CERPEN
Antara
Aku dan Apak
Oleh
: Cha Canlierz
“Jika kau tak ingin pulang karena
Apakmu, pulanglah karena Amak, Nak,” Itulah ucapan Amak diujung teleponnya
saban hari. Saat itu, aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya diam. Tak menolak
juga tak menerima.
“Jika Koko mengijinkan aku ambil cuti, aku akan pulang,
Mak,” jawabku berbohong. Koko, lelaki seperempat abad yang menjadi bosku
sebenarnya dengan mudah mengijinkan aku pulang ke Maninjau. Hampir setahun, aku
belum mengambil cuti legal maupun ilegal. Hanya... aku yang enggan. Rinduku
pada Amak telah bergumpal-gumpal. Aku juga rindu celoteh Uwaik yang dulu
sering mengejarku dengan sapu.
Biasanya, jika kondisi memungkinkan,
aku pulang tiap tiga bulan sekali. Untung sudah ada pesawat terbang, jadi jarak
antara Maninjau dan Jakarta tak menjadi soal bagiku. Cuma satu jam lebih. Namun,
kali ini aku yang tak ingin pulang. Meski harga tiket pesawat tak terlalu
membobol dompetku.
Apak! Dialah satu-satunya alasan
mengapa aku enggan pulang. Terakhir kali aku bertemu dengannya, aku masih kecil.
Kata Amak waktu itu, umurku masih tiga tahun. Aku tak ingat pasti. Lalu apak
pergi. Barulah setelah empat tahun kemudian, surat untuk Amak dan sebuah ponsel
dengan simcard aktif datang. Pesan itu dari Apak.
Beberapa detik setelah membaca surat
itu, mata Amak membulat. Amak langsung
berurai airmata. Dari dipan di dekat jendela aku menatapnya. Bersembunyi
dibalik gorden kamar Uwaik. Aku tak terlalu mengerti kabar apa itu, tapi
saat itu aku benci Apak. Ia buat amak nangis, padahal kapan Uwaik sebagai orang
yang melahirkan Amak pernah membuat Amak nangis?
“Bagaimanapun juga ia Apakmu. Kali
ini ada Apakmu, Nak. Tak rindu kau dengannya?” ucapan Uwaik terngiang
lagi. Aku tahu, pasti Amak yang menyuruhnya. Biasanya kalau Uwaik yang minta,
aku tak pernah melawan. Kasihan dia, dagingnya telah digerogoti waktu. Tinggal
kulitnya saja mengkerut-kerut. Maka tak tega kalau melawannya, jika aku lawan, jangan-jangan
tubuhnya makin lisut. Sudah habis ia dimakan waktu, tak mungkin aku buat ia
makan hati pula.
Justru karena ada Apak-lah yang
membuatku uring-uringan. Jika tak ada dia. Aku akan segera terbang, kalau perlu
hari ini. “Darahnya mengalir ditubuhmu. Bagaimanapun kau mengingkarinya, dia tetap
ayah kandungmu.”
Amak menasehatiku lagi. Ketika entah
untuk kesejuta kalinya ia mendengarkan aku berkata pada orang “Apakku telah
lama mati. Dimakan penjaga gunung.” Pernah dilain kesempatan aku bilang, “Apakku
dikucilkan. Dibuang kepulau terpencil karena kedapatan sedang bertransaksi
narkoba.” Makin kesini makin banyak dan beragam jawabanku untuk menjawab
pertanyaan orang-orang yang menyanyai Apak.
Sejak Apak pergi, Amak harus bekerja
disawah orang. Bergomok-gomok. Uwaik yang telah renta pun harus jadi korban.
Aku kasihan pada Amak dan Uwaik. Semakin aku kasihan pada mereka, semakin muak
aku pada Apak.
“Apakmu sengaja dibawa pulang oleh
Pak Etek Jar. Dia lemah jantung, istri siri keenamnya turut mengantar Apak
pulang,” papar Uwaik via telepon. Paman beranggapan karena Amak dan Apak tak
pernah bercerai, jadi wajar saja menurutnya kalau disaat sekarat seperti ini ia
dibawa keistri tuanya.
“Istri siri keenam, Waik?”
“Iyo, Keceknyo, Apak kau tu gilo
babini. Dima-dima, kawin ka kawin, kawin ka kawin.” Uwaik mengulang ucapan Pak
Etek Jar. Menjelaskan bahwa Apakku itu suka nikah, dimanapun ia tinggal, pasti
akan menikah. Tapi, apapun alasannya menurutku sifat Apak salah. Sangat salah.
