SINGLE
Oleh: Vivi
Priliyanti
September 2012
“Hmmm—tak terlalu buruk, tunggu
kabar untuk pertemuan selanjutnya.” ekspresi ibu begitu datar, lalu berlalu
pergi.
Tak
ada salam, tak ada sapa, tak ada pula senyuman. Benar, tak terlalu buruk, tapi
sangat buruk!. Kupikir inilah September ceria, tapi mengapa jadi September
sengsara?
“Wanita
tua itu, sungguh—” gumamku lirih. Aku membanting pintu kamar dan menghempaskan diri
ke kasur. Untuk mengusir kesunyian, kuputar sebuah lagu yang mungkin bisa
membuat mood lebih baik.
“Bagai
mentari bersinar di indahnya pagi
Adalah
hidupmu siap memancarkan sinar
Lihatlah
hidupmu, penuh dengan kesempatan
Walau
beban hidupmu menghalang
Jangan
lari dari bebanmu
Hidupmu
indah bila kau tahu, jalan mana yang benar
Harapan
ada, harapan ada, bila kau mengerti
Hidupmu
indah bila kau tahu, jalan mana yang benar
Harapan
ada, harapan ada, bila kau percaya”
Hidup ini indah, dan harapan itu
selalu ada. Yah, hidup memang indah dan harapan pasti selalu ada. Tapi
persoalannya, apakah aku termasuk orang yang diberi kesempatan untuk hidup dan
berharap? I don’t know.
###
“Kerutan?” tahun ini sepertinya akan
ada musuh baru untukku. Dialah ‘cermin’.
Satu jam lagi pertemuan dimulai. Jantungku berdegup kencang, kaki bergetar
hebat, akankah ku ulangi merusak hari nya? Akhirnya lirik lagu Sheila on7
itu cocok untuk soundtrack sepenggal drama hidupku. Semoga hari ini tidak lagi
mengecewakan ibu. I hope so.
“Tenang Lisa, ini hanya perjodohan,
kalau memang jodoh ya pasti dimudahkan. Tapi kalau bukan?” kepalaku mulai
pusing lagi. Jika bukan jodoh, ya sudahlah, resmi sudah statusku sebagai
perawan tua. Mengapa ini September sengsara? Karena tepat tanggal 23 bulan ini
usiaku genap 42 tahun. Wanita 42 tahun yang masih lajang, atau mungkin kalimat
tepatnya ‘gadis 42 tahun yang masih lajang’?
“Ya ampun!” ternyata sudah 30 menit
aku berkutat di depan cermin, pasti telat.
Benar, telat 31 menit 17 detik.
Terlebih dahulu kurapikan riasan sebelum turun dari taksi, ‘semangat!’ berjuang
demi harga diri dan martabat sampai tetes darah penghabisan. Percaya diriku
mulai tumbuh, melangkah kedalam restoran mewah itu dengan tenang.
“Nyonya Lisa Kusmarono?” seorang
pramusaji memastikan “Silakan masuk.”
Restoran berkelas. Aku suka designe interior nya, pelayanannya juga
ramah, tapi sepertinya pelayan tadi harus belajar lagi tata bahasa. ‘Nyonya?’
kata sapaan macam apa itu?
Aku berjalan menuju meja di dekat
jendela, ternyata dia belum datang, padahal sudah jam dua lewat.
“Mau pesan makanan sekarang Nyonya?”
“Saya masih menunggu teman, nanti
saja” pelayan wanita itu membungkukkan badan lalu pergi.
“Ehh.... tunggu.”
Dia berbalik “Iya?”
“Berapa umurmu?”
Ia mengerutkan kening “Oh, saya 21
tahun.” ia memasang wajah bingung.
Kuanggukkan kepala dan memberi
isyarat untuk menyuruhnya pergi. Dua puluh satu tahun? Tak terlalu jauh, apa
bedanya 21 dan 42? Keterlaluan, bagaimana bisa aku makan dalam kondisi seperti
ini. Mood-ku mulai hilang. bertambah
satu musuh lagi untuk hari ini, aku benci sapaan ‘Nyonya!’.
