GONE #3
GERHANA
By: Einca Sarii
Foto By : https://pixabay.com |
“Kamu tahu, kenapa gerhana itu
ada?”
Aku tersenyum
mendengar pertanyaamu. Tentu saja aku tahu. Aku menyukai semua fenomena alam
yang terjadi di langit. Dan gerhana, aku suka gerhana.
“Karena,
bertemunya bulan dan matahari di waktu yang bersamaan.” Kamu menjawab sendiri
pertanyaanmu. Matamu tak lepas menatap ke arah langit, seolah di sana sedang
terjadi gerhana.
“Kamu ngomongin
gerhana matahari atau gerhana bulan?” tanyaku. Berbeda denganmu yang menatap
langit senja, aku malah menatapmu. Matahariku.
Kamu tak
langsung menjawab pertanyaanku. Jemarimu menelusup sela-sela jemariku. Kamu menggenggam jemariku dengan erat. Lalu kamu mengalihkan pandang ke arahku,
menatap tepat ke manik mataku. Kamu tersenyum. Manis. Tentu saja manis. Tapi, aku
bisa menangkap secercah kesedihan yang kamu simpan di balik senyummu itu.
“Dua-duanya.
Kalau gerhana matahari terjadi karena bulan bertemu matahari secara langsung
dalam satu garis sejajar...”
“Seperti kita?”
sahutku langsung.
Kamu tertawa
kecil. Mengacak-acak rambutku lembut. “Ya, seperti kita. Sejak aku datang ke
sini, cuaca mendung teruskan?”
Aku tersenyum
kecil, lalu mengangguk. Memang sejak kedatangannya, cuaca di kotaku
nggak
menentu. Kadang panas, lalu tiba-tiba gelap. "Nggak ada hubungannya
cuaca jelek ama kedatangan kamu, tahu!" Aku menepuk lengannya pelan.
Kamu tergelak, lalu mengangguk-angguk, " iya deh..." ujarmu menyetujui kata-kataku. Lalu kamu melanjutkan lagi kata-katamu yang tadi kusela, "kalau gerhana
bulan, itu terjadi jika bumi melintas di antara matahari dan bulan. Bumi.”
Aku menatapmu
penuh tanya ketika mendengar kamu menekankan kata bumi itu dalam-dalam. “Maksud kamu? Bumi? Ini bumi secara sesungguhnya, atau bumi secara tersirat?”
“Ai...” duh...
lagi-lagi aku meleleh mendengar suaranya yang memanggil namaku lain daripada
yang lain. “Kamu pernah nanya kenapa aku menghilang, kan? Ada bumi yang
menghalangi kita. Ada seseorang, yang nggak mau kita bersama. Dia yang memaksa
keluargaku, menjauhkan aku dari kamu. Kalau kamu sadar, aku ngambil resiko yang
gede dengan nemuin kamu di sini. Resiko terjadinya gerhana bulan yang mungkin
bisa menghancurkan kita berdua.”
***
Kalau kalian
bertanya kapan aku merasa paling bahagia dalam hidupku, jawabannya tepat satu
minggu yang lalu. Satu minggu kebersamaanku dengan dia, Matahariku. Tujuh hari,
dan nyaris 24 jam aku selalu bersamanya. Melakukan semua yang aku dan dia
selalu angankan dulu, saat kami belum bertemu. Satu minggu. Hanya satu minggu.
Lalu dia kembali pergi dan aku pun harus pergi.
“Matahari dan
Bulan, memang tak seharusnya berada di langit yang sama,” ucapmu siang itu.
Kamu tampak tampan duduk di sampingku, memainkan pasir pantai dengan jemari
kakimu. Dan tak sedetikpun kamu melepaskan genggaman tanganmu padaku.
“Kalau gitu,
aku nggak mau jadi bulan lagi. Aku mau jadi pantai aja,” ucapku manja.
Kamu tertawa
melihat wajahku yang cemberut. “Kalau kamu pantai, aku jadi apa dong?”
Aku
mengerucutkan bibir. Mencoba memikirkan apa yang cocok untuk Matahariku ini.
Oh, perumpaan itu haruslah sempurna. Karena Matahariku ini sempurna. Buatku
sih.
“Senja!” Aku
berseru riang, “senja nggak pernah ninggalin pantainya. Senja selalu ada
bersama pantainya. Senja dan pantai kan ditakdirin bersama. Kalau nggak, duduk
di pantai sore-sore nggak oke lagi dong.” Aku mengangguk-angguk puas mendengar opiniku. Yeah, aku memang pintar!
“Hahaha...”
