Kaba
Galodo
Oleh:
Sella S. Sembiga
Gambar : courtesy of http://static.panoramio.com |
Pasir
Laweh
30 April
1979
“Buuuummm!!!”
Suara gemuruh yang datang
dari Puncak Merapi pada pukul satu pagi itu menjadi hentakan yang amat dahsyat
untuk memecah heningnya suasana.
“Aie...Aie...Aie...!!! Teriak salah seorang warga Pasir Laweh
diikuti oleh sahutan yang lain yang menjadi sahut-menyahut.
Sahut-menyahut ini
tentang air, bukan air yang jumlahnya sedikit seperti saat kita buang air, ini
air bah. Jikalau di Jawa pasti disebut sebagai bandang namun tidak di sini-diranah
minang-galado orang bilang.
“Uda! Bangun, da! Dengar
orang-orang di luar, da! Galado lah tibo, Da.” Ujar seorang
wanita muda sambil memegangi perut buncitnya. Ia meringis menahan tangis.
“Ado a’ lai?” tutur seorang pria-yang kita ketahui kemudian sebagai
suaminya. Lelaki itu menguap lalu tersentak karena suara berisik dari seluruh
penjuru kampung. Dan kini wajahnya terlihat memelas menahan iba pada istri yang
dikasihinya. Istrinya hampir pingsan menahan gejolak dari dalam rahimnya yang
memaksa keluar pada waktu yang sangat genting ini.
Pasir
Laweh
Januari
2009
“Ya, benar seperti itu
gerakannya, Zal. Sekarang kau lakukan pukulan ke depan, tapi tangan jangan
dikepal.” Ujar seorang gadis (jika bisa dibilang begitu mengingat usianya di
penghujung kepala dua. Namun benar dia masih melajang. Tapi kau tidak perlu
mengatakannya) dengan lantang.
“Uni Aylah. Selepas ini kita boleh istirahat? Kami lelah uni.”Anak laki-laki yang tadi dipanggil
Zal itu mengiba pada Aylah. Guru seni teater di sekolahnya. Rencananya mereka
akan mengadakan pentas teater pada bulan Ramadhan. Bulan yang dinanti umat
muslim di dunia.
“Baa! Ini baru saja
sebentar, Zal. Selesaikan dulu adegan yang ini. Setelah itu barulah selesai
untuk hari ini.” Suara nada protes terlontar dari para murid-muridnya. Dia
berupaya untuk memegang kendali suasana kelasnya melalui intruksi tangannya.
***
“Begini, Mak Adang.” Seorang anak laki-laki
membuka pembicaraan mereka. Namun hatinya merasa gugup. Kalut.
“Tak usah kau jelaskan,
Sril. Saya paham maksud Nak Asril. Hendak mengajukan diri untuk mengambil alih
kepemimpinan terhadap putri saya dari saya, kan?” lelaki tua itu berbicara
tanpa memandang lawan bicaranya. Beliau lalu
menyeruput kopi luwak hasil dari kebunnya sendiri dan juga diolahnya
sendiri.
Lelaki muda itu, Asril.
Semakin menjadi-jadi gugupnya. Bukannya menjawab atau mengklarifikasinya, tapi
malah menyatukan kedua tangannya yang bergetar sambil memainkan timpa jempol
kiri-kanan-kiri-kanan.
“Apa kau tak paham juga?
Saya tidak ingin Aylah menikah. Saya tidak akan menikahkannya dengan siapapun
bahkan dengan pemuda lulusan universitas luar negeri dan penghafal Al-Quran
sepertimu. Saya tahu ini sulit dipahami. Tapi keluarga kami telah memegang
sumpah demi kemaslahatan dan keselamatan kampung ini.
“Kau masih muda. Kau
pasti tak paham bahwasanya di bumi bukan cuma sekedar pengetahuan aljabar,
sastra dan politik saja. Namun ada juga pengetahuan dan kepercayaan akan
nilai-nilai yang sudah mendarah daging. Ada pemahaman yang untuk memahaminya
maka kau harus berpura-pura tidak paham pada pemahaman lain yang bahkan
sebenarnya sangat kau pahami. Paham kau, Sril?” kata Pak Asmen-yang di panggil Mak Adang oleh Asril. Asril semakin mematung seperti patung kepala burung. Diam
dan tak utuh.
