Maafkan Ibumu, Nak!
Cerpen – Rara Aywara
Terpantul dari sebuah cermin, seorang perempuan berumur tiga puluh tahun. Tangannya dengan lihai mengoleskan lipstick
berwarna merah menyala di bibirnya yang seksi. Rambut sepanjang
punggung dibiarkan tergerai ke bawah. Rambutnya tidak lurus, hanya
sedikit bergelombang. Dengan dress merah menyala selutut
berlengan pendek, membentuk semua lekuk badannya yang memang mirip gitar
spanyol. Disambarnya tas GUESS hitam metalik di atas meja riasnya.
Sambil bergaya genit dan memutar badannya bak model catwalk,
dia berlalu keluar kamar. Tapi, baru beberapa meter dari kamarnya,
langkahnya tiba-tiba terhenti di depan sebuah pintu yang tertutup rapat.
Dengan sangat berhati-hati dia mendekati pintu tersebut. Tangannya
mulai menyentuh dan memutar kenop sampai pintu itu terbuka sedikit demi
sedikit. Dilihatnya seorang lelaki tertidur pulas dengan merengkuh anak
kecil berkelamin laki-laki, yang tak lain bukan adalah suami dan
anaknya. Perempuan itu hanya bisa menatap dalam-dalam dua orang yang
sudah menjadi bagian dari hidupnya itu. Tak terasa matanya pun sudah
dipenuhi genangan air mata. Menyadari hal itu, dia kembali menutup pintu
secara perlahan pula, karena tidak ingin suami dan anaknya terbangun.
Sambil menyeka cairan bening yang hangat sebelum mengikis bedaknya,
perempuan itu berjalan ke mobilnya. Lalu menuju suatu tempat di mana dia
mengeruk rupiah demi rupiah untuk kelangsungan hidupnya.
Cafe yang berinterior ala Eropa ini sudah padat oleh
pengunjung yang rata-rata dari kelas menengah ke atas. Tidak heran jika
sudah di atas jam tujuh malam, hampir semua kursi yang tersedia di cafe itu sudah diisi oleh orang-orang untuk menghabiskan malam. Seorang perempuan terlihat menengok ke berbagai sudut cafe,
mencari tempat duduk yang tak bertuan. Tak lama, perempuan itu kembali
melangkahkan kakinya ke arah kanan dan terus melangkah menuju bangku
kosong yang terletak di ujung.
Setelah menemukan posisi duduk yang nyaman, seorang pelayan cafe menanyakan
menu yang akan dipesan tamu cantiknya tersebut. Setelah
membolak-balikkan buku menu yang disodorkan pelayan, perempuan bernama
Sherly memutuskan memesan Lemon squash dan garlic bread.
“Yang lain menyusul ya!” ucap Sherly masih fokus dengan buku menu.
Setelah pelayan cafe pergi, Sherly itu mengeluarkan sesuatu
dari tasnya. Satu batang lintingan tembakau diambil dari sebuah kotak
dan jari-jari lentik Sherly mulai menyulutkan api pada ujung batang
rokok. Sambil memandangi penyanyi cafe yang sedang melantunkan musik beraliran jazz, Sherly yang mengenakan dress tosca tanpa
lengan mulai mengepulkan asap rokoknya. Sesekali melihat ke
sekelilingnya. Seorang lelaki berumur sekitar lima puluh-an, masih
mengenakan jas dan dasi yang sudah dikendorkan, terlihat sedang
bermesraan dengan seorang wanita yang berumur sekitar tiga puluhan di
sebuah sofa panjang.
Di sisi lain, dia melihat segerombolan wanita dengan dandanannya
yang glamor. Suara empat wanita itu hampir terdengar di seluruh ruangan.
Menggelegar. Bahkan obrolan mereka pun mencuat sampai ke telinga
Sherly. Sesekali dia mengeluarkan handphone dan memainkannya.
Setelah setengah jam berlalu, perempuan berkulit putih itu mengangkat
lengan kirinya dan melirik jam tangan yang melingkar di sana. Masih
dengan keadaan yang sama sejak dia datang ke cafe itu. Sendiri.
