Sepatu Athaya
By: Rofie Khaliffa
Semua menertawakannya. Menertawakan Athaya. Menertawakan
baju lusuh Athaya. Menertawakan sepatu Athaya yang sudah menganga. Mirip
mulut buaya. Athaya sesengukkan di bangku taman berpayung pohon kenanga.
Baju lusuh Athaya memang baju bekas, yang didapatkannya
dari sang kakak. Masih kebesaran, tapi setidaknya, cukup layak dipakai
Athaya untuk menggantikan baju lamanya, yang sudah compang-camping.
Athaya hanya anak gembel. Tak berorangtua pula. Ia tinggal di rumah
kardus kolong jembatan, berdua, bersama kakak yang setiap hari mengamen
di jalan-jalan.
Impian Athaya adalah memiliki sepatu baru dan bisa
bersekolah. Seharusnya, kini Athaya sudah duduk di bangku sekolah dasar,
kelas tiga. Akan tetapi, takdir dan kenyataan tak memihak pada mimpi-mimpi
Athaya. Ia hanya bisa memerhatikan bocah-bocah lain seusianya pulang
dan pergi ke sekolah melewati taman itu. Taman yang paling suka Athaya
datangi, seraya menunggu kepulangan kakak sore hari.
Biasanya, Athaya kebal pada caci dan tawa bocah-bocah
seusianya yang mengejek sepatunya, mangap lebar seperti minta diberi
makan. Terlebih, warna putih sepatunya yang sudah usang, kecokelat-cokelatan.
Noda itu seperti tertempel abadi di kulit sepatunya, tak bisa dihilangkan.
Athaya menangis sesengukkan. Ia ingin sepatu baru. Ia ingin memiliki
teman bermain. Dipikirnya, barangkali ia akan mudah mendapat teman jika
memakai sepatu bagus seperti yang mereka semua pakai. Ia sudah lelah
menunggu. Menunggu janji-janji manis kakak, yang katanya, kelak akan
membawakannya sepatu baru. Padahal, kakak hanya sesumbar, demi mendiamkannya
yang menangis dan meraung, sampai tak mau makan.
Athaya masih menangis. Dadanya turun naik. Dua sudut
bibirnya ditarik ke bawah, membentuk lengkungan pelangi, tapi tak warna-warni.
Bibir mungil itu, padahal, biasanya, selalu ia lengkungkan ke atas.
Selalu, ia balas ejekan dengan senyuman. Namun, hari ini tidak. Entahlah,
mungkin Athaya sedang lelah. Tangan kecilnya menutup kedua mata yang
masih berlinangan air. Senguknya membuat Athaya sesekali sesak. Hidungnya
seperti tersumbat. Berkali-kali Athaya menyedot kuat-kuat sesuatu kental
dalam hidung yang membuatnya meler, seperti bocah ingusan. Harapannya
hanya satu, kakak pulang membawa sepatu baru untuk Athaya. Berlebihankah?
Kakak Athaya, Aqsa, berlari cepat menuju bangku taman,
di mana sang adik menangis seorang diri di sana. Tangan kanannya menggenggam
kantung kresek, berisi nasi bungkus untuk Athaya. Rerecehan di dalam
bungkus permen Relaxa bekas, di tangan kiri, mengkerincing dibawa berlari.
Aqsa tak peduli pada kucuran keringat yang membanjiri wajah dan perut
yang keroncongan, ia terus berlari menghampiri Athaya.
“Kamu kenapa menangis, Dik?” Anak lelaki usia
10 tahun itu bertanya pada adik kecilnya. Mereka hanya berselisih 2
tahun, tapi Aqsa, seorang kakak yang juga berperan sebagai kepala keluarga,
ia tak ingin melibatkan Athaya untuk cari uang, seperti dirinya. Ia
tak ingin Athaya mengemis atau mengamen di jalan-jalan demi receh penyambung
hidup. Aqsa lebih ingin melihat adiknya menjadi anak kecil yang sewajarnya.
Yang hanya tahu bermain, bukan kerja keras.
“Siapa yang nakal? Siapa yang sudah buat kamu menangis?”
tanya Aqsa, lagi.
