Buyung Dirundung Bingung
(Cerpen)
oleh : Hj. Nursini Rais
“Jangan main jauh, ya! Nanti kepalamu dipotong orang
rantai. Mau makan, nasi dan sambal ada di tudung saji,” pesan ibundanya Buyung sebelum
berangkat ke sawah.
“Iya, Mak.” jawab Buyung santun.
“Ini uang jajan!” tambah perempuan yang
biasa disapa Mak Buyung itu. Dia menyerahkan dua keping uang logam pada anak
bungsunya tersebut.
“Makasih ya, Mak.” Buyung menutup
pintu.
Amanat klasik itu selalu didengungkan Mak
Buyung. Terlebih sebelum dia meninggalkan putra atau putrinya di rumah sendirian.
Padahal, selama dunia terkembang belum pernah terbukti, pelarian dari penjara yang
disebutnya orang rantai itu memenggal kepala manusia. Tapi masyarakat kampung
tetap saja percaya, bahwa insiden itu betul-betul ada. Ceritanya, setelah
ditebas, kepala anak-anak tersebut ditanam di pangkal jembatan. Tujuannya agar jembatannya
awet dan tahan lama. Ritual ini diselenggarakan sebelum peletakan batu pertama.
Bagi Buyung, pesan basi ibunya itu dia
anggap angin lalu. “Hari ini Yung tak akan main di luar,” gumamnya.
Di rumah sendirian, memberikan ketenangan
tersendiri bagi bujang enam tahun itu. Dia bisa bebas merdeka untuk berkreasi.
Mau bikin cincin dari uang logam seratus rupiah, membuat bedil dari bambu,
mobil-mobilan dari papan bekas dan apa saja yang terlintas di benaknya, tiada
aturan yang mengikat. Parang, kapak, gergaji, palu dan perkakas lainnya bebas bertebaran. Hal tersebut tak akan
terpenuhi jika anggota keluarganya
lengkap berada di rumah. Karena ruangan berantakan adalah pantangan besar ibunya.
Lain bawaan isteri, beda pula karakter sang suami. Pria yang biasa disapa Bapak
Buyung itu memberikan keleluasaan pada anak lanang satu-satunya tersebut. Mau bermain
apa saja, terserah. Bahkan ketika melihat Buyung mengalami kesulitan, dia ikut
membantu. Sayang, urusannya semakin runyam. Mereka sering beda
pendapat. Ayahnya mau begini, si anak mau
begitu. Perbedaan ide tersebut menyebabkan Buyung sering ngambek, dan memancing
kemarahan sang ayah. Ujung-ujungnya bapak
dan anak tersebut bertengkar dan berakhir dengan lengkingan tangis Buyung.
“Sudah. Daripada bikin pusing,
mobil-mobilannya dibeli aja.” Mak Buyung hadir sebagai penengah.
“Dibeli juga salah. Belum lima menit saja
sudah hancur,” bantah sang suami.
Sanggahan ayahandanya benar. Buyung
tipe anak keras kepala. Selain tak mau dibantu dalam berkreasi, dia juga suka mengobrak abrik barang yang dia anggap aneh. Pernah
Bapak Buyung marah besar. Saat itu Buyung memegang pisau kater. “Srrrtt” Ujung pisau tersebut meluncurkan torehan di jok
motor. Padahal, dari awal ujung senjata tajam itu menghujam, ayahnya telah
berteriak. “Awas jangan disayat …!”
Dengan tenang Buyung menjawab, “Mau
nengok, di dalamnya ada apa.” Dia berlalu.
Pak Buyung jengkel berat, hingga menggigit giginya sampai
menepung.
Kembali ke cerita awal. Baru beberapa
menit kedua orangtuanya meninggalkan halaman, mulailah Buyung mengenengahkan
potongan bambu, kertas, lem, benang dan bahan-bahan lainnya. Berikut beberapa alat pertukangan yang dia butuhkan
untuk membuat layangan. Sambil menyiulkan lagu Bermain Layang, Buyung bekerja dengan
senang dan riang.
Mulai pagi hingga menjelang Zhohor, maskulin cilik itu menguras energi lahir
bathin menyalurkan bakatnya. Sayang, hasil kerjanya tidak berjalan mulus. Setiap
diuji coba, yang diperolehnya kegagalan dan kegagalan. Entah berapa kali dia merombak pola kerjanya,
entah berapa lembar pula kertas minyak yang terbuang percuma. Sampai
uang jajannya pun ludes untuk pembeli kertas layangan.
Berkat kegigihan dan keuletannya, impian Buyung terwujud. Sehabis
siang menjelang sore, layangan buatannya jadi. Syahwat dia memiliki mainan ciptaan
sendiri akhirnya terpenuhi juga.
“Dah beres Yung?” Tiba-tiba Dayat nongol dari belakang. Teman
bermainnya itu membawakan layangan ekor panjang yang baru dibeli ayahnya di
Pasar Sore.
“Ah, kau bikin kaget aja. Apanya yang beres?”
“Ya layangan. Kalau sudah, yok kita ke Tanah Lapang.”
“Ayo!”
Tanpa pikir muka belakang, Buyung dan Dayat berangkat ke area
bermain.
Sampai di tanah lapang, dua sahabat itu saling membantu
untuk star awal. Sehingga dua burung
kertas tersebut bisa terbang sesuai keinginan pemiliknya. Buyung bangga, karena
layangan bikinannya meluncur mulus ke langit lepas. Demikian pula Dayat. Tidak
sia-sia bapaknya mengeluarkan uang membelikan layangan untuk dirinya.
Kini, dua bentangan benang nilon seakan terpancang di kulit
bumi. Dikendalikan dua pasang tangan, dua makhluk tak bernyawa tersebut melenggok
manja di udara. Ekornya meliuk-liuk bak ikan lele di kolam Pak Rt. Hal ini tak
terlepas dari tiupan sang bayu yang sepoi-sepoi
enjoy.
Untuk anak seusia Buyung dan Dayat, berhasil menaikkan layangan setinggi itu merupakan pencapaian
yang luar biasa. Mereka puas tiada batas. Dengan bangga kedua sahabat kecil itu
memamerkan kelebihan layangannya masing-masing.
“Kita adu yok!” usul Buyung pada Dayat, beberapa menit setelah
benda lucu itu mengapung di udara.
“Ayo!” Dayat bersemangat.
Keduanya mulai menunjukkan kepakarannya dalam adu layangan.
Dengan segala daya, mereka bersaing mencari celah untuk menetaskan tali lawan.
“Srrrttt …!” Hanya sekali hantukan, layangan Buyung putus.
Mainan kesayangannya itu lunglai. Lalu pasrah ditiup angin mengikuti takdir
tanpa tujuan.
“Maaf ya, Yung …!” ujar Dayat. “Kan kau yang minta diadu.”
“Tak apa-apa, Yat.” balas Buyung sendu. Sesak dadanya
menahan kesal. Hampir saja matanya basah.
Kini yang tersisisa hanya benang digenggam tangan. Bentangannya
terdampar di pohon jambu milik Pak Gani. Perlahan-lