Tanyakan Pada Merlion
"Saat kau mulai jatuh cinta, tiada hal lain
yang kau pikirkan selain kau harus tahu banyak hal tentangnya..."
Seperti biasa, seperti hari-hari
Minggu sebelumnya. Minggu sore ini kembali kusaksikan gadis itu keluar dari
gedung Esplanade. Baju rajut merahnya berwarna senada dengan heels setinggi
7 cm yang dikenakannya Minggu ini. Selalu, ia cantik setiap Minggunya. Bukan
berarti di hari lain ia tidak cantik. Sebab, hanya di hari Minggu sore saja aku
bisa melihatnya. Tapi aku yakin, gadis itu pasti juga cantik di hari-hari
lainnya.
Ia rutin mengunjungi pameran di
jendela Esplanade, setiap Minggu. Dan selalu, ia tak pernah membuatku jenuh
memperhatikannya dari jauh. Meskipun hanya bisa kuperhatikan ia dari balik
topeng beruang cokelat besar dan jelek, yang mungkin sampai kiamat pun tak
pernah menarik perhatiannya. Ia terlalu sibuk dengan waktu, tak mungkin peduli
pada badut beruang cokelat yang menyembunyikan sosokku di dalamnya.
Ah, cinta. Kau terlalu tinggi
memilih gadis itu untuk kujatuhcintai.
"Paman beruang, aku mau
balonnya!"
Tarikan gemas bocah lelaki pada
kostum beruangku seketika membuat perhatikanku pada gadis itu buyar. Tersisa
lima balon di tangan kiriku, yang lalu kuberi salah satu padanya, yang berwarna
oranye jaguar. "Terima kasih, Paman beruang gendut jelek!" pekiknya
meledek yang langsung ‘ngacir sambil menjulurkan lidah. Aku hanya tersenyum di
balik topeng beruangku, yang tidak mungkin bocah itu lihat. Huft, dasar
anak-anak!
Merlion Park ramai bukan main ketika
kucoba lagi menemukan sosok gadis itu di tengah hingar. Sial, gadis itu sudah
hilang ditelan bingar. Banyak gadis berbaju rajut merah berlalu-lalang di
hadapanku, tapi bukan ia. Ah!
Dan lagi, aku kehilangan jejakmu,
Nona.
***
Semburat senja menyembul di langit
Singapura. Tepat di atas patung Merlion yang tak bosan menghamburkan air, warna
oranye keemasannya tampak bak payung pelindung yang siap memayungi dari bising
dunia. Selalu, kusuka amati senja di pinggiran sungai Singapura. Merlion selalu
gagah. Tak peduli hujan, badai, atau gempa bumi sekali pun, ia tak lelah
mengaliri air dari dalam tubuhnya, menjadi nyawa sungai Singapura dan terus
menjadi kebanggaan distrik kota sibuk ini.
Dua tahun aku tinggal di sini,
semenjak nasib baik itu datang padaku. Aku mendapat beasiswa penuh di salah
satu Universitas terkemuka. Memang, semua biaya dan tetek-bengek perkuliahan tak
perlu kupikirkan, sebab sudah ada yang mengatur. Namun, hidup di negeri orang
butuh pengorbanan untuk terus bisa bertahan. Biaya hidup yang tak sedikit menjadi
acuanku 'tuk cari kerja sampingan. Agak sulit, karena status mahasiswa yang
cari kerja sampingan jarang dilirik perusahaan besar. Paling tidak, pekerjaan
yang mungkin didapat hanya sebatas waitress, sales promotion dan
pekerjaan taraf kecil lainnya.
Siapa sangka, di antara sekian banyak
pekerjaan taraf kecil yang kujumpai, menjadi badut beruang penghibur anak-anak
adalah pilihanku.
“Well
done.” Kutenggak habis segelas cappuccino
di tanganku, lalu kembali kupasang topeng beruang jelek ini. Pandangan mataku
berkeliaran mencari sasaran empuk, titik kerumunan anak-anak yang ingin kembali
kuhibur setelah sepuluh menit lamanya kuistirahatkan diri. Aku suka pekerjaan
ini. Kadang-kadang. Rasanya seperti kembali menjadi anak kecil yang hanya tahu
bermain, tertawa, dan bahagia.
