Sepasang Cincin
Oleh
: Fieqman Marsyam
Aku
mencoba meraih jemarinya perlahan. Mengetahuinya, Bella langsung menjauhkan
sesuatu yang ingin kusentuh itu. Wajahnya seketika berubah merah. Ia
mengerutkan dahi dan melotot padaku. “ sekarang apa?” begitu katanya. Bella sebenarnya
tidak begitu jutek sifat aslinya. Namun aku terima saja ia begitu padaku. Toh, bagiku
ia selalu cantik bagaimanapun ekspresi wajahnya.
“ Sudah selesai ?” ujarnya padaku. Ia lalu
berangkat dari posisi duduknya. Aku yang mengundangnya di restoran ini. Seorang
sahabat karibnya mengatakan jika gadis cantik itu suka sekali dengan hidangan
disini. “ kalau tidak ada yang mau di bicarakan lagi. Aku pergi.” Lanjutnya
lagi. Kemudian aku membalas katanya dengan nada yang lembut.
“ bisakah kau duduk untuk sebentar lagi?” aku
mencoba membujuknya. Tapi keinginan Bella untuk meninggalkanku tampaknya
terlalu kuat dan tak tertahan lagi. Ia lalu melenggok kearah keluar restoran.
aku tidak sampai hati harus menoleh kebelakang saat ia pergi. Tidak cukup kuat
bagiku untuk melihat dia melakukan ini kesekian kalinya. Aku menghela nafas
panjangku.
Aku
gagal untuk menunjukkan sesuatu berharga padanya. Sepasang cincin indah didalam
kotak yang mewah telah kupersiapkan untuk melamarnya. Setelah menerima
kenyataan ini, artinya aku setidaknya membutuhkan waktu lebih untuk memantapkan
hatinya padaku. Ah, apalah aku ini. Pacar sendiri saja sulit untuk ditaklukkan.
***
Malam
menggelapkan langit dengan warna khasnya. Aku berdiri di balkon apartemenku.
Ingin kuhabiskan beberapa menit saja bersenggama dengan udara segar sebelum aku
melakukan kewajiban ibadah maghribku.
Aku
menatap ke arah cahaya yang terang dari banyak bangunan diperkotaan ini. walau
sudah sering sekali aku melihatnya. Namun seperti tiada bosan aku melakukannya
setiap hari. Rasanya memanjakan mata dengan pemandangan seperti ini suatu
kecanduan bagiku. Makanya aku sengaja memesan lokasi disini, di hunian yang aku
tinggali. Aku sangat berjodoh dengan apartemen ini. sekalinya meminta pada
developer, aku langsung mendapat apa yang menjadi inginku.
“
cepatlah mandi, Rico.” Suara mama terdengar ditelingaku. Ia menepuk bahu
sebelah kananku. Aku tersontak, kemudian membalikkan badan. Secepat angin-angin
yang bersahabat denganku di balkon ini, aku mengurai senyum dihadapan mama.
“iya ma.” Dan ia pun membalas kembali senyumku.
Mama
sengaja datang untuk menanyakan hasil pertemuanku dengan Bella sore tadi. Aku
memang sudah setahun lebih tidak tinggal bersama keluarga di rumah besar kami.
Aku seperti ingin mencari ketenangan. Aku bermaksud melupakan sejenak
kenangan-kenangan indah selama di tempat tinggal kami. Dan kedua orangtuaku
mengizinkan aku melakukan kehendakku saat kukatakan pada mereka kala itu.
Aku
kemudian melangkah ke kamar mandi. Sebelumnya kulepas jas hitam yang kukenakan,
juga kemeja putih didalamnya. Tak lupa kutanggalkan pula jeans ku. Tinggallah
aku bertelanjang dada dengan celana dalam yang melekat. Tidak menjadi masalah
juga aku melakukannya. Toh, dirumah ini hanya ada aku dan mama.
Usai
menyelesaikan semuanya. Mandi, berganti pakaian lalu beribadah. Lantas aku
menemui mama yang sedari tadi menunggu dengan duduk menikmati teh hangatnya di
meja makan. Tentu setelah ia pun mengakhiri ibadah wajibnya. “ tidak apa jika
kau belum siap menceritakannya. Mama bisa sabar menunggu.” Aku menarik kursi
yang merapat di meja tersebut, lalu kuambil posisi terbaik mendudukinya. Aku
pandangi wajah mama. Ia kelihatan berpura-pura. Sebetulnya mama ingin sekali
mengetahui jawaban Bella untukku. Tadi, tapi ia menghargai hatiku.