Pak Asmen yang saat awal menerima
kedatangan tamunya itu dengan baik, seperti Sunnah Rasul. Memuliakan Asril.
Namun karena kelakuan diam mematung dan tak utuhnya memicu kekesalan Pak Asmen.
“Sudah. Ingat, bukannya
saya mengusirmu. Tapi saya hendak menyiangi rumput yang mengganggu tanaman
cabai muda di kebun. Jika kau tak berniat membantuku lebih baik kau pulanglah
saja, Sril!”. Asril bingung. Masih gemetar. Dengan perasaan berat dan penuh
pertanyaan yang akhirnya tak ada satu pun yang ia tanyakan. Ia lalu pamit
pulang.
“Baik, Mak Adang. Saya
pamit dulu. Assalamualaikum!
“Waalaikumsalam.” Ucap
Pak Asmen sambil menyeruput isi cangkir kopi Asril yang memang sama sekali
belum disentuh bibir.
***
Uni Aylah mengendarai sepedanya dengan santai. Belum sampai ia di gerbang Rumah Bagonjong milik
mendiang ibunya. Ia lalu berhenti. Dilihatnya mobil Pajero hitam yang kelihatan
sekali masih baru. Keluar dari arah gerbang. Aylah tahu pasti siapa pengendara
mobil yang bisa dibilang mewah itu.
“Pak, hendak ada
keperluan apa Uda Asril
kemari?". Aylah bertanya kepada ayahnya yang masih belum bergeser dari
tempat duduk saat mengobrol dengan Asril di gajebo tadi.
“Melamarmu.” Jawab Pak
Asmen singkat disertai gerakan cepat
hendak ke tangga masuk ke rumah.
Aylah hingga sekarang
masih bingung saat seharusnya ia sudah hidup berpisah dari ayahnya. Pak Asmen
selalu menolak pria yang datang untuk melamar putrinya. Apalagi pria bernama lengkap Asril Tanjung
ini adalah pemuda yang kalau boleh dibilang-sangat sempurna, mapan, cerdas,
tampan dan yang terpenting: soleh. Aylah memang belum menaruh hati pada pria
manapun. Aylah berusaha untuk bisa menjaga diri, hati dan pikirannya untuk
tidak dulu mencintai seorang pria sebelum ada ijab kabul
Namun, apa mau dikata.
Bagaimanapun Aylah adalah wanita dewasa yang berprofesi sebagai guru yang pasti
akan keluar rumah tiap harinya. Tentu hal ini mengandung fitnah. Kalau boleh
dihitung, Asril adalah pria yang ke-22 yang ditolak lamarannya dalam kurun
waktu delapan tahun ini, semenjak ia kembali dari ranah rantau di negeri Hassanal
Bolkiah itu untuk kuliah.
Aylah sedang malas
memikirkan berjuta alasan yang pernah dilontarkan Pak Asmen pada pria-pria yang berminat padanya. Aylah merebahkan diri di atas kasur. Akan lebih
baik baginya kini untuk membuat laporan progres latihan murid-muridnya di SMPN
1 Rambatan dibandingkan memikirkan hal itu.
Pasir
Laweh
Februari
2009
Hari itu-di awal bulan
kedua. Rumah Bagonjong lebih ramai dibanding hari-hari lainnya. Saat itu memang
sedang ada pertemuan yang memang tak terlalu besar namun sangat penting bagi
keluarga Aylah.
“Uda, ambo mohon uda
berhentilah mempertahankan keyakinan uda itu. Ba’a kaba keluarga kita ni
,da? Aylah satu-satunya anak Padusi di keluarga ini. Dialah penerus
keluarga kita. Masa depan dan kehormatan kita.” Kata-kata desakan seperti itu
terus mengalir dari mulut Pak Zainal, adik ipar Pak Asmen. Adik ibunya, Seroza.
Kalimat desakan dari Pak Zainal itu diamini oleh adik-adiknya yang lain;
Pak Zen dan Pak Syarif.
“Ambo paham, Dik. Perempuan bagi kaum kita adalah tampuk kehormatan.
Eksistensi keluarga kita hanya ada pada perempuan. Tapi, kalian mesti paham
posisi uda. Uda sudah terikat oleh janji.” Pak Asmen memberikan penjelasan yang
walau bagaimanapun penjelasan tersebut sangat tidak jelas bagi adik-adik
mendiang Ibu Seroza. Mereka gusar. Tak sabar.