”Be
a child, like in heaven. Just knowing that we are happy, no more sadness…”
***
Namanya Sanjana, atau lebih akrabnya
disapa Sanju. Ia penikmat lukisan kontemporer yang setiap Minggu dipamerkan
jendela Esplanade. Garis keturunan Indonesia-India-Pakistan kental menempel di dirinya.
Wajahnya menjawab semua itu. Alis tebal menyambung satu sama lain, mata tidak
belo juga tidak sipit, hidung tinggi mancung, rambut kecokelatan mengurai sampai
bawah pundak, tubuh ramping dan tinggi semampai bak model iklan. Di mataku, ia
nyaris sempurna.
Pertama kali kubertemu dengannya,
aku ingat betul itu hari Minggu tanggal dua puluh tujuh April lalu. Ia
mengenakan simple dress seatas lutut. Perpaduan warna merah dan hitam
yang manis pada dress dan heelsnya makin menawan ditambah polesan
make up natural namun mewahnya. Ah, kutahu ia bukan gadis bodoh yang tak
tahu apa-apa soal fashion. Ia gadis level A yang memiliki selera fashion
tinggi. Pastinya juga, ia punya selera tinggi dalam memilih pasangan hidup,
bukan?
Ketika itu, kami saling berpapasan,
juga saling bertukar pandangan. Hanya saja yang tampak di matanya bukanlah
diriku yang sebenarnya. Kulihat bayangan beruang jelek jatuh, lalu hanyut di
kedua bola matanya yang menghanyutkan. Beruntung ia tak lihat tubuhku yang
gemetar di balik kostum beruang jelek itu. Yang menyimpan denyut aneh dalam gerak
nadi ketika bertemu bidadari cantik sepertinya, di hadapanku.
Untuk pertama kali, kurasakan
seperti jantungku rasanya hampir lepas dari raga. Napasku tercekat, nyaris tak
sadar bahwa selama beberapa detik, aku menahan napas saat memenuhi
penglihatanku dengan bayangannya.
I though I'm fall in love. At first
sight.
Semenjak hari itu, bayangannya terus
berputar-putar di ingatanku. Tatapannya, wajah cantiknya, rona blush on
di kedua pipinya, rambut indahnya, semua seperti tercopypaste otomatis
di pikiranku.
Aku menyerah. Ia merenggut semua rasa
kantukku, hingga beberapa malam tak bisa lelap karena sibuk memikirkannya. Ini
gila. Ada banyak gadis yang kujumpai setiap harinya di Merlion Park, kenapa
hanya satu gadis itu yang selalu muncul dalam ingatan?
Kedua kali kubertemu dengannya,
Minggu tanggal empat Mei. Ia keluar dari gedung Esplanade, bersama seorang pria.
Penasaran, lalu kudekati mereka, alih-alih membagikan balon-balon pada
anak-anak kecil yang tengah berlarian di forecourt (pelataran) gedung
beratap mirip durian itu.
"Sanjana Khan, nice to meet
you!" ujar si pria yang lalu menjabat tangan bidadari cantikku. Sejak
itulah, aku tahu siapa namanya. Sanjana Khan. Nama yang cantik, secantik
rupanya.
"Nice to meet you too,
Zenhom. Kurasa kamu cukup panggil aku Sanju saja."
"Ah baiklah, Sanju."
Mereka lalu berpisah setelah lima
menit berbasa-basi. Berjalan ke arah yang saling berlawanan. Sepertinya, mereka
baru berkenalan. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan.
Sanjana Khan. Sanjana Khan. Sanjana
Khan. Hatiku riang menyebut namanya dalam hati. Setiap hari kucari tahu segala
hal tentangnya, setelah akhirnya kuyakini diri bahwa aku memang jatuh hati.
Kepadanya.