“
Ditolak ma.” Kataku seraya tersenyum. Mama spontan mengamati setiap detil
bagian mukaku. Ia mengkhawatirkanku. Aku bisa menebak itu. kembali aku
tersenyum. “ aku baik-baik saja ma.” Setelahnya ia bangun dari posisinya, lalu
mendekatiku. Mama memeluk tubuhku seketika. Ia melingkarkan kedua tangannya
ditubuhku. Ia menghantamku dari sebelah kanan.
“
kau tampan dan pintar, Rico. Lulusan S2 dari universitas ternama dunia, dan kau
pewaris tunggal aset hotel papamu. Kau pasti bisa mendapatkan selain Bella
kalau kau mau. “ aku masih tetap dalam pelukannya. Aku tidak menjawab apapun.
Aku hanya berusaha bersikap tenang. Beberapa detik kemudian ia meneteskan air
matanya. Aku tidak bisa untuk bungkam melihat itu. “ berhentilah menangis ma.
Ini sudah janjiku.” Hanya itu yang mampu kukatakan pada mama. Jemariku secara
spontan menyeka tetesan sedihnya.
***
“
kau yakin ingin menemui Bella.?” tanya mama padaku memastikan. Sepertinya aku
tidak ada jawaban terbaik selain senyum saat itu. lalu aku segera menutup pintu
apartemenku meninggalkan mama didalamnya.
Aku
meluncur dengan mobil sport berwarna putih. Aku sudah memastikan gadis itu ada
di toko bunga miliknya. Seperti itulah kegiatan rutin Bella dihari sibuk. Ia
mengasuh sendiri seluk beluk bisnisnya. Bella tetap lakukan itu meski banyak
pegawai disisinya. Dan rencanaku kali ini ingin memberikan kejutan dengan
kehadiranku disana.
Kini
aku telah sampai di depan ‘Bella Flowers’ , nama toko kepunyaannya
tersebut. Aku turun dari kendaraanku dan
berjalan masuk untuk menemui Bella. Kostumku kali ini tidak banyak ragam. Hanya
sweater tebal dengan sebuah kemeja sebagai dalamannya. Lalu sebagai bawahan,
aku kenakan jeans berwarna biru. Rambutku tetap dengan gaya poni pria-pria
korea yang tengah trend. Kulitku yang putih bersih kata stylishku tampak cocok
bila gayaku disamakan dengan pria-pria itu.
Aku
menatap Bella dengan sangat serius, sedangkan ia sama sekali tidak menyadari
kedatanganku. Jarak kami belum begitu dekat. Masih terpisahkan sekitar lima
belas langkah. Bella sedang ada di meja kasir. Ia tampak melihat sistem
keuangan bisnisnya. bukan hanya itu yang ia lakukan. Tapi ia pun sembari
memberikan pengarahan pada pegawainya.
“
selamat pagi pak Rico.” tegur seorang wanita dengan pakaian seragam. Aku memang
cukup terkenal dimata pegawai toko bunga milik Bella. Lalu aku beri senyum pada
wanita itu. ia sangat tekun dengan pekerjaanya. Wajar sekali kalau Bella
mempercayainya sebagai penerima tamu. Wanita ini sungguh manis dan ramah.
Aku
telah mengurangi jarak yang memisahkan aku dan Bella, hingga tersisa tiga
langkah lagi. Sekarang ia memperhatikan kehadiranku. Dan aku berhasil. Bella
terkejut melihatku. “ aku tidak mau membahas masalah kemarin sore. Jika ada
yang lain ingin kau katakan, kuijinkan kau duduk, jika tidak, Pergilah.” Ucapnya
padaku.
Aku
menghela nafas. Baik, aku harus bisa menahan ini. kemudian aku melempar senyum. “ kau terlalu cepat untuk tahu soal sepasang
cincin ini. aku bahkan tidak sempat menjadikan sebagai kejutan untukmu.”
Balasku. Aku mengeluarkan lagi kotak mewah yang menjadi wadah sepasang cincin
itu. lalu kuangkat dan kuperlihatkan padanya. Dan aku kembali tersenyum.