Aku tak tahu persis kenapa Amak
menerimanya lagi. Cintakah namanya? Tak marahkah Amak setelah sekian lama ia
tinggalkan? Bukan untuk mencari makan demi anak dan istri, tapi untuk
menjajakan keperkasaannya. Dari satu wanita kewanita lainnya. Dan... penjelasan
Uwaik makin membuatku muak.
“Jadi kapan kau pulang, Nak?” Amak
menelepon lagi hari ini. Akhirnya dipanggilan kelima belas aku baru
mengangkatnya, membiarkan empat belas panggilan sebelumnya aku abaikan.
“Kalau laki-laki itu masih
dirumah,... aku tak akan pernah pulang.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku
membekap mulutku. Baru tersadar kalau ucapan itu tak pantas dari bibir seorang
anak pada ibunya, maka aku takut kata-kataku barusan merusak hatinya. Amak tak
pernah suka anaknya berkata lancang. “Mak?”
Aku
mendengar suara Amak makin berat, ia pasti menangis. Dulu aku pernah melihat
Amak menangis ketika membaca surat dari Apak. Saat itu, aku berjanji tak akan
pernah membiarkan siapapun membuat Amak nangis. Namun, kali ini. Akulah
penyebab utamanya. Aku membuat Amak menangis. Agaknya aku memang pantas dijuluki
si malin kundang versi modern.
Amak
tak menyahut. Telephon itu mati. Bukan mati karena jaringan yang kadang-kadang
menjengkelkan, tapi memang sengaja dimatikan Amak. Padahal, biasanya Amak tak
pernah menutup telepon sebelum berkata, “Wahai anakku, aku gantungkan seluruh
harapanku padamu. Semoga engkau menjadi bidadari kecilku, yang mendapat semua
yang engkau inginkan, juga menjadi anak shalihah sesuai ajaran Baginda
Rasulullah.”
Tapi
kali ini tidak. Amak menutup telepon dengan sedih yang membuncah, kecewa yang
menggumpal. Tak hanya Amak yang sedih, aku juga ikut sedih sebenarnya. Jika
ditanya siapa orang yang paling kusayangi, aku akan menjawab Amak kemudian
Uwaik. Jika ditanya maukah aku berkorban demi mereka, jawabannya, apapun akan
aku lakukan demi melihat dua wanita tua yang mengorbankan hidupnya demi aku
dapat bahagia dimasa tua.
Sepanjang
malam, aku membenamkan wajahku dibantal, membiarkan air yang menggantung
dipelupuk mata membasahi bantal. Meledakkan sesak didada. Menghantam bongkahan
kecewa. Seharusnya Amak mengerti apa yang aku rasakan saat ini.
Sehari....
Dua hari.... Tiga hari... Seminggu sudah lewat. Amak tak pernah menghubungiku
lagi. Merajuk mungkin. Telepon dan pesanku tak pernah digubrisnya.
Awalnya aku menunggu emosi Amak reda, tapi jika sudah lebih dari seminggu
ngambeknya belum juga reda, itu artinya beliau murka. Akhirnya aku mengambil
penerbangan pertama ke kampung. Ranah minang tercinta.
***
Aku
berdiri tepat didepan rumah yang berbentuk panggung itu. Tempat dimana aku dibesarkan.
Diberi penghidupan, ditempa dengan sebuah semangat yang selalu dinamakan ‘kerja
keras’.
“Alhamdulillah,
Nak.... Akhirnya kau pulang juga...” Suara Uwaik menggaung ditelingaku meski ia
masih berdiri di Janjang. Anak tangga itu nampaknya sudah reot. Padahal
duabulan lalu aku mengirimkan rupiah agar mereka merenovasi rumah.
“Tak
tega aku menghilangkan unsur minangkabau dengan rumah-rumah dari batu-batu
itu,” Uwaik sepertinya membaca fikiranku. Menjawab dulu sebelum aku
bertanya. Ia merunduk, menyambar koper ukuran sedang dengan tangan kirinya.
Namun
tanganku lebih cepat menyambar tangannya. Matanya menjurus padaku. “Biar aku
saja yang bawa, Waik” Uwaik tersenyum. Malah makin menguatkan
pegangannya.
“Meski
setengah badanku sudah dikubur, tapi tenagaku jauh lebih besar dari engkau yang
masih muda.” Ia terkikik. “Masuklah kedalam, sudah hampir seminggu Amak kau payah
disuruh makan.”