Kamu lagi-lagi tertawa. Aku mendengus kesal. Apa sih yang lucu? Bisa-bisanya
kamu ketawa. Aku serius.
“Senja?” Kamu
menelengkan kepala ke arahku dan menatapku lucu, “oke juga.” Kamu melanjutkan.
“Tuh kan. Ya
udah, mulai sekarang aku Pantai dan kamu Senja. Oke nggak?” Mataku menatapnya
berharap.
Kamu tersenyum.
Tak langsung menjawab pertanyaanku. Aku menelusuri manik hitam matamu
dalam-dalam. Tuhan... apa yang barusan kulihat? Kesedihan jelas nampak di manik
hitam itu.
“Kita nggak
bisa mengubah takdir sesuka kita. Takdir nggak bisa kita mainin semau kita.
Udah garisnya akan begini dan kita cuma bisa berdoa, berharap Tuhan mengurangi
rasa sakitnya kalau takdir kita nggak berjalan dengan baik.”
Aku tertunduk
mendengar penjelasanmu. Iya, aku tahu. Kita tidak akan pernah bisa mengubah takdir.
Tapi tak bisakah aku berharap? Apa memang hanya seperti ini aku dengannya?
“Ai,”
panggilmu. Aku menengadahkan kepala agar bisa menatapmu. Matamu
menatapku
lembut. pelan, tanganmu terulur dan mengusap sayang rambutku. “Aku minta
maaf.
Untuk semua luka. Untuk semua kesakitan.
Aku minta maaf. Aku masih ingin berusaha agar kita bisa bersama, aku
masih
berdoa. Aku akan mencoba dan mengusahakan kita untuk tetap bersama. Tapi
nanti, kalau kita nggak bisa bersama, kamu harus hidup dengan
baik. Rasa itu, nggak pernah hilang. Dan percayalah, aku begini, karena
aku melindungimu.”
Tuhan...
kepalaku pening mendengar rentetan kalimat itu. sebenarnya apa yang terjadi
denganmu? Apa yang terjadi dengan Matahariku?
***
Sore itu, aku menunggumu dengan
gelisah di kamarku. Sesekali aku melirik awan mendung yang bergelayut di luar
sana. Aku tak mengerti kenapa aku
segelisah ini, mungkinkaah karena hari ini adalah hari terakhirmu di sini? Hari
terakhir kita bisa bertemu. Aku tak tahu, yang aku tahu, perasaanku tak
menentu. Persis seperti langit yang bisa berubah gelap dengan tiba-tiba.
“Kak,”
Aku menoleh ke
arah pintu kamar. Adikku berdiri di ambang pintu. Menatapku seolah meminta izin
untuk masuk. Aku menganggukkan kepala dan mencoba memasang wajah baik-baik
saja.
“Kenapa, Dek?
Mama manggil?” tanyaku basa basi. Aku tahu, pasti ada hal lain yang ingin
adikku sampaikan. Biasanya dia takut-takut untuk masuk kamarku, kalau dia punya
masalah atau ingin menyampaikan masalah.
“Hmm... Kakak
mau pergi sama Bang Wira?” tanyanya sambil dudul di tepi kasurku.
Aku mengangguk
dan menunggu.
“Kakak udah
dikasih tahu kenapa Abang pergi waktu itu?” tanya adikku hati-hati.
Aku menyipitkan
sebelah mata, lalu menggeleng. Bukan karena aku tak tahu, aku sudah mendengar
penjelasan itu dari Matahari. Tapi, entah kenapa, selama ini aku selalu merasa
bahwa Matahariku masih menyembunyikan sesuatu.
“Ada yang nggak
suka kalau Kakak sama Abang bersama.” Adikku mengucapkan kalimat itu dengan
hati-hati. Matanya menatapku was-was. Aku diam. Menunggu adikku melanjutkan
kalimatnya. “Orang itu, dia ngancurin apa yang Abang punya. Orang itu
mempengaruhi keluarga Abang, buat jauhin Abang dari Kakak. Dan Abang pergi,
memang untuk melindungi Kakak,” jelas adikku pelan, “Kakak lihat nggak luka
panjang di lengan kanan Abang?”
Luka? Luka yang
mana?
“Kakak pasti
nggak tahu. Luka itu ada, karena Abang berusaha melindungi Kakak. Dari orang
itu,” adikku menjelaskan lagi, “aku seneng Kakak sama Abang bisa sama-sama. Tapi Kak, terlalu banyak resikonya. Kakak tahu, Abang nggak kerja lagi
sekarang. Lebih tepatnya belum. Semuanya disabotase sama orang itu.”
