WINTER SOLSTICE
Oleh: Sahid Salahuddin
SUSI
VAN DER KRAAFT
Aku
baru saja sampai, Ramiro. Dari Barajas, aku akan ke Corral de la Moreria.
Tempat pertama kali kita bertemu, sepuluh tahun yang lalu. Kamu masih mengingatnya?
Tok...
tok... tok... Wanita gipsi itu mulai mengetukkan sepatunya. Rumbai-rumbai roknya
mengombak-ombak, mengikuti geliat tubuhnya. Tepuk tangan yang cepat nan rentak,
membuat wanita gipsi, penari flamenco itu, kian liar meliukkan tubuhnya. Ia
terhanyut ke dalam irama petikan gitar akustik, biola dan tabuhan perkusi.
Semarak
sekali.
Tiap
lenggok tubuhnya bergoyang, riuh pengunjung langsung menyambutnya. Aku menahan
diriku agar tak ikut bergoyang bersama irama. Sungguh, irama ini... membiusku.
Bisa saja aku dibuatnya meninggalkan meja, yang lalu, bagai terasuki,
menggoyangkan tubuhku dalam rentak flamenco. Ketika irama semakin menggelora,
jemariku pun kian ramai mengetuk meja.
“Menari
saja, Señorita,” pria itu mendekat. Sudah berapa lama ia memerhatikanku, sampai
aku tak menyadarinya? “Bisa menari? Flamenco?”
Aku
bergeming. Ketuk jariku menyenyap. Pria asing itu tersenyum, menuntutku
menjawabnya. Sebelah alisnya terangkat.
“Ahai...,” ulur tangannya kepadaku,
“Ramiro de Ruiz. Panggil saja Ramiro.”
Ih, apa aku tak salah lihat? Dia kedipkan
matanya kepadaku?
Aku
tak segera menyambutnya, sebelum aku benar-benar yakin pria asing itu, yang tak
tahu malu mengedipkan matanya, bukanlah dari jenis lelaki brengsek. Lamat kuamati,
sepasang mata legamnya itu kini memburam. Tangannya yang terulur, ditariknya
kembali.
***
HP-KU BERDERING. SMS
balasan dari Ramiro:
Andai
kamu mau menunggu tiga puluh menit lagi, aku akan menjemputmu. Aku sudah sangat
rindu padamu, Mi querida señorita...
Reply-ku:
Ini
bukan saat untuk melepas rindu, Ramiro. Temui aku di Corral de la Moreria, atau
tidak sama sekali!
Kuperhatikan
jam di tanganku. Waktuku tak banyak. Kubergegas, menyeret tas kabinku, menuju
stasiun metro de Madrid. Tubuhku menggigil.
Di luar, salju tipis mulai berjatuhan. Bias lampu kota menjadikan warnanya menjingga.
***
“AKU TAK MENGERTI,
RAMIRO. Sudah seminggu mimpi itu menghantuiku. Mimpi yang sama...,” ku dengar nada
cemas dalam suaraku. “Tolonglah aku, Sayang...”
Ramiro
mendesah. Untuk beberapa menit ia terdiam, berpikir keras. Sejak pelayan
meletakkan sangria pesanan kami,
sedikit pun ia belum menyentuhnya.
“Katanya,
kita mesti ke Museo Del Prado,” sambungku.
“Kamu
yakin, ini tidak hanya sekadar mimpi?”
“Awalnya,
memang aku ragu. Namun, begitu mimpi itu datang berulang-ulang kali, aku mulai
memikirkannya. Selalu memikirkannya.”
Sampai
rentak musik terhenti, kami belum juga memecahkan misteri itu. Baru di malam
ini, aku tak bisa menikmati lenggok penari flamenco dan jariku tak terketuk
mengikuti irama tabuhan perkusi dan tok
tok sepatu wanita penarinya.
Semua
terabaikan begitu saja.
“Museo Del Prado..., wanita gipsi...,”
sebut Ramiro berulang-ulang, mencoba menemukan titik temu dari semua yang
dikatakannya. Lalu kembali melepaskan desahan berat ke udara. Tangannya
terkepal. “Ia tak mengatakan hal lain selain itu?”
“Aku
melihat lukisan Goya: La Maja Desnuda.
Ia pun juga menyebut sebuah nama.” Aku terdiam memikirkan nama itu. Aku tak
begitu yakin dengan nama yang dibisikkan wanita dalam mimpiku itu. Nama itu
terlalu utopis di telingaku. “Saya duga, ia menyebut: Ma-Ya.”
Ramiro
menatapku. Tatapan itu begitu sekilas, sampai ia letuskan kembali keluhnya,
“Apa-apaan ini? Teka-teki Jostein Gaarder?”