“
harusnya kau yang lebih tahu kenapa itu gagal menjadi sebuah kejutan. Bukankan
Edo sahabat dekatmu ? “. Ketika mendengar nama itu, aku mengulang kesalku. Tapi
aku tidak membiarkan suasana hati itu terlihat jelas di wajahku. Aku
menutupinya.
Sore
kemarin memang Edo menelponku sekitar setengah jam sebelum aku dan Bella
bertemu di restoran itu. Entah kenapa saat kuterima panggilannya, ia langsung
meminta maaf padaku. Setelahnya ia mengatakan bahwa Bella sudah tahu mengenai
lamaranku dan sepasang cincin itu. aku sedikit marah padanya. “ aku dipaksa Bella
untuk mengatakannya. Ia merasa aneh dengan undangan tiba-tiba darimu yang
begitu serius. Aku tidak bisa mengelak darinya, teman. Sekali lagi maafkanlah.”
Edo mencoba menjelaskan. Percuma juga kalau aku harus mencaci sahabatku yang
bodoh ini. itu tidak akan mengubah keadaan. Aku tutup telepon Edo setelah
mengucapkan “ tidak apa apa” padanya.
“
kita hanya sebatas pacaran yang pura-pura. Bahkan kau tahu itu. aku hanya
menunggu kesehatan mama ku membaik. Setelahnya aku harap kau bisa menjauhiku.”
Bella berbicara lebih panjang dari biasanya. Aku sudah tahu Bella akan
mengatakan itu. kami memang menjalin hubungan rekayasa. Aku yang memintanya
untuk melakukan itu. Niatku hanyalah untuk membuat kesehatan mama Bella segera
membaik. Saat mamaku memberitahuku kondisi sebenarnya tante, begitu mama wanita itu kupanggil. Ia mengatakan
bahwa tekanan darah tante meningkat. Tante belum bisa menerima kenyataan bahwa
Bella membenciku. Akhirnya kuputuskan mengajak Bella untuk berpura-pura menjadi
sepasang kekasih agar ia bisa lebih baik.
“
lalu kenapa kau ingin lakukan hal bodoh itu kemarin? “. Kali ini aku hanya
terdiam. “ tidak bisa menjawab bukan ?” . kini aku tidak tahan lagi untuk
menbalas perkataannya. “ aku mencintaimu. Bahkan semenjak awal aku mengenalmu.”
Sedikit kutinggikan nada suaraku saat itu. Bella hanya ternganga. Belahan
bibirnya terbuka lebar. Seketika ia menutupnya rapat lagi. “ kau Gila.”
Balasnya.
Kemudian
ia melemparkan sebuah bunga padaku. Tentu bukan sebuah tanda bahwa ia tidak
lagi membenciku dan berbalik menjadi suka. Tetapi bunga itu dilemparkan dengan
perasaannya yang kesal. “ Pergilah cepat !! aku tidak ingin melihatmu lagi.”.
Sungguh aku tidak bisa berkata apa apa lagi. Aku juga sadar akan membuat ia
bertambah marah bila aku terlalu banyak bicara. Lalu aku lakukan apa yang ia
inginkan dariku. Aku pergi dan meninggalkan toko Bunganya.
***
Aku
mengulangi kebiasaanku. Balkon ini menemaniku lagi dengan sebuah harapan aku
bisa menemukan ketenanganku. Angin malamnya menyapa lagi padaku. Sapaannya
sangat halus mengenai bebuluan tipis di pergelangan tangganku. Aku
menikmatinya. Aku hanya sendiri malam ini. mama tentu sudah kembali kerumah
kami yang sebenarnya. Aku juga tidak ingin merepotkannya dengan segala
keperluan sehari-hariku disini. Dan mama mengerti bahwa aku masih butuh
menyendiri.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi. Aku merampasnya dari saku celanaku sebelah kanan. Aku memang
seperti ini. Lebih nyaman bagiku tidak
segera berganti pakaian selepas aktivitas dan langsung mengunjungi balkonku.
Aku merasa perlu melakukannya agar udara- udara lembut ini tahu bahwa aku baru
saja sampai di apartemen.
