LUKA DI HATI
SARI
By : Witri
Prasetyo Aji
“Mengapa
aku harus takut dengan sebuah perceraian? Toh bercerai itu tidak dosa.
Lagipula, sepasang suami isteri pasti juga akan berpisah, meski tidak dengan
perceraian,” ucap Sari waktu itu.
Kata-katanya
meluncur begitu saja. Sari yang tak pernah menyukai pasangan yang bercerai,
kini tiba-tiba mengucapkan kalimat sakral itu.
“Dan
aku juga tidak akan menyalahkan seseorang yang berselingkuh. Toh, hidup ini
mencari kebahagiaan. Buat apa mempertahankan orang yang kita cintai tapi kita
tidak bahagia. Lebih baik mencari yang lain, namun kita bahagia,” tambahnya
yang membuatku semakin sulit mencerna ucapannya. Aku seolah tak sedang
berbicara dengan Sari.
Sari
yang aku kenal adalah wanita yang menjunjung tinggi cinta dan kesetiaan. Tapi,
kali ini...
“Memangnya
tidak takut dengan karma?” tanyaku waktu itu. Aku mencoba mencari pemikiran
logis dari seorang Sari.
Sari
tertawa sinis. Sesaat. “Sudah berhati-hati saja masih kena karma, apalagi
tidak. Sama saja, kan?” jawabnya santai.
Aku
melongo dibuatnya.
Sepertinya
ada sesuatu yang tengah terjadi dengan Sari. Mungkin, dengan rumah tangganya.
Aku mengira.
Tapi,
bukankah Sari adalah wanita yang sabar? Penuh pengertian terhadap suami dan
selalu menutup rapat aib suaminya? Sari juga teramat setia pada suaminya,
bahkan tak mempedulikan bagaimana keadaan suaminya. Sari juga tak pernah
mengeluh dengan karang-karang yang menghadang dalam biduk rumah tangganya.
Namun, Sari yang kini aku temui sangatlah berbeda. Ucapan demi ucapan yang
keluar dari bibir ranumnya itu mengalir begitu saja, seperti tak pernah
dipikirkan sebelumnya. Tatapan matanya yang selalu tegas itu terlihat sayu,
seperti ada kehampaan di dalamnya. Bibir yang biasanya tiada henti tersenyum,
kini seolah kaku untuk menghantarkan tawa. Ah, ada apa dengan Sari?
“Dalam
rumah tangga itu, permasalahan tidak selalu datang dari nenek sihir (wanita
penggoda), tapi bisa jadi orang ketiga itu adalah keluarga besar
sendiri. Hmm, misal saja, kakak ipar, adik ipar, atau bahkan mertua sendiri,”
ucap Sari yang kemudian meneguk habis juz jeruknya. “Ya, seperti yang kita
pahami, menikah itu bukan hanya menyatukan seorang wanita dan seorang lelaki,
tak cukup juga orangtua si wanita dan oraqngtua si lelaki, tapi menyangkut
keluarga besar. Dan kita juga harus realistis, tak semua keluarga besar dari
pasangan kita itu menyukai kehadiran kita...” imbuhnya.
“Maksud
kamu apa, Ri?” tanyaku tak mengerti.
Dari
bahasa pembicaraannya, ada sesuatu yang ingin Sari ceritakan padaku. Tapi sepertinya
Sari terlalu berkelak-kelok dan memberikan teka-teki kepadaku akan
permasalahannya.
Ya,
semenjak Sari menikah dengan Randi, 2 tahun yang lalu, Sari menjadi sosok yang
tertutup. Sari yang dulu selalu menceritakan semua hal tentangnya, menjadi
lebih pendiam. Katanya, dia sudah punya Randi, tempatnya berkeluh kesah. Jadi,
Sari tak butuh seorang sahabat seperti waktu dia masih sendiri.
Sedari
kecil aku bersahabat dengan Sari, namun semenjak Sari mengenal Randi, aku
seperti kehilangan sosok Sari yang periang dan selalu tegar. Hanya tatapan sayu
yang kerap aku dapatkan ketika aku bertemu dengan Sari.
