TTahukah kalian bahwa perbedaan yang ada pada diri manusia
sebenarnya adalah pelengkap untuk orang disekitarnya ? Bayangkan bila semua
manusia memiliki kehidupan yang sama persis, apa rasanya ? Dan semua perbedaan
yang mengalungi pribadi seseorang sebenarnya bisa menyempurnakan sesuatu.
Oleh : Yazhume
SATU
(SAUDARA, TEMAN, BUDAYA)
"nduk*, cepat dandannya ya. Sebentar lagi kita
mau berangkat. Acara lamaran mas* mu kan mau dimulai. Ibu tunggu dibawah
ya" peringatan untukku segera bersiap terucap dari mulut ibuku yang memang
sedang bergegas menuju acara lamaran Mas Tomo. Romo dan ibu telah berada
di mobil, menungguku dan mas Tomo.
Perkenalkan namaku Gendis Adikirana Putri Agung
Widoyodiningrat. Diantara nama yang begitu panjang bagai kereta api, panggil
saja aku Gendis. Bisa ditebak kan asalku darimana? Benar sekali, keturunan
keraton yang sehariannya memaksaku untuk berkelakuan anggun layaknya miss
universe. Gelar darah biru yang telah melekat erat ternyata bukan jaminan
untukku bisa bebas seperti yang lain.
"baik mbok, Gendis ke mobil sekarang"
segera kujepitkan sanggul ke kepalaku. Ku rapikan kebayaku dan kukenakan high
heels pada kedua kakiku. Beres.
Dikeluargaku semua tentang jodoh itu urusan orangtua. Mereka
yang mengarahkan, mempertemukan, lalu dilamar. Kakak laki-laki yang kini akan
menjalani proses lamaran sebenarnya juga dijodohkan. Ya sebagai anak kita sih
nurut aja. Meski hati ini bosan juga. Mobilku sampai di sebuah rumah sederhana,
namun teduh dengan adanya bebungaan di halamannya. Sepasang suami istri pemilik
rumah itu menyambut kedatangan kami. Tak lama keluarlah dara ayu dibelakangnya.
Kemudian acara sakral itu dimulai. Perkenalan orangtua,
perbincangan ringan sampai penyerahan lamaran. Aku benar-benar merasa bosan.
Bisakah aku keluar dari perkumpulan orang-orang yang sama satu sama lain.
Sepertinya darah keraton ini tak pantas padaku. Acara lamaran selesai. Sebagai
wanita harus menjalani masa pingitan, yaitu tidak boleh keluar rumah sampai
acara pernihakan dilaksanakan.
Hari terlalu cepat berganti. Waktu sepertinya tak sabar
menunggu. Setelah pernikahan mas Adji Ananda Tomo Widoyodiningrat dengan mbak
Raden Ajeng Almira Wening Sudrajat berjalan dengan baik, kini saatnya
giliranku. Romo dan ibu sudah mulai mengenalkan aku dengan keluarga temannya.
Tak bisakah aku memilihnya sendiri ? Jelas sekali permohonanku ditolak
mentah-mentah oleh mereka. Ini tradisi, begitu jawabnya. Aku harus pergi dari
kehidupan yang tak bisa kulalui.
Jakarta, kota yang begitu menawan. Dipagari gedung-gedung
tinggi menjulang. Ditempat ini aku kini berada. Aku kabur dari rumah karena aku
ingin kebebasan. Aku ingin menemukan sesuatu yang berbeda, kekeluargaan yang
bukan mengatasnamakan sebuah peraturan. Dan sekarang, inilah aku.
"Hey sedang apa disitu ? Dengan kebaya pula kau"
seru seorang pria disampingnya. Aku diam, jaga diri agar tidak terkena musibah.
"siapa ? Mau apa kamu dekati aku ? Punya niat jahat
sama aku iya ?" tanyaku was was. Dia menggeleng.