“
halo” kataku mengawali pembicaraan. “ kau suka jam tangan dariku tadi ?. aku
sungguh penasaran. Kau masih saja tidak menjawabnya meski saat kita telah
selesai menikmati sajian di restoran itu dan beranjak pergi. “ ungkap seorang
wanita di ujung telepon. Aku masih saja mengangkat telepon Silvia. Walaupun aku
sadar betul dengan perasaanku padanya. Aku sama sekali tidak menyukainya. Tapi
setidaknya aku mencoba bersikap baik padanya. Terlebih apa yang telah
dilakukannya hari ini.
“
aku suka sekali pemberianmu. Terima kasih.” Setelahnya aku mendengar suara
Silvia tertawa bahagia. Aku tidak sedang ingin memberikan harapan pada wanita
ini. Silvia pun sudah tahu kalau perasaan suka yang ia miliki padaku selama
tiga tahun ini hanyalah bertepuk sebelah tangan. Namun, kuakui Silvia sosok
wanita yang tidak mudah menyerah. Ia terus dan terus mencoba menyenangkan
hatku.
Kali
ini sebuah jam tangan yang aku incar berhasil lebih dulu ia peroleh. Seorang
teman memberitahukanku, jika ingin mendapatkan jam tersebut aku harus menunggu
sekitar satu minggu setelah pemesanan. Bagaimana Silvia tahu kalau aku sangat
tertarik pada benda itu. Aku tidak ingin menanyakannya lebih lanjut. Cukuplah
itu menjadi sebuah rahasia bagiku. Tampaknya itu lebih menyenangkan.
Aku cukup
terkesima saja untuk wanita ini yang benar-benar tak bosan mencari informasi
tentangku. Namun aku juga merasa sedih dengan kenyataan perasaanku padanya. sebaliknya,
aku tidak bisa menjalin hubungan pura-pura lagi, apalagi dengan landasan
berbalas budi pada kebaikan yang sering Silvia lakukan untukku. Aku menutup
telepon darinya setelah menyelesaikan bebarapa percakapan berbeda selain tadi.
Tak
berapa lama. Seperti sebuah kebetulan. Aku mendapatkan lagi dengan sebuah
panggilan telepon. Kini dari Edo. “ Bella sekarang dirumah sakit.” Sontak aku
menjadi kaget mendengar ia mengatakan itu padaku. Lalu setelahnya aku seolah
dirasuki iblis pemarah. Aku meneruskan kata-kataku pada Edo dengan nada yang
berapi-api. Aku tanya secara rinci bagaimana bisa terjadi, apakah Bella
baik-baik saja, dimana ia dirawat. Semuanya aku tanyakan secara terburu-buru.
Untung Edo tidak menanggapi serius kepanikanku dan hanya menjawab saja.
Aku
lantas menutup teleponku. Aku berjalan menuju pintu keluar apartemenku. Aku
bergegas untuk menemui Bella. Ingin kulihat langsung bagaimana kondisi terbaru
darinya.
Selang
beberapa menit kemudian aku tiba di sebuah rumah sakit. Aku meninggalkan area
parkir dan mencari ruangan dimana pacar pura-puraku itu dirawat. Sampailah aku
di dalam ruanganya.
Aku
melihat papa Bella tengah duduk di kursi yang aku menduga ia sendiri yang
merapatkannya disisi ranjang tempat anaknya berbaring. Semakin kudekatkan
langkahku hingga tersisa sejengkal dari posisi Bella. Kupandangi wajahnya.
Matanya tertutup. Sepertinya ia masih belum sadarkan diri. “kita bicara diluar
saja, Rico.” Ajak papa Bella.
“
Aku tidak habis fikir ia bisa menjadi terbeban sekali dan mencoba mengakhiri
hidupnya.” Ia mencoba membuka kembali percakapan diantara kami. Tetesan air
mata tanpa sadar mengalir membasahi kedua pipiku.
papa
Bella menepuk bahuku seketika. Ia mencoba menenangkanku. “ aku tidak
menyalahkanmu sedikitpun, Rico.” Ucapnya lagi padaku. “ aku memang bersalah om.
Kau tentu pantas jika membenciku juga. Aku penyebab dua perkara besar. Dan
keduanya itu tragedi buruk.” Aku semakin menjadi-jadi dalam tangisku. Aku
kemudian merengkuh di bahunya. Ia membalasnya dengan memelukku.
Walaupun
tampak berat namun papa Bella terus menceritakan kebenaran ceritanya padaku.