Lantai
kayu bercicit-cicit ketika kupijak. Aku edarkan pandang, berjalan kesisi
jendela. Disebelah kanan rumah. Ada tabek, tempat Amak dan Uwaik
memelihara ikan. Aku melongok kebawah. Tabek kami tak lagi sekecil dulu.
Sejajar dengan papan bagian depan rumah sampai papan ekor rumah. Lebarnya
setengah dari lebar rumah. Nampak betul, mereka lebih memilih merenovasi tabek
daripada rumah.
Aku
masih ingat. Dulu uwaik nyinyir kali, takut-takut aku jatuh kedalam tabek.
“Itu kamu, Nak?” Suara tertahan seorang laki-laki, menyambar telingaku. Aku
membalikkan tubuh kebelakang. Berdiri sesosok lelaki gemuk gempal, dengan kulit
yang melorot dibagian pipinya.
“Nak?”
ucapnya lagi. Aku tak menjawab. Mencorong matanya bulat-bulat. “Papa tahu papa
salah, papa minta maaf, Nak.” Papa? Lancang sekali ia mengubah panggilan itu.
Ia merentangkan kedua tangannya. Seperti berharap, aku akan menghambur
kepelukannya. Jika itu yang ia harapkan ia salah besar. Tidak semua anak yang
dibuang, akan bersikap manis pada pembuangnya. Aku menoleh kearah kamar Uwaik.
Disana berdiri, Uwaik dan Amak yang bergenggaman tangan. Wajah Amak amat pucat.
Obrolan
aku dan amak minggu lalu, teringat lagi. Aku sangat paham, Amak tak pernah suka
anggota keluarganya berbuat dan berbicara lancang. Hidup boleh miskin, tapi tak
boleh kurang ajar. Jadi, meski banyak carut marut yang ingin aku muntahkan.
Nyatanya, semua itu hanya menggantung menyesakkan dada.
“Bagaimanapun
salahnya aku, aku tetap ayahmu.”
Aku
menghela nafas. Memutar otakku bekerja cepat dan cermat. Harus ada yang
kusampaikan. Sebuah kalimat yang bisa mewakili semua sakit hati, kecewa, tapi
bukan kata-kata yang tak beradab. Bukan kata-kata yang tak disukai Amak.
“Memang benar ada darah Apak ditubuhku, tapi sosok Apak buatku adalah yang bisa
mengayomi, menjaga dan melindungi istri dan anaknya. Bukan hanya untuk
meninggalkan benih dan nama. Apa Apak pernah melakukannya? Jika ingin minta
maaf, Amaklah orang yang seharusnya dimintai maaf. Amak telah banyak menanggung
duka semenjak kepergian suaminya.”
Ia
tak menjawab, ia terdiam. Pelan-pelan tubuhnya meringkih mendekati Amak. Amak
menatapku lamat-lamat. Kemudian, lengkungan membentuk disudut pipinya. Apak
merunduk, ingin mencium kaki Amak. Air mengalir dari matanya juga dari mata
Amak. Tapi, Amak menggeser kakinya, menjauh dari Apak.
Apak
membentangkan kedua tangannya menunggu pelukanku. Namun, aku menggeleng. Aku
berjalan, lalu berbelok. Keluar dari rumah. Aku masih mendengar suara Amak dan
Uwaik memanggil-manggil. Semua kuacuhkan.
“Apakmu
sengaja dibawa pulang oleh Pak Etek Jar. Dia lemah jantung, istri siri
keenamnya turut mengantar Apak pulang.” Perkataan itu menguar lagi. Istri siri
keenam? Sebanyak apa bayi-bayi tak berdosa ia telantarkan?
Pekanbaru,
8 September 2012
***
TENTANG PENULIS
Nama
pena Cha Canlierz. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Pekanbaru. Tercatat
sebagai siswi dalam sekolah menulis online yayasan cendol universal nikko.
Mulai menulis fiksi sejak September 2011. Beberapa tulisan telah dibukukan
secara antalogi dan tulisan saya juga pernah dimuat di Koran Riau Pos, Metro
Riau, Harian Medan Bisnis. Teman-teman dapat mengirimkan kritik dan saran di chacanlierz@gmail.com,
facebook Cha Canlierz .
***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA http://jaringanpenulisindonesia.blogspot.com/search/label/Formulir%20Keanggotaan
2 komentar untuk "Antara Aku dan Apak Oleh : Cha Canlierz"