Malam
itu, kami tak temui jawaban. Aku pulang ke Hoztal
Cruz Sol. Kuhitung mundur waktu menuju winter
solstice. Tak banyak lagi waktu yang kumiliki. Benar-benar tak banyak lagi.
Derak jam di dinding, membuatku terjatuh dalam lelap.
***
Winter
Solstice, pukul 00:00.
Ramai
orang-orang berwajah panik berkerumun di bawah langit Placa Maior. Dengan tangis berderai, aku menghambur, memecah
kerumunan. Tanganku menggapai-gapai, merabai wajah seorang lelaki yang
terbaring di tengah kerumunan. Wajahnya rusak. Kulitnya meleleh. Tangisku
memuncak, memekik kepada keramaian, “Panggilkan ambulance! Cepat, panggilkan ambulance!”
Di
pelukku, lelaki itu mengerang. Meronta kepada kesakitannya.
“Bertahanlah,
Sayang. Ini aku, di sini...” tetes air mataku jatuh di keningnya yang tak
berbentuk lagi.
Tubuhnya
menggeletar. Meronta-ronta. Aku pun tak habis pikir dibuatnya, mengapa
orang-orang itu tak ada satu pun yang tergerak untuk membantu? Wajah-wajah
panik mereka hanya membuatku bertambah panik. Aku tak tahu mesti berbuat apa
lagi?
Kubenamkan
wajahku. Di atas dadanyalah, kuhitung detak jantung Ramiro melemah. Dari hentak
menjadi denyut yang nyaris tak ada.
Aku
pasrah. Merintih pasrah...
Sampai
tibalah bisikan itu ke telingaku. Suara wanita. Ia berjongkok, membungkukkan
badannya. Rambut hitamnya jatuh ke wajahku. Begitu menyesap wangi rambutnya,
aku bagai tersihir. Bisikannya di telingaku, membuatku mampu melihat koridor
panjang Museo Del Prado dengan mata
membelalak. Meneliti satu demi satu lukisan Francisco de Goya, sampai berakhir
pada lukisan La Maja Desnuda. Di
depan lukisan itu, bagai tertarik gravitasi, aku tercebur ke dalamnya.
Menembusnya. Kusaksikan bumi meleleh, mengembang bagai bola panas raksasa.
Supernova. Jilatan apinya memercik jauh, melumat bulan dalam sekejap.
Tak
ada yang lebih mengerikan dari itu!
Mataku
memanas. Baru saat wanita gipsi itu menyebut ‘Maya’---Ya, ia baru saja
menyebut: Maya!---baru di saat itu, mataku memejam. Dalam pejaman, kusaksikan
diriku sendiri terlontar ke dalam pusaran debu angkasa. Bumi meledak.
Pecahannya memencar. Dentumannya gelegarkan jagat raya. Sekujur tubuhku
terjerang...
Aku
terbangun.
Dan,
sadar begitu pekikan ketakutanku masih menggantung di udara. Mataku terbelalak.
Napasku tersengal. Terlambat bagiku untuk menyadari degup jantungku sendiri.
Mimpi buruk itu lagi...,
gumamku. Adakah itu firasat, ataukah
semacam peringatan buatku?
Atau..., peringatan buat Ramiro?
Ramiro?
Aku takut terjadi sesuatu dengannya di malam ini.
Kuraih
HP-ku dengan tergesa, menggenggamnya dengan tangan gemetar. Mengaktifkan keypad-nya. Menekan tombol pemanggil.
Cepat saja, nama Ramiro pun muncul di layar.
Dialing......
Tak
ada jawaban! Berkali-kali kucoba, pun tak ada jawaban. Air mata cemasku mulai berguguran.
Ya Tuhanku, lindungilah Ramiro, Kekasihku...
Sampai
fajar terpantul di atas sungai Manzanares,
aku terlampau takut untuk tidur kembali. Di ambang jendela, aku terpekur
menyaksikan waktu, bagaimana kegelapan terlipat oleh serat jingga di langit
fajar. Aku didera cemas yang sangat menyiksa.
Oh, Ramiro...
Ping!
Kumenoleh
ke belakang, kepada kegelapan kamarku. Suara itu berasal dari netbook-ku. Ya ampun..., aku tertidur sebelum sempat mematikannya. Cahaya putih
yang terhambur dari layarnya, membuatku tersadar akan sesuatu, yang sebelumnya
luput oleh fikirku. Mengapa aku tak
mencoba mencari tahunya lewat google? Ah, betapa bodohnya aku!
Bunyi
‘Ping’ tadi mengabarkan sebuah pesan chat
masuk, dan pesan itu melegakanku:
Ramiro
dR: Buenos díaz,
Mi querida senorita... Bagaimana dengan tidurmu? Nyenyak?
