I MISS YOU
Oleh : Atika Puspita
My love... saranghaeyo, saranghaeyo, geudae deutgo itnayo...
My love... itji marayo, jiuji marayo, uriui saranghaeul...
Maeil nan geurium soge, harueul beotineunde, geudaen eoditnayo...
Naega... mianhaeyo, mianhaeyo, geudael itji mothaeseo...
My love... dorawajwoyo, tteonaji marayo, nae gyeoteseo jebal...[1]
SEMUA mata terkesima menatapnya. Lagu itu menghipnotis seisi
ruangan menjadi hening. Keempat juri serentak berdiri sambil bertepuk tangan,
kecuali___Kadenza___juri yang duduk di kursi paling ujung.
Azura Jung menundukkan kepala setelah musik pengiring
berhenti, “Kamsahamnida![2]”
ia tersenyum sopan.
“Bagaimana?” Salah seorang juri bersuara. “Suaranya
bagus, bukan?”
Tiga kepala mengangguk setuju. “Ne![3]
Aku sependapat denganmu! Genre
suaranya cocok sekali dengan Kenza,” dukung juri yang lain, ia lantas mengerling
Kadenza. “Bagaimana? Kau menerimanya untuk menjadi backing vocal band kita?”
Kadenza mengangkat sebelah alis dengan acuh tak acuh.
“Terserah kalian saja!”
***
Azura mendelik arloji di ujung pergelangan tangannya
sambil sesekali memandang hujan yang semakin lebat. “Dasar ceroboh, kenapa tadi
aku lupa membawa payung?!”
Ia
sehabis mengikuti audisi pencarian backing
vocal yang digelar oleh___Moshi-Moshi___grup band terpopuler
di Dongdaemun, Seoul. Namun sepertinya ia tidak lolos, mengingat komentar pedas
yang didengarnya dari vokalis Moshi-Moshi, Kadenza.
Ah, lolos atau tidak itu urusan nanti. Sekarang yang
terpenting adalah memikirkan bagaimana caranya ia bisa sampai di rumah tanpa
kehujanan. Sejak tadi sore, hujan yang mengguyur Dongdaemun tak kunjung
berhenti dan waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Hmm... kalau
begini caranya bisa-bisa Azura tidak pulang malam ini.
“Apakah
kau membutuhkan ini?”
Kepala
Azura menoleh ke samping mendengar suara itu. Oh! Bukankah dia personil
Moshi-Moshi yang tadi? Pemuda yang memuji suaranya indah.
Tangan
Azura bergerak meraih payung yang disodorkan pemuda itu. “Eoh, Seo In Ha-ssi! Kamsa hamnida.”
“Cheonmaneyo.[4]”
Seo In Ha tersenyum. “Ayo, aku akan mengantarmu pulang. Kau bisa mati
kedinginan kalau terus berada di sini.”
“Tapi,
apa tidak merepotkanmu?”
Sepasang
alis In Ha terangkat. “Tidak masalah! Asal kau tidak merepotkanku, aku tak akan
merasa direpotkan.”
Keduanya
serentak tertawa renyah.
***
“Sebenarnya suaramu bagus. Tapi... yah, kau lihat
sendiri. Kenza tidak menerimamu. Padahal kami semua sudah setuju. Tapi
bagaimana pun tetap harus menunggu keputusannya, karena dia vokalisnya,” ujar
In Ha memulai obrolan. Mereka saat ini sudah berada di mobil In Ha dalam
perjalanan pulang.
Azura
tersenyum datar, “Anniyo[5],
sebenarnya aku juga tidak begitu tertarik menjadi penyanyi. Aku hanya kebetulan
saja melihat poster Moshi-Moshi mencari backing
vocal, dan iseng-iseng ikut audisi.”
“Jeongmalyo?[6]”
In Ha ikut tersenyum menatap gadis di sebelahnya. “Sepertinya kau bukan asli
berdarah Korea, benar?”
“Ne!” angguk Azura. “Appa[7]
berkebangsaan Tokyo dan Eomma[8]
dari Dongdaemun. Jadi aku blasteran Jepang-Korea.”
“Oh,
begitu rupanya. Kau tinggal bersama orangtuamu di sini?”
Azura
diam sejenak. Kepalanya lalu menggeleng, “Orangtuaku sudah bercerai tiga tahun
lalu. Aku ikut Eomma di sini,
sementara Eonnie[9]-ku
ikut Appa ke Tokyo. Tapi satu tahun
yang lalu Appa mengabarkan kalau kakakku
jatuh sakit dan ingin bertemu denganku dan Eomma.
