Ilustrasi foto: pixabay.com
Review Cerpen - Yogyakarta. Barangkali ide Ahmad Tohari menulis cerpen ini tercetus dari fenomena perilaku masyarakat yang tanpa tedheng aling-aling melahap isu. Tanpa pikir panjang, menelan mentah kemudian turut menyebarkan. Tanpa berpikir dampaknya, memercayai kemudian meyakini kebenarannya. Ada fase yang dilupakan. Mencerna informasi, kemudian menyaring yang baik untuk dikonsumsi. Termasuk menyebarluaskan informasi yang ternyata hoax dan belum pasti kebenarannya. Hal ini saya tangkap dari makna cerita yang dituturkan Ahmad Tohari dalam cerpennya.
Dalam cerpen Gulai Kam-Bhing dan Ibu Rapilus, Ahmad Tohari menggambarkannya melalui kejanggalan dalam semangkuk gulai. Berlatar sebuah warung pinggir jalan, pertemuan teman lama, dan kenangan masa sekolah atas seorang Guru SMP bernama Rapilus. Cerpen ini sangat nikmat menemani segelas kopi.
"Jangan percaya mereka yang sok tahu," kata Jubedi. "Seumur kita makan gulai kambing dengan kuah santan, tidak apa-apa; tidak bikin tensi naik, atau kolesterol naik. Ah apa itu, jangan percaya. Buktinya saya ini, tetap sehat kan?" (paragraf 4).
Dialog pertama dalam percakapan antara tokoh 'saya' dan Jubedi diatas menunjukkan reaksi Jubedi ketika menafsirkan kerutan kening 'saya'. Seolah-olah dia tahu apa yang sedang dipertanyakan 'saya' terkait 2 mangkuk gulai yang dimakan Jubedi. Realitanya memang yang begitu dirasakan Jubedi. Gemar makan gulai kambing, badannya gemuk tapi tidak ada keluhan sakit. Berbeda dengan tokoh 'saya' yang digambarkan dengan perawakan kurus. Namun, tokoh 'saya' lebih kritis dan bijak dalam menyikapi sesuatu.
Dalam cerita itu Jubedi memesankan 'saya' semangkuk gulai yang sama dengan yang dimakannya. Ada yang aneh ketika perempuan warung berkali-kali mengucap kata 'kam-bhing' dan memotong pembicaraan Jubedi. Seolah-olah ada kebohongan yang disembunyikan perempuan warung.
Untuk menghormati Jubedi, 'saya' menerima semangkuk gulai itu. Ketika hendak memakannya, sepotong iga membuat 'saya' berpikir kembali. Dia teringat sosok Ibu Rapilus yang pernah memberi pelajaran tentang ciri-ciri perbedaan antara hewan pemakan rumput dengan binatang buas. 'Saya' curiga yang sedang mereka makan mungkin bukanlah gulai kambing, tapi gulai daging anjing.
Jubedi harus tahu tentang ini. Namun, bagaimana cara menyampaikannya? Tentu dampaknya akan fatal jika 'saya' memberitahu Jubedi secara langsung.
"Itu gulai kam-bhing muda, jadi tulangnya kecil-kecil," perempuan warung kembali bersuara di samping saya. Dia terus bicara tapi saya tidak mendengar karena situasi yang sulit tiba-tiba menjebak; apakah Jubedi sebaiknya saya beri tahu yang sedang dia makan adalah gulai anjing? Kalau ini saya lakukan, mungkin Jubedi akan muntah sejadi-jadinya. Itu masih lummayan. Tetapi bagaimana kalau Jubedi kemudian marah kepada perempuan warung, dan mengamuk? Kalau Jubedi marah warung tenda ini bisa diobrak-abrik. Saya tahu itu wataknya sejak di SMP dulu. Ah tidak. Saya tidak mau ada kegaduhan di pinggir jalan yang ramai ini. (paragraf 14).
Akhirnya 'saya' mencoba menggali ingatan Jubedi tentang pelajaran yang pernah diberikan Ibu Rapilus. Tentang ciri-ciri hewan pemakan rumput dan perbedaannya dengan binatang buas. Berharap Jubedi menyadari bahwa yang dia makan bukanlah gulai kambing. Namun, usaha itu sia-sia. Hingga perpisahan mereka di warung itu, Jubedi tetap belum menyadarinya.