"justru aku disini ingin selamatkan kau dari
orang-orang jahat. Ikut denganku, sepertinya kau bukan penduduk sini" Aku
hanya diam. Tak lama terdengar suara perutku keroncongan. Dia tertawa.
"sudahlah, atas nama Tuhan aku ini orang baik. Akan
kutraktir kau makan"
Aku mengikutinya dari belakang sambil berdoa pada Gusti
Allah agar terlindungi dari berbagai hal buruk. Tibalah kami disuatu gubuk
pinggir rel kereta api. Ada 5 orang disana, 3 laki-laki termasuk pria ini dan 2
perempuan. Sepertinya asal mereka juga berbeda, ada Sunda, Ambon, Padang,
Batak, dan Jawa seperti aku.
"hey Randi, saha iye teh ? Geulis pisan"
tanya wanita berlogat sunda itu, Kanaya namanya, yang maksudnya menanyakan
siapa aku.
"oh
teman-teman kutemukan dia duduk menyendiri diujung sana. Sepertinya dia
tersesat. Hey kita makan dululah" kata pria yang ternyata bernama Randi.
"oh,
namanya siapa ? Lekas ganti pakaian saja. Panas menyengat disini" ujar
pria berlogat Ambon kepadaku.
"namaku
Gendis Adikirana Putri Agung Widoyodiningrat. Tapi panggil aja Gendis"
Mereka ternyata orang baik.
"aku
Euis Kanaya, panggil aja Kanaya" salam gadis asal Sunda.
"aku
Randi Lariosinaga" asal Medan.
"panggil
ambo* Dinda" ujar gadis Padang.
"beta* Berry dari Ambon manise"
"aku
Derry Cahyo Dinoko. Asal Jawa juga?"
"iya, aku kabur dari rumah. Bosan dengan aturan keraton
yang sama. Hidupku harus terpaku sama jadwal tiap hari"
"oalah sama aku juga. Hahaha" kata Derry
Setelah perkenalan itu kamipun mengisi perut yang kosong.
Tempat ini berbeda. Lihat saja dari menu makan yang kita pilih. Derry dan aku
lebih menyukai yang manis, Randy dan Dinda menyukai yang pedas. Kanaya lengkap
dengan sambal terasinya, dan Berry dari Ambon menyukai makanan dari sagu dan
ikan yang bernama pepeda, makanan khasnya. Tapi meski begitu kita tetap sama,
manusia. Dan saat inilah yang aku mau. Aneka ragam berkumpul menjadi satu.
Aku mulai menyukai tempat ini. Suasana kebersamaan dalam
budaya yang berbeda. Randy dan Berry mengajariku bernyanyi dan bermain gitar.
Kanaya juga mengajarkan aku bagaimana membuat sambal terasi dari daerahnya.
Dinda yang ahli menari piring tak lupa mengajariku. Gusti, itu tarian yang
sulit. Untung saja piringnya dari plastik. Aku beruntung bertemu mereka.
Bertemu dengan orang-orang yang mengajariku banyak hal yang sebelumnya tidak
kuketahui.
"teman-teman terimakasih banyak ya kalian sudah mau
berbagi banyak hal yang sebelumnya tak pernah aku lakukan. Maaf ya aku gak bisa
balas apa-apa"
"kata siapa ? Sifat kamu yang melengkapi kekurangan
kita. Kamu itu sabar dan berpikir dengan kepala dingin" kata Derry
"ingatkah
kau saat aku dan Berry bertengkar ? Kaulah yang meredam emosi kami" Randi
pun angkat bicara.
"betul
itu, kalau beta tak kau halangi mungkin muka ini terluka oleh cakarannya"
sambung Berry.
"kamu
juga sabar mendengarkan ceritaku atuh walau kadang teh ada emosi yang
terlampiaskan" kata Kanaya dengan dialek khasnya.
