Maaf Yang Sia-sia
By: Hikari Kagawa
Jilbab warna cerahnya melayang kecil
tertiup angin sore. Sebuah senyum termanis dipersembahkannya kepada semesta,
menyambut senja turun. Dengan mata berkaca-kaca senyum itu tetap dijaganya.
“Janji! Kamu akan segera kembali!”
Lembut suara gadis itu disambut anggukkan pasti lelakinya.
“Jangan khawatir, empat tahun
kedepan akan kutemui dirimu disini. Dengan senja yang lebih indah.”
Kembali, gadis bernama Laila
tersenyum. Jarinya tak henti memutar-mutar cincin yang tersemat di jari
tengahnya. Sebuah persembehan dari kekasih hatinya.
“Jaga hatimu,” ujarnya. Pandangannya
menantang tatapan Vendi.
“Believe
me!”
***
Entah, sudah senja yang keberapa
ditahun ini menjadi senja yang gulita bagi Laila. Keindahan warnanya tak lagi
terasa. Yang ada hanya gelap. Ya, buliran salju yang suci selalu luruh
menyambut senja turun.
“Harus pada senja yang mana
kutemukan dirimu, dan cintamu, Ven? Mana senja yang kau janjikan?” Tanya yang
tak pernah terjawab. Pandangan Laila kosong, menatap lara bola orange yang kian mengecil dan perlahan
menghilang.
Senja telah pergi.
“Laila…”
Merasa terpanggil, gadis yang selalu
setia mengiring senja pulang itu berdiri dari duduknya. Sesekali jemarinya
menyeka matanya yang sembab.
“Laila…”
“Ven..di…?!” Dengan sedikit ragu
Laila menyebut nama itu. Nama milik sosok yang dirinduinya. Sosok yang selalu
ditunggunya. Air matanya kembali jatuh tat kala lelaki itu mengangguk.
“Apa kabar, La?” Tanya Vendi masih
dengan posisi berdiri mematung sejauh dua langkah dari hadapan Laila.
“Alhamdulillah.”
Pertemuan yang asing. Tak ada canda,
tawa. Bahkan, sapa rindu layaknya sepasang kekasih. Rupanya malam telah
membungkam keduanya. Hanya bisikkan daun-daun yang tertiup angin sesekali
terdengar. Malam membisu, taman kian menggigil.
“Maafkan aku, La! Ini bukan
mauku.Demi Tuhan, wanita yang aku cinta Cuma kamu. Maafkan aku!”
Sudah tak terhitung berapa banyak
kata maaf yang meluncur dari bibir Vendi.mencoba menjelaskan apa yang telah
terjadi kepada kekasihnya. Namun, tak ada balasan maaf itu dari Laila.
Melainkan tangisnya yang semakin menjadi.
“Sungguh bukan pertemuan seperti ini
yang kumau. Tapi…”
“Cukup!!” Teriak Laila dengan
pandangan tajam. “Kamu gak pernah tahu gimana rasanya menunggu. Empat tahun,
empat tahun, Ven. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah penantian.”
Vendi mendesah. “Maafkan aku, Lai!”
“Untuk apa?! Kamu tahu aku selalu
datang kemari sejak empat tahun yang kamu janjikan. Bahkan, sebulan sebelum
genap waktunya. Aku selalu berusaha menjaga hatiku. Tapi kamu…?!” Ditariknya
nafas dalam-dalam. “Kamu malah menikah dengan dia, sahabatku. Dan, tanpa
memberitahuku. Kalian sengaja, kan?!”
“Enggak, Lai…! Kamu harus tahu,
Diana terkena kanker. Dan, sekarang…Ah, maafkan aku,” ujar Vendi bersimpuh di
hadapan Laila.
“Pergi! Bawa serta maafmu. Pergi,
Ven!
“Baiklah, aku hanya ingin
memberitahumu. Diana ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya. Datanglah
kerumah!” Tatapannya menerobos buliran salju yang mengambang dimata Laila.
Dengan hati yang juga terluka lelaki jangkung itu
meninggalkan wanitanya. Mengemas kembali ‘maaf’ yang telah dipersiapkannya
setahun setengah yang lalu.
***
TENTANG PENULIS:
Hikari Kagawa adalah seorang pecinta senja, gerimis,
dan alam. Gadis kelahiran Malang ini dapat dihubungi melalui email: hikarikagawa1@gmail.com
atau facebook Hikari Kagawa. Beberapa
karyanya dapat dibaca pada buku antalogi Kun Fa Yakun, Catatan Cinta-Nya,
Negeriku berduka, Negeriku menangis (Pena Indis) dan Aku Sang Penghianat (AE
Publishing), Catatan Cinta Untuk Ayah (Penerbit Asrifa), dan beberapa antalogi
lagi yang masih dalam percetakkan.
***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : Maaf Yang Sia-sia By: Hikari Kagawa"