Oleh: Ratih Puspaning Ayu
Hujan
deras
mengguyur tanah Jawa sejak pagi buta.
Dingin menyergap, seolah ingin membekukan bara yang telah lama tersimpan
dalam hati mereka yang terjajah, berabad-abad lamanya. Tapi, bara itu tidak
akan pernah padam, meski belum berkobar. Dan kini, percikan api itu telah
menjelma menjadi kobaran api, menggelora dalam hati, hati mereka yang selalu
merindukan kebebasan. Ya, mereka memutuskan untuk menjadi
pemberontak-pemberontak kecil dengan sebuah rencana besar.
Sebuah
percakapan, di beranda rumah Wahidin, suatu malam.
“Seluruh
rekan-rekan di STOVIA sudah menyatakan mendukung Budi Utomo, Dok. Mereka
menjanjikan kesanggupannya untuk ikut turun tangan menggalang dana pendidikan
keliling Jawa. Bahkan, mereka juga siap menjadi tenaga pengajar di
sekolah-sekolah non pemerintah.”
Wahidin
tersenyum lega.
“Sayangnya,
Bupati-bupati arogan itu tidak sepaham dengan kita. Apalagi Bupati Warman. Saya
tidak menyangka, Dok. Mereka justru menyerang kita!”, tutur Prawira dengan
sengit. Ia tak mampu menyembunyikan raut kekecewaannya.
Namun,
Wahidin tidak terprovokasi. Ia tetap bertahan dengan sikap tenangnya. “Yah,
kita harus sedikit bersabar, Wira”, ujar Wahidin. “Mereka hanya belum siap
menerima ide-ide progresif kita karena menganggap Budi Utomo adalah ancaman
bagi kedudukan mereka.”
Prawira
mengangguk beberapa kali, membenarkan ucapan Wahidin.
Wahidin
menyandarkan lengannya pada pegangan kursi. Lalu ujarnya seraya tersenyum
tipis, “Kau lihat sendiri, mereka terpaksa mengikuti semua keinginan Belanda
dan bekerja di bawah kontrol penuh Parlemen, dengan imbalan gaji minim.
Sampai-sampai mereka harus mengkorup uang pajak untuk mencukupi kebutuhan
mereka. Kau pikir, dari mana semua kemewahan Bupati-bupati itu?”
“Saya
juga tidak habis pikir, apalagi dengan ide gila mereka!” Dokter tahu kan? Saat ini mereka sedang merencanakan
mendirikan organisasi Setia Mulia di Semarang untuk membendung pengaruh Budi
Utomo!”, nada bicara Prawira terdengar sedikit meninggi
Wahidin
mengangguk-angguk. Ia tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari Prawira.
Lalu
lanjut Prawira, “tapi, setidaknya masih ada Bupati Karanganyar dan Tirto Kusumo
yang mendukung kita, dan saya juga sedang mengupayakan dukungan penuh dari
ayah. Dokter tahu siapa ayah saya kan?”
“Siapa
yang tidak mengenaal Sen, satu-satunya bupati keturunan Tiong Hoa yang sangat
berpengaruh di Jawa ini. Beliau anak emas Belanda, itu sudah menjadi rahasia
umum. Lalu, apa pendapat beliau tentang Budi Utomo?”
“Saya
baru akan membicarakannya besok”, jawab Prawira dengan ragu. “ini pukulankeras
untuk ayah. Karenanya, saya harus memilih waktu dan komunikasi yang tepat untuk
mengemukakan rencana kita. Setidaknya, ayah tidak sampai menganggap saya
sebagai pengkhianat.”
Wahidin
menepuk-nepuk bahu Prawira.
Prawira
mengubah posisi duduknya. Ia menyandarkan punggungnya di kursi seraya
menurunkan bahunya dan meregangkan kakinya beberapa saat, “meskipun Dokter
adalah senior saya, tapi saya merasa nyaman berbincang dengan Dokter. Saya
mengagumi kecerdasan, kejujuran, dan ketulusan Dokter. Lebih dari itu, saya
sudah menganggap Dokter sebagai sabahat saya...”
Prawira
kemudian mencondongkan tubuhnya mendekati Wahidin dan merendahkan suaranya,
“tujuan kedatangan saya sebenarnya adalah untuk berbagi cerita rahasia. Saya
yakin Dokter adalah orang yang tepat untuk mendengar dan menyimpan cerita ini.”
Wahidin
mengernyit.
“Saya
tahu cara melumpuhkan perekonomian Belanda”, ujar Prawira setengah berbisik.
“rahasianya terletak di perkebunan-perkebunan itu, terutama di Jawa dan
Sumatera!”
Wahidin
mengerutkan dahi, “setahu saya, selama ini memang perdagangan komoditi ekspor
lah yang membuat perekonomian mereka pulih dari keterpurukan. Selain hasil
pajak sewa tanah, tentunya. Lantas, cara seperti apa yang kau maksudkan?”