"iya Dis, ambo juga akan ingat nasihat kamu agar
pantang menyerah dan gak terlalu diforsir dalam bekerja" Dinda pun angkat
suara. Aku tersenyum melihat mereka. Kekurangan mereka selama ini dapat
kulengkapi. Inilah kebersamaan yang kucari. Perbedaan yang menyatukan
segalanya.
Mentari menghangatkan tubuhku dari dinginnya suasana malam
yang masih tersisa pagi ini. Aku bangun bersamaan dengan suara deru kendaraan
yang lalu lalang. Bukan kicauan burung lagi yang berseru dipagi ini, melainkan
suara kendaraan yang sibuk di ibukota. Aku tersenyum melihat teman-temanku yang
sedang bersiap.
"hey kalian mau kemana ?" tanyaku. "kita teh
mau ngamen. Mau ikut ?" ajak Kanaya. "apa tak apa-apa ?"
"Ayolah, pasti menyenangkan bersama-sama" kata Randi. Baru kali ini
aku mengamen. Seorang putri dari keraton ikut turun ke jalan untuk menjual
suaranya. "tak perlu kau pakai kebayamu. Pakai saja baju ambo" tawar
Dinda kepadaku, dan senyumku melayang padanya. Setelah siap kami bergegas
menuju jalan raya. Dari satu mobil ke mobil, motor ke motor, bahkan bis juga
kamikunjungi. Namun tiba-tiba Berry berteriak…
"Satpol PP, lekas lari teman-teman. Ada razia !"
Randy, Dinda dan Kanaya terpontang panting bersama Berry. Aku yang masih
terheran diajak Derry untuk berlari. "ada apa ?" tanyaku "razia.
Kalau kamu tertangkap mereka akan menjebloskanmu ke panti" Aku menurut
saja. Berlarian menyusuri jalan raya menuju gang sempit dipinggiran ibukota.
"semangat semua, ayo jangan menyerah" seru Berry. Kita tersenyum
melarikan diri dari petugas itu. Sebuah gedung yang tak terpakai sepertinya
tujuan persembunyian kami. Satu persatu anak tangga kita tanjaki demi
menyelamatkan diri.
"semuanya, kayaknya the udah aman atuh.
Istirahat dulu kasihan Dinda sama Gendis lelah" usul Kanaya yang begitu
perhatian pada teman-temannya disambut baik. Dia mengeluarkan sebotol air
mineral untuk kami.
"lalu kita harus bagaimana ?" tanya Dinda.
"aku tau rute setelah ini. Kita naik ke gedung paling
atas. Disampingnya ada lorong tempat yang biasa untuk pembuangan sampah. Kita
bisa jalan lewat sana" usul Derry. Dia memang terlihat paling bijaksana
dalam memecahkan suatu masalah. Aku baru kali ini merasakan perjalanan yang
begitu bebas. Ini adalah masalah besar bagi mereka, tapi bagiku ini petualangan
hebat !
Kamipun melanjutkan perjalanan kami. "Aduh.."
Kanaya terjatuh. Dinda pun segera memapahnya dan kembali melanjutkan
perjalanan. Sampai diatas kami terhenti pada sebuah lorong pembuangan sampah.
"ya ampun. Banyak ular ternyata, bagaimana kita lari
?" tanya Berry "tenang biar aku yang tangani" Randi
menyingsingkan bajunya dan kemudian memberanikan dirinya membuang ular-ular
itu.
"beres. Ayo semuanya masuk ke lorong ini. Anggap saja
ini perosotan" kata Randy sambil mengawasinya. Kami saling pandang. Tak
lama terdengar suara langkah kaki menuju ke tempat mereka. Itu pasti petugas
tadi. Tanpa membuang waktu kami langsung menuruni gedung melalui lorong itu.