Aku selalu mengingat kalimat ini
yang pernah dikatakan ibu padaku saat masih tinggal di Jakarta dulu, "Saat
kau mulai jatuh cinta, tiada hal lain yang kau pikirkan selain kau harus tahu
banyak hal tentangnya." Awalnya pun aku tak percaya, namun setelah
bertemu dengan gadis penikmat lukisan kontemporer itu, segalanya berubah.
***
Senja sudah berlalu ketika kutengok
jarum jam di pergelangan tangan kini menunjukan pukul 6.40 PM, waktu Singapura.
Apa ada yang salah? Apa mungkin aku salah mengingat hari? Tidak. Aku ingat
betul, hari ini hari Minggu. Lantas, mengapa tak kujumpai sosok gadis itu di gedung
Esplanade? Bahkan, sudah kususuri seluruh permukaan Merlion Park ini, bidadariku
tetap tak ada. Tetap tak kutemukan. Ah, apa jangan-jangan ia lupa cara turun ke
bumi dari langit?
Tiga bocah perempuan yang beberapa
menit lalu kuberi balon terakhir, masih asik bermain di pinggiran sungai
Singapura, ketika kedua kalinya aku kembali sehabis mengelilingi tempat ini,
berharap menemukan Sanju-ku di antara ratusan orang berlalu-lalang, yang jika
diibaratkan butir pasir, pasti sudah bisa mengisi penuh satu kaleng sarden.
Saking banyaknya.
Papan putih bertulis 'FREE HUGS' masih
kupegang dan kutaruh depan dada. Beruang jelek ini pun masih menebar senyum ke
tiap-tiap orang yang ia jumpai. Baguslah. Setidaknya, tanpa harus susah payah,
aku bisa leluasa menyembunyikan diriku yang sebenarnya gelisah, karena belum
melihatnya.
BUKK!
Tak sengaja, aku menabrak seorang
gadis sampai ia nyaris jatuh. Untungnya tidak. Ia menunduk, mengamati cukup
lama papan yang kupegang lekat-lekat. "Can you hug me? Please...,"
gadis itu mengiba dengan suara paling lirih yang pernah kudengar sambil
menunjuk-nunjuk papan 'FREE HUGS' di dadaku. Suaranya, sontak membuat
hatiku bergetar, entah karena alasan apa. Ia lalu mengangkat wajah,
memberikanku kesempatan untuk melihat wajahnya yang sudah berlinangan air mata.
Astaga. Bidadariku, ada apa denganmu?
Ya, ia Shanju-ku. Bidadari cantikku.
Sosok gadis yang kucari-cari sejak tadi. Apa yang terjadi? Kenapa ia menangis?
Kurentangkan kedua tanganku menyambutnya
ke dalam pelukan. Ia masih terlihat cantik meski dengan air mata bercucuran.
Sisa-sisa eyeliner yang tersapu tangisannya mengubah warna bening air
mata menjadi kehitaman. Ingin sekali kuhujani ia dengan pertanyaan, agar otakku
berhenti memikirkan yang tidak-tidak soal penyebab tangisannya. Namun,
mengingat badut beruang jelek ini sudah diberi amanat untuk tak bersuara, aku
mengurungkan niatku 'tuk bertanya.
Ia berhamburan datang ke pelukanku,
menyandarkan kepala juga bebannya di dadaku. Oh Merlion, demi dia, aku rela meski hanya dijadikan sandarannya.
Kedua tanganku getap mengelus punggungnya, sesekali menepuk, memberi kesabaran.
Ia masih tak menyudahi tangisannya. Kuamati luka dalam danau matanya, berharap
bisa tahu kesedihan macam apa yang ia pikul dalam dada. Namun, sekeras apapun
mencari tahu, yang kudapat hanya jawaban hasil terkaanku sendiri, bukan jawaban
sebenarnya.
Sanju sesungukan, ia memelukku
semakin erat. Kepalanya menempel di dadaku, rapat. Kupastikan, kostum beruang
jelekku ini pasti sudah basah bersimbah air matanya. Tak apa. Asalkan mampu
meringankan beban dan lukanya, tak hanya kostum, hatiku bahkan siap dihujani
air matanya, yang bukan untukku.