“Dokter
belum mendengar? Kalau selama berabad-abad lamanya, Belanda tidak benar-benar
tergantung dari perdagangan tembakau, tebu, kelapa sawit, kopi, juga
pertambangan minyak dan batu bara itu!”
“Bagaimana
mungkin?! Bukankah semua yang kau sebutkan itu adalah komoditi ekspor yang laku
di pasar Eropa?!”
Prawira
tersenyum sinis.
Wahidin
mengusap dagunya beberapa kali, alisnya naik, dan dahinya masih tetap
mengkerut.
“Sekedar
pengandaian. Dari 100 karung tembakau, ternyata hanya 25 karung yang
sungguh-sungguh berisi tembakau!”
Wahidin
masih bungkam. Ia mengamati Prawira seraya menurunkan kacamatanya hingga batang
hidungnya yang terendah.
“75
karung lainnya berisi bunga opium!’, bisik Prawira. “Mereka bertahan hidup
selama berabad-abad dari opium-opium itu. Ini satu-satunya kelemahan Belanda!
Kalau kita berhasil menguasai bandar-bandar d jaur perdagangan itu, kita pasti
menang!”
Wahidin
tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
“Ayah
yang mengatakan semuanya pada saya”, jelas Prawira.
Dan
ia pun memulai cerita panjangnya.
“Ayah
terlahir dari garis keturunan pedagang Cina yang terkemuka di masanya. Mereka
sudah ada di Nusantara, sebelum kedatangan Eropa. Mereka mampu bertahan hidup
karena keahlian berdagangnya. Sejak dulu, mereka sudah terlatih untuk mencari
kesempatan dalam berusaha. Itu karena mereka pandai menyesuaikan diri dengan
perubahan situasi. Bahkan, saat Pribumi merasa sangat dirugikan dengan monopoli
perdagangan Belanda, mereka justru melihatnya sebagai peluang!
Mereka
pun menawarkan diri sebagai pedagang perantara Belanda. Dan gayung pun
bersambut! Melihat reputasi mereka, Belanda pun memakai jasa mereka sebagai
kurir-kurir kepercayaannya. Dengan keahlian mereka, Belanda berhasil
menyelundupkan berton-ton opium ke Eropa, melalui Samudera Atlantik. Dokter
bisa membayangkan keuntungan bisnis illegal ini kan?
Dengan
begitu, Belanda mampu membiayai dan memperkuat persenjataan armada perangnya.
Maklum, selain untuk membendung berbagai serangan dari kerajaan di Nusantara,
saat itu Belanda juga sedang berjuang untuk memukul mundur Perancis. Belanda
terbelit hutang besar dengan bunga melambung pada Perancis. Untuk itu, Belanda
membutuhkan pemasukan yang besar dalam waktu singkat. Dan opium-opium itulah
yang menjadi dewa penyelamat mereka selama berabad-abad lamanya, selain pajak
sewa tanah dan komoditi ekspor hasil tanam paksa.
Ayah
adalah generasi terakhir dari keturunan Yat Sen. Beliau memiliki lebih dari 100
anak buah yang tersebar di lautan. Kepandaiannya mengorganisir ratusan kurir
–didukung naluri dagangnya yang kuat dan loyalitas yang tinggi pada pimpinan
–akhirnya berbuah manis. Belanda kemudian mengangkat ayah menjadi Bupati
kepercayaannya, satu-satunya Bupati yang diangkat dari seorang rakyat jelata.
Ayah
kemudian menikahi Mey-mey, gadis bangsawan, peranakan Jawa-Cina. Mereka menjalani
pernikahan hampir 10 tahun, namun tak kunjung dikaruniai keturunan. Dan entah
bagaimana ceritanya, Akhirnya Sen dan istrinya mengadopsi seorang buruh perkebunan
cilik. Keputusan ini sempat ditentang Belanda, karena selain sudah terikat
kontrak kerja seumur hidup, bocah itu juga berasal dari kaum miskin yang bodoh.
Namun, dengan bujuk rayu Sen, akhirnya Belanda menyetujui keinginannya,
meskipun dengan berat hati.
Sen
ingin bocah itu menjadi penerusnya, sebagai elit pribumi yang setia pada
Belanda. Karenanya, sejak saat itu, beliau memasukkan anak laki-laki itu pada
Sekolah Rendah Eropa dan menyarankan padanya untuk melanjutkan pendidikan di
STOVIA. Dokter pasti sudah bisa menyimpulkan cerita saya...”
Wahidin
mengangguk perlahan, namun penuh keyakinan.
“Ya,
anak angkat itu adalah saya”, tegas Prawira. “Dan Sen adalah orang yang paling
berjasa dalam hidup saya, karena beliau yang mengangkat saya, dari rakyat
jelata menjadi priyayi...”