Tak pernah kurasakan sebelumnya. Satu persatu kami keluar dari seluncuran dalam
lorong dan mendaratkan diri di sungai penampungan sampah. Petugas itu tampaknya
menyerah dari atas sana. Selesailah petualangan ini sampai disini dan bergegas
pulang. Tawa berderai dan senandung lagu kecil dinyanyikan sambil menuju
perjalanan pulang. Tapi tak lama sebuah mobil berhenti tepat didepanku. Aku
terkejut siapa yang keluar dari mobil.
"Mas
Tomo ?" kataku meyakinkan.
"Gendis
?" lalu menghampiriku, kemudian memelukku.
"Mas
jauh-jauh cari kamu. Kenapa kamu lari dari rumah ?"
"Maaf
mas, aku cuma mau bebas dari aturan yang gak bisa aku ikuti. Romo dan ibu piye
kabarnya ?"
"baik. Kamu cepat pulang. Romo bilang kamu boleh
memilih calonmu sendiri. Tapi kamu pulang" Kata-kata mas Tomo yang membuat
senyumku mengembang.
Aku memperkenalkan teman-temanku pada mas Tomo dan mengajak
mereka mengunjungi rumahku. "Tapi gimana caranya teh aku pulang ke rumah
?" tanya Kanaya.
"kalian mampir saja dulu, nanti saya antar satu
persatu" ujar mas Tomo. Tawaran diterima dan kini kita bergegas.
Suasana pedesaan yang begitu sejuk kini kurasakan lagi.
Alunan musik Jawa yang menenangkan pikiran ditambah hamparan sawah yang
menyejukan mata. Kami sampai. Semua penghuni rumah berhamburan keluar. Aku
meminta maaf pada romo dan ibu atas kesalahanku. Syukurlah mereka memaafkanku.
Aku menceritakan petualanganku pada mereka. Memang ini tidak ada dalam
peraturan keluarga, tapi mereka tertawa.
Obrolan panjang dari mulut ke mulut membuat waktu tak sabar
menunggu. Meja makan kini terisi berbagai makanan. Ada gudeg, rendang, ikan
goreng, pepeda, sambal terasi, ayam goreng, juga berbagai sayur dan kue. Masih
ingatkan mereka berselera dengan yang mana ?
Proses menjamu tamunya telah selesai. Aku dan Mas Tomo
menepati janji kami yaitu mengantarkan mereka pulang. Dimulai dari Randi ke
Medan, Dinda ke Padang, Kanaya ke Bandung, Derry ke Solo dan Berry ke Ambon.
Kami pun berpamitan. Alamat dan nomor yang bisa dihubungi telah tercatat jika
nanti aku ingin berkunjung. Aku tersenyum lega. Pasti rasa rindu itu akan hadir
di kemudian hari,
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Tertib dan teratur.
Namun ada yang berbeda dari biasanya. Aku lebih terbuka dan lebih tegas dalam
memilih sesuatu. Ini sifat keberanian yang dimiliki Randy. Rasa semangat dan
solidaritas yang dimiliki Berry menular padaku. Sifat peduli kepada sesama dari
Kanaya memberiku arti akan sebuah tenggang rasa. Dinda menginspirasiku
menjadi wanita pekerja keras dan pantang menyerah dan kebijaksanaan milik Derry
kini ada padaku. Ini aku sekarang.
Bel berbunyi. Sepertinya ada tamu penting yang berkunjung.
Mbok Yum memanggil romo dan ibu untuk menemuinya. Benar ternyata itu teman
beliau yang ingin menjodohkanku dengan anak mereka. Aku menuruni tangga untuk
melihat siapa laki-laki beruntung itu. Dan ternyata dia...
"Derry ?" kataku. Pria itu lebih terkejut
"Gendis
?" dia pun terpaku.
Ini saatnya aku mengalami hal yang sama dengan mbak Almira
yang telah menjadi istri mas Tomo. Benar kata pepatah, jodoh itu tak akan
kemana-mana meski kita menghindar sejauh-jauhnya. Aku belajar banyak dari
sebuah perbedaan yang menyempurnakan hidupku. Petualangan itu mempertemukan aku
dengan teman-teman dari berbagai budaya. Dan ternyata jodohku terselip
didalamnya.