Tiga puluh menit kemudian, jarum jam
menunjukkan pukul 14 lewat 35 menit. Lima pesan sudah terkirim, tapi tak ada
jawaban darinya, telfon pun tak berpengaruh. Tak lama, gadis 21 tahun itu
kembali lagi sambil membawa satu ikat mawar merah.
“Maaf, ada titipan untuk anda.”
“Untukku? Dari siapa?”
“Nama pengirimnya ada di kartu
ucapan.” ia kembali membungkukkan badan, lalu pergi
“Hmm... wangi” pasti dari Rino. Aku
menaruh kartu ucapan di meja dan tak menyentuhnya lagi, tak perlu dibaca pun aku
sudah tahu siapa pengirimnya dan apa isinya. Permintaan maaf dengan mawar
merah, tak terlalu buruk. Ia pasti sangat menyesal tak bisa datang tepat waktu.
Suasana hatiku mulai cerah kembali, kupanggil pramusaji tadi dan memesan
makanan kesukaan calon suamiku itu. Walaupun kami baru kenal satu bulan,
setidaknya aku sudah tahu beberapa makanan favoritnya. Selama satu bulan ini,
ibu selalu memberiku informasi segala hal tentang duda satu anak itu.
Lima belas menit berlalu, sampai
kapan lagi aku harus menunggu. Apa dia sedang rapat? Pergi ke pabrik? Atau
sakit? Berbagai kemungkinan muncul di kepalaku. Lebih baik telfon saja.
“Ayo angkat.... ayooo”
“Hallo” terdengar suara dari
seberang sana
“Kamu masih di mana? Mawarnya wangi.
Oya, aku tidak marah kalau Kamu telat,
ja....”
“Aku tidak akan datang.” dia memutus
kata-kataku.
“Apa?” 99,9% aku bingung.
“Maaf, sudah baca surat dariku?
“Surat?”
Tangan kiriku langsung mengambil
secarik kertas di atas meja dan mulai membaca kata-demi kata dalam surat itu.
“Hallo, Lisa, masih mendengar
suaraku?”
Apa-apaan ini? Hufff.... sungguh
sempurna.
“Hallo..... hallo....” suara di
seberang sana masih nyaring terdengar. Hingga akhirnya, lambat laun mulai
senyap.
Kupandangi makanan yang terhampar
dihadapanku. Inikah akhirnya? Harga diri, martabat? Tak ada perjuangan sampai
tetes darah penghabisan, yang ada hanya upacara menangis darah. Apa yang harus
kukatakan pada ibu yang sudah tua renta? Berkata dengan jujur bahwa untuk
ketujuh kalinya dalam dua bulan ini anak sulungnya kembali ditolak?.
Mendaftarkan diri ke Musium Rekor Indonesia sebagai wanita yang paling sering
dicampakkan? Atau orang yang selalu dicemooh oleh tetangga karena belum
menikah?
Kupasang earphone, menyumbat telinga, itu cara paling ampuh untuk membentuk
dunia baru. Seiring nada-nada yang mengalun, aku berjalan meninggalkan restoran
sambil menghayati soundtrack lainnya dalam drama hidupku.
“Sedetik
menunggumu disini, seperti seharian, berkali kulihat jam ditangan, demi
membunuh waktu, tak kulihat tanda kehadiranmu......... yang semakin meyakiniku,
kau tak datang.......
Hampa,
kesal, dan amarah, seluruhnya ada di benakku, andai seketika hati yang tak
terbalas oleh cintamu........ kuingin marah melampiaskan tapi ku hanyalah
sendiri disini, ingin ku tunjukkan pada siapa saja yang ada bahwa hatiku kecewa”
###
Aku berjalan lunglai meninggalkan
restoran. Mengapa begitu terpuruk? Aku tak sedih karena ditolak, aku tak kecewa
karena dicampakkan, tapi aku bosan dipergunjingkan. Usiaku 42 tahun, bukan lagi
gadis umur 18 tahun yang tergila-gila dengan cinta, tapi jika karena itu aku
jadi bahan lelucon, lama-lama bisa membuatku gila.