Jadi, kami memutuskan untuk pindah ke Tokyo.”
“Mianhaeyo[10]...
aku tidak tahu kalau...”
Azura
tidak sempat merespons karena ponsel di tasnya tiba-tiba berdering. “Yeoboseyo? Azura imnida. Eoh, Eonnie. Waeyo?... Eoh, arrasseo... Geuddae Eonnie,
sayonara![11]”
“Ada
apa?” In Ha bertanya setelah Azura memasukkan ponsel ke tasnya.
“Eonnie memintaku segera kembali ke
Tokyo. Keluargaku mencemaskanku tinggal sendirian di sini.”
“Kau
tinggal sendiri? Memangnya apa tujuanmu kembali ke sini?”
“Aku ingin
mencari seseorang.”
“Seseorang?
Siapa?”
“Tetanggaku
sewaktu masih SMP. Tapi, saat aku mengunjungi rumah lamaku, dia sudah pindah.”
In Ha tertegun
menatap gadis di sebelahnya. Wajah Azura tiba-tiba berubah sendu, “Oh, ya!
Omong-omong soal Jepang, si Kenza itu juga keturunan Jepang lho, sama
sepertimu!”
***
Hujan di Seoul. Rasanya sudah lama sekali Azura tidak
merasakan suasana Dongdaemun yang tenang dan damai seperti ini, sungguh jauh
berbeda dengan hiruk-pikuk kota Tokyo yang seakan tak pernah tidur.
Ia
mendengar pintu rumahnya diketuk, “Nuguseo?![12]”
teriaknya dari dalam, namun tetap tak ada jawaban. Dengan malas, Azura beranjak
meraih hendel pintu.
Kepanikan
seketika menyergapnya. “Kenza-ssi? Bagaimana
kau bisa ada di sini?”
Kadenza
berdiri terhuyung-huyung di hadapan Azura. Pakaiannya basah kuyup dan rambutnya
mencuat-cuat. Bau alkohol perlahan menguar tercium hidung Azura.
“Kenza-ssi? Kau mabuk, ya? Tapi, kenapa kau malah
ke...___Omo![13]”
Kalimatnya terputus karena tubuh Kadenza tiba-tiba jatuh menubruknya. Azura membopong
Kenza ke kamarnya, lalu merebahkan pemuda itu di kasur setelah membuka
sepatunya.
“Eotteohge...? Eotteohge...? Eotteohge...?[14]”
Azura mendesah panik. Ia mengacak-acak menu kontak dari ponsel Kadenza yang
terjatuh dari saku pemuda itu, bergegas mencari nomor siapa pun yang bisa
dihubunginya. Tak lama berselang, satu nama pada kontak itu sedikit meredam
kekhawatirannya. ‘Otosan’[15].
Telepon
terhubung setelah bunyi nada tunggu ketiga berhenti. “Yeoboseyo? Ajeossi?... Anniyo, Azura imnida.[16]...
Ne, Kenza-ssi ada di rumahku sekarang. Dia mabuk. Ne?... Eoh, alamatku....” Azura menyebutkan alamat lengkap
apartemennya. “Ne, Ajeossi. Kau akan
menjemputnya besok pagi? Ne, arrasseo.”
Telepon ditutup.
Azura
kemudian melangkah ke luar kamar, bermaksud menutup pintu. “Anak itu menyusahkanku
saja! Kenapa pula dia malah datang ke apartemen...___eoh?” Langkahnya tiba-tiba terhenti
ketika kakinya menginjak sesuatu. “Apa ini?” Gumam Azura penasaran dan memungut
benda itu. Ternyata sebuah cincin perak dengan inisial ‘A’ di atasnya. “Apakah
cincin ini milik Kenza?”
Tanpa
sadar, pandangan Azura sudah menerawang hampa...
Ishihara Kazuto menyematkan cincin berinisial ‘K’ di jari manis Azura.
Lalu gadis mungil itu bertanya,
“Kazuto-chan, apa ini?”
Kazuto tersenyum penuh makna.
“Cincin ini untukmu. Kau memakai inisial ‘K’ yang berarti ‘Kazuto’ dan aku
sendiri memakai inisial ‘A’ yang artinya ‘Azura’. Jadi, bila suatu hari nanti
kita berpisah dan sudah tidak mengenali satu sama lain, cincin ini yang akan
menemukan kita.”
“Wuaah... benar juga, ya! Terima
kasih, Kazuto-chan! Kau sungguh baik sekali padaku!”