Saya keluar warung makan, berjalan dengan ingatan kepada Ibu Rapilus. O, Ibu, terima kasih. Saya terus melangkah. Niat saya, bila sudah agak jauh gulai di tangan akan saya buang. tetapi pikiran saya berubah ketika teringat di jalan depan rumah saya sering terlihat anjing-anjing kurus berkeliaran. Gulai ini sebaiknya saya berikan kepada mereka saja. Melihat anjing makan gulai anjing mungkin menarik juga. Dan Jubedi? Itu urusan nanti. Yang penting pagi ini dia tidak muntah dan tidak mengobrak-abrik warung tenda itu. (paragraf terakhir).
Di paragraf penutup pembaca cerpen disadarkan pada pentingnya ilmu yang pernah dipelajari. Hal itu ditunjukkan dengan ucapan terima kasih si tokoh kepada Ibu Rapilus. Memang semestinya ilmu-ilmu itu dipakai sebagai landasan berpikir. Mencerna, menimbang dan menakar hal-hal yang kita anggap janggal yang mungkin saja berdampak buruk. Dampak bagi diri sendiri maupun orang lain. Baru kemudian menentukan sikap.
Seringkali kita dihadapkan pada 3 buah peran, sebagai penyebar isu, korban isu, atau pihak yang prihatin (saksi) atas orang-orang yang termakan isu. Entah secara sadar atau tidak, kita selalu berada pada situasi itu. Kita dituntut bijak menyikapi isu. Bisa saja di luar sana ada yang berperan sebagai 'perempuan warung' (sengaja menyajikan isu dengan menyembunyikan kebohongan).
Semoga kita selalu dikuatkan mempertahankan prinsip hidup yang baik dan selalu bijak menyikapi isu. Aamiin. (ESN).
Judul Cerpen: Gulai Kam-Bhing dan Ibu Rapilus
Penulis: Ahmad Tohari
Tersiar: Kompas, 4 Desember 2014
Review Cerpen - Yogyakarta. Barangkali ide Ahmad Tohari menulis cerpen ini tercetus dari fenomena perilaku masyarakat yang tanpa tedheng aling-aling melahap isu. Tanpa pikir panjang, menelan mentah kemudian turut menyebarkan. Tanpa berpikir dampaknya, memercayai kemudian meyakini kebenarannya. Ada fase yang dilupakan. Mencerna informasi, kemudian menyaring yang baik untuk dikonsumsi. Termasuk menyebarluaskan informasi yang ternyata hoax dan belum pasti kebenarannya. Hal ini saya tangkap dari makna cerita yang dituturkan Ahmad Tohari dalam cerpennya.
Dalam cerpen Gulai Kam-Bhing dan Ibu Rapilus, Ahmad Tohari menggambarkannya melalui kejanggalan dalam semangkuk gulai. Berlatar sebuah warung pinggir jalan, pertemuan teman lama, dan kenangan masa sekolah atas seorang Guru SMP bernama Rapilus. Cerpen ini sangat nikmat menemani segelas kopi.
"Jangan percaya mereka yang sok tahu," kata Jubedi. "Seumur kita makan gulai kambing dengan kuah santan, tidak apa-apa; tidak bikin tensi naik, atau kolesterol naik. Ah apa itu, jangan percaya. Buktinya saya ini, tetap sehat kan?" (paragraf 4).
Dialog pertama dalam percakapan antara tokoh 'saya' dan Jubedi diatas menunjukkan reaksi Jubedi ketika menafsirkan kerutan kening 'saya'. Seolah-olah dia tahu apa yang sedang dipertanyakan 'saya' terkait 2 mangkuk gulai yang dimakan Jubedi. Realitanya memang yang begitu dirasakan Jubedi. Gemar makan gulai kambing, badannya gemuk tapi tidak ada keluhan sakit. Berbeda dengan tokoh 'saya' yang digambarkan dengan perawakan kurus. Namun, tokoh 'saya' lebih kritis dan bijak dalam menyikapi sesuatu.
