Kata Mereka Cerpen Saya Nggak Nyastra
Kata mereka cerpen saya nggak nyastra. Itu sebabnya cerpen-cerpen saya ditolak berbagai majalah dan koran. Terlalu biasa, ucap seorang pengarang ketika membaca cerpen saya yang berulang kali ditolak itu di sosial media. Pengarang itu sosok ternama, cerpennya kerap muncul di harian Pedoman. Harian tua yang menghiasi Indonesia sejak jaman kemerdekaan. Harian yang dikenal kerap menyuguhkan karya-karya bermutu milik sastrawan Indonesia dengan bayaran jauh di atas rata-rata.
Seorang lainnya berujar ,”Cerpenmu itu miskin imajinasi. Cobalah kau itu rajin membaca koran minggu. Terutama koran yang gemar menerbitkan cerpen-cerpen sastra bermutu. Jangan hanya roman picisan yang mengetengahkan kisah kasih dua insan secara berlebihan.”
Ah, tahu apa kau tentang saya, Tuan? Saya menggerutu. Saya sudah membaca cerpen-cerpen koran minggu yang katamu bermutu. Tapi saya merasa itu bukan gaya saya. Saya mati di depan komputer saat mencoba meniru mereka. Bermenit-menit, berjam-jam tak satu kata terlontar dan jadi kalimat. Saya jadi capek setelahnya. Saya rasa saya kembali saja pada gaya lama. Gaya saya sendiri tanpa perlu memakai patokan sama dengan orang lain tentang bagaimana menulis cerpen yang layak tampil di media masa.
Perkara cerpen yang kurang imajinasi itu saya sendiri bertanya-tanya ,”Cerpen kaya imajinasi itu harus seperti apa? Apakah harus dipenuhi tokoh-tokoh ajaib di dalamnya. Dimana pohon bisa bicara, buaya mengaku kekasih seorang wanita yang hamil tanpa seorang pria, seekor babi bercerita tentang negeri tanpa telinga, atau justru kamboja yang menceritakan kisah-kisah miris para penghuni kubur yang meratapi semasa hidupnya? Apakah itu yang dimaksudkan dengan cerpen kaya imajinasi?
Lalu bagaimana dengan mereka-mereka, para penulis yang justru memilih tokoh biasa dan bukannya tokoh tak wajar sebagai penyampai pesan. Tokoh yang merujuk pada manusia biasa yang batinnya bergolak terhadap ketidakadilan, orang pinggiran yang kian terpinggirkan, atau kerinduan pada kejujuran yang semakin hambar. Bukannya sebuah benda atau justru mahkluk tak kasat mata.
Jika cerpen kaya imajinasi itu berkutat pada seputar tokoh ajaib yang tak ditemukan di dunia nyata tentu tak sekadar menukar manusia menjadi batu-batu, ranting, atau benda-benda mati saja kan? Didalamnya harus mengandung pesan yang membuat pembacanya mendapat sesuatu sehabis melahap habis si cerita.
Ah, tak tahulah aku ikhwal cerpen kaya imajinasi itu, Tuan. Baiknya kutinggalkan saja komentarmu dan beranjak pada komentar berikutnya.”
Beranjak pada masukan lainnya, terasa betul mereka ingin menyudutkan saya. Mengatakan ada baiknya saya menurunkan impian untuk jadi cerpenis handal. Tak mutu begitu, mana mungkin laku, ujar seseorang yang mengaku penyuka cerpen sastra tingkat tinggi. Entah setinggi apa. Mungkin setinggi gedung-gedung pencakar langit di New York sana.
Merasa jengah saya usaikan membaca komentar mereka. Tapi sebelum itu terjadi saya terpaku pada orang lain yang berkata ,”Mainkahlah diksimu. Jangan garing begitu.”
Orang itu bernama Parama Sastra, seorang cerpenis yang dikenal pandai memilih kata-kata. Itu sebabnya ia disebut dewanya diksi di kalangan penulis muda. Sungguh, tak main-main bukan julukannya?
Sang Parama Sastra lalu mencontohkan cerpennya yang baru dimuat di sebuah koran terbitan ibukota, Jangka. Dimana ia menuliskan sebuah kisah tentang “aku” yang berkelana hingga ke jantung hutan perawan setelah cerita masa kanak-kanak yang mendengkur di kepalanya dibangunkan oleh kematian sang bunda.
