TERPURUK
Oleh: Tia
Martiana Surjatman
Ilustrasi By : www.pixabay.com |
Hujan masih terdengar deras sejak
sore tadi. Hujan mengajak bersahabat sepertinya, dia menyembunyikan isak tangis
yang tak henti-henti. Aku dekap erat kedua lutut, menyandarkan dagu di antara lutut.
Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi dengan dunia ini. Mengapa aku?
Kenapa aku? Haruskah ku?
Hujan semakin deras, Aku semakin
erat mendekap lutut. Di ujung gelap kamar ini, aku tak bisa menghentikan sedu
sedan. Pikiran sangat gelap, hati pun terasa gulita. Aku tak tahu harus kemana.
Aku tak mengerti harus melangkah ke mana. Aku terdiam, tersudut, dan terisak.
Hidupku seolah-olah sudah mencapai garis finish, sudah selesai. Semuanya
berakhir di sini, di kamar ini.
Aku melirik
botol hijau di sudut lain kamar. Mengapa ada botol itu di sana? Disaat
pikiranku sedang tak ada isinya hanya kosong dan putus aya yang bergelayut di
sana. Haruskah? Haruskah? Haruskah? Inikah jalannya?
Pikiranku bermain-main tak tentu arah. Aku bimbang,
aku goyah. Haruskan aku raih, botol itu? Tanpa aku sadari, otot kaki
menggerakkanku untuk pelan-pelan berdiri. Berjalan perlahan, sambil menghapus
air mata di kedua pipi yang terus mengalir. Apa aku telah kehilangan kontrol
atas tubuhku? Semua bergerak seperti di luar keinginanku?
Haruskah Aku ambil botol itu? Haruskan? Sejenak aku menghentikan
langkah kaki yang lemah. Hanya tinggal beberapa meter lagi aku akan meraih
botol itu. Pikiranku masih bimbang antara melanjutkan atau kembali. Inikah
caranya?. Aku tak berpikir panjang lagi. Aku melanjutkan langkah yang gontai
tak bertenaga. Aku raih botol itu mengangkatnya perlahan, kemudian
menguncang-guncangkannya. Isinya hanya tinggal sedikit. Mungkin hanya tinggal
sepertiga dari volume awalnya. Aku buka tutupnya, bau menyengat menyembur. Bau
khas racun serangga!
###
Hari ini adalah hari terbaik. Semua
benda yang tertangkap lensa dimataku hanya berupa benda-benda cantik.
Benda-benda bernilai seni tinggi. Bahkan pagar rumah yang berkarat pun berubah
menjadi pagar-pagar ala Kerajaan Inggris yang menjulang tinggi nan rupawan. Apa
gerangan ini? Ini namanya cinta. Ini namanya bahagia. Apapun itu namanya, aku
sangat menyukainya. Amat sangat menyukainya.
Pagi ini terasa pagi terindah dalam
hidupku. Aku ayunkan langkah, terasa ringan. Aku berjanji akan memulai setiap
pagi dengan penuh senyuman setelah hari ini, tekad dalam hati. Aku akan
memiliki dua acara istimewa hari ini, sidang skripsi dan malamnya acara
pertunanganan. Tuhan begitu baik memberiku berlipat-lipat kebahagiaan. Terima
kasih Tuhan…
Aku menyiapkan semua berkas-berkas
dan buku yang aku butuhkan. Belajar sejak semalam setidaknya akan membantu
untuk menjawab semua hal yang akan ditanyakan oleh dosen penguji. Aku sudah
cukup menguasai bidang yang aku tuliskan dalam skripsi. Kalau pun ada yang
kurang, bisa aku pelajari sambil menunggu jadwal ujian nanti. Aku merapikan
kemeja dan rok selutut yang aku kenakan, rambut terikat rapi dan
melambai-lambai. Ini adalah hari terbaikku, Aku tak ingin ada satupun yang
terlihat tak beres hari ini.
Sesampainya di kampus, aku langsung
menuju ruang sidang. Masih ada waktu,
pikirku. Aku duduk di depan ruangan ujian dan mulai mengecek persiapan.
Semuanya beres, hanya tinggal pelaksanaannya saja. Aku tersenyum lagi, mungkin
senyum yang keseratus selama pagi ini.
Tiga dosen pengujiku sudah terlihat
di ujung ruangan. Tinggal dosen pembimbing yang belum aku lihat. Aku
persilahkan para dosen penguji duduk di dalam ruangan dan memohon waktu untuk
menunggu dosen pembimbing. Akhirnya dosen pembimbing datang, dan mulai membuka
acara.
Tiba-tiba
handphoneku bergetar. Aku lihat
dosenku masih membuka acara, akhirnya aku sempatkan untuk membuka sms yang
masuk.