Dalam cerita itu Jubedi memesankan 'saya' semangkuk gulai yang sama dengan yang dimakannya. Ada yang aneh ketika perempuan warung berkali-kali mengucap kata 'kam-bhing' dan memotong pembicaraan Jubedi. Seolah-olah ada kebohongan yang disembunyikan perempuan warung.
Untuk menghormati Jubedi, 'saya' menerima semangkuk gulai itu. Ketika hendak memakannya, sepotong iga membuat 'saya' berpikir kembali. Dia teringat sosok Ibu Rapilus yang pernah memberi pelajaran tentang ciri-ciri perbedaan antara hewan pemakan rumput dengan binatang buas. 'Saya' curiga yang sedang mereka makan mungkin bukanlah gulai kambing, tapi gulai daging anjing.
Jubedi harus tahu tentang ini. Namun, bagaimana cara menyampaikannya? Tentu dampaknya akan fatal jika 'saya' memberitahu Jubedi secara langsung.
"Itu gulai kam-bhing muda, jadi tulangnya kecil-kecil," perempuan warung kembali bersuara di samping saya. Dia terus bicara tapi saya tidak mendengar karena situasi yang sulit tiba-tiba menjebak; apakah Jubedi sebaiknya saya beri tahu yang sedang dia makan adalah gulai anjing? Kalau ini saya lakukan, mungkin Jubedi akan muntah sejadi-jadinya. Itu masih lummayan. Tetapi bagaimana kalau Jubedi kemudian marah kepada perempuan warung, dan mengamuk? Kalau Jubedi marah warung tenda ini bisa diobrak-abrik. Saya tahu itu wataknya sejak di SMP dulu. Ah tidak. Saya tidak mau ada kegaduhan di pinggir jalan yang ramai ini. (paragraf 14).
Akhirnya 'saya' mencoba menggali ingatan Jubedi tentang pelajaran yang pernah diberikan Ibu Rapilus. Tentang ciri-ciri hewan pemakan rumput dan perbedaannya dengan binatang buas. Berharap Jubedi menyadari bahwa yang dia makan bukanlah gulai kambing. Namun, usaha itu sia-sia. Hingga perpisahan mereka di warung itu, Jubedi tetap belum menyadarinya.
Saya keluar warung makan, berjalan dengan ingatan kepada Ibu Rapilus. O, Ibu, terima kasih. Saya terus melangkah. Niat saya, bila sudah agak jauh gulai di tangan akan saya buang. tetapi pikiran saya berubah ketika teringat di jalan depan rumah saya sering terlihat anjing-anjing kurus berkeliaran. Gulai ini sebaiknya saya berikan kepada mereka saja. Melihat anjing makan gulai anjing mungkin menarik juga. Dan Jubedi? Itu urusan nanti. Yang penting pagi ini dia tidak muntah dan tidak mengobrak-abrik warung tenda itu. (paragraf terakhir).
Di paragraf penutup pembaca cerpen disadarkan pada pentingnya ilmu yang pernah dipelajari. Hal itu ditunjukkan dengan ucapan terima kasih si tokoh kepada Ibu Rapilus. Memang semestinya ilmu-ilmu itu dipakai sebagai landasan berpikir. Mencerna, menimbang dan menakar hal-hal yang kita anggap janggal yang mungkin saja berdampak buruk. Dampak bagi diri sendiri maupun orang lain. Baru kemudian menentukan sikap.
Seringkali kita dihadapkan pada 3 buah peran, sebagai penyebar isu, korban isu, atau pihak yang prihatin (saksi) atas orang-orang yang termakan isu. Entah secara sadar atau tidak, kita selalu berada pada situasi itu. Kita dituntut bijak menyikapi isu. Bisa saja di luar sana ada yang berperan sebagai 'perempuan warung' (sengaja menyajikan isu dengan menyembunyikan kebohongan).
Semoga kita selalu dikuatkan mempertahankan prinsip hidup yang baik dan selalu bijak menyikapi isu. Aamiin. (ESN).
Judul Cerpen: Gulai Kam-Bhing dan Ibu Rapilus
Penulis: Ahmad Tohari
Tersiar: Kompas, 4 Desember 2014
Posting Komentar untuk "Cara Bijak Menyikapi Isu dan Mempertahankan Prinsip"