. Wajahnya cerah dengan senyuman
yang sudah lama tidak ditampakkannya. Penantiannya telah usai. Rosma panik.
Digoyang-goyangkannya badan ibunya, tapi tidak ada respon sama sekali.
Diperiksanya denyut nadi dan detak jantung sang ibu, namun hasilnya
nihil.
“IBUUUUUUUU!!!!!!!!!!!!”
Rosma berteriak sekeras-kerasnya. Ia berpikir mungkin ibunya akan terbangun
mendengar suaranya. Tapi, hasilnya tetap sama. Ia takkan pernah bisa lagi
membangunkan ibunya. Ibu telah pergi bersama abangnya. Kini, penantian sang
ibunda telah berakhir. Untuk selamanya. []*
*)Cerpen ini pernah diterbitkan dalam antologi "Merindu Sang
Cinta" terbitan Deka Publishing
BIODATA PENULIS:
Ayuyu Pertiwi – nama pena dari Ayu Pertiwi, penulis kelahiran
Makassar 8 Februari 1992. Karena kesenangannya membaca buku, ia mulai tertarik
dalam dunia kepenulisan sejak tahun 2010. Penulis dengan senang hati menerima
komentar, kritikan, dan saran via email: yuphehimura@gmail.com,
facebook: www.facebook.com/ayuhimura, atau
twitter: @yuphehimura.Kunjungi juga blognya di
http://yuphehimura.blogspot.com.
***
*** ***
Setiap
karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Penantian Ibunda" By: Ayuyu Pertiwi"