“Lita,
Indra kecelakaan. Sekarang ada di Rumah sakit Husada”.
Aku tertegun. Nama Anne terlihat jelas sebagai
pengirim pesan. Pikiranku langsung kacau seketika. Tak mungkin aku meninggalkan
sidang skripsi karena kekasihku kecelakaan. Hal ini tidak termasuk ke dalam
keadaan darurat yang bisa di maklumi oleh dosen-dosen. Tanganku mulai
gemetaran, keringat dingin mengalir deras. Aku bingung.
Dosen pembimbing mempersilahkan aku untuk memulai
mempresentasikan skripsi. Aku tak bertenaga, lemas. Pikirankumelayang jauh ke
sebuah rumah sakit, di mana Indra terbaring kesakitan dan terluka parah. Aku
buka powerpoint yang telah disiapkan,
dan mulai mempresentasikan skripsi. Handphoneku
bergetar berkali-kali di dalam saku rok. Semakin sering deringnya, semakin
kacau pikiranku. Aku tak bisa konsentrasi dengan apa yang dibicarakan. Aku tak
siap dengan kondisi ini. Keringatku semakin deras, kaki pun mulai bergetar tak
karuan. Aku serasa tak berpijak, mataku mulai kunang kunang-kunang, dan badanku
terasa melayang. Aku pingsan.
Saat membuka mata, aku sudah berada di ruangan dosen.
“Kamu sudah sadar Lita?” tanya dosen pembimbing.
“Iya Bu. Maaf atas kejadian tadi Bu. Apa sidang
skripsi saya akan dilanjutkan sekarang Bu?.”
“Tidak, kamu beristirahat saja dulu, sidang kamu akan
dijadwal ulang, kemungkinan besar lusa baru akan dilaksanakan.”
“Terima kasih banyak atas kebijaksanaannya Bu. Apakah
saya boleh pulang?.”
“Boleh. Tapi lusa, saya tidak mau ada kejadian seperti
ini lagi. Saya mau kamu persiapkan semua dengan baik, jangan grogi lagi. Jaga
kesehatan. Yang terpenting cukup sekali kamu mempermalukan saya di depan dosen-dosen
yang lain.”, pukulan telak itu mengenai dadaku, aku telah mempermalukan dosen
pembimbingku.
Setelah berpamitan, aku pun bergegas
ke Rumah Sakit Husada. Tak aku pedulikan tatapan orang-orang yang menatapku
penuh rasa kasihan. Aku tak peduli.
Aku mendapati Indra masih di ruang
gawat darurat. Di temani Anne dan beberapa orang teman lainnya. Indra memang
tidak satu kampus denganku. Aku langsung menghampirinya, tak tak memperhatikan
yang lainnya. Perhatian langsung tertuju pada Indra. Selang infus terpasang di
tangan kirinya, sedangkan selang oksigen masih bergayut di hidungnya. Nafasnya
berat. Kaki kanannya dibalut perban tebal. Beberapa luka gores terlihat di tangan
dan wajahnya.
“Indra…” panggilku. Indra mengangguk.
“Bagaimana bisa seprti ini?”.
Indra hanya diam, aku melihat
sekeliling. Orang tuanya belum datang. Mataku mencari lagi, mencari Anne. Dia
yang pertama memberikan kabar padaku, dimana
dia?
Aku lihat Anne duduk di ruang sebelah, ruang
tunggu. Aku kecup kening Indra, kemudian meninggalkannya. Aku titipkan ia pada beberapa
temannya, yang masih berdiri di samping tempat tidurnya.
Aku
menghampiri Anne. Anne sedikit terkejut melihatku, aku sama kagetnya melihat
keadaannya. Tangannya kanannya dibalut perban, dan di pasang gips. Tangannya
patah, kaki mulusnya pun tak luput dari goresan-goresan bekas luka. Luka
tersebut hanya diberi obat antiseptik.
“Kamu kecelakaan berdua dengan
Indra?”, aku bertanya dengan sangat hati-hati.
“Iya, maafkan kami berdua Lita”, jawabnya
sambil terisak. Aku bingung.
“Tunggu..tunggu.. kenapa meminta
maaf?”. Aku mulai curiga.
“Sebenarnya aku dan Indra sudah
berpacaran sejak setahun lalu. Indra mengatakan kalau dia sudah tidak bisa
bersamamu. Karena itu aku menerima Indra. Aku pernah berpikir untuk menanyakan hal
itu secara langsung padamu, karena aku lihat kamu masih berdekatan dengan
Indra. Sampai akhirnya aku tahu Indra masih berpacaran denganmu. Aku minta
putus pada Indra. Tapi dia bilang, dia tidak akan memutuskanku. Tapi akan
memutuskanmu!”, jelas Anne. Tatapan yang dia berikan seperti tatapan kasihan
terhadapku. Aku tidak suka dengan tatapan tersebut. Orang-orang sudah menatapku
dengan kasihan sejak tadi. Sejak sidang skripsiku berantakan, dan sekarang ini.
