SERABI IDOL
Oleh : Feby Oktarista Andriawan
Alasan pertama gue pede untuk jualan serabi adalah
nyokap gue. Iya, sekitar satu minggu yang lalu, gue mempraktekkan ilmu membuat
serabi dari Kang Yoyon yang merupakan penjual serabi legendaris di daerah
tempat gue tinggal. Sekarang, Kang Yoyon sudah beralih profesi jadi penjual
pulsa. Bukannya mau ngebunuh nyokap sendiri dengan serabi perdana gue, pada saat
itu kebetulan cuman beliau yang lagi ada di rumah. Bokap? kerja narik angkot.
Nah, setelah satu gigitan, nyokap gue itu langsung melayangkan jempol tangan
kanan dan kirinya ke gue, masih dalam posisi ngunyah serabi. Sumpah, itu adalah
salah satu momen terbaik dalam hidup gue. Gue anggap kalau saat itu nyokap gue
tuh lagi memuji serabi buatan gue.Sontak gue langsung pergi nemuin Kang Yoyon
dan membicarakan niat gue untuk jualan serabi secara profesional.
“Kang, gue mau jualan serabi!”
Kang Yoyon membisu, melihat ke arah gue sebentar dan
lanjut manasin motor lagi. Sial, gue dicuekin!Apa karena muka gue yang lebih
pas jadi model ya daripada penjual serabi. Tapi gue enggak patah arang, gue
cuman mau jadi penjual serabi!
“Kang, gue serius!”
Setelah mendengar teriakan gue yang lebih mirip
suara cewek abis diputusin cowok, Kang Yoyon langsung menghampiri gue dengan
tatapan matanya yang tajam. Oh iya, gue lupa menjelaskan kalau Kang Yoyon ini
orangnya kurus, rambutnya belah pinggir kayak anak boyband, kulitnya rada hitam gitu dan berhidung mancung. Beda sama
gue yang berkulit putih, hidung pesek dan rambut belah tengah. Yah, mirip David
Beckham berhidung minimalis-lah. Tapi, sayangnya, gue punya tompel berukuran
sedang di pipi sebelah kanan.
“Kamu yakin mau jualan serabi? Kamu
kan baru belajar, Asep!” balas Kang Yoyon.
Gue garuk-garuk ketek sambil
bilang, “Iya sih emang baru Kang, tapi nyokap tuh bilang kalau serabi gue tuh
enak!”
“Yakin kamu? Nyokap kamu lagi mati
rasa kali lidahnya.”
“Yee, enak aja. Yakin-lah, Kang!”
“Ya udah kalau gitu, saya pinjamin
tuh gerobak saya, bekas jualan serabi dulu. Tinggal kamu cat aja ya, biar makin
keren...”
“Wah, serius nih Kang!”
“Serius. Tapi inget, bayar sewanya
per bulan!”
“Yah, ujung-ujungnya duit juga.
Tapi gak apa-apa deh, Kang!”
Gila, sumpah itu adalah momen
spesial dalam hidup gue. Gue bisa pakai gerobak serabi legendaris punya Kang
Yoyon! Iya sih Kang Yoyon nyuruh gue untuk men-cat
ulang tuh gerobak biar makin kece,
tapi gue enggak mau menghilangkan kelegendarisan gerobak itu. Biarlah gerobak berwarna
putih dan coklat tersebut tetap terlihat tua, yang penting kan yang jualnya
ganteng.
Hari pertama kerja memang rada
berat, gue harus keliling bawa gerobak sambil teriak-teriak, “Surabiiii
oncoom!!”. Bukan cuman karena yang beli ada tiga orang doang, ada juga yang
bilang berisik karena teriakan gue kayak kambing yang belum akhil baliq.
Suram. Benar-benar sebuah cobaan tingkat
tinggi. Tapi, bokap gue pernah ngasih petuah ke gue kalau; “Mengerjakan sesuatu
itu jangan setengah-setengah!”. Yah, itulah motivasi gue dalam menjalani hidup.