***
"Uda Zainal, bagaimana kalau kita ambil
alih saja masalah Aylah ini, biarlah Uda
Asmen. Kita ini kan mamaknya Aylah.
Kita punya hak juga." sambil memakan buah salak dan membuang bijinya
secara asal.
"Benar, ambo setuju, da." ucap Pak Syarif menimpali ucapan Pak Zen sambil
memunguti biji salak.
Pak Zainal secara pribadi
sangat setuju dengan usulan adik-adiknya. Akhirnya mereka merencanakan
perkenalan atau biasa disebut ta’aruf.
Sore itu, langit Pasir Laweh menjadi lebih cerah daripada biasanya bagi tiga
bersaudara tersebut.
***
Hari ini Aylah mengayuh
sepedanya jauh lebih bersemangat. Jam yang melingkar di pergelangan tangannya
menunjukkan pukul 14:00. Ia harus mengurus arsip terlebih dahulu di kantor
guru. Padahal ia punya janji dengan ketiga mamaknya siang ini, pukul 14:15.
Banjir peluh tak lantas membuatnya melontarkan keluh. Ia berharap pemikiran Pak
Asmen bisa luluh.
"Mak Adang, maaf Aylah sedikit
terlambat." ucap Aylah pada semua mamaknya.
"Tak apa Aylah.
Duduklah di sini." Pak Zainal mempersilahkan Aylah duduk di sampingnya.
Aylah duduk dengan anggun
namun agak canggung. Dihadapannya telah ada seorang pria yang nampaknya sebaya
dengannya. Wajahnya cukup manis, tapi ia tidak menyadari itu. Dia tetap
menunduk.
"Ini para mamak hendak mengenalkanmu dengan salah
seorang asisten mamak di lembaga konservasi hutan. Hahaha. Orangnya
menyenangkan. Jadi kau tak perlu
meragukan pilihan mamak kau.
"Mamak tak mungkin sembarangan."
Kali ini giliran Pak Zen
yang berceloteh. Aylah tersenyum simpul dalam rangka membalas senyuman pemuda
di hadapannya.
"Ada baiknya kalian
berkenalan sekarang." Ujar Pak Syarif memecah kecanggungannya.
"Perkenalkan, saya
Khairul Afandi. Panggil saja Irul." Ucap pemuda itu sambil menyatukan
kedua telapak tangannya di dadanya."
"Aylah, Aylah
Satinado." Balas Aylah sambil melakukan hal yang sama persih seperti
pemuda di depannya.
Senyuman lebar memang
tidak tampak terlukis pada wajah cantiknya. Namun kita semua bisa menebak apa
yang kini ada dalam hati dan benak Aylah. Sebuah harapan besar.
***
Petani-petani sudah mulai
menanam benih padi pada akhir bulan Februari ini. Sawah di Tanah Laweh terletak
di bawah kaki Gunung Marapi. Konon, Gunung Marapi adalah salah satu gunung
berapi teraktif di Pulau Sumatera. Penduduk yang lain juga sedang sibuk di
ladang masing-masing. Kebanyakan ladang itu berada di pinggang gunung sebelah
timur. Sejalan dengan alirang Batang
Selo. Karena terjamin kesuburannya. Untuk mendapatkan petak lahan di saman,
para petani tak segan untuk membakar hutan. Suatu hal yang tak perlu ditiru.
Hari minggu ini, meski
tak ada kesibukan mengajar. Namun Aylah tetap sibuk. dia akan bersua dengan
Abang Irul sore ini di rumah Mak Zen.
Tentunya dia tidak akan menemui kesulitan untuk meminta izin kepada ayahnya untuk
pergi ke rumah Mak Zen yang berada di
ujung desa berbatasan dengan Kecamatan Mandahiling.
“Dik Aylah, buku apa
itu?” ujar Abang Irul ketika melihat Aylah memasuki teras rumah Pak Zen.
“Soe Hok Gie, da” jawab
Aylah. Ia lalu langsung duduk di kursi yang ada di teras juga, namun agak
berjauhan dengan Abang Irul. Aylah masih punya malu.
“Oh saudaramu ya?” Kata
Abang Irul.
“Jangan sok tahu, uda. Saya belum kenal.” Aylah menjawab
agak ketus. Pikirannya menilai begitu sok tahunya pikiran Abang Irul atau yang
ia biasa panggil uda olehnya. Dia
menengok ke dalam rumah. Dia melihat mamaknya
sedang asik menonton televisi.
