Warna
Cinta Sejati
Oleh: Eko Suseno
“Kau tahu kenapa aku
membawamu ke tempat ini?”
“Memangnya kenapa?”
“Aku hanya ingin nanti
setelah ku buka penutup matamu, kau paham seberapa besar cintaku padamu” ucapku
lirih mencoba meraih senyum Sabila.
“Cinta?.. belum nyerah
juga kau mengejarku?” jawab Sabila tersenyum simpul menantangku.
“Gak ada kata nyerah
dalam kamus hidupku, apa yang sudah kukejar tak akan pernah berhenti sebelum ku
dapatkan, kau pernah dengar aku kalah?”
“hahaha..gak usah sok
dewasa lah.. aku sudah paham kau tipikal orang seperti apa, trus mau sampai
kapan nih mata ku tertutup kayak gini?” tawa Sabila lepas seolah paham siapa
diriku.
Tak ada seorang pun
ditempat itu, hanya ada aku dan Sabila. Langit di ujung barat yang tadinya
terang, kulihat mulai menguning menata tempat tenggelamnya sang surya. Angin
yang biasanya garang menerpa perbukitan, saat itu terasa jinak membelaiku yang
berdiri disalah satu puncak perbukitan itu. Aku yang berdiri memegang handel
kursi roda yang masih kokoh memangku bidadari, mulai gelisah menerka takdir
yang akan terjadi. Entah apa yang membuat hati Sabila begitu keras, hingga tiga
kali pernyataan cintaku ditolak. Ini yang ke empat, dan mungkin juga akan ada
yang ke lima dan seterusnya. Tapi aku tak peduli, memendam rasa cinta tentu
lebih sakit dari pada ditolak.
“Sudahlah.. sabar dulu,
bentar lagi juga kubuka”
“Sebenarnya aku merasa
aneh Dit.. apa sih sebenernya yang kau harapkan dariku?”
“Cinta” jawabku tegas
ke Sabila.
“Cinta?.. dari orang
cacat dan terbuang seperti aku ini?.. jangan bercanda.. bahkan orang gila pun
tak akan mau menyentuhku” Sabila tak yakin denganku, sambil menunduk pelan
seolah ia coba menunjukkan segala kekurangannya pada seisi dunia.
“Aku lebih dari gila..
jadi gak ada alasan bagiku untuk membohongi perasaanku sendiri”
“Apa karena kasihan?..
kau harus sadar bahwa rasa cintamu itu sudah keterlaluan, harusnya kau berikan
cintamu pada gadis yang bisa diterima oleh orang tuamu”
Perlahan langitpun
mulai gelap dan sang surya hampir hilang separuh ditelan bumi bagian barat. Aku
pun bergegas tak sabar ingin menunjukkan rahasia alam ini pada Sabila.
“Oke.. sekarang saatnya
kau buka mata” perlahan aku buka penutup mata Sabila dan mencoba menunjukkan
indahnya matahari terbenam sore itu.
“Bukankah kau tahu..
kalu kedua mataku ini sudah tak jelas lagi untuk melihat?.. sebenarnya apa yang
ingin kau tunjukkan padaku Dit?.. aku semakin tak paham dengan dirimu”
“Aku hanya ingin
menunjukkan ke kamu bahwa untuk mencintai tak perlu dengan melihat, tak perlu
daya, cukup dengan hatimu.. resapi, rasakan dan cobalah pahami perasaanku”
Sabila pun terdiam,
udara sore itupun seolah beku terhenti oleh putaran waktu. Alam yang begitu
tenang semakin menambah hening saat itu. Entah apa yang akan terjadi pada
takdir cinta Radit dan Sabila, Hanya Tuhan yang tahu. Walau keyakinan akan
kodrat dan ketentuan Nya tentang hidup, aku masih saja berharap apa yang telah
aku lalui ini tak sepahit yang tergambar. Sulit bagiku untuk membiarkan orang
yang kucintai berlalu dari kehidupan ini tanpa merasakan manisnya cinta
sedikitpun. Dengan sisa hidup yang tinggal beberapa hari lagi, aku harus bisa
menunjukkan warna cinta sebelum Sabila pergi untuk selamaya.
“Dit.. aku hargai
usahamu untuk menunjukkan cinta padaku, sepertinya cinta yang aku pahami berbeda
denganmu, mungkin kau mengira aku tak bahagia hidup seperti ini. Kau salah
Dit.. justru dengan keadaanku yang seperti ini aku bisa merasakan cinta sejati”
“Beda?.. apa yang kau
maksud cinta sejati?.. bukankah seumur hidupmu kau tak pernah dekat dengan
seorang laki-laki”
“Memang aku tak pernah
dekat dengan laki-laki.. tapi aku selalu merasa dekat dengan Allah, semakin
sering aku di uji.. semakin rindu aku pada Nya, dan sebentar lagi aku akan
berada di sisi Nya”
Sore itu pun berlalu
tanpa ada keindahan sebagaimana yang kuharapkan. Namun setidaknya aku
mendapatkan jawaban dari kerasnya hati Sabila selama ini yang enggan menerima
cintaku. Sepertinya warna cinta ada bermacam-macam tergantung bagaiman setiap
individu memaknai dan memahaminya. Tapi cinta sejati hanya ada satu warna,
yaitu cinta kepada Allah Tuhan kita. Sejauh mana cinta sejatimu bukan aku atau
mereka yang tahu, tapi dirimu. Karena cinta sejatimu hanya bisa kau rakit dari
kedekatanmu pada Allah Tuhanmu.
Profil Penulis:
Dia biasa dipanggil Seno, masih umur 30
an tahun, selalu terobsesi untuk selalu memperbaiki kekurangan diri. Beberapa
kawan lama memanggilnya Senoshuke, karena mereka anggap isi otak orang ini
susah ditebak dan gak karu-karuan. Namun sepertinya ia sedikit diuntungkan oleh
beberapa kali “kebetulan” hingga akhirnya memutuskan untuk menekuni dunia tulis
menulis. Dengan harapan nasibnya tidak lagi tergantung pada “kebetulan”.
*** *** ***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Warna Cinta Sejati" By: Eko Suseno"