“At-att-ath-atha...ya mau sep-pat-tu baru, Kak...,”
jawab Athaya gagap dalam tangisnya. Tak biasanya ia menyambut kakak
dengan tangisan begitu. Biasanya, Athaya selalu melempar senyum dan
peluk melihat kedatangan kakak. Dengan wajah berbinar, Athaya menanyakan
apa yang kakaknya bawa usai bekerja. Namun, hari ini tidak. Athaya bahkan
tak tertarik untuk tahu apa isi kantung kresek yang dibawa kakak. Paling-paling
nasi bungkus isi tahu, atau tempe. Seperti biasa.
Aqsa mematung. Matanya yang selalu sayu nampak menyipit,
merasa iba dengan penuturan adik. Sepatu baru? Tatapannya kini berpindah
pada sebungkus permen Relaxa bekas di tangan kiri. Aqsa tahu persis,
rereceh di dalamnya bahkan tak cukup untuk membeli sebungkus lagi nasi,
maka itu ia hanya mampu membeli satu untuk adik. Bagaimana mungkin ia
bisa mewujudkan impian Athaya untuk memiliki sepatu baru? Tiba-tiba,
perutnya mendadak sakit. Kepalanya pusing. Ia belum makan sesuap nasi
pun sejak pagi. Pasti magh-nya kambuh lagi.
“Dik, Kakak 'kan sudah pernah bilang, pasti Kakak
belikan. Tapi nanti, kalau uangnya sudah kekumpul semua. Kalau uangnya
sudah cukup dipakai untuk beli sepatu baru, Kakak janji, Kakak pasti
belikan! Adik sabar, ya...”
Aqsa memeluk adiknya. Tangis bocah lelaki 8 tahun
itu lalu pecah dalam pelukan hangat sang kakak. Tak peduli bau terik
matahari begitu menyengat dari aroma badan kakak. Bagi Athaya, pelukan
Aqsa menenangkan. Seperti pelukan papa. Papa yang sudah pergi menyusul
mama ke surga sejak Athaya berusia 3 tahun. Mama? Ah, sosok bernama
mama itu bahkan tak pernah Athaya lihat. Mama meninggal dunia setelah
melahirkan Athaya. Kata kakak, mama adalah perempuan paling cantik sedunia.
Dan, kata kakak juga, papa adalah lelaki super kebanggaan keluarga,
meskipun papa hanya seorang kuli bangunan. Athaya ingin menjadi lelaki
seperti papa, kelak.
Tepat ketika langit senja mulai menampakkan keindahannya,
Aqsa dengan penuh kasih menuntun adik pulang ke rumah. Pulang ke rumah
kardus mereka yang meneduhkan. Bersama siluet bayangan diri mereka,
langkah kaki terus terseret meninggalkan taman, menyusuri jalan yang
sudah dihafal luar kepala, menuju kolong jembatan tempat mereka berdua
tinggal. Di sanalah segala doa dan harapan mereka simpan.
“Hari ini Kakak belikan nasi bungkus isi ikan goreng.
Kamu senang, Dik?”
“Asiiiiikkk...!!”
***
“Hai.”
Bangku taman berpayung pohon kenanga itu sudah ditempati
bocah lain, ketika Athaya datang dan ingin mendudukinya. Seperti biasa.
Bocah itu sangat tampan, dengan pakaian bagus dan juga sepatu bagus.
Penampilannya memukau mata Athaya. Betapa Athaya ingin sekali berpenampilan
begitu, tapi tidak mungkin.
Bocah itu tersenyum. Senyumannya mengiris-iris hati
Athaya. Selama mereka duduk berdampingan, tak ada kata, apalagi cakap.
Mereka berdua diam, memikirkan dua hal yang saling berlawanan. Athaya,
betapa ia menginginkan ada di posisi bocah itu. Berpenampilan rapi dan
memiliki pakaian bagus, juga sepatu! Ah, pasti akan ada banyak yang
mengajaknya pergi bermain jika ia menjadi bocah itu. Sepertinya, bocah
itu anak orang kaya. Tidak seperti Athaya.
“Kenapa kamu cuma duduk di sini? Kenapa tidak ikut
bermain bersama anak-anak lain di sana? Sepertinya menyenangkan!”
Athaya terkejut. Tidak salah dengarkah ia? Bocah
di sampingnya itu mengajak bicara? Athaya menoleh, menatap bocah itu
yang melempar pandangan pada anak-anak lain yang sedang bermain. Pandangannya
memancarkan hasrat, tapi juga kebahagiaan, seperti ia bisa merasakan
kebahagiaan anak-anak yang bermain di sana. Ia ikut tertawa melihat
mereka tertawa.