Selapis
mutiara bening menitik dari sepasang mata Azura yang indah, “Ishihara Kazuto, di
mana kau sekarang? Apakah... kau masih ingat padaku?”
Azura
mencengkeram bajunya di bagian dada. Entah mengapa, hatinya saat ini terasa
sangat sesak.
***
Sinar mentari pagi menyelusup jendela kamar. Kadenza
menggeliatkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, “Aaarrrghhh...” ia mengerang
silau. “Hei, di mana aku?” tanyanya tiba-tiba. Ia baru menyadari ini bukan
kamarnya. Hal terakhir yang diingat Kadenza semalam hanyalah ia mabuk berat dan
jatuh pingsan. Ia bahkan tidak ingat ia pingsan di mana.
Kadenza
membuka pintu kamar, manik matanya berkeliaran ke segala penjuru, berharap
menemukan siapa pun di sana. Lalu samar-samar, ia mendengar suara berisik dari
arah dapur. “Sepertinya ada orang,” desahnya lega.
Namun saat
tiba di dapur, pandangan Kadenza menyalang. Gadis
itu? Bukankah dia yang mengikuti audisi waktu itu?
“Hei...
kau sudah bangun rupanya.” Azura menyapanya. “Semalam kau pingsan di depan
pintu apartemenku, lalu aku membawamu ke kamarku,” beri tahu gadis itu sambil
menuang susu cokelat ke gelas. “Aku sudah menghubungi ayahmu dan mungkin
sebentar lagi dia akan ke sini menjemputmu. Sebaiknya kau sarapan dulu, aku
baru saja selesai memasak Bibimbap[17].”
Kadenza seketika
membatu. Jadi semalaman aku tidur di
kamar gadis ini? Ia sungguh sulit memercayainya. Padahal waktu itu aku tak mengacuhkannya, tapi dia malah menolongku.
desahnya merasa bersalah. Kadenza pun lekas mengekor langkah Azura ke ruang
tamu.
“Mianhaeyo...”
“Kenapa?
Kau merasa merepotkanku? Sudahlah, lagi pula aku mana mungkin menelantarkan
orang mabuk begitu saja.” Tepat pada saat itu, Azura mendengar seseorang
menekan bel pintu apartemennya. “Ah, sepertinya ayahmu sudah datang. Sebentar
ya,” ia segera berderap ke pintu. “Eoh,
Ajeossi, kau sudah da...___Ajeossi...?”
Seorang
lelaki paruh baya___bermata sipit dan berpostur tinggi___berdiri
tercengang menatap Azura. “Azura-chan?
Kau Azura Jung, bukan? Astaga, bagaimana kabarmu?”
“Ajeossi, benarkah kau Yukato Ishihara Ajeossi?” tanya Azura setengah bingung.
“Kalau kau adalah ayah Kenza-ssi,
lalu...” Azura mendadak bingung sendiri dengan pemikirannya.
“Apa aku
boleh masuk?” pinta Yukato, sedapat mungkin tetap bersikap tenang.
“Eoh, ne. Silakan masuk,” angguk Azura.
Azura
membimbing lelaki itu ke ruang tamu, lalu mempersilakannya duduk. Yukato
Ishihara menarik kursi di samping Kadenza.
“Ajeossi, jadi kau ayah Kenza? Bukankah
kau hanya memiliki satu anak, Ishihara Kazuto?” cecar Azura tak sabar.
“Ada
yang ingin kuceritakan padamu,” ujar Yukato. Pandangannya lekat menatap Azura.
Dalam hitungan detik, kisah kelam itu mengalir. “Enam bulan lalu, saat kau
telah pindah ke Tokyo, istriku meninggal karena serangan jantung. Sejak saat itu,
pribadi Kazuto berubah drastis. Dia lebih sering menyendiri, dan tak jarang pula
aku menemukan banyak botol minuman keras di kamarnya. Kazuto frustrasi akibat
kematian ibunya, dan kau pun pergi meninggalkannya. Hingga suatu hari, aku
mendapat telepon dari rumah sakit. Mereka mengabarkan bahwa Kazuto mencoba
bunuh diri dengan menghantamkan mobilnya ke pagar besi jembatan. Tapi syukurlah,
nyawanya masih bisa diselamatkan.”
Yukato
menciptakan jeda sejenak, menenggak ludah.