##
Tanah
itu masih basah dan lunak. Batu nisannya juga belum tertancap kuat. Tak ada
taburan bunga. Hanya bunga kamboja yang berjatuhan di atas makam, terkena
tiupan angin. Harum kamboja, bunga kuburan. Ya, pemakaman itu baru selesai.
Jejak para pengentar jenasah juga masih lekat, membawa duka dan benci.
Kebencian mendalam pada sang perampas nyawa yang sengaja menghapus jejaknya.
Wahidin
tak juga beranjak. Pandangannya tertuju pada sebuah tulisan di batu nisan, ia
mengusapnya beberapa kali. Wahidin sangat terpukul dengan kematian Prawira.
Entah bagaimana perasaan Sen saat ini.
Mayat
Prawira ditemukan di perkebunan, dengan luka tembakan tepat di dahinya. Tidak
ada yang tahu pasti penyebab kematiannya. Hanya sebuah teriakan yang sempat
terdengar sebelum letusan senapan itu, “PENGKHIANAT...!!!”
##
Namanya
Sukirman. Pria paruh baya itu menemuinya di STOVIA. Wahidin tak mengenalnya.
Tapi ia mempercayainya, karena ia melihat kejujuran di mata pria itu. Ya,
matanya yang selalu tergenang setiap kali lidahnya mengeja nama Sen dan
Prawira. Ia saksi mata kematian Prawira dan ia meminta Wahidin untuk menuliskan
apa yang dilihat dan didengarnya di perkebunan, suatu siang.
Kesaksian Sukirman,
sebuah catatan.
Aku tahu betul siapa
Sen. Dia teman masa mudaku. Aku mengenalnya sejak ia masih menjadi kurir opium.
Dan ia tak pernah berubah, meski Gubernur telah mengangkatnya menjadi Bupati.
Ia tetaplah Sen yang kukenal setengah abad yang lalu. Sen tak pernah malu
bergaul denganku, seorang buruh perkebunan. Bahkan ia yang memberikan jaminan
saat Belanda hendak membuangku karena aku dianggap sudah tidak produktif lagi.
Sen sangat mencintai Nusantara, meski kesetiaannya pada Belanda tak perlu
dibuktikan lagi. Tapi aku tak pernah menduga, kesetiaannya itu yang akhirnya
memaksanya untuk menjadi pembunuh.
Pagi itu, aku melihat
Sen bertemu dengan Prawira di perkebunan. Aku tidak tahu apa yang mereka
bicarakan saat itu. Tapi aku yakin, mereka terlibat pembicaraan yang
menyenangkan. Itu yang kutangkap dari senyum mereka yang terus mengembang.
Bahkan, Sen sempat menyapa dan tersenyum lebar padaku, sesaat sebelum
meninggalkan perkebunan.
Tengah hari, kulihat
Prawira datang lagi ke perkebunan dengan tergesa-gesa. “Kata Guritno, Ayah
ingin bertemu denganku”, ujarnya saat ia sadar aku mengamatinya. Beberapa menit
kemudian, Sen menyusul Prawira. “Prawira ingin bertemu denganku”, jawabnya saat
kutanyakan perihal keberadaannya di perkebunan siang itu. Entahlah, siapa yang
sesungguhnya menginginkan pertemuan itu. Suasana perkebunan tampak lengang.
Hanya Guritno, kacung belanda, yang tampak keluar masuk perkebunan. Ini cukup
aneh, karena dalam kesehariannya, Guritno selalu tampak mendampingi Gubernur
Jenderal. Dan aku tak melihat kehadiran Gubernur waktu itu.
Seketika aku menduga
ada yang tidak beres dengan keberadaan mereka. Dan kecurigaanku memuncak, saat
samar-samar kudengar keributan itu. Aku berlari menghampiri tempat pertemuan
mereka, kemudian berjalan mengendap-endap dan mengintip melalui sela-sela
jendela yang tidak terkunci.
Aku sangat terkejut!
Ternyata Sen dan Prawira tidak sendirian! Ada Gubernur Willem dan Bupati
Warman. Dugaanku, Gubernur dan Bupati Warman diam-diam memasuki perkebunan
melalui pintu selatan, pintu yang tak lazim digunakan.
Saat itu, kulihat
Gubernur dan Sen sedang terlibat perang mulut. Gubernur memukulkan kepalan
tangannya ke meja beberapa kali. Wajahnya memerah dan suaranya meninggi. Sen
tak mampu menguasai emosinya. Ia berdiri berhadapan dengan Gubernur, mencoba
menjelaskan keinginan hatinya dengan suara lantang. Ia sangat marah!