“Seandainya saja aku bisa berlari, bermain kejar-kejaran
bersama mereka, pasti sekarang aku sebahagia mereka!” kata bocah itu
lagi. Athaya hanya diam menyimak. “Seandainya aku adalah kamu, aku
akan datangi mereka dan ikut bermain. Tidak cuma duduk di sini. Kesempatan
itu pasti tidak akan kusia-siakan.”
Seorang ibu muda datang mendekat. Membuyarkan keheningan
Athaya. Namun, keterkejutan Athaya masih bergelimang. Dilihatnya ibu
muda itu mendekat sambil mendorong sebuah kursi roda kosong. Tersenyum
lebar, yang lalu disambut sapa si bocah yang sedaritadi mengajak Athaya
bicara.
“Mama!”
Athaya melongo. Terlebih, ketika si ibu muda menggendong
dan memapah bocah itu turun dari bangku taman, lalu diduduki di kursi
roda bawaannya. Dengan sangat hati-hati, ibu muda itu memasangkan pengaman
pada kaki si bocah. Kaki itu, tidak berontak sama sekali. Seperti mengeras.
Seperti membatu. Athaya diam seribu bahasa. Lidahnya kelu, ikut membatu.
Bocah itu melayangkan senyuman pada Athaya, sebelum
dibawa pergi mamanya. Bocah itu, ternyata, ia tidak bisa berjalan seperti
Athaya. Ia tidak bisa berlari seperti Athaya. Juga seperti bocah-bocah
lain yang sedang bermain dan berkejaran di sana. Bocah itu… lumpuh.
Athaya tersentak. Hatinya seperti tercubit.
Tak beberapa lama, Aqsa datang. Seperti biasa, ia
membawa sekantung kresek dan bungkus permen Relaxa bekas isi recehan.
Athaya tersenyum lebar menyambutnya. Aqsa pun demikian. Dalam hatinya
ia bersyukur, Athaya sudah tak lagi mengambek minta dibelikan sepatu
baru, seperti kemarin.
“Hari ini penghasilan Kakak banyak, Dik. Lihat,
Kakak bawa dua nasi bungkus isi ayam goreng! Kakak juga masih ada sisa
uang lumayan untuk ditabung. Untuk beli sepatu barumu. Tadi, Kakak bertemu
orang baik di jalan. Seorang ibu yang membawa kursi roda. Ibu itu memberi
Kakak uang lima puluh ribu!” seru Aqsa kegirangan. Wajahnya berbinar-binar.
Mata Athaya berkaca-kaca. Ia menggeleng pelan. “Tidak
usah, Kak! Athaya sudah tidak mau sepatu baru.”
“Lho? Kenapa, Dik?”
Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Athaya menceritakan
semua kejadian hari ini. Tentang pertemuannya dengan seorang bocah lumpuh.
Tentang ibu yang sangat mencintai puteranya. Athaya mempelajari semuanya,
betapa seharusnya kita patut mensyukuri apa yang sudah Tuhan beri untuk
kita. Bukan malah menuntut lebih, di luar batas kemampuan. Athaya kini
paham.
Aqsa terharu mendengar cerita Athaya. Ia peluk adiknya
itu erat, sambil menciumi keningnya. Diam-diam, ia turut mengucap syukur
di dalam hatinya. Pelajaran itu bukan hanya untuk Athaya, tapi juga
untuk Aqsa. Tidak, tidak. Pelajaran berharga itu untuk kita semua. Untukku,
kamu, dia, mereka dan kita.
“Pantaskah kamu mengeluh,
di mana seseorang memimpikan hidup sepertimu?”
***
Aku, pencerita cinta dan semesta. Aku suka menulis. Di mana pun dan kapan pun. Hobiku menarasi apa-apa saja yang ada di sekitarku. Entah yang hidup maupun benda mati. Selain untuk diri sendiri, aku juga menulis untuk orang lain. Aku mencoba buat semua orang mengerti apa yang kutulis. Dengan begitu, mereka tak menyesal setelah membaca tulisanku. Bahkan, melalui 140 karakter yang tersedia di twitter, aku sering menyelipkan narasi fakta dan fiktif. Penasaran? Follow akunku @rofiekhaliffa. Kalau pun kau mau memintaku bercerita lebih, silakan visit blogku rokhaworld.blogspot.com ^^
Salam,
Rofie Khaliffa
Rofie Khaliffa
*** *** ***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Sepatu Athaya" By: Rofie Khaliffa"