Kesialan gue pun semakin bertambah
di hari kedua. Bukan karena teriakan gue aja, tapi karena konsumen-konsumen gue
di hari sebelumnya pada komplen karena serabi gue enggak enak! Bahkan, saking
parahnya ada yang sampai mencret-mencret setelah makan serabi gue! Sial, gue
makin down. Padahal, sudah
jelas-jelas nyokap gue tuh memuji serabi gue. Apa yang salah coba?
Di bawah pohon rindang gue terus
merenung sambil ngelihatin cahaya matahari dan sesekali ngelihatin beberapa
cewek SMA yang baru balik dari sekolah, berharap ada yang mau beli serabi gue.
Hasilnya, nihil. Gerobak serabi gue cuman dilirik doang, gue yang ganteng malah
enggak dilirik sama sekali. Bahkan, ada yang jalannya makin cepat begitu gue
lihatin.
Penasaran, malemnya gue langsung
ngomong ke nyokap, “Mah, gimana sih rasanya serabi buatan Asep waktu itu?”
Mata nyokap gue tiba-tiba
terbelalak, pandangannya malah tertuju ke arah tipi yang lagi nyetel sinetron.
“Gini Sep, serabi kamu tuh… enak
kok…,” jawab Nyokap ragu.
Gue enggak langsung menyetujui
perkataan Nyokap kali ini. Bukti para pelanggan yang komplen ngebuat gue
berpikiran kalau serabi gue tuh enggak enak.
“Ah, masa sih Mah? kalo serabi Asep
enak, kok pembeli malah pada komplen?”
“………..” nyokap cuman mematung.
“Memang kamu belum cobain serabi
kamu sendiri, Sep?” tiba-tiba bokap gue yang perawakannya rada mirip Mario
Bross datang sambil membawa segelas kopi.
“Belum sih, Pah,” gue tertunduk
lesu.
“Nah, itu dia! Itu dia kesalahan
kamu, Sep! kamu tuh jualan makanan, harus dicicipin sendiri dulu, baru kasih ke
orang lain!” Bokap tiba-tiba ngamuk.
Nyokap gue langsung noleh ke arah
gue, “Iya Sep, serabi kamu tuh gak enak banget sebenarnya. Untung aja abis kamu
kasih Mamah tuh serabi kamu langsung lari, kalo enggak, gimana Mamah bisa
muntahin itu serabi. Mamah kan gak mau nyakitin perasaan kamu Sep,” tutup
beliau.
Gue nepok jidat. Gue memang bego
udah nyuruh nyokap nyicipin serabi buatan gue. Dari dulu, nyokap adalah
satu-satunya orang yang enggak objektif kalau gue nanya sesuatu. Salah satunya
gue pernah nanya ke nyokap kalau gue tuh ganteng atau jelek, eh nyokap jawab
jelek. Kan enggak objektif banget tuh. Sejak nyokap jawab itu, gue jadi galau.
Galau karena mikir,apamemang gue ini jelek yaaa? Ah, sudahlah, yang penting
adalahgue tahu serabi gue tuh memang enggak enak. Gue pun langsung berguru lagi
ke Kang Yoyon.
Setelah bertemu Kang Yoyon, gue
kaget dengan jawabannya….
“Maaf Sep, itulah kenapa sekarang
saya jualan pulsa. Saya itu juga gagal sebagai penjual serabi.”
Hening.
“Lah, kata warga kan Kang Yoyon
dulu penjual serabi legendaris disini, itu kan berarti enak Kang!” gue mulai
khawatir.
Kang Yoyon memegang bahu kiri gue
dengan tangan kanannya. Dia memasang ekspresi memelas sambil bilang, “Iya,
memang benar saya penjual serabi legendaris di sini. Tapi, saya tuh terkenal
karena serabi yang gak enak Sep, bukan karena serabinya enak. Maaf ya, Sep.”