Prawira berusaha sekuat
tenaga menahan emosinya. Ia berdiri dengan tangan mengepal. Tatapan tajamnya
menghujam secara bergantian pada Gubernur dan Bupati Warman. Sementara itu,
Bupati Warman tampak berdiri dengan tenang disamping Gubernur. Ia melipat kedua
lengannya di dada sambil sesekali tersenyum di satu sudut bibirnya.
Aku mulai bisa
menyimpulkan apa yang sedang mereka bicarakan setelah beberapa saat
mendengarkan dengan seksama. Hingga letusan itu mengakhiri pertikaian mereka.
Aku terhenyak, saat
kulihat Bupati Warman tewas tertembus peluru di dadanya. Pistol itu pun
terjatuh dari genggaman Sen. Lalu teriaknya pada Gubernur, “ Warman tak pernah
setia padamu, meski ia menentang keras Budi Utomo! Ia hanya haus kekuasaan! Aku
membunuhnya untukmu, karena suatu saat ia pasti akan menikammu dari belakang!”
Nafasku nyaris
terhenti, ketika letusan itu kembali terdengar, sesaat setelah Gubernur
berteriak, PENGKHIANAT...!!!” prawira roboh tepat di depan Sen. Dahinya
tertembus peluru saat ia berusaha menghalangi tembakan Gubernur yang ditujukan
pada sen.
Gubernur murka. Ia
menyuruh anak buahnya untuk mengurung Sen di penjara bawah tanah, bersama mayat
Bupati Warman. “Aku bukan pengkhianat! Aku hanya ingin membantu mereka
mengambil kembali apa yang seharusnya
menjadi milik mereka!”, teriak Sen. Entah mengapa, Gubernur tak membunuh Sen
saat itu juga.
Sen akhirnya tewas
dengan tubuh penuh luka siksaan, empat hari kemudian. Mey-mey sengaja
diasingkan ke Belanda. Sen dan istrinya yang tiba-tiba menghilang setelah
peristiwa itulah yang menyebabkan penduduk akhirnya menyimpulkan sendiri tentang
teka-teki sang algojo dibalik kematian
Prawira.. Dan memang itulah siasat Belanda, memunculkan Sen sebagai pelaku
tunggal. Belanda ingin mengadu domba Pribumi dengan Tiong Hoa, karena Sen dan
prawira diam-diam telah menggagas sebuah rencana untuk mempersatukan seluruh
etnis di Nusantara, guna merebut kemerdekaan.
Aku sempat diam-diam
menemui Sen, sebelum kematiannya, saat penjaga-penjaga itu lengah. Kondisinya
sangat mengenaskan. Aku tak kuasa menahan air mataku setiap kali kuingat
saat-saat terakhirnya. Tubuhnya lemah, hancur, dan berbau anyir. Luka di
sekujur tubuhnya mulai membusuk. Seketika itu kuyakini, ia tak mungkin mampu
bertahan hidup hingga esok hari.
Mataku dan matanya
bertemu untuk beberapa detik. Ia menatapku nanar. Ada duka mendalam di matanya,
meski air matanya tak sampai tertumpah. Ia tak banyak bicara. Tapi aku bisa
merasakan, perih hatinya jauh melebihi perih di tubuhnya. Aku tak mampu menahan
tangis kala itu.
Dan kulihat Sen mulai
mengumpulkan sisa tenaganya. Berusaha meraihku melalui jeruji-jeruji besi yang
berkarat. Ia mencengkeram bahuku dengan kuat dan mendekatkan bibirnya pada
telingaku. Lalu bisiknya dengan suara parau, “satukan, lumpuhkan, serang”. Ia
terus mengulang ucapannya tanpa membeikan penjelasan apapun padaku, hingga
bibir dinginnya berhenti bergetar dan cengkeraman tangannya pun terlepas dari
bahuku. Ya, ia tak lagi bernyawa.
Aku ingin kau menyimpan
cerita ini sampai situasi aman. Dan apabila saat itu telah tiba, maka kabarkan
berita gembira ini pada seluruh penduduk Nusantara. Aku mempercayakannya
padamu, Wahidin.
##
Satukan,
lumpuhkan, serang. Tiga kata itu berputar-putar di kepala Wahidin. Nyaris memporak-porandakan
otakya. Namun ia berhasil menyatukan serpihan memorinya yang tercerai berai,
setelah kematian Prawira.
Wahidin
tersenyum dalam hati, entah bahagia atau sedih. Ia tak yakin dengan
perasaannya, kecuali keyakinannya tentang kemenangan Nusantara, setelah ia
berhasil memaknai pesan terakhir Sen. Ya, bangkitkan persatuan dan kesatuan,
lumpuhkan perekonomian belanda, dan nyatakan PERANG!!
1 komentar untuk "CERPEN : KESAKSIAN SUKIRMAN Oleh: Ratih Puspaning Ayu "