Kepulan-kepulan asap terus diembuskannya. Beberapa permasalahan yang
menumpuk di kepala mulai bermunculan. Masalah kantor yang belum
memenangkan tender sama sekali selama dua bulan ini memenuhi pikirannya.
Sebagai kepala divisi bidang pemasaran, dia harus memikirkan berbagai
cara agar bisa menarik masuk tender-tender yang ada. Selain itu, masalah
tentang rumah tangganya pun juga cukup membuatnya stres. Saat ini dia
harus menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya terkena PHK tiga
bulan yang lalu. Ditambah lagi, anaknya yang berusia dua tahun
membutuhkan perhatian khusus karena keterbelakangan mental yang
dideritanya.
“Hei, Sher!” Datang seorang perempuan dengan membawa minuman di tangannya membuyarkan lamunannya.
“Hei, Intan! Sudah ada di sini aja. Kapan kamu turun dari panggung?”
Sherly tercengang melihat penyanyi yang juga sahabatnya itu sudah
berdiri di hadapannya.
“Kamu sih ngelamun terus! Siapa sih yang kamu lihat?” Mata Intan menjelajah ke seluruh penjuru ruangan.
Sherly memukul pundak sahabatnya itu. “Iiihh… apaan sih kamu? Aku kan
sudah punya suami dan anak. Masa iya aku masih melirik-lirik lelaki
lain?”
Mereka berdua tertawa bersamaan. Sherly dan Intan sudah menjalin
persahabatan sejak mereka mengenyam studi di universitas yang sama,
sekaligus di jurusan yang sama pula. Bisa dikatakan mereka berdua sudah
seperti kakak beradik. Wajah mereka memiliki kemiripan, terutama di
bagian mata dan senyumnya. Tanpa mereka sadari, obrolan mereka terlempar
ke masa lalu, masa di mana mereka masih menginjak bangku kuliah.
Obrolan itu bermula dari seorang pria tambun yang duduk di depan tak
jauh mereka. Ya, pria itu mengingatkan Intan pada lelaki yang dulu
pernah mengejar-ngejar Sherly. Bagi Intan lelaki tambun tersebut hampir
mirip, bahkan dikiranya kawan lama mereka. Derai tawa pun kembali
mencuat. Mengundang pandangan empat wanita sosialita yang sebelumnya
menyita mata para pengunjung.
Datangnya pelayan cafe membawa segelas kaca berisi lemon squash dan sepiring garlic bread menghentikan tawa mereka berdua.
“By the way tumben kamu mampir ke sini, Sher? Lagi banyak masalah ya, atau lagi kangen sama aku?” sahut Intan spontan.
“Hhmm… kegeeran deh kamu! Lagi pingin ketemu kamu saja,
lagian sudah lama juga kan kita nggak bertemu,” jawab Sherly sembari
mematikan rokok yang tinggal puntungnya saja.
“Ooo, gitu! Tapi bener juga yang kamu bilang ya! Terakhir kali kita
ketemu kalau nggak salah dua bulan lalu ya? Waktu kita nggak sengaja
ketemu di mall.”
“Iya, sayangnya waktu itu kita nggak bisa ngobrol lama karena aku
juga lagi buru-buru.” Tiba-tiba Sherly memandang sahabatnya dengan
ekspresi yang aneh. Dia mendapati ada yang berbeda dari tubuh Intan.
“Tan, kulihat-lihat kamu sekarang kurusan ya? Sampai kelihatan cekung
begitu matamu. ”
Intan diam tak menjawab pertanyaan Sherly. Dia mengamati tubuhnya yang memang semakin kurus. “Emang kelihatan banget ya, Sher?”
Sherly hanya mengangguk sambil mengambil lemon squashnya untuk diteguk.
Raut wajah Intan sekejap berubah. Dia terdiam sejenak sebelum
menjawab pertanyaan Sherly. Intan memejamkan matanya, lalu menghembuskan
napas panjang. “Aku bingung mau cerita ke siapa lagi, Sher! Dan… dan
aku nggak bisa menahannya lagi.”