Susi
VdK:
Aku mencemaskanmu...
Ramiro
dR: Kau begitu
paranoid. Santai sajalah. Aku juga mencoba santai. Eh, bagaimana kalau kita ke
Santiago Bernabeu? Menonton Real Madrid?
Lega.
Ramiro tampaknya sudah melupakan apa yang membuatnya tertekan, kemarin. Tak
apa-apa, itu lebih baik baginya.
Susi
VdK:
Maaf, Ramiro. Ada yang mesti aku kerjakan. Bersenang-senanglah... Adiós.
Tak
lupa Ramiro berpesan untuk tak lupa menjaga kesehatanku sebelum ia akhiri chat kami.
Kini,
tibalah waktuku untuk browsing,
mencoba menguak misteri itu.
***
AGAK MENGHERANKAN BILA,
pada akhirnya, aku mesti memercayai takhayul. Menelusuri laman demi laman yang
bercerita tentang Museo del Prado;
supernova---bumi yang meleleh di jagat raya---bisikan wanita gipsi; Ramalan masa
depan seseorang dan dunia; semua itu membuatku tak puas. Ini bukan tentang
berteori ilmiah!
Tidak.
Bukan itu yang aku cari!
Bagaimana
aku menjelaskannya? Justru, dari mitos, takhayul, apalah namanya itu, aku malah
teryakinkan. Terpuaskan. Dalam kasus ini, ilmiah itu hanya praktis bagi
civitas, tidak bagi mimpi! Apa yang kusaksikan dalam mimpi: winter solstice, Maya, kiamat, oleh
google, kuketahui semua itu bermuara kepada sebuah ramalan suku Maya: bakhtun 13, ketika winter solstice, akan menjadi hari terakhir peradaban bernama
manusia dan bumi.
Singkatnya,
itu berarti kiamat!
Itu
adalah petunjuk pertama yang kudapatkan.
Lalu, apa arti lukisan dalam mimpi
itu?
‘Maja’,
kata depan dari judul lukisan itu, hemat aku, jelas merujuk kepada suku Maya dan
ramalannya. Tapi, tunggu dulu! Apakah itu
berarti sebuah media?
Astaga!
(aku terpekik sendiri pada sebuah intuisi yang dengan begitu saja terang
benderang dalam benakku) Apakah mimpi
itu, selama ini, telah berusaha memberitahukanku akan kiamat, yang bisa
membuatku kehilangan Ramiro, Kekasihku? Supaya aku meletakkan kiamat itu dan
membekukannya ke dalam lukisan, seperti aku meletakkan es krim ke dalam kotak
lalu membekukannya ke dalam freezer?
Kedengarannya,
sih, gila! Tapi, kalau itu
satu-satunya cara untuk menyelamatkan pria yang kamu cintai, juga menyelamatkan
peradaban manusia, apa yang akan kamu lakukan?
Ini
yang membuat intuisi itu lebih logis: dari semua objek lukis yang berbeda; dari
semua aliran pelukis yang pasti beda; dari warna yang berbeda yang tersapuh di
atas kanvas; satu yang sama: ruang, waktu, dan dimensi---semua lukisan dapat
membekukan ruang dan waktu, meleburkan dimensi ke dalam bentuk yang statis,
tanpa gerak dan suara.
Tapi,
bagaimana aku bisa membekukan kiamat ke dalam lukisan?
Aku
terlampau letih memikirkannya. Di luar, senja mengepung langit. Salju mulai
turun. Aku terjatuh dalam lelap...
***
MIMPI BURUK itu tak
datang. Apa karena aku telah memecahkan misterinya?
Bisik
wanita gipsi itu yang membangunkanku dan terhenyak saat menyadari winter solstice telah mengintip di celah
malam. Tapi..., hai aku ada di mana
sekarang ini?
Kudapati
diriku telah berada dalam Museo del Prado,
terjepit di antara koridor dan bentangan lukisan di dinding. Tak banyak fikir,
aku mulai berlari, mencari dinding di mana La
Maja Desnuda diletakkan. Aku
mesti menemukannya sebelum winter
solstice mendahuluiku. Jika tidak, ......
Aku
tak mau itu terjadi!
Tersisa beberapa detik lagi ketika aku berhasil melompat ke dalam lukisan itu. Kurasakan bagaimana ruang, waktu, dan dimensi berpusar menuju satu titik. Dan titik itu adalah: Aku. Ketiganya menyelimutiku, meletakkan jiwaku sebagai pusat pusarannya. Di dalamnya---jagat raya, bumi, galaksi, matahari, alpha centauri, andromeda---meleleh, ketika tangan-tangan Goya, kurasakan, bergerak liar di kulit tubuhku. Dengan kuasnya, Goya meletakkan kestatisan; mengekalkan keseluruhan ruang, waktu dan dimensi ke dalam Aku. Aku yang, oleh Goya, telah dikekalkan ke dalam lukisan La Maja Desnuda, seiring dibekukannya kiamat ke dalam Aku. Sekaligus membekukan cintaku yang besar untuk seseorang yang amat kucintai: Ramiro...