“Jangan menatapku seperti itu!”, aku
membalas tatapannya dengan kata-katanya.”Aku pikir kalian benar-benar hanya
bersahabat, seperti yang Indra jelaskan padaku. Tega kamu Anne! Apa kamu tahu, malam
ini kami akan bertunangan!” amarahku meledak melihat ekpresi Anne yang tak
menunjukkan penyesalan..
“Aku tahu kalian akan bertunangan.
Aku yang mengajak Indra pergi pagi ini. Aku ingin menanyakan hal itu pada
Indra. Indra bilang dia hanya akan bertunangan dan setelah itu pergi
meninggalkanmu. Kami akan menikah Lita. Indra akan menikah denganku bukan denganmu.
Dia tidak mencintaimu.”, nada bicara Anne sedikit keras.
“Terus untuk apa kamu memberitahuku
semua ini?”.
“Aku hanya ingin kamu tahu kalau
Indra tidak mencintaimu. Indra terjatuh dari motor, karena aku mengancamnya
jika dia bertunangan denganmu, maka aku akan melompat dari motor. Indra tak
bisa menjaga keseimbangan, akhirnya kami berdua terjatuh. Kamu tahu artinya
apa? Itu berarti Indra mencintaiku. Satu hal lagi, seharusnya kamu berterima
kasih padaku. Aku menyelamtkan kamu dari rasa malu ketika gagal bertunangan.
Sekarang dengan kondisi Indra seperti ini, setidaknya kamu punya alasan untuk
membatalkan pertunangan.”
“Ha..ha.. Berterima kasih? Aku rasa
kamu harus memeriksa isi kepalamu.”, aku membalas.
Anne tidak seperti yang aku kenal.
Anne yang dulu lembut, sopan, dan sangat baik. Sekarang berubah menjadi Anne
yang sangat menakutkan. Matanya merah memandangku. Seakan dia akan menerkamku.
Aku kalah, tenagaku sudah habis untuk kejadian hari ini. Aku pergi meninggalkan
Anne dengan penuh derai air mata. Aku melirik Indra sekilas, aku tak ingin
menemuinya. Aku langsung menuju pintu keluar. Aku rasakan sakit yang teramat
sakit di dada.
###
Ini adalah hari kedua setelah
kejadian itu. Seharusnya Aku melaksanakan sidang skripsiku hari ini. Tapi aku
tak berniat pergi kemana-mana. Aku hanya ingin diam di kamar. Menikmati hujan
dan tetesan air mata yang tak berhenti dari kedua sudut mata.
Botol racun serangga itu sudah aku
pegang sejak tadi. Aku hanya memutar-mutarnya ditangan, menimbang-nimbang. Tak
tahu apa yang ingin aku lakukan. Calon tunanganku diambil teman. Sidang skripsi
tak aku pikirkan lagi, orang tua memarahi sepanjang hari karena acara
pertunangan batal. Sedangkan aku terluka amat dalam.
Ingin aku teguk racun serangga ini.
Ada rasa penasaran, seperti apakah rasanya? Seperti apa rasanya mati
perlahan-lahan itu? Aku tempelkan bibir di bibir botolnya. Aku angkat
perlahan-lahan ujung botolnya. Isinya mulai mengalir kedalam mulut. Baunya
sangat menyengat, aku memuntahkannya. Aku mengeluarkannya dari mulut. Aku lempar
botol itu ke sudut ruangan, tempatnya semula. Aku mengelap mulut dengan tisue.
Aku bodoh. Aku bodoh. Aku menangis…
***
TENTANG PENULIS
Tia Martiana Surjatman, dilahirkan
di Ciamis tahun 1986. Vonis Gagal Ginjal Kronis dan cuci darah seumur hidup, membuat
perempuan penyuka ‘gulo-gulo kapas’ ini meninggalkan
bangku kuliah dan belajar tentang dunia tulis menulis yang disukainya sejak
lama. Buku yang pernah ditulisnya antara lain Nomaden: Di mana bumi di pijak, di sana langit di junjung dan Tuhan (jangan) Sembuhkan Aku. Buku kedua
merupakan kisah memoir tentang perjalanannya sebagai seorang pasien hemodialisa.
Jika ingin menghubungi penulis, silahkan melayangkan email ke tia_iyouth@yahoo.co.id,
atau FB: Tia Martiana Surjatman.
Posting Komentar untuk "Cerpen - TERPURUK -- Oleh: Tia Martiana Surjatman"