Sherly mengerutkan dahinya. Dia sedikit bingung maksud dari perkataan
sahabatnya itu. Pikirannya melayang tak karu-karuan. Berbagai prasangka
negatifnya pun mulai liar menjalar ke otaknya. “What do you mean, Intan? Apa yang sudah terjadi sama kamu? Cerita saja, Tan! Aku siap mendengarkan semuanya. Percaya sama aku.”
“Aku divonis mengidap kanker rahim sejak tiga bulan yang lalu. Nggak
ada yang tahu hal ini selain kamu. Aku baru sadar kalau rokok dan
minuman keras yang pernah aku konsumsi selama bertahun-tahun bisa
merusak rahimku.” Mata Intan mulai berkaca-kaca. “Sebenarnya sudah
berkali-kali suami mengajakku untuk ke dokter kandungan, karena aku
belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Tapi aku selalu menghindar
dengan membuat beberapa alasan.” Intan meneguk minuman yang ada di
genggamannya sedari tadi. Berharap cairan itu bisa membuatnya sedikit
lebih tenang.
“Kenapa kamu nggak jujur saja sama suamimu, Tan? Mungkin itu akan membuat keadaan jauh lebih baik.”
“Aku nggak siap menghadapi kenyataan yang aku nggak tahu apa yang
bakal terjadi. Bahkan, kamu pun juga nggak akan bisa memastikannya.”
Nada Intan meninggi. “Aku nggak mau suamiku tahu apa yang menimpaku,
karena aku takut dia nggak bisa menerima aku apa adanya. Dan kalau dia
tahu, kemungkinan besar dia akan mencari wanita lain yang bisa
memberinya keturunan. Aku nggak mau itu terjadi, Sher!” Butiran air mata
Intan mulai membuat eyelinernya luntur.
Sherly menghisap rokok yang baru disulutnya. Lagi. Kali ini
hisapannya lebih dalam. Seolah-olah dia ikut merasakan apa yang dialami
perempuan yang sudah sangat dikenalnya bertahun-tahun itu. Dan Sherly
pun tahu benar, bagaimana gaya hidup Intan sejak mereka akrab. Hampir
setiap hari mereka selalu bersamaan, tak terkecuali sama-sama menjadi
pecandu rokok dan miras.
Dulu Intan selalu berpakaian seksi untuk memikat para lelaki, tak
terkecuali lelaki berhidung belang. Dan sejak keluarganya mengalami
jatuh miskin karena hutang yang tak bisa dilunasi, Intan hampir tak
pernah absen dari kehidupan malamnya di club. Nikotin dan
minuman keras menjadi konsumsinya sehari-hari. Entah sudah berapa
puntung rokok yang dia habiskan, dan sudah berapa banyak botol minuman
keras yang diteguknya. Bahkan untuk membiayai uang kuliahnya, Intan rela
melepaskan keperawanannya ke lelaki badung yang tidak dikenalnya.
Berganti-ganti lelaki setiap harinya. Dan, Sherly pun tak bisa
mencegahnya. Bukan tak bisa mencegahnya, lebih tepatnya sudah tidak tahu
lagi harus berbuat apa untuk melarang Intan.
Bayangan-bayangan masa lalunya bersama Intan mulai berseliweran.
Sherly berkali-kali menghisap sebatang tembakaunya. Berusaha menemukan
solusi dari permasalahan sahabatnya itu. Suasana ramai dan canda tawa
beberapa pengunjung di cafe itu seakan seperti angin yang berhembus begitu saja.
“Sher, apa yang kamu pikirkan? Kamu nggak perlu ikut pusing sama
masalahku. Kamu mau mendengarkan ceritaku ini saja aku sudah cukup
lega,” Intan mengulas senyumnya setelah menyeka air mata.
Sherly terkejut mendengar ucapan Intan yang seakan bisa membaca
pikirannya itu. “Aku nggak tahu apa yang bisa aku lakukan buat bantu
kamu, Tan. Menurutku, satu-satunya solusi adalah kamu harus berkata
jujur pada suamimu. Karena kanker rahim itu bukan penyakit yang sepele.
Dan kamu sadar kan, Tan, kalau waktu itu terus berputar? Cepat atau
lambat suamimu pasti akan tahu!” jawab Sherly dengan nada semakin
meninggi.