***
RAMIRO DE RUIZ
Aku tersenyum ketika membaca kembali SMS yang kau kirimkan kepadaku, Susi...
Aku baru saja sampai, Ramiro. Dari Barajas, aku akan ke Corral de la Moreria. Tempat pertama kali kita bertemu, sepuluh tahun yang lalu. Kamu masih mengingatnya?
“Aku
masih mengingatnya, Sayang...”
Air
mataku memecah jatuh ke pipi. Ingin rasanya hatiku meraung, meneriakkan namamu
dengan segenap cinta yang kupunya. Dengan segenap rinduku yang tak kunjung
terpeluk. Apakah hidup ini akan terasa sama, ketika melangkah pun sudah merasa
senyap? Apakah cinta akan tetap sama indahnya, bila semua hari, tanpamu, menjadi
begitu kosong, begitu hampa? Bagaimana kini bisa kukatakan, fajar merebak dari
timur membawa cahaya cinta dari lentik matamu, bila kau yang kukagumi tiada
lagi menemani pagi hariku, siang hariku, dan malam hariku?
Kulayangkan
tanganku, jemariku lembut menelusuri jengkal demi jengkal kulitmu. Kulit
kanvasmu. Membelaimu dengan tangis yang tertahan. Manalah aku bisa kuat menatap
wajahmu, dalam lukisan itu, bila rasa kehilangan menderaku tiap saat? Jika tiap
bentuk, adalah wajahmu? Tiap suara, adalah suaramu? Tiap detik, adalah dirimu?
Sampai
kapan pun, aku tak kan pernah sanggup!
Dengan
sepenuh cinta, kumendekapmu erat. Meletakkan lukisan dirimu dekat di hatiku. Dua
sudut mataku sembulkan titik air mata. Lirihku kepadamu, “Kau mau tahu? Cintamu
itu, seputih winter solstice...”■
29032011 – 03:52
Keterangan:
Winter solstice: Titik
balik musim dingin, di mana matahari akan berada tepat di atas titik tropic of
capricorn.
Barajas:
Nama bandar udara di Madrid, Spanyol.
Corral de la Moreria: Restoran
terkenal di Madrid, di sana para pengunjung dihibur dengan tarian flamenco.
Mi querida señorita: Yang
tersayang – Señorita: Kata yang
sepadan artinya dengan Sayang, Manis, Cantik, Nona, dsb
Sangria:
Minuman
beralkohol khas spanyol. Bisa juga diminum tanpa alkohol.
Museo del Prado: Museum
nasional Prado. Museum ini memiliki koleksi lukisan-lukisan dari pelukis
terkenal dunia.
La Maja Desnuda: Salah
satu lukisan karya Fransisco Goya. Lukisan ini berpasangan dengan judul
lukisannya yang lain, La Maja Vestida.
Jostein
Gaarder: Pengarang novel international best seller: Sophie’s
World, Maya, dsb.
Hoztal
Cruz Sol: Penginapan sekelas hotel bintang dua atau tiga.
Placa Maior: Atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Plaza Mayor, yaitu suatu pusat keramaian di
kota Madrid. Di sini banyak berdiri toko-toko souvenir, makanan, dsb.
Buenos
díaz, Mi querida
senorita: Selamat pagi, Sayangku.
Santiago
Bernabeu: Stadion kebanggaan kesebelasan Real Madrid.
Bakhtun: Satuan waktu
dalam penanggalan suku Maya kuno.
Adiós:
Sampai
jumpa kembali.
TENTANG PENULIS
SAHID SALAHUDDIN, Pengarang kelahiran Makassar, 23 Agustus 1981. Sebagai pemenang Sayembara Menulis Surat Cinta 2010
Ia diundang live di stasiun radio swasta terkemuka di ibukota, i-radio 89.6 FM.
Antologinya, antara lain: Pengantin-Pengantin Al-Quds (Pro-U Media, Maret 2011),
Berdansa Di Bawah Selimut Aliya (Passulu’ Publisher, Februari 2011), Persembahan Kupu-Kupu (antologi Flash Fiction).
Dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja Rohto 2010, Pengarang berhasil menempatkan cerpennya sebagai cerpen favorit.
Cerpennya juga termuat di STORY teenlit magazine. Ambisinya saat ini ialah menjadi seorang script writer.
Dapat dihubungi:
@sahidsalahuddin
*** *** ***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : WINTER SOLSTICE Oleh Sahid Salahuddin"