Aku masih dalam pelukannya. Ia mengatakan jika Bella melompat dari sebuah
jembatan penyebrangan dan menjatuhkan dirinya di derasnya air yang mengalir.
Beruntung perbuatannya itu diketahui beberapa saksi disitu dan melakukan
penyelamatan padanya. Kini Bella harus mendapatkan perawatan serius. Kakinya lumpuh
sebelah kiri. Sepertinya hentakan kerasnya pada air itu membuat kaki Bella
tidak mampu menahan. Apalagi ia bukan hendak melompat indah, ia bahkan tidak
punya bakat dalam hal itu. wajar jika ia melakukannya dalam posisi terjun yang
tidak tepat.
Aku
menyeka air mataku. Aku lepaskan perlahan kedua tangan papa Bella yang
merangkul tubuhku. “ ijinkan aku tetap bersamanya sampai ia sembuh om. Aku akan
pergi dari hadapanya setelah itu.” wajahku kini berubah serius, walau sisa air
mata masih membuat mataku berlinang.
“
lebih dari itupun, om ijinkan. Om selalu percaya bahwa kau pasangan yang baik
baginya.” Pria baya ini menjawab pertanyaanku dengan sangat bijaksana. Namun
aku telah bertekad untuk menjauhinya setelah Bella sembuh. Aku sadar ini semua
karena bebannya yang ingin lepas dariku. Aku berharap Bella pun mengijinkanku
menebus dosa ini dengan merawatnya. Akan kukatakan juga padanya jika ini yang
terakhir kali aku mendekatinya.
***
Sinar
mentari membuatku risih. Aku menjadi tidak nyaman karenanya. Aku terbangun
sendiri akhirnya. Namun mataku masih belum sempurna terbuka. Pandanganku juga
masih sedikit kabur. Perlu beberapa detik berikutnya hingga benar-benar jelas
memandang sekitar.
Rupanya
Bella masih terpulas. Sedang gorden ruangannya ini sudah terbuka. Gorden itu
menutupi dinding kaca dibelakangnya. Tentu seorang suster yang bertugas
melakukannya. Melihatku dan Bella masih butuh beristirahat, ia mungkin enggan
membangunkan paksa kami. Tapi dinding kaca yang tepat berada di sebelah kanan
Bella ini, sinar yang datang cukup ampuh membangunkanku.
Aku
duduk dengan kursi yang sengaja di siapkan rumah sakit untuk pembesuk. Aku
tidur dengan menundukkan kepala di sisi kiri Bella yang membaring. Ayah Bella
memintaku untuk menggantikannya menjaga semalaman disini. Ia hendak membesuk
istrinya yang juga di rawat dirumah sakit yang sama. namun sepertinya mama
Bella butuh ditemani dan ditenangkan dengan berita Bella yang tak terbendung
hadir ditelinganya. Aku tanpa banyak bicara langsung menyanggupi itu. lagipula
aku telah bertekad untuk menebus dosaku pada Bella dengan menemaninya hingga
mencapai kesembuhan.
Aku
bangun dari posisiku dan berniat mencuci muka. Aku melenggang ke kamar mandi
untuk sesaat. Sekembalinya aku dihadapan Bella. Kulihat matanya mulai terbuka.
Aku lega sekali melihat ia akhirnya sadar. Namun masih sangat berat untuknya
membuka keseluruhan kelopak matanya yang indah. Pandangannya juga terganggu
dengan sinar mentari yang tadi juga merisihkanku.
Aku
masih dalam posisi berdiri. Berdiri di posisi belawanan arah dari sinar itu
yang datang di hadapan Bella. Lalu, tatapan wanita berambut panjang ini mencoba
menguasai keseluruhan isi ruang inap dimana tempatnya berada.
Bersamaan
dengan itu, Bella berhasil menangkapku dalam bola matanya. Kini sedikit aneh.
Biasanya ia cepat sekali membanting arah ketika memandangku. Namun kali ini ia
cukup lama memusatkan perhatiannya padaku. Aku menjadi salah dalam bertingkah.
Aku melempar wajahku kekanan, lalu kekiri kemudian terhenti menjadi tertunduk.
Aku
seakan merasa ini hanyalah sebuah mimpi indahku. Bella mengetahui siapa yang
berdiri dihadapannya. Ia memanggil namaku. “ mendekatlah “ lanjutnya kemudian.
aku masih tidak mempercayai ini. sikap Bella begitu manis padaku. Aku menuruti
perintahnya. Aku mengambil kursi yang kutinggalkan tadi. Aku mengambil posisi
yang nyaman untukku duduk. Dan aku masih dalam ketakjubanku pada hal yang
kualami sekarang.