“Begini, Dik Aylah.
Pertama, panggil saja saya abang
saja. Jangan uda. Saya lebih nyaman
dipanggil abang daripada dipanggil uda. Karena kita hendak membangun
hubungan yang kuat maka jauh lebih baik dimulai dengan kenyamanan.
“Lagipula abang tidak
keberatan dengan sikap sok mahalmu, dik. Abang malah lebih suka. Yang artinya
kau memang menjaga apa yang memang seharusnya dijaga.
“Kedua, pamanmu, Pak Zen,
bilang pada abang bahwa kakek dari kakekmu melalui pihak ibu adalah anak dari
kepala kaum dan masih memiliki kekerabatan dengan keluarga Kerajaan
Minangkabau.” Ucapan Abang Irul berhenti. Ia perlu menghela napas namun matanya
sempat curi pandang pada Aylah yang kini mulai memberi perhatian penuh pada
lontaran kata-kata Abang Irul. Aylah memang manis apalagi dengan gamis warna
yang Abang Irul pun tak paham apa warnanya. Seperti campuran jus mangga dengan
jus stroberi. Tidak mencolok namun menohok dengan kesederhanaan.
“Lanjutkan, bang! Aku mau dengar.” Ujar Aylah agak
sedikit berseru. Sepertinya dia mulai tertarik pada sosok baru dalam hidupnya
itu.
“Kakak kandung Soe Hok
Gie, Soe Hok Djin atau terkenal dengan nama Arief Budiman adalah seorang dosen
sekaligus psikolog selain menjadi aktivis. Beliau menikahi adik kandung dari
mantan Menteri Pertanian Kabinet Pembangunan VI, Sjarifuddin Bagasjah, yaitu
Leila Chairani Budiman. Leila dan Sjarifuddin adalah anak dari Sutan Pangeran
Baharsjah. Ayah mereka adalah anak dari cucu Raja Minangkabau, Sutan
Bagagarsjah.”
***
“Terserah kau lah! Ayah
sudah bilang nanti-nanti saja kau menikah.” Pak Asmen sedikit membentak Aylah.
Aylah tak pernah paham
tentang hal ini. Tapi dia sudah tidak mau begini. Dia juga malu. Bahkan banyak
anak dari kaumnya saat masih kanak-kanak dulu, kini anaknya sudah menjadi murid
Aylah.
“Ayah, bukan Aylah
bermaksud kurang ajar. Ayah tak mau mengatakan alasan Aylah masih menunda.
Aylah sudah hampir 30 tahun, yah. Menikah adalah sunah Rosul kita, bahkan
penyempurna agama.” Pak Asmen terdiam. Dia juga bingung bagaimana caranya
memberitahu pada Aylah bahwa pernikahan Aylah bukannlah acara sembarangan. Jauh
lebih sakral dan sangat berpengaruh pada kemaslahatan orang-orang di kaki
Gunung Marapi. Pak Asmen sungguh ingin berbahagia, ingin merasakan gugup
sebagai wali nikah, ingin merasakan senyum lebar saat mendampingi putri semata
wayangnya di pelaminan. Sungguh. Namun sumpah itu, sumpah yang harus dia
genggam hingga kematiannya. Sumpah yang ia ucap selepas kelahiran Aylah. Sumpah
yang ia tahu kalau dilanggar maka musnahlah kampung-kampung di kaki Gunung
Marapi.
Pasir
Laweh
Maret 2009
“Ba’a Aylah, kau takkan kecewakan amak-amakmu ini kan?”
Aylah menutup mata
berusaha untuk tidur tapi tak bisa. Masih terngiang di benaknya akan pertanyaan
dari kesemua amaknya dan dia belum memberikan jawaban. Kerumitan ini dipicu
oleh pernyataan Abang Irul tentang “kecenderungannya” untuk mempersunting
dirinya sesegera mungkin. Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin orang yang
baru dikenalnya kurang dari sebulan itu begitu mudahnya untuk terpesona dan
mencenderungi diri Aylah. Pelik.
***
“Jadi kita tentukan
waktunya akhir bulan ini, Senin 30 Maret. Agar ayahmu tak curiga. Kau izinlah
dari sekolah. Semua hal biar mamak-mamakmu
ini yang urus.”