Entah, dari sekian banyak gadis yang
memelukku sepanjang sore ini, hanya pelukan Sanju yang paling mengena. Mungkin
karena aku memiliki rasa padanya. Rasa itu bercampur, jika kau mau tahu. Ada
bahagia, ada pilu. Ya, bahagia karena dipeluk seseorang yang diam-diam
kucintai. Pilu karena tangis dan air matanya pun menjadi milikku. Dukaku.
Bukankah begitu? Ketika mencintai seseorang, miliknya seperti milik kita.
Senyumnya adalah bahagia kita. Tangisnya adalah cambuk dan pilu kita.
"There's a love,
whenever you feel like you gonna die when someone you love cryin' like crazy
because of someone else..."
Saat ini aku benar-benar yakin bahwa
aku jatuh cinta. Pada Sanjana. Namun, siapa aku baginya? Di matanya, yang
memberinya pelukan penenang adalah si badut beruang. Di matanya, penghapus air
matanya adalah si badut beruang. Bukan aku, Mikael Abraham.
Sebetulnya aku sangat ingin tahu
penyebab dari tangisannya. Alasan dari setiap butir air mata yang ia luruhkan.
Ingin sekali kubawa ia pergi ke suatu tempat, agar tak ada seorang pun yang
bisa menggunjingnya dengan beraneka prasangka ketika melihatnya menangis
sesungukan di pelukan si beruang. Tapi aku bisa apa? Di balik kostum beruang
jelek ini, aku hanyalah pria pengecut. Pecundang.
Sepuluh menit berlalu, dan hujan di
wajah Sanju sudah mereda. Entah dengan hujan di hatinya, mungkin masih merintik
tak berjeda. Ia menarik diri dari pelukan, mengusap sisa-sisa air mata yang
penuhi ruang di wajah.
"Terima kasih," lirihnya
sambil tersenyum. Senyuman pertama yang ia tujukan padaku. Dan, tubuhku
seketika membeku. Duhai, Merlion, tolong kau catat tanggal dan waktu
bersejarah ini! Aku takkan melupakan momen ini, sungguh.
"Namaku Sanju," lirihnya
kali terakhir sambil berlalu.
***
Ini cinta. Kau bisa tanyakan pada
Merlion, betapa mudahnya rasa ini hadir pada pandangan pertama. Kau bisa
tanyakan pada Merlion, betapa resahnya hari-hari selain hari Minggu-ku yang kulewati
tanpa melihat wajah cantiknya. Merlion tahu, dalam diamku selalu kusisipkan
namanya dalam doa, agar ia selalu bahagia setiap harinya. Di mana pun berada.
Merlion tahu, dalam diamku selalu tumbuh cinta demi cinta yang terpahat manis
di palung jiwa, yang diam-diam kububuhi rasa sayang untuknya. Merlion tahu
segalanya.
Rasa ini kusimpan sendirian.
Kunikmati pun sendirian. Bukan karena tak ingin membaginya, hanya saja nyaliku
masih terlalu ciut untuk mengungkapkan. Ia akan beranggapan aku ini gila kalau
saja tahu betapa logika tak pernah kupakai saat asik mencumbuinya dalam
bayangan. Ya, aku memang sudah gila. Gila karena mencintainya. Gila karena
hanya bisa diam-diam menyimpan perasaan ini padanya. Bukankah hak semua kita
untuk mencintai siapa pun yang kita kehendaki? Semua kita memiliki cara sendiri
'tuk mencintai. Dan caraku adalah, mencintainya sembunyi-sembunyi.
Minggu sore ini Merlion Park diguyur
hujan lebat. Selalu, Dewa Hujan mendatangkannya tanpa aba-aba. Tanpa kata-kata.
Seperti cinta. Datang tiba-tiba, begitu saja.
Orang-orang berhamburan, berlarian
mencari tempat berteduh paling dekat. Ah, sial, mana mungkin aku bisa lari
cepat? Dengan mengenakan kostum beruang cokelat?
"HEI!"