“Sher, aku sudah mempertimbangkan itu semua. Dan ini sudah menjadi
resikoku. Aku bertekad untuk menyembuhkan penyakit ini sendiri. Makanya,
kenapa aku terus bekerja mengumpulkan uang untuk pengobatan alternatif
yang sedang kujalani. Kadang dari pagi sampai malam aku bekerja, kalau
aku merasa sanggup. Dan beruntungnya lagi, cafe ini masih membutuhkan aku sebagai penyanyi regulernya.” Intan meneguk minumannya kembali.
Sherly mengembuskan napasnya. Merasa haru dan bangga mendengar
bagaimana perjuangan Intan melawan sakitnya, tapi masih tetap semangat
untuk terus bekerja. “Aku salut sama kamu, Tan! Ternyata kamu nggak
berubah ya! Dari dulu sampai sekarang kamu masih tetep pekerja keras
meskipun kekuatan fisikmu nggak seperti dulu lagi.”
Intan hanya menanggapi ucapan Sherly dengan senyuman. “Oh ya, gimana kabar suami dan anakmu?”
“Suamiku masih jadi pengangguran. Dan anakku… ya masih tetap sama dari sebelumnya. Belum ada perkembangan yang signifikan.”
“Dan kamu masih tetep belum bisa menerima kekurangan anakmu? Hhhh…
Sherly, Sherly, harusnya kamu tuh bersyukur masih bisa punya anak
meskipun tak sesempurna anak yang lain. Jangan pernah kamu sia-siakan
dia, Sher! Begitu-begitu juga dia kan darah dagingmu. Saranku nih
sebagai sahabatmu, tolong hentikan merokokmu sebelum anakmu semakin
parah menerima akibatnya! Kamu masih harus menyusui anakmu, kan?” Tangan
Intan mencabut rokok yang masih diapit oleh kedua bibir Sherly dan
mematikannya di atas asbak.
Sherly menutup pintu mobilnya perlahan setelah menghempaskan
tubuh ke dalam mobil sedannya. Pikiran dan perasaannya tak menentu
mengingat kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut Intan tadi. “Mungkin ada benarnya juga apa yang Intan bilang.” Perempuan berwajah oval itu hanya diam membisu. Entah pikiran apa yang sudah membuatnya mematung.
Beberapa menit kemudian, dipandanginya sebuah bungkus rokok yang dia
taruh di dashboard mobilnya tadi. Sherly menghela napas panjang. Tidak
hanya sekali, tetapi berkali-kali. Perasaannya masih bimbang jika dia
harus menghilangkan nikotin dari hidupnya. Dengan tangan yang sedikit
gemetar, diambilnya bungkus rokok yang masih ada enam batang tersebut.
Dipandanginya beberapa saat, lalu dibuangnya ke tempat sampah di dekat
pintu cafe.
Tak seperti biasa, Sherly memacu mobilnya dengan cepat. Dia masih
terngiang akan kata-kata yang dilontarkan Intan. Perasaan bersalah sudah
memenuhi relung hatinya. Penyesalan-penyesalan pun mulai muncul di
permukaan batinnya.
“Harusnya aku tak menyia-nyiakan anak semata
wayangku karena keterbelakangan mentalnya. Harusnya aku sadar saat
suamiku selalu berkata kalau rokok bisa mengganggu kehamilanku. Dan
harusnya aku bersyukur karena Tuhan masih menganugerahiku seorang anak. Maafkan Ibumu ini, Nak! Maafkan, Ibumu!” Air mata Sherly berjatuhan satu per satu. Dia sudah tak peduli lagi air matanya akan merusak make up yang
menghias wajahnya. Yang diinginkan Sherly saat itu hanya satu, sesegera
mungkin tiba di rumah untuk memeluk anaknya dan meminta maaf pada suami
yang selalu menjadi pelampiasan emosinya atas rasa malu terhadap
keterbatasan anaknya.
***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA DISINI
Posting Komentar untuk "Cerpen - Maafkan Ibumu, Nak! - Oleh : Rara Aywara"