TIDAAAAAAAAAKKKK!!!
Entahlah. Pengen rasanya gue lari
ke hutan, teriak sekencang-kencangnya, lalu memecahkan gelas biar ramai, biar
mengaduh sampai gaduh. Kampret banget. Memang sih ada beberapa kesalahan yang
gue lakukan sendiri. Pertama, gue enggak nyicipin serabi buatan gue sendiri itu
dengan lidah gue sendiri. Kedua, gue enggak menggali informasi lebih dalam lagi
tentang Kang Yoyon yang ternyata terkenal akan serabinya yang enggak enak! Ah,
sudahlah, saatnya gue melempar handuk untuk bisa sukses dengan berprofesi
sebagai penjual serabi.
Gue kemudian beralih jadi pak ogah
yang suka belokin mobil di belokan yang sebenarnya ilegal. Yah, namanya juga
cari duit. Tapi, itu enggak bertahan lama karena gue enggak betah. Soalnya, di
tempat tersebut, mangkal juga para waria yang suka ngamen. Bukannya gue
menjelek-jelekkan waria ya, menurut gue waria juga manusia yang punya hak yang
sama untuk hidup. Ini cuman faktor masa lalu gue yang dari kecil memang selalu
takut waria. Enggak tahu kenapa.
Gue kembali dilanda kebingungan.
Umur gue yang sudah 25 tahun memaksa gue untuk putar otak nyari kerjaan.
Harapan datang ketika gue ngelihat sebuah iklan tentang ajang pencarian bakat
nyanyi yangada di tipi. Mantap. Sebenarnya, salah satu cita-cita gue waktu
kecil tuh pengen jadi penyanyi dan diidolakan masyarakat Indonesia. Makanya,
begitu lihat iklan itu, tanpa pikir panjang lagi gue mau ikutan audisi. Seperti
biasa, nyokap setuju kalau gue ikutan audisi itu karena nyokap percaya gue
punya suara emas. Gue tahu sih nyokap rada berdusta. Sementara, bokap gue
mendukung dan berdoa biar gue enggak malu-maluin amat di depan juri nanti.
Hari pertama audisi sumpah rame
banget. Berbagai macam jenis manusia dari yang tambun, cungkring sampai bule,
semuanya ada! Tapi, dari sekian banyak cewek yang ikutan audisi, gue kepincut
sama cewek berkulit kuning langsat dan berambut pendek yang kebetulan antri di
depan gue, yaaa…kira-kira mirip artis Bunga Citra Lestari-lah.
Tanpa pikir panjang lagi gue nyolek
bahu kanan tuh cewek dari belakang, “Nama kamu siapa?”tanya gue.
“Farah,” jawabnya singkat.
“Mau ikutan audisi juga?”
“Enggak, mau bersihin WC! Ya ikutan
audisi-lah.”
Kita berdua pun akhirnya akrab
setelah awal percakapan yang rada-rada gimanaaa gitu...Yah, lumayan-lah untuk
temen ngobrol. Kabar bagusnya, setelah gue berkenalan dengan Farah, gue
mendapatkan fakta bahwa ternyatado’i
jago bikin serabi! Gue sih yakin, kali ini skillFarah
jauh diatas Kang Yoyon.
Sepanjang penantian menunggu
giliran masuk ruang audisi, Farah ngasih tau guecara yang sebenar-benarnya
membuat serabi, bahkan dia nyatetin
bahan dan cara ngebuatnya itu di kertas.
Setelah itu, Farah ngasih nomor hape-nya
(setelah gue ngemis) dan pergi ninggalin gue untuk masuk ke ruang audisi.
Singkat cerita, hasil audisi untuk
gue sendiri adalah sangat menyakitkan. Iya, gue ditolak dengan alasan-alasan
yang enggak keren banget.