Seseorang meneriakiku dari arah
belakang. Awalnya tak kupedulikan, karena aku sibuk menyelamatkan balon-balon
dari terpaan angin. Tapi, ketika kucoba kenali pemilik suara itu...
"Paman beruang, kamu kehujanan!
Ayo, kita cari tempat berteduh!" Seorang gadis berlari kecil
menghampiriku, dengan menggenggam payung berwarna transparan pada kedua
tangannya. Tak seperti Minggu lalu, wajah cantiknya tak terhujani air mata. Ya,
ia Sanjana.
Syukurlah. Semoga kau benar-benar
sudah baik-baik saja, Nona. Kau tahu? Aku akan merasa sangat terpukul jika
kembali melihatmu menangis seperti Minggu lalu.
***
Kami berteduh di lantai dasar gedung
One Fullerton, bersama yang lainnya. Gadis di sampingku sedaritadi asik
menikmati irama hujan yang jatuh, asik menghitung tiap-tiap rintiknya dengan
tatapan yang sulit kuselami makna di dalamnya. Ada kerinduan, ada kebencian.
Seakan tengah menggali kenangan dalam kebisuan dan kediaman. Gadis itu pintar
menutupi perasaan.
Pintar menutupi perasaan? OMG,
hellooo, Paman beruang, kau pikir kau tidak? -_-
"Calon tunanganku melarikan
diri. Di hari pertunangan kami." Setelah puluhan detik membisu, akhirnya
ia bicara. Sementara aku masih diam-diam mengamatinya dari balik kostum
beruang. "Pria yang selama dua tahun ini kuanggap terbaik, ternyata
berbanding terbalik dengan anggapanku. Dia pria brengsek. Dia cuma mau membuat
malu keluargaku. Dia cuma mau balas dendam, karena keluarganya pernah merasa
dipermalukan dulu saat perusahaan keluarganya kalah tender dengan perusahaan
keluargaku. Is that fair?"
Ada nada kemarahan dan kekecewaan di
ujung perkataannya, yang ia lalu tutupi dengan tarikan napas. Dan, aku masih
berperan sebagai badut beruang di matanya. Ya setidaknya, untuk sekarang ini
tak apalah, selama ia merasa nyaman di dekatku, meski dalam bentuk seperti ini.
Sejelek ini.
Kupikir, drama kehidupannya hanya
ada di cerita-cerita televisi. Tentang seorang pria yang menyakiti gadisnya
hanya karena soal balas dendam keluarga. Ternyata, di kehidupan nyata juga ada
toh?
Aku merutuk dan menyumpahi pria itu
dalam hati. Pria yang sudah mencampakkan Sanju-ku tanpa hati. It's nor fair!
Hujan berhenti tepat di pukul enam sore.
Wajah Sanju masih diliputi getir, dan mungkin juga gerimis kecil-kecil di
hatinya. Sama sekali ia tak menitikan air mata, meski kuyakin hatinya lebih
sakit daripada apa yang ia lontarkan dalam tiap kata. Mungkin, air matanya
sudah habis tak tersisa. Atau mungkin, ia sudah lelah sampaikan luka melalui
air mata. Ah, terlalu banyak kemungkinan yang kuterka. Hanya satu pintaku,
Tuhan, biarkan Sanju-ku bahagia.
Merlion, apa kau tahu? Ada sedikit
rasa sesak di dadaku. Entah bernama apa. Entah bersebab apa. Aku mencintainya,
yang mencintai orang lain. Apa namanya perasaan ini?
***
Satu
tahun kemudian...
Merlion Park, 7 September 2015.
Terhitung sudah satu tahun semenjak
Sanju menceritakan kisahnya di sela gemuruh hujan, ketika kami berteduh di One
Fullerton. Sejak itu, ia tak pernah lagi menginjakkan kaki dan menampakkan
batang hidungnya di sini.
Ia meninggalkan Singapura. Mungkin,
karena terlalu banyak kenangan pahit di kota ini, sampai ia harus memutuskan
pergi ke Italia. Dan, kabar itu baru kudapat dua bulan setelah kepergiannya.