Tuhan....
Badanku lemas mendengar setiap kata yang adikku ucapkan. Pantas kamu selama ini
selalu menggunakan kemeja berlengan panjang setiap bersamaku. Pantaas kamu
selalu menghindar jika aku sudah menanyakan pekerjaanmu. Pantas juga kamu
menutupi semuanya dariku. Kamu sedang berusaha melindungiku. Tuhan...
Matahariku lebih terluka daripada yang aku mampu lihat.
“Mungkin, lebih baik Kakak
sama Abang nggak bersama dulu. Aku nggak mau Kakak jatuh dan terluka parah
kalau lagi-lagi Bang Wira dipaksa pergi dari Kakak. Aku juga...”
“Assalammualaikum...”
Suara salam itu memotong kalimat adikku. Aku menoleh ke arah jendela. Ya, aku
tahu itu kamu, Matahari. Dan, ya Tuhan... kamu begitu tampan sore ini.
“Kakak,”
panggil adikku.
“Ya,” aku
menjawab sambil membalikkan badan ke arah adikku.
“Jangan jatuh
lagi. Aku nggak mau Kakak ataupun Abang terluka.”
Aku nyaris
menangis mendengar nasehat adikku. Aku tahu adikku benar-benar peduli. Tapi,
sanggupkah aku melepasnya lagi? Memikirkan dia akan pergi dari kota ini besok,
itu saja sudah membuatku nyaris gila. Bagaimana aku bisa melepaskannya untuk
selamanya?
“Kakak
bijaksana. Aku kenal Kakak. Kakak pasti tahu yang mana yang paling baik untuk
Kakak.” Adikku berkata sambil meraih tanganku. Menggenggamnya seolah memberi
kekuatan, lalu dia beranjak meninggalkan kamarku.
“Assalammualaikum...”
“Waalaikum
salam...” aku buru-buru menjawab salam itu. cepat aku berjalan menuju pintu
rumah. Matahariku sudah menungguku. Dan, ya, aku tahu harus berbuat apa.
***
Senja itu, di pantai yang sama.
Aku dan kamu menyusuri tepian ombak dengan tangan yang bergandengan erat.
Mungkin kamu juga bisa merasakan suasana hatiku yang tak seceria hari-hari
sebelumnya. Hari ini aku bahkan tak mau melepaskan genggaman tanganku walaupun
hanya semenit saja.
“Nggak usah
takut,” ucapmu lembut. Aku tahu sekarang
kamu pasti sedang menatapku. Hanya saja aku terlalu takut untuk membalas
tatapan itu. “Takdir ini, pasti bisa kita lewati dengan baik. Aku mungkin masih
bisa mencoba mempertahankanmu.” Kamu melanjutkan kata-katamu.
Takdir?
Bersama? Dengan semua luka yang luar biasa banyaknya? Aku tak seyakin itu,
Matahari.
“Aku masih bisa
jelasin semua ke keluargaku. Asal kamu bersedia ikut denganku. Tentang
pengganggu itu, pasti bisa kita singkirin bareng-bareng. Asal kita sama-sama,
pasti kita bisa.”
Aku tergugu.
Kata-katamu itu mengandung berjuta harapan. Dan aku juga ingin harapan itu
terwujud. Tapi, “kamu bilang, kita nggak bisa mengubah takdir. Kamu bilang,
Matahari dan Bulan nggak bisa berada di satu langit yang sama.”
Aku bisa
merasakan genggaman tanganmu menguat. Aku tahu, kamu mungkin mulai sadar ke
arah mana aku akan membawa percakapan sore ini.
“Mungkin, kita
memang nggak ditakdirin sama-sama,” tukasku. Kutarik tanganku dari genggamanmu.
Kuberanikan diri untuk menatap ke arahmu. “Aku nggak bisa bareng kamu lagi. Aku
juga nggak bisa ketemu keluarga kamu. Mereka pasti nyalahin aku. Aku nggak mau.”
“Ai?”
“Aku mau kita
pisah di sini aja. Nggak ada kamu dan aku lagi. Nggak ada kita lagi. Aku mohon.
Ikutin kata-kata orangtua kamu buat jauhin aku. Dan jangan pernah hubungi aku
lagi.” Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku bahkan tak
meneteskan airmata. Tapi rasa perih menusuk-nusuk dadaku.
Tuhan... bantu
aku. Bantu aku untuk bertahan dan melepaskan Matahariku. Membiarkan dia pergi
sejauh mungkin. Aku masih ingin melihatnya bersinar. Walaupun bukan untukku dan
duniaku lagi.