Demi menulisnya, saya menduga ia butuh bermalam-malam memerah isi kepala. Dan selama itu kerjanya menelan Kamus Besar Bahasa Indonesia hingga mampu menyuguhkan kata tak lazim untuk menggambarkan sebuah cerita. Saya mengagumi cerpen sang Parama Sastra. Terutama untuk pilihan katanya. Satu saja masalahnya, saya tak memahami maksud si cerita. Tak tahulah, otak ini sudah bebal atau memang tak peka.
Beruntung seorang teman berbaik hati menerjemahkan arti cerita hebat sang Parama Sastra. Dengan gamblang ia mengutarakan bahwa cerita itu adalah bentuk kegelisahan seorang penulis akan hilangnya keperawanan. “Kau tahu kan sekarang ini keperawanan bisa hilang dalam sekejap. Itu pun hanya dibayar coklat,” sahut kawan saya.
Kembali pada cerpen saya yang katanya nggak nyastra, orang-orang kian beringas mengisi kolom komentar di bawahnya. Membaca tiap lariknya, kian memupus harapan saya.
Kesimpulannya saya takkan mampu menembus dinding-dinding majalah dan koran kenamaan, karena cerpen saya nggak nyastra.
Tapi nyastra itu sendiri apa? Saya tak tahu definisinya. Sudah saya cari di KBBI tetapi saya tak ketemu jua. Kalaupun ada bukan kata nyastra yang muncul melainkan kata sastra, kesastraan, sastra rakyat, atau malah sastrawan. Jadi nyastra itu apa?
Malam itu saya tak bisa tidur memikirkannya. Kata nyastra benar-benar mengganggu saya. Ia timbul tenggelam di kepala seolah hendak mencemooh saya. Jika itu saja tak tahu, bagaimana hendak menulis sesuatu yang nyastra? Demikian ejek hati saya.
Saya tak tahan. Saya harus mencari jawaban. Penjelasan soal nyastra itu harus saya dapatkan.
Maka beranjaklah saya dari bilik saya. Bilik yang dindingnya berjamur dan lantainya panuan ke sebuah tempat yang jaraknya tak lebih dari sepuluh menit dengan bersepeda. Tepatnya ke rumah Pak Manu guru seni saya sewaktu SMA, seroang pengarang yang masih aktif mengirimkan karyanya untuk majalah berbahasa Jawa. Saya terus mengayuh sepeda ke arah selatan, sebelum akhirnya bertemu pertigaan. Dari pertigaan itu saya melaju ke arah matahari terbit. Lantas menyeberang jalan untuk sampai di rumahnya. Sebuah rumah yang pintunya berbatasan dengan tepi sebuah jalan bernama Garuda. Waktu saya tiba, ia sedang menunggui persewaan komiknya seraya membaca Intisari ditingkahi suara televisi.
Kepadanya saya akan bertanya perihal cerpen nyastra. Semoga beliau bisa menjawab keingintahuan saya.
“Oh, kau rupanya?” Pak Manu menutup buku dan menyambut saya dengan senyumnya usai mendengar salam saya.
“Sudah lama kau tak kemari meyewa buku. Kau sibuk menulis rupanya?”
Saya tersenyum kecut. Memang benar saya sibuk menulis, Pak. Tapi tulisan saya itu tak laku di mata redaktur lembar sastra media manapun. Semua mental, tak satupun laik tayang atau menuai kemenangan.
Duduk di kursi plastik warna biru tepat di depan meja kerjanya, saya menghela napas. Lalu bertanya ,”Cerpen nyastra itu bagaimana, Pak?”
Pak Manu mengernyitkan keningnya. “Kenapa? Ada apa dengan cerpen nyastra?”
“Kata mereka cerpen saya nggak nyastra. Karenanya cerpen saya tak tembus koran atau majalah manapun.”
Pak Manu menarik koran minggu yang kebetulan ada di atas meja. “Cerpen nyastra itu seperti ini,” katanya seraya menunjukkan sebuah cerpen yang dimuat hari itu. Cerpen dengan ilustrasi seorang pria menghunus golok berlatar merah menyala sementara di belakangnya seorang pria tanpa kepala berjalan dengan dada terbuka. Di tangannya terhunus belati.
“Maksudnya?”