Setelah kulelah hadapi ketiadaannya yang membuat hari-hariku menghampa.
Tanyakan pada Merlion, betapa rindu
kurasakan merajam hati, ketika sosoknya yang biasa kunikmati meski dari jauh
dan dalam diam, menghilang tiba-tiba. Seperti harapanmu putus di tengah jalan.
Kau hilang arah. Dan, rindu itu semakin menjadi-jadi, ketika kusadar betapa
bodohnya diri ini yang tak pernah meninggalkan bekas di matanya, di hatinya,
yang agar di mana pun ia berada, ia akan mengingatku meski tak sebagai kenangan
terindah.
Tanyakan pada Merlion, seperti apa
cintaku yang tanpa suara. Hanya mengharap keajaiban bisa membuatnya mengerti
dan paham. Aku lupa bahwa cinta pantasnya diperjuangkan, juga diungkapkan. Jika
hanya kau perjuangkan tanpa pengungkapan, selamanya cintamu akan bersemi dalam
kebisuan. Dan mungkin juga, tanpa kepastian.
Sekarang, aku harus bagaimana,
Merlion? Menunggunya yang tak mungkin datang karenaku? Cinta ini terlalu semu,
meski kutulus mencintainya tanpa berani mengaku.
Merlion Park selalu ramai. Seperti
juga, hari ini. Namun, ramainya tak pernah mampu mengusir sepi di hatiku ini.
Mungkin, karena terlalu lama cinta tekurung, ditambah rindu yang tak tahu ke
mana harus berpulang, ketiadaannya membuat semua tak lagi sama. Duniaku berubah.
Seperti kehilangan keindahan yang semuanya termaktub di dirinya. Di diri
seorang gadis yang membuatku selalu takut membisik kata cinta di telinganya.
Atau mungkin kukatakan begini saja padanya, jika Tuhan menakdirkan kami bertemu
kembali suatu saat. "Tanyakan pada Merlion, perasaan macam apa yang
selama ini kusimpan diam-diam. Tentang cinta yang kututup rapat-rapat. Juga
tentang rindu yang kujaga dalam-dalam. Tanyakan pada Merlion, dia tahu
segalanya."
Tanyakan pada Merlion? Bodoh! Sanju pasti akan
berpikir bahwa aku sudah gila. Aku sinting. Aku tidak waras. Lantas, aku harus
bagaimana, Tuhan?!!
"Di dalam
keramaian, aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan kamu..."[1]
***
Pernahkah kau membayangkan bertemu
kembali dengan seseorang yang sangat ingin kau temui, tapi dengan cara yang
sama sekali tak pernah ingin kau alami? Seseorang yang begitu kau rindukan,
tapi pada akhirnya itu menjadi hal yang sia-sia, karena ia kembali dengan menggenggam
tangan seseorang lain. Lalu kau bertanya-tanya reaksi apa yang harus kau berikan
jika hal itu terjadi. Dan kini, aku sedang mengalaminya.
Sanju-ku kembali. Akan tetapi...
“Paman beruang…??” suaranya membuat hatiku
bergetar, persis ketika pertama kali aku mendengarnya. Tapi, kali ini berbeda.
Getaran itu seolah bercampur kejut listrik bertegangan tinggi, melihatnya
bersama seseorang, yang tak tahu siapanya. “Long time no see. Paman masih ingat
aku? Kamu... Paman beruang yang waktu itu, 'kan? Atau, sudah ganti orang?"
Pria di sampingnya, yang menggenggam
tangannya, pria itu sungguh tak asing di mataku. Rasanya aku pernah bertemu
dengannya, entah di mana. Sementara Sanju masih diliputi rasa penasarannya. Kutahu
ia takut salah mengenali badut beruang yang pernah memeluknya saat menangis
dulu. Yang pernah menghapus air matanya dulu.
Kau tak salah, Nona. Akulah yang
selalu kau panggil-panggil 'Paman beruang' itu. Akulah si badut beruang yang
asal kau tahu, Nona, aku... mencintaimu. Sejak setahun yang lalu. Dan kini, haruskah
kubahagia dengan pertemuan yang semacam ini?