Terkadang,
aku ingin mencari tahu tentang apa yang terjadi pada Sari. Tapi itu bukan
porsiku. Aku takut Sari akan marah karena menganggapku terlalu ikut campur
permasalahannya. Namun melihat kondisi Sari? Jujur, aku tak tega.
Bukan
hanya mendung yang terpapang di wajah ayu Sari, tapi tubuhnya yang dulu padat
berisi, kini menjadi tulang dan kulit yang penuh keriput. Bukan lantaran
termakan usia, tapi lebih tepatnya termakan beban hidup yang Sari pendam
seorang diri.
Seperti
ada tekanan batin yang Sari dera. Tapi, Sari tak punya keberanian untuk
mengungkapkannya. Ada ketakutan yang menyelinap dalam hatinya.
**
Mungkin,
itu adalah pertemuan terakhirku dengan Sari. Semenjak saat itu, aku tak lagi
berjumpa dengan Sari. Nomor handphonenya juga sudah berganti. Email yang ku
kirim juga tak kunjung dibalas. Sementara istana mungilnya selalu saja kosong.
Sari, di mana kamu?
Hingga
aku menemukan suatu akun Facebook bernama Sari Ingin Bahagia. Akun itu milik
Sari, terlihat dari beberapa fotonya. Tapi isinya penuh dengan ratapan seorang
isteri. Benar, rumah tangga Sari tengah terguncang prahara.
Buat
apa bicara, toh nyatanya apa yang aku ucapkan hanya angin kosong yang tak
dianggap. Diam bukan berari baik-baik saja. Jadikan aku sumber masalah selagi
aku masih ada.
Sebuah
status yang membuatku tercengang. Sumber masalah? Sebenarnya, ada apa dengan
rumah tangga Sari?
Bahagia
itu tiada air mata. Selagi mata masih berselimut rintik-rintik kecil, hati
masih merasakan luka.
Kalimat demi
kalimat yang Sari tulis seolah menjadi teka-teki tersendiri bagiku. Belum lagi
foto yang diuploadnya, foto wanita yang tengah menangis.
Sari,
dia seolah merindukan kebahagiaan.
Aku
harus mencari Sari. Hingga ku putuskan untuk bertandang ke rumah orangtua Sari.
Aku harus bertemu Sari. Aku tak bisa membiarkan sahabatku itu hanya
mengungkapkan perasaannya di dunia maya, di baca oleh berjuta mata di penjuru
dunia. Aku, Vina, siap menjadi tempat sampah Sari untuk mengungkap semua keluh
kesahnya. Sari tak bisa memendam semuanya sendirian.
Ku
lihat Tante Meida—Ibunda Sari—yang nampak kusut ditelan wajah keriputnya.
“Selamat siang, Tante,” tanyaku dengan begitu ramah.
“Siang,
mari masuk,” balasnya tak kalah ramah. Wanita paruh baya itu masih terlihat
cantik, bahkan lebih cantik dari Sari—anaknya sendiri.
Sejenak
kami berbincang sekadar basa-basi belaka. Lalu, ku ungkap akan maksud
kedatanganku. “Tante, Vina mau tanya, apakah Sari ada di sini?” tanyaku dengan
susah payah. Aku takut, menyinggung sudut ruang perasaan Tante Meida.
Tante
Meida yang tadi nampak sedikit segar, kini layu bagai mawar yang kekeringan. Ya, seperti ada sesuatu yang
terjadi. Teka-teki itu semakin kuat mengusik jiwaku.
“Untuk
apa kamu mencari, Sari?” tanya Tante Meida dengan nada sedikit sinis. Membuatku
tak enak hati. Sebelumnya, Tante Meida tak pernah sesinis ini padaku. Tante
Meida selalu ramah terhadapku.
Aku
terdiam dan menunduk. Apa perlu aku jujur akan maksud kedatanganku yang
sebenarnya? Sari bukan selebritis dan aku juga bukan wartawan yang tengah
mencari beritanya. Aku hanya seorang sahabat yang tengah mengkhawatirkan
keadaan sahabatnya, ya keadaan sahabatnya, tak lebih.