Tidak
berhenti sampai disitu. Bella kemudian meraih tanganku. Aku ingat, saat di restoran
ketika hendak melamarnya, ia menolak diperlakukan seperti ini. Namun sangat
berbanding terbalik, kini malah Bella yang membuat keadaan ini begitu romantis.
Ia menggengam erat jemari tangan kananku dengan sepasang jemari tangannya. Aku
terdiam sesaat.
“
maafkan aku telah melakukan ini ” ucapnya dengan suara yang begitu rendah. Aku
tentu menangkap jelas apa yang dikatakannya. Serendah apapun suaranya, bahkan
akibat kondisinya yang melemah seperti ini. aku selalu bisa membaca maksudnya
dari gerak bibir dan tatapannya padaku.
Namun
kali ini hati yang kupunya seolah ditusukkan sejumlah anak panah yang tajam.
Begitu terasa sakit apa yang kudengar barusan. Aku sejadinya berubah pria
cengeng. Air mataku kembali keluar. Tentu aku mencoba menahanya. Percuma saja,
itu gagal.
“
kenapa kau berkata seperti itu. bukankah kau lakukan ini karena aku. Karena kau
tetap saja membenciku ?” masih dengan tetesan air yang keluar itu aku membalas
perkataan Bella. Ia lalu melepaskan tangan kirinya yang tadi ikut menggenggam.
Kemudian ia gunakan itu untuk menghapus tetes- tetes kerapuhan ini. “ maafkan
aku “ ia kembali dengan kata-kata itu.
Aku tidak membantahkan. Kuberikan anggukanku padanya. Air mataku tetap
saja keluar. Namun aku tidak bersuara yang terisak. Aku hanya menjadi seorang
yang menangis hanya dengan berlinang dan tanpa nada khas yang mengikutinya. Dan
kami tidak mencoba membuka kalimat lain. Kami berdua tenggelam dalam situasi
mengharukan. Kulihat Bella juga tidak sanggup menahan ini. wajahnya pun ikut
dihiasi dengan hal serupa dengan apa yang dihapusnya diwajahku tadi. Lalu Bella
tersenyum kecil. Aku pun demikian.
***
Sebuah
pagi yang indah menyambut kami. Aku tengah duduk di kursi panjang ini. Benda
itu sengaja disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pemanis taman. Bella ingin
juga merasakan alas dudukku sekarang. Lalu aku merengkuhnya dari kursi roda.
Kami pun duduk berdekatan.
Telah
satu minggu kami berada di sebuah tempat dimana semua orang datang dengan
sakitnya masing-masing. Bella kini telah berubah menjadi sangat baik kepadaku.
Kami masih belum bicara banyak. Kalaupun saling bercakap-cakap, pembicaraan
kami menjadi sangat berbeda. Itu semua terjadi setelah ungkapan maaf yang
diumbar Bella beberapa saat lalu. Tepatnya dipagi pertama setelah malam
mengerikan itu. kami kini jauh dari kata pertengkaran. Aku tidak pula ingin
menanyakan pergantian sikapnya itu. Sebatas ia tidak lagi kesal berada
didekatku saja aku sudah bahagia.
Bella
lalu menatap kearahku. Ia melempar senyum manisnya. Aku membalas pemberiannya
itu dengan hal serupa.
“
kau juga tampan, Rico. Bahkan kau lebih tampan darinya. Aku suka sekali
senyummu ini. Bibirmu yang tipis. hidungmu yang bagus. terlihat sempurna sekali
semuanya. “ kemudian Bella kembali tersenyum. Aku menggaruk kepalaku perlahan.
Aku dibuat malu dengan perkataannya. “ begitu ya.” Aku tertawa kecil. Ia pun
meneruskan senyumnya dengan tertawa pula. tawa yang perlahan namun cantik
sekali.
Berbeda
suasana, selang sedikit detik berikutnya, aku seakan disambar pada sebuah
kenyataan. Aku menjadi diam seketika. Pembicaraan gurau kami tadi sejenak
terhenti. Bella pun seolah tahu jika aku tengah memikirkan sesuatu. Ia juga
diam seheningnya.