Kuambil papan 'FREE HUGS',
lalu kupraktikan dengan cara pantomim bagaimana ia dulu memintaku untuk
memeluknya. Cara paling aman tanpa harus membuka topengku blak-blakan di
hadapan mereka, karena aku tidak mungkin membukanya. Setidaknya, tidak di depan
Sanju. Untuk saat ini. Ia tak boleh sampai tahu kalau nanti tiba-tiba saja
kumenitikan air mata.
Kumelihat Sanju-ku lalu tertawa. Bahagia.
Masih dalam genggaman tangan pria itu, kuamati Sanju yang tak lagi sekelam
dulu, ketika terakhir kali kami bertemu. Ia masih cantik, seperti dulu.
Perbedaannya hanya ada pada rambutnya yang kini bertambah panjang. Selebihnya,
tak ada yang banyak berubah dari seorang Sanjana Khan.
"Kalau tidak ada Paman, mungkin
aku sudah gila waktu itu. Aku tidak punya siapa-siapa yang bersedia jadi
pendengarku. Orangtuaku sibuk mengurusi rasa malu mereka, dan membangun lagi
reputasi keluarga yang menurut mereka hancur sejak gagalnya pertunanganku
itu." Sanju menarik panjang napasnya. Pria di sampingnya sesekali membelai
rambutnya, mengelus punggungnya. Harusnya
aku! Ada binar cinta ketika ia menatap Sanju, dan setiap menangkap binar
itu, seakan ada pedang tajam menghunus dadaku saat itu juga.
Merlion, beginikah rasanya patah
hati? Jika bunuh diri tak diharamkan, tentu saat ini sudah kuiris nadi sendiri.
Pria itu, yang di sampingnya, kenapa bukan aku saja??
Ia Ahmed Zenhom. Ya, setelah Sanju
memperkenalkan pria itu padaku, seketika aku ingat pada pria yang pernah
kulihat keluar dari gedung Esplanade bersamanya. Satu tahun lalu. Tidak
salah lagi, itu benar dia!
Sanju menceritakan semuanya. Tentang
kepindahannya yang tiba-tiba ke Italia, tentang pertemuan kembalinya dengan
Zenhom di sana, yang kini berstatus... calon suaminya. Semua ia ceritakan
dengan wajah berseri-seri. Dengan senyum yang terus terlukis di bibir. Tuhan,
Kau memang sangat baik. Kau mengabulkan pintaku, agar Sanju-ku selalu Kau beri
bahagia. Tapi, Tuhan, kenapa rasanya sulit menerima kenyataan bahwa bahagianya
bukan bersamaku?
"Semoga kamu bahagia, dengan
pilihanmu..." Doa itu terlantun begitu tulus dari bibirku ketika Sanju dan
kekasihnya mulai hilang di tengah keramaian.
Merlion, Sanju-ku akan melanjutkan
hidup baru bersama pilihannya, selain mendoakannya dari kejauhan, aku bisa apa?
***
"Ketika
kau sampai di ujung jalan, lalu kau baru sadar bahwa jalan itu jalan yang tak
seharusnya kau tempuh, apa yang akan kau lakukan? Atau, jika orang yang kau
cintai tidak bisa bersamamu, apa kau akan berhenti mencintainya? Ah, kali ini
aku takkan memintamu tanyakan pada Merlion, karena jawabannya ada di hatimu
sendiri."
-Mikael
Abraham-
§§§
Tentang Penulis:
Rofie Khaliffa, lahir di Jakarta tanggal 31 Oktober, 21 tahun yang lalu. Sudah sejak SMP mencintai dunia tulis-menulis dan karyanya pernah memenangkan beberapa kali writing competition. Mantan penyiar radio ini sedang dalam proses penggarapan novel perdana. Untuk mengenalnya bisa langsung via email: rofie.khaliffa@yahoo.com tau mampir ke Blog: rokhaworld.blogspot.com
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Tanyakan Pada Merlion" By Rofie Khaliffa"