Hari istimewa untukku akhirnya diselenggarakan. Aku berhasil
menjalani proses pingitan dimana aku tak boleh keluar dari rumah karena aku
akan menuju pernikahan. Aku menanti kehadiran teman-temanku yang telah kuundang
beberapa waktu lalu. Tak lama orang-orang yang ku kenal berdatangan. Randy, si
Batak yang dulunya tidak bisa mengendalikan emosi kini sukses menjadi sosok
yang lebih tegas dalam mengontrol amarahnya membawakan sebuah kain dari
daerahnya. Kanaya si gadis Sunda yang dulu selalu memendam masalahnya sekarang
lebih terbuka pada sekitar membawakan sebuah angklung. Dinda asal Padang yang
pantang menyerah dan pekerja keras bukan lagi gadis yang pemurung bila usahanya
gagal memberiku hiasan berbentuk rumah gadang. Dan Berry dengan solidaritas dan
pesona Ambonnya menghadiahi sebingkai foto pantai dan kepulauan Maluku yang
mempesona.
Banyak pelajaran yang bisa kuambil dari persahabatan yang
telah kujalani. Kepedulian, kesetiakawanan, kejujuran, kebersamaan, solidaritas
dan banyak lagi. Tapi bagiku satu yang berharga yaitu persaudaraan. Tanpa
mereka aku bukan siapa-siapa. Kekurangan yang ada padaku tak bisa ditutupi
dengan kelebihan yang ada pada mereka, begitupun sebaliknya. Kita memang tak
sama, tapiperbedaan itulah yang membuat kita terlihat sempurna.
Tentang Penulis…
Wanita
yang lahir pada tanggal 21 Maret 1993 ini sangat menyukai
anime dan kebudayaan Jepang.
Eitss
bukannya gak cinta Indonesia lho,, cinta banget malah. Nah
ada satu favorite anime berjudul “death
note” yang memiliki tokoh – tokoh bernama :
Light
Yagami, Ryuzhaki L, Ryuk, Misa Amane, Nate river dan Mello inilah yang menginspirasi sang penulis ini
menggabungkan nama tokohnya. Tenang aja, gak berbeda kok dengan nama kecilnya..
Untuk nama aslinya hmm rahasia yah J Oke
oke,, panggil aja Yazhume, atau Tyazh atau Alfiani Ratnaningtyas yang sesuai
dengan identitas KTP nomor sekian sekian itu hehehe…
Yap
humor memang sesuatu yang wajib ada buat wanita satu ini, karena makin sering
kamu tertawa akan banyak hormone stress yang hilang kan ?! Intinya apapun yang
disukai harus pakai hati.. Penulis
yang keseringan menerima tawaran dari dunia perfilman anak kampus yang dengan
project film pendek dan tugas-tugasnya memang bercita-cita bergabung dalam
dunia penulisan. Belum
ada karya yg tercetak menjadi buku, karena semua karyanya dibeli oleh mahasiswa
untuk project mereka. Mahasiswa bidang IT ini sekaligus merangkap sebagai
Consultan Course di salah satu sekolah Inggris ini memiliki pesan: JANGAN
PERNAH MERUSAK BUKU KALAU BELUM PERNAH MERASAKAN BAGAIMANA SULITNYA MEMBUAT
KONTEN ITU !!!
Nah
buat kamu yang mau kenal lebih dekat bisa stalkerin aja :
FB
: Yazhume Alfhiany Kanta
Twitter
: @Yazhume
Blogspot
: http://yazhumealfhianykanta.blogspot.com
Posting Komentar untuk "CERPEN : "SATU (SAUDARA, TEMAN, BUDAYA)" Oleh : Yazhume"