“Kamu itu lagi nyanyi, atau lagi ngeden sih? Mirip Justin Bieber lagi
berak!”kata juri pertama.
“Suara kamu itu unik sebenernya ya.
Untuk Guiness Book Record dalam hal
menirukan suara onta sendawa, saya yakin, pasti kamu juaranya,” kata juri
kedua. Lempeng tapi tajem.
“…………” juri ketiga enggak bisa
berkata-kata lagi.
Parah. Tapi, gue seneng, gebetan
gue atau lebih tepatnya gue yang ngaku-ngakuin Dia sebagai gebetan, si Farah,
lolos ke babak selanjutnya. Gue sangat mendukung Farah dan sebaliknya Farah pun
mendukung gue untuk bisa sukses berjualan serabi.
Berkat dukungan Farah itulah gue
jadi semangat dan kembali meminjam a.k.a menyewa gerobak Kang Yoyon untuk
berjualan serabi. Hasilnya kali ini lumayan, dalam seminggu gue berhasil
menjual sekitar 30-an serabi dan enggak ada yang komplen. Sedaaapp. Gue pun
makin semangat berjualan. Puncaknya, gue akhirnya menemukan tempat khusus untuk
gue ngebuka stand menjual serabi. Tempatnya pun strategis di depan sebuah tempat
les dan toko buku terkenal gitu. Tapi, celakanya, gue punya saingan berjualan
serabi di seberang dan rival gue itu adalah nenek-nenek!
Heh, cuman nenek-nenek ini,
kecil-lah bagi gue yang lebih fresh!
Gue yakin, cewek-cewek cakep pasti lebih milih beli serabi sama gue ketimbang
sama tuh nenek-nenek. Hasilnya, bener aja, baru pertama gue buka stand, surabi
gue laku lima buah. Sayangnya, di seberang sana, tuh nenek-nenek sudah
dikerumunin oleh lebih dari 10 orang! Semua pada ngantri beli serabi sama tuh
nenek, sialaaannn! Emosi gue. Ternyata benar, jangan menilai orang dari
sampulnya. Mulai saat inilah, gue memutuskan untuk menganggap tuh nenek sebagai
musuh besar.
Persaingan gue dengan tuh nenek
semakin sengit. Gue yakin, serabi resep Farah pasti lebih baik dari tuh nenek.
Apa sih yang dilihat orang-orang dari serabi nenek itu? Gue lihat sih, dari
bentuk sama, malah kalo dari tatakan buat serabinya banyakan gue. Ah, gue harus
memikirkan gimana caranya serabi gue ini punya kelebihan dari serabi tuh nenek.
Gue pun langsung memikirkan merk. Di hari berikutnya, gue terpaksa menodai
kelegendarisan gerobak Kang Yoyon dengan tulisan “Serabi Idol”. Ide tersebut
muncul karena gue pernah audisi ajang pencarian bakat nyanyi yang ada kata
Idol-nya. Yah, walaupun gue enggak tahu artinya apaan sih.
Setelah gerobak gue upgrade, lumayan banyak perkembangan.
Bahkan, ada yang inget muka gue karena ikutan audisi ajang pencarian tersebut.
“Kamu yang dibilang juri suaranya
mirip Justin Bieber lagi ngeden itu, kan?”
Gue senyum, “Iya Bu, mau beli
serabinya?”
“Oh enggak, saya cuman lewat.”
“………..”
Semakin banyak sih yang beli serabi
gue setelah orang-orang tahu kalau gue pernah ikutan audisi itu. Tapi, rival
gue, si Nenek, tetap aja masih selangkah lebih maju. Gue heran, pelanggan tuh
Nenek selalu ramai. Yah, mungkin karena senior. Pengalaman, di dalam dunia
kuliner, adalah salah satu faktor terpenting. Gue yakin, pasti tuh Nenek punya
resep rahasia. Ah, sudahlah, setelah gue pikir-pikir, gue cukup bersyukur
dengan apa yang sudah gue dapat. Pembeli serabi gue juga enggak sepi-sepi amat
kok.