Keputusan itu diambil
juga. Keputusan berat yang sebenarnya
masih menyisahkan kebimbangan di hati Aylah.
Dia menerima dengan ikhlas lamaran Abang Irul yang diajukan pada mamaknya. Tapi yang membuat hati Aylah
bimbang sungguh bukanlah karena dia baru mengenal sosok Abang Irul melainkan
ayahnya. Jadi rencananya dia akan menikah tanpa memberitahu ayahnya, tanpa
restu walinya. Sedangkan perwalian sendiri akan diambil alih oleh Pak Zainal,
sebagai mamak tertua. Pernikahan
direncanakan di luar kampung, di Kota Batu Sangkar. Selama penantian menuju
tanggal sakral tersebut, Aylah berusaha tenang tapi tetap saja gusar. Pak Asmen
tidak mencium rencana berani dari saudara istrinya itu. Pak Asmen tetap tenang
dan tidak mengetahui bahwa takdir akan tetap terjadi meskipun dia berusaha
sekeras apapun.
Batu
Sangkar
30 Maret
2009
“Kau lah siap, Rul?” tanya Pak Zainal kepada Abang Irul. Kini mereka
berenam ( Aylah, Abang Irul, Pak Zainal, Pak Zen, Pak Syarif dan penghulu).
Telah ada dalam suatu ruangan yang tidak terlalu megah namun mendatangkan
perasaan tentram, masjid. Masjid Agung Batu Sangkar akan menjadi saksi bisu
bagi peristiwa penting itu. Sebenarnya mereka tidak berenam, akan hadir pula istri
dari Pak Zainal dan Pak Zen, sementara istri dari Pak Syarif tidak bisa hadir
karena mempunyai seorang bayi yang baru saja lahir sehingga tidak bisa dibawa
perjalanan jauh.
Sesaat setelah kedatangan
Bu Zainal dan Bu Zen akad pun dimulai. Ada juga saksi-saksi dari pihak Abang
Irul. Bila dari pihak Aylah sudahlah tentu Pak Zen dan Pak Syarif. Sementara
Pak Zainal tidak turut karena beliau berlaku sebagai wali Aylah.
“Saya terima nikahnya
Aylah Satinado binti Asmen Satinado dengan mas kawin seperangkat alat sholat
dibayar tunai.” Abang Irul menyelesaikan mantra sakti yang ia ikuti dari
perkataan bapak penghulu.
“Sah!!! Sah!!! Sah!!!
Sah!!!” ucap para saksi.
Dan para malaikat
mengamini disertai tetesan mutiara bahagia dari mata bening Uni Aylah. Bagi seorang wanita, ada dua
saat-saat yang paling dalam untuk dirasakan kebahagiaannya. Pertama saat
seseorang membaca ijab kabul atas namanya. Kedua, saat melahirkan. Dan Aylah
sedang menikmati salah satunya.
Pasir
Laweh
30 Maret
2009
Pak Asmen tidak menaruh
curiga kepada Aylah yang berangkat lebih pagi dari biasanya, yakni pukul lima
pagi. Selepas shalat subuh. Beliau beranggapan bahwa putrinya itu sangat sibuk.
Pak Asmen duduk di gajeboh seperti biasa karena ini baru pukul tujuh lewat
sedikit. Beliau akan pergi ke ladang jika matahari sudah agak benderang, bukan
hanya sekedar mengintip.
Tiba-tiba...
Bummmmmbummm!!!
Suara gaduh dari Puncak
Marapi tepatnya dari sasarah Gunung Marapi sebelah barat diikuti oleh ratusan
kelelawar terbang bubar di langit yang memang kelabu karena hujan selepas
maghrib kemarin. Sekonyong-konyong penduduk berteriak.
“Aie....Aie...Aie...Batang Selo mengamuk!!!” ditimpali oleh riuh
rendah jeritan anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak yang sibuk menyelamatkan
diri tanpa sempat lagi untuk menyelamatkan harta benda yang dimiliki. Bau
menusuk belerang dari magma dingin yang hitam meruap memenuhi seluruh penjuru
kampung. Semua bangunan, pepohonan, ternak, perkebunan, orang dan apapun yang
berada pada aliran Batang Selo turut hanyut karena tanah di pinggiran Batang
Selo tergerus. Tak ada lagi yang mampu menahan karena akar-akar pohon besar
telah bergantian menjadi akar umbi-umbian. Tak terkecuali Pak Asmen yang tadi
sedang bersantai minum kopi, turut pula terseret amukan Marapi.