Suasana
menjadi hening. Aku terdiam dalam diam, begitu juga Tante Meida yang sepertinya
menanti jawabanku. Lalu, samar-samar ku dengar suaru sesenggukan. Seperti suara
seseorang yang tengah menangis.
Belum
sempat aku bertanya, Tante Meida sudah mengeluarkan kata-katanya. “Itu, Sari.”
Aku
melongo. Menanti penjelasan selanjutnya.
“Dua
bulan yang lalu, Sari melarikan diri dari rumahnya. Dia ke sini, menangis
sembari menggendong anaknya. Tante tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sari
tak pernah mau bercerita. Dia hanya menangis dan selalu menangis, kalaupun mau
bercengkerama, itu hanya dengan anaknya,” tambah Tante Meida.
“Radit?”
tanyaku tak sabar.
“Berulang
Radit ke sini, tapi Sari justeru mengamuk.”
Ya
Tuhan, sebenarnya ada masalah apa, Sari?
“Tante,
aku ingin bertemu Sari,” pintaku.
Tante
Meida hanya menggelengkan kepala.
“Kenapa,
Tante?” tanyaku, kecewa.
“Kondisi
kejiwaan Sari sedang tidak baik, Tante tak ingin terjadi apa-apa denganmu.”
Aku
pasrah. Sahabat kecilku itu tengah terganggu jiwanya? Bagaimana bisa? Apa
terlalu bertakah beban hidupnya selama ini?
Lalu, dari balik jendela ku lihat Sari yang
tengah di kamarnya bersama Leon—anaknya. Sari seperti tengah baik-baik saja.
Memanjakan Leon layaknya seorang ibu. Namun beberapa saat ketika Leon sudah
tertidur, Sari melamun, menangis, sesekali membuang barang-barang yang berada
di sekitarnya. Api itu mengkilatkan kemarahan besar. Seperti bom waktu yang
tengah meledak hebat, itulah amarah Sari.
“Bagaimana
dengan Leon, Tante?”
“Sari
tidaak akan menyakiti anaknya.”
Ah,
Sari. Jika benar kamu tengah menghadapi prahara rumah tangga, bukan begini
caranya. Bukan dengan meledakkan bom waktu yang bertahun-tahun kamu kubur.
Harusnya kamu mencari tempat sampah sebagai pembuangan kecewamu. Seharusnya
kamu mengungkap segala penat yang kamu hadapi. Bukan dengan menyimpannya rapat
lalu meledakkannya tanpa ada yang tahu penyebabnya.
Mana
Sari yang dulu ku kenal? Aku merindukannya.*
TENTANG PENULIS
Witri Prasetyo Aji adalah nama pena dari
Wahyu Triyani. Ibu rumah tangga yang hobi menulis semenjak masih duduk di
bangku SMA. Selain sibuk dengan dunia literasi, Witri juga sibuk sebagai staf
TU di SMP Swasta serta masih tercacat sebagai mahasiswa semester akhir Fakultas
Ilmu Komputer.
Witri sudah menulis puluhan karya antologi
yang diterbitkan secara indie. Pernah menerbitkan novel MANTAN YANG MENJANDA
(Goresan Pena Publishing : 2013) dan antologi cerpen tunggal PERJALANAN (Pena
Nusantara : 2013).
Sementara karya-karyanya yang terbit secara
Mayor, antologi MIDNIGHT STORIES II (Media Kita : 2013), antologi
KEKASIH YANG TAKUT CACING (PT. Elex Media Komputindo : 2014), Juara III Lomba
Cerpen Islami Yayasan Nurul Jayat salah satu cepennya juga pernah dimuat di
majalah FEMINA. Beberapa karyanya bisa dilihat di www.witri90.wordpress.com dan www.witri90.blogspot.com
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
2 komentar untuk "CERPEN : "LUKA DI HATI SARI" By : Witri Prasetyo Aji"
-- Bang, aku kog belum dapat KTA ya :(