Sungguh
selama 22 tahun ini, aku lupa bahwa aku perempuan. Bekerja pagi- siang- sore-
malam demi membiayai kuliah ketiga adikku, dan juga biaya pernikahan mereka
tentunya. Hingga aku hilang ingatan bahwa diriku terpaksa harus putus kuliah,
melepaskan kesempatan menjadi dokter, mengubur dalam-dalam ambisi masa
remajaku.. Mengatur ulang rencana hidup, hingga dalam-dalam mengubur keinginan
untuk membina keluarga.
Kini, yang tersisa hanyalah rasa
sepi, sangat sepi.
Andai di Indonesia ada musim gugur,
mungkin kisahku ini bisa lebih dramatis. Berjalan sendiri ditengah deretan
pohon Oaks, diiringi hempasan daunnya yang berguguran. Oohhh.... sungguh, aku berharap
masih berumur 19 tahun, calon dokter dari Universitas ternama. Tapi itu hanya
masa lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?
Jujur, sebenarnya aku merasa nyaman
dengan kesendirianku. Namun, rasa nyaman itu tiba-tiba hilang saat orang mulai
memperbincangkan statusku yang masih sendiri. Mereka lebih menghargai gadis
yang menikah terburu-buru karena hamil, daripada wanita yang menjaga hingga
usia nya bertambah. Mana yang lebih baik, perawan tua atau married by accident?
Dilema. Itulah kondisi masyarakat, dan akupun terpengaruh oleh itu.
###
Oktober 2012
“Kerutan?
Bertambah lagi.” gumamku. Tapi kali ini aku tidak kaget, musuhku kini telah
jadi sahabatku, cermin ajaib.
“Ya ampun” ternyata sudah 30 menit
aku berkutat di depan cermin, pasti telat.
Benar, telat 31 menit 17 detik.
Terlebih dahulu kurapikan riasan sebelum turun dari taksi. ‘SEMANGAT!’
Persis seperti satu bulan yang lalu,
dengan baju yang sama dan jam yang sama, aku turun dari taksi di sebuah
restoran mewah yang menjadi saksi kehancuran hati wanita berusia 42 tahun ini.
Tapi kupastikan, hari ini akan memiliki akhir yang berbeda.
“Nyonya Lisa Kusmarono?” seorang
pramusaji memastikan “Silakan, yang lain sudah menunggu.”
‘Nyonya?’ tak terlalu buruk.
Diruangan restoran berkelas ini, kulihat
semua orang yang menyayangiku. Tak peduli apa yang dikatakan orang lain, tak
peduli apa yang mereka pikirkan. Siapa bilang aku kesepian? Siapa bilang aku
tak bisa membina keluarga? Inilah keluargaku, keluarga yang kubina selama 42
tahun. Keluarga yang sudah terjamin selalu ada untukku, tidak akan
meninggalkanku, tidak akan membiarkanku menunggu sendiri di restoran, malah
mereka yang menungguku, benar begitu bukan?
Lihatlah mereka, ibu, ketiga adikku,
ketiga adik iparku, dan enam orang keponakanku. Baiklah, mulai bangun dunia
baru, pakai headsheet dan dengarkan alunan sondtrack drama hidupku lagi......
“Mereka
bilang aku pemilih dan kesepian
Terlalu
keras menjalani hidup
Beribu
petuah dan nasihat yang diberikan
Berharap
hidupku bahagia
Aku
baik-baik saja, menjalani hidup yang aku punya
Hidupku
sangat sempurna
I’m
single and very happy”
TENTANG PENULIS
Vivi Priliyanti, mendalami Ilmu
Keluarga dan Konsumen di Sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kota Bogor, namun
tetap mimpi terbesarnya adalah menjadi seorang penulis profesional. Karya-karya
J.R.R Tolkien, JK Rowling, dan John Steinbeck lah yang membuat wanita pecandu
mie ini menjadi ‘kutu buku’ dan tak pernah berhenti menulis.
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "SINGLE" Oleh: Vivi Priliyanti"