“Aylah...” Hanya kata itu
yang mampu di ucapkan lirih sesaat sebelum terjangan lava hitam bau belerang
menghantam tubuhnya.
Batu
Sangkar
30 Maret
2009
“Selepas ini kita ke
rumahku dulu. Biarkan Irul dan Aylah bisa mengakrabkan diri dan juga
mempersiapkan diri menghadapi Uda Asmen.”
Ujar Pak Zainal yang memang tinggal di Batu Sangkar. Semua rombongan langsung
naik ke mobil Pak Zainal, kecuali Aylah dan Irul. Mereka berdua berboncengan
naik motor Irul, sementara Aylah masih malu-malu.
“Ayolah, dik! Apa kau mau
jalan kaki saja? Haha.” Irul mengajak Aylah sambil berkelakar. Aylah menurut
saja. Tapi dia tidak berpegangan.
***
Setibanya di rumah Pak
Zainal, semua orang langsung duduk di ruang tamu. Banyak hal yang harus
dipikirkan. Sementara musik ruangan mengalun lagu” Rinduilah”.
“Istriku menelepon” kata
Pak Syarif dengan segera mengangkat panggilan tersebut. Wajah Pak Syarif
terlihat tegang, semua orang yang berada di ruang tamu turut tegang, terutama
Aylah.
“Kampung kita tertimpa galado lagi!” Ucap Pak Syarif agak
getir, ia lalu menengok ke arah Pak Zainal, menimbang-nimbang apakah ini ada
hubungannya dengan pernikahan Aylah.
“Ayah!” Teriak ayah Aylah
yang kemudian pingsan dipangkuan suaminya.
Pasir
Laweh
30 April
1979
“Alhamdulillah! Anaknya
perempuan, Pak. Selamat! Tapi maaf keadaan istri bapak sangat lemah.” Ucap seorang bidan darurat di
pengungsian induk Kecamatan Sungai Tarab.
“Za, bagaimana
keadaanmu?” Tanya Pak Asmen lirih.
“Aku tak kuat lagi uda.” Jawab istrinya.
Dalam suasana haru itu,
kepala kaum dan Datuk Haji Mudo masuk ke dalam tenda persalinan.
“As, menurut
kejadian-kejadian masa lampau. Anakmu inilah penyebab bencana kampung kita. Dia
penjelmaan dari leluhur yang jiwanya amat suci. Kelahirannya yang menyebabkan galado ini.
“Setiap kejadian
terpenting dalam hidupnya dia harus “membersihkan” kampung ini dari “kekotoran”
melalui perusakan.” Petuah kepala kaum tanpa babibu dan muqadimah yang tentu
saja hal itu sangat mengejutkan Pak Asmen dan Bu Seroza. Perasaan mereka di
persimpangan rasa senag juga sedih.
“Ada kejadian ini di masa
lalu yang menyebabkan hal ini. Aku tak bisa bilang anakmu. sebagai kutukan,
namun bukan juga sebuah anugerah. Tapi inilah takdirnya.
“Putrimu ini, kau berilah
nama Aylah Satinado. Anak yang lahir saat peristiwa bencana galado. Dia harus tetap menjadi perawan
seumur hidupnya. Dia tak boleh menikah. Jika hal itu terjadi...” kali ini
giliran Datuk Mudo yang memberi penjelasan."
“Apa yang akan terjadi?”
sergah Bu Seroza dalam kelemahan.
“Galado akan menimpa kampung ini lagi. Sebagai konsekuensi
penyucian.” Jawab Datuk Haji Mudo lantang. Entah jawabannya atau cara bicaranya
yang menjadi momok bagi Ibu Seroza. Seketika itu pula ia berhenti bernafas.
Selamanya.
--
SEKIAN –
--------------------------------------------------------------------------------------
TENTANG
PENULIS
Sella S. Sembiga, seorang
juru masak yang memiliki kesukaan membaca buku yang bukan hanya buku resep.
Kegemaran membaca inilah yang menjadi pematik untuk menulis. KABA GALODO adalah
salah satu cerpen yang teronggok lama pada file komputer dan akhirnya di publisikan di www.jaringanpenulis.com
Posting Komentar untuk "Cerpen "Kaba Galodo" Oleh: Sella S. Sembiga"