“Ai, kamu
ngomong apa? Aku masih bisa memperbaiki semuanya. Aku masih bisa perjuangin
semuanya. Aku masih ingin kita bersama. Kita...”
“Aku nggak!”
Kupotong kalimat yang hendak kamu ucapkan. Maafkan aku, Matahari. Tapi aku bisa
goyah kalau harus mendengarkan kelanjutan kalimat yang berisi harapan indah
itu. “Aku nggak bisa. Aku nggak mau sakit lagi. Aku nggak mau jatuh lagi. Aku
juga nggak mau berharap untuk orang yang bahkan nggak bisa menjanjikan kepastian
tentang hubungan ini. Aku udah nggak punya rasa itu untuk kamu lagi!” Aku
menekankan setiap kalimatmu dalam-dalam.
Pedih. Itu yang
aku tangkap dari matamu. Dan kesakitaan itu semakin terlihat jelas saat aku
malah mundur ketika kamu mendekatiku. Penolakan. Ya, aku tahu. Penolakan itu
membuat langkahmu terhenti.
“Ai, aku udah mikirin semaleman. Aku, kita, pasti bisa lewatin semua ini. Aku janji, aku akan ngelindungin kamu."
Aku tersenyum sinis. Entah darimana aku belajar tersenyum sesinis itu
kepada Matahariku. "Melindungiku? Kamu bahkan pernah pergi tanpa kabar
dariku. Melindungi dari apa?"
"Tapi aku pergi bukan karena ninggalin kamu. Aku pergi untuk jaga kamu!"
Suaramu mulai terdengar frustasi. Aku tahu, kamu pasti kecewa sekarang
padaku, Matahari.
"Ini!" Aku menarik lengan bajumu. Tuhan... aku nyaris memelukmu saat
melihat betapa panjang luka itu menggores lenganmu. "Melindungi dengan
menimbulkan luka sebesar ini?" Nada suaraku mulai bergetar. Aku tahu,
aku harus cepat-cepat pergi dari sini, pertahanan diriku tak mungkin
bisa lebih dari 10 menit lagi.
"Ini, aku..." kalimatmu gugup. Kamu mencoba menyembunyikan bekas luka itu dariku. Tapi percuma. Aku sudah melihatnya.
Perlahan, aku mundur menjauhi Matahariku. Mataku menatapnya memohon. kubalikkan badanku hingga membelakanginya. “Maafin aku,
Bang. Maafin. Kita nggak bisa sama-sama lagi. Seperti yang beberapa hari lalu
kamu bilang. Gerhana matahari. Mungkin ini puncaknya. Gerhana nggak bisa
bertahan lama. Semesta bisa binasa kalau matahari dan bulan terlalu lama
bersama. Dan kita, aku dan kamu. Kita bisa menghancurkan sekeliling kita, kalau
kita terus bersama.” Lirih kata-kata itu kuucapkan.
Maafkan aku,
Matahari. Gerhana ini, tak bisa berlangsung lebih lama lagi. aku berusaha
melindungimu, semestamu dan juga semestaku. Tuhan... bantulah Matahariku. Aku
tak akan meminta hal lain lagi. Jagalah Matahariku. Perlahan air mataku
menetes. Airmata yang susah payah kutahan sejak tadi. Langkahku semakin cepat
dan semakin jauh dari bibir pantai. Aku harus bergegas. Aku tahu, Matahariku
tak akan terdiam dalam waktu yang lama. Dan aku tak akan bisa melepaskan lagi
jika dia melihat airmataku.
***
Jika nanti terlahir kembali ke dunia...
Aku akan meminta untuk menjadi pantai...
Dan aku akan berdoa agar kamu bisa menjadi
senjaku...
Tapi jika aku tetap terlahir sebagai
Bulan...
Aku akan memintamu untuk menjadi
bintangku...
PROFIL PENULIS:
Einca Sarii, gadis mungil yang biasa dipanggil Eca oleh teman-temannya
ini, sudah hobi menulis sejak kecil. sudah banyak tulisan yang ia buat, akan
tetapi hanya menjadi konsumsi pribadi teman-teman dekatnya saja. Sempat vakum
menulis beberapa tahun, namun sekarang mulai aktif kembali. Baru saja aktif
kembali di nunia blogger berkat dorongan teman-temannya. Untuk lebih mengenal
gadis Bengkulu ini, bisa intip twitternya @eincasarii dan jika ingin
mengintip beberapa tulisannya, bisa dikepoin di eincasarii.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "CERPEN: "GONE #3 - GERHANA" By: Einca Sarii"