" ini janjiku padanya, Bella. Bukan semata
karena perasaanku saja." perkataan
ini tiba-tiba kulontarkan padanya seperti tak tertahan.
"
kecelakaan itu sejujurnya terus menghantuiku. Aku merasa menjadi orang yang
paling bersalah. Sikapmu sebelumnya ini juga sangat merenyuhkanku. " tatapanku kini semakin dalam padanya.
Udara
pagi itu terus menyapa. Ia hadir dengan hembusannya yang melembut. Tampaknya ingin
sekali menguping pembicaraan serius diantara kami berdua.
Bella
pun kemudian bungkam. Dan aku belum menemukan bagian kalimatku mana yang
membuatnya begini. Gadis ini kulihat murung dengan tetesan air mata yang deras
sekali belalu di pipinya.
Aku
menjadi ragu untuk meneruskan perkataanku padanya. Sebaiknya aku juga turut mengunci mulutku
sesaat.
"
aku hanya berpura-pura." Bella memecahkan diamnya. " aku bersalah
besar padamu. Aku hanya terpukul dengan kehilangan itu. Dan hanya itu yang bisa
kulakukan. Menyalahkanmu dan terus menyalahkanmu." terdengar sangat jelas tangisnya yang
mengisak sekarang.
Aku
lantas menggapai kedua kepalan tangannya. Kugenggam erat seketika. Aku rasa itu
mungkin bisa sedikit menenangkannya.
Wajahku
menengadah pada cerahnya langit yang sangat membiru diatas sana. Sedang
tanganku tetap setiap pada posisinya.
Rasa
bersalah yang begitu dalam hadir kembali seperti saat itu. Bahkan lebih pekat
lagi. Jantungku seolah diikat benang yang kuat. Hingga untuk berdetak normal
menjadi sulit karenanya. Wajahku menjadi basah tanpa kusadari. Aku pun membuang
tangis untuk peristiwa yang tengah kukenang.
Kami
diam untuk sesaat.
Wajah
Zacky kemudian seolah muncul di pelupuk mataku. Ia tidak berlumur darah seperti
saat kecelakan dua tahun silam.
Akulah
yang membuatnya menjadi separah itu. Mobil yang hendak mengantar kami
membanting setir kearah kanan. Tentu bukan secara perlahan. Namun secara tiba
tiba. Kendaraan yang kukemudi ini dihantam truk berukuran besar yang melaju
tanpa kendali. Benda itu merapatkan kami dengan tembok besar. Bagian sebelah
kanan mobil ini hancur. Kacanya membucar. Badan sisi sebelah itu pun menjadi
tak karuan bentuknya.
Aku
tidak mempersalahkan itu. Aku hanya mencemaskan Zacky – kakakku. Ia berada di
posisi itu. Aku tercengang tiada kepalang. Sejujurnya akupun kesakitan. Dadaku
terhentak mengarah setir. Kami berdua saat itu memang bersalah tidak mengenakan
sabuk pengaman.
Wajahku
bercorak merah dengan darah yang keluar. Pelipis mataku sebelah kanan terkena
pecahan kaca. Beruntung serpihan tajam itu tidak membutakanku. Dan badanku
seolah remuk. Mungkin ada yang salah dengan urat urat didalamnya akibat
dentuman ini.
"
Zacky..!! Zacky ..!! " aku menggoyang bahunya. Walau akupun sulit
bergerak, namun tetap kupaksakan. Kakakku itu tidak sadarkan diri. Parah sekali
ia karena kecelakaan ini. Zacky dihunus besi yang telah mereok. Pecahan tajam
tentu menambah pesakitannya. Aku menjadi panik seketika. Aku sangat
mengkhawatirkan kakakku satu satunya. Aku sudah terbayang hal hal sedih tentang
Zacky. Aku takut sekali kehilangan saudaraku itu. Kami hanya berdua selama ini
sebagai anak dari mama dan papa. Tentu aku akan sangat berduka.
Dengan
banyaknya warga yang menemukan kami dalam kondisi itu. Kami dilarikan
secepatnya dirumah sakit.
Zacky
kritis. Aku sempat melihatnya sebelum aku juga mendapat pertolongan dokter. Dan
Ia masih saja belum sadar kala itu.