Besoknya, pada suatu siang yang
mendung, gue bersiap untuk pulang karena memang serabi gue sudah habis. Yup,
gue girang abis, absennya si Nenek berjualan serabi menjadi faktor utama kenapa
serabi gue bisa ludes dengan cepat. Gue enggak peduli deh, yang penting gue
kali ini bisa pulang lebih cepat. Nyokap pun senang gue balik lebih awal karena
Beliau jadi ada yang bantu ngepel sama nyapu. Sial.
Enggak terasa, sudah seminggu gue
jualan serabi tanpa kehadiran si Nenek. Gue rada kehilangan gairah. Biar
bagaimana pun, tuh Nenek berhasil membuat gue menjadi lebih termotivasi untuk
menjadi penjual serabi yang lebih baik lagi. Bahkan, gue sampai-sampai rela
men-upgrade gerobak gue demi bersaing
sama Nenek itu. Yah, apa pun yang terjadi, yang penting gue jualan deh, demi
perut.
Hari demi hari gue lalui dengan
lancar jaya, uang gue pun sudah terkumpul cukup banyak. Gue sempat kepikiran
untuk buka warung serabi gitu. Tapi, gue pengin banget ngajak rival gue, Si
Nenek. Gue yakin, kalau gue dan si Nenek bergabung, warung serabi itu bakal
jadi makin rame. Gue kemudian iseng nanya ke pelanggan lama si Nenek yang
beralih membeli serabi ke gue, “Kang, si Nenek yang jualan serabi di seberang
itu kemana ya? Kok sudah sekitar dua mingguan ini gak jualan?”
“Oh,Nenek Imah sudah meninggal,
Mas. Nek Imah pernah bilang ke saya kalau dia tuh suka banget sama orang-orang
kayak Mas ini.”
Gue bingung, “Lho, emang kenapa?”
“Iya, karena dengan jualan serabi,
Mas sudah menjaga budaya kuliner tanah air. Gitu kata Nek Imah.”
Gue kaget abis. Bingung mau ngomong
apa. Sosok Nenek yang awalnya gue benci itu ternyata malah respek ke gue.
Sumpah, gue sedih banget kehilangan Nenek yang ternyata bernama Imah itu. Gue
sedih karena gue belum sempat berkenalan sama beliau.
---------------------------------------------
Akhirnya, impian gue untuk membuka
warung serabi terwujud sekitar tiga bulan kemudian. Gue seneng banget akhirnya
bisa membantu Bokap sama Nyokap dalam hal materi, yah walaupun enggak
banyak-banyak amat. Kang Yoyon juga sekarang sudah jadi pegawai gue tapi tetap
sih sambilan jualan pulsa.
Sementara Farah, sekarang sudah
jadi penyanyi terkenal. Tapi, itu enggak membuatnya sombong, Dia masih suka
datang ke warung serabi gue dengan pacarnya. Iya, dengan pacarnya (baca:
kampret). Jasa si Nenek yang sudah memotivasi gue pun, gue abadikan ke dalam
sebuah gambar yang dipajang di tembok.
Gue belajar satu hal dari
kesuksesan ini. Bahwa, apa pun yang menjadi cita-cita kita, yakinlah, pasti
suatu saat akan tercapai asalkan kita bisa menyeimbangkan antara impian dan
usaha.
TENTANG PENULIS
Nama
panjang gue Feby Oktarista Andriawan. Gue hobi banget yang namanya nulis,
nonton bola, sama dengerin musik. Lahir tanggal 05-Oktober-19xx di Palembang.
Suka pelihara ikan cupang juga, suka ngopi juga, suka ngupil juga. Punya blog
di http://febstories.blogspot.com.
Punya twitter di @febyandriawan.
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN 'SERABI IDOL' Oleh : Feby Oktarista Andriawan"