Pak Manu mengulurkan koran itu pada saya. Dengan sebuah gerakan kecil ia menyuruh saya membaca. Saya meraih koran itu dan melakukan perintah Pak Manu. Satu, dua, tiga…, sampai paragraf kelima saya tidak menangkap isi cerita itu.
“Bagaimana?”
Saya menggelengkan kepala. Setengah malu saya berkata ,”Tidak mengerti saya, Pak.”
“Nah!” Ia jentikkan jarinya.
Saya mengerjapkkan mata penuh tanya. “Nah” itu tadi apa artinya?
“Itulah dia! Sulit dimengerti,” lanjut Pak Manu seraya menaruh kembali si koran di tempatnya, di rak samping meja.
Saya tercengang. Tidak menyangka kalau Pak Manu akan berkata demikian.
“Bak lukisan, cerpen sastra itu adalah lukisan beraliran surealis. Di dalamnya banyak metafor-metafor yang sulit dijelaskan. Tidak cukup sekali pandang lalu si lukisan bisa diterjemahkan. Apalagi jika orangnya awam, yah seperti aku ini.”
Apa tadi Pak Manu bilang? Pak Manu menunjuk dirinya sendiri sebagai awam. Jika seorang penulis seperti dia, yang pernah meraih penghargaan Javanologi untuk salah satu karyanya beberapa belas tahun silam mengatakan begitu, lalu saya apa?
”Dibumbui kata-kata yang tak lazim dalam keseharian, kau bisa menemukan kisah percintaan hantu di sebuah sungai dengan manusia dalam cerpen nyastra. Atau manusia dengan harimau di dadanya. Atau hiu-hiu berenang di kepala. Tapi saya tidak tahu apa maknanya. Apa maksud si cerita.”
Saya terkekeh mendengar perkataan Pak Manu. Ucapan pria berusia enam puluh lima tahun itu mewakili benar isi hati saya. Isi kepala saya juga. Selama ini saya selalu menyalahkan diri sendiri. Menganggap diri sendiri bodoh karena tak mampu menangkap pesan dari sang penulis. Dan yang lebih penting lagi, saya tak berani protes atau mempertanyakan kenapa cerpen yang tayang selalu tak dipahami orang karena cerpen-cerpen itu pilihan para redaktur maha. Orang yang sudah lebih paham soal sastra. Siapalah saya? Bisa-bisa saya dianggap gila!
“Mungkin karena mereka menganut jargon “Ketika Jurnalisme dibungkam Sastra harus bicara” Pak?” saya menyatakannya seolah bertanya pada diri sendiri.
“Untuk bicara tak melulu menggunakan imajinasi dan diksi kelas tinggi. Saya pikir cerpen yang membawa misi tertentu semisal kemanusiaan dengan bahasa lugas dan gampang dipahami lebih mengena. Kau tahu, pembaca koran itu beragam. Tak melulu yang paham sastra, tapi juga orang biasa yang saban harinya bisa jadi menjual tenaga sebagai kuli. Alangkah sedapnya jika sastra bisa masuk ke lapisan-lapisan seperti ini.”
Saya setuju apa kata Pak Manu. Terutama kalimatnya yang terakhir itu.
“Sehingga mereka bisa menikmati si cerita, merasa tersentil di saat yang sama, sekaligus menangkap makna dibaliknya tanpa perlu mengerutkan kening,” lanjutnya.
Saya manggut-manggut, mengiyakannya.
“Ketimbang membuat cerita dengan imajinasi liar, kenapa tidak memilih cerpen realis yang dekat dengan keseharian? Bagi saya cerpen seperti itu lebih menorehkan kesan. Ah, tapi itu pendapat pribadi saya saja. Seorang yang ilmunya tak lebih banyak dari seujung kuku.”
Ketika saya kembali menegaskan apa arti cerpen nyastra, Pak Manu tertawa. Tanpa beban ia menjawab ,”Nyastra buat saya berarti hanya dipahami segelintir orang dan sulit dicerna awam.”
Saya turut tertawa. Terbahak-bahak tepatnya.
Tapi tawa itu terbungkam ketika petir menyambar. Kilatnya memberi kesadaran, saya belum pernah mengirimkan satu cerpen pun ke majalah dan koran. Bahkan barusan pun saya berhayal.
***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA DISINI
Posting Komentar untuk "Cerpen - Kata Mereka Cerpen Saya Nggak Nyastra - Oleh Afin Yulia"