Luka
ringanku secara cepat ditangani ahli disini. " terima kasih, dok "
ucapku pada orang itu. Lalu aku tergopoh berjalan menuju tempat Zacky
berbaring. Mama yang membantuku berdiri saat itu. Sesampainya didekat kakakku
ini. Aku lihat Bella telah lebih dulu hadir. Papa turut melengkapinya.
Kondisinya
telah melewati masa mengerikan tadi. Namun kesehatan Zacky masih diambang
kestabilan. Kami masih menunggu matanya terbuka kembali.
Lepas
menghabiskan satu malam. Esok paginya secara tak terduga Zacky terbangun. Ia terlihat
seperti mencoba merapikan kesadaran yang sempat pergi darinya. Aku, papa, mama
juga Bella berhasil menyaksikan itu. Dengan terbata, Zacky mengatakan sesuatu
yang mengarah kepadaku. " berjanjilah untuk terus menjaga Bella. Jadilah
pengganti aku untukknya. " ungkapnya. Setelahnya Zacky diam dan kembali
beristirahat.
Kemudian
kuceritakan soal sepasang cincin ini pada Bella. Aku katakan padanya, Kepergianku
bersama Zacky saat itu sebenarnya untuk melamarnya. Aku yang giat sekali
membujuk, padahal Zacky belum sepenuhnya siap untuk mempersunting Bella. Namun
peristiwa naas itu kepalang terjadi dan menggagalkan semuanya.
Mendengar
itu Bella seketika berubah padaku. Ia menatapku dengan pandangan yang melotot
seolah sangat membenciku. Aku belum bisa memastikan apakah itu benar sebuah
kebencian. Namun aku hargai apapun yang ia rasakan untukku.
Lalu
malam harinya kami dikejutkan oleh sebuah peristiwa. Tubuh Zacky sontak menggeletar.
Ia memuntahkan darah banyak sekali. Kami meneriakkan histeris hingga dokter
datang segera. Ia kembali kritis, bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
***
Aku seketika
tersadar dari bayangan kejadian silam. Merelakan kepergian Zacky – kakak
kandungku itu untuk selama lamanya. Bella masih setia menangis. Begitu pula
aku.
"
aku melakukan kebodohan itu semata untuk memuaskan hasratku." suara gadis
ini seperti terseret seret. " aku tidak benar benar membencimu"
lanjutnya lagi dengan mengatakannya padaku.
Kemudian
langit menggelap secara mengejutkan. Jarak mendung dan hujan yang datang dekat
sekali. Bahkan kami belum sempat untuk menghindarinya. Aku membantu Bella
kembali pada kursi rodanya.
Jaket
berbulu lebat yang kukenakan ini ku lepaskan. Aku tutupi secepatnya ditubuh
Bella. Aku lakukan agar ia tidak benar benar kebasahan lalu mengigil. Biarlah
hujan deras ini mengguyurku dan menjelaskan setiap lekuk badanku karena kaos
dalamku yang memberat akibat air.
Cuaca
ini juga menyadarkanku untuk semuanya. Ini juga memantapkanku untuk menuntaskan
tugas dari Zacky padaku. Bonus yang kudapatkan, ternyata Bella juga diam-diam
akhirnya menyukaiku. Dan dengan sepasang cincin yang sama seperti saat Zacky
hendak melamarnya, akan jadi saksi bahwa tugasku telah benar-benar berhasil
kuselesaikan.
Tentang Penulis :
Blogger
muda yang akrab dikenal dengan Fieqman Marsyam sebagai nama penanya – sudah
mulai aktif didunia blogging sejak tahun 2007. Cowok satu ini tengah menempuh
pendidikan jenjang S1 dan sekarang sibuk bergelut dengan skripsinya. Mempunyai
ketertarikan dari kecil membuat Blogger kelahiran 7 Januari tersebut tidak bisa
lepas dari hal berbau menulis – baik itu cerpen, cerber, dan karya tulis
lainnya. Ia sangat senang jika mendapat rekan berdiskusi untuk kesamaan hobi
itu dan sangat mengapresiasi wejangan dari penulis senior demi kemajuan karirnya
sebagai penulis profesional kelak. Kenali ia lebih jauh dengan berkunjung ke
personal blognya di : fieqmanmarsyam.blogspot.com
Juga
jangan lupa untuk sapa ia di twitter : @marsyam_ori
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Sepasang Cincin" Oleh : Fieqman Marsyam"