“Tapi...,
kondisinya begitu mengenaskan. Wajahnya rusak, sehingga dia harus menjalani
operasi plastik. Aku pun akhirnya menyetujui pilihan itu karena tidak ada lagi
alternatif lain. Operasi itu berjalan lancar dan wajah Kazuto pun berubah. Sayangnya...,
dia mengalami amnesia ringan.”
Azura
menatap lelaki itu nanar. “Amnesia...?”
“Ya. Menurut
dokter, otak Kazuto mengalami semacam trauma. Dia kehilangan separuh memori
tertentu, kenangan masa lalu yang membuatnya sakit, dan dia sangat membenci
namanya sendiri. Kepalanya selalu sakit setiap kali mendengar namanya
dipanggil,” mata Yukato berpaling menatap Kadenza. “Demi kebaikan Kazuto,
akhirnya aku dengan berat hati mengubah identitasnya... Ishihara Kadenza,
pemuda yang ada di sisiku sekarang.”
“Apa?”
mulut Azura menganga tak percaya. “Jadi, Kenza adalah Kazuto? Kalau begitu,
cincin ini...” ia menyodorkan cincin berinisial ‘A’ kepada Yukato, namun tahu-tahu
Kadenza merenggutnya.
Kadenza
mengerling Azura seakan menuntut penjelasan. “Ini milikku. Di mana kau
menemukannya?”
Yukato
menatap cincin itu lama, lalu beralih kepada Azura. “Aku masih ingat ketika Kenza
bilang padaku bahwa dia pernah memberikan cincin itu kepada seseorang, teman dekatnya
semasa SMP. Gadis itu bernama Azura Jung.”
Azura
membuang napas panjang. Sudah jelas sekarang. Kadenza... cincin itu...
Kazuto... Ishihara Kadenza...
“Kazuto-chan, aku adalah temanmu. Aku juga
menyimpan cincin yang sama, cincin berinisial ‘K’, pemberianmu...” Azura
melepas cincin di jari manisnya. “Kazuto, aku Azura...”
Selama
beberapa saat, Kadenza tercenung memandang air mata Azura. “Azura... Azura...
temanku?”
***
Sorak sorai penonton membahana ke segala penjuru, menyaksikan
penampilan band paling memesona di atas panggung. Moshi-Moshi. Riuh tepuk
tangan terdengar saling bersahut-sahutan mengiringi lirik lagu penuh cinta yang
mengalun lembut.
Di hadapan
puluhan penonton, Kadenza dan Azura bernyanyi sambil berpegangan tangan. Senyum
bahagia terpatri nyata menghiasi paras keduanya.
Sallang sallang sallang deullyeo-oneun bissori...
Dugeun dugeun dugeun dugeun tteollyeo-oneun nae-gaseum...
Sallang sallang sallang dugeun dugeun dugeun...
Usansori bissori nae-gaseum sori...
Sarangbi-ga naeryeo-oneyo...
I love rain, I love you...[18]
TENTANG
PENULIS
ATTA___begitu ia
akrab disapa___adalah seorang woolgatherer
yang teramat mencintai dunia fantasinya. Pemilik nama lengkap Atika Puspita ini rela menghabiskan
separuh waktunya di toko buku demi menjemput ide yang tak kunjung menghampiri.
Terlahir ke dunia pada 8 Agustus 22 tahun silam, di Palembang.
Selain
mengarang dan mengkhayal, Atta juga
gemar menyanyikan lagu-lagu dari berbagai bahasa, jalan-jalan sambil karaoke
bersama teman-temannya, menyendiri di tempat sunyi, dan mengganggu kucingnya
yang sedang tidur (Keke, jeongmal
mianhaeyo uri ‘Apple’ J). Tahun
ini, penyuka warna orange dan purple yang sangat tergila-gila dengan
Jung Il Woo ini tengah serius berkutat dengan riset skripsinya demi menggapai
gelar Strata Pendidikan di Universitas PGRI Palembang.
Hingga kini,
Atta telah merilis novel remaja
perdananya yang berjudul Endless Dilemma
pada Januari 2013. Love Affair, Bogoshippo, dan Penantian Hujan, juga merupakan cerpen fiksi remajanya yang
tergabung dalam buku antologi.
Ingin
mengenal ia lebih akrab? Silakan bertandang ke akun-akun berikut:
E-mail :
Atta_Hwang@yahoo.co.id
Facebook : LuvLhy_Star@yahoo.com
Twitter :
@Atiita_Hwang
Ask.fm :
@Atta_Hwang
Instagram :
@Atta_Hwang
Catatan Kaki
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "I MISS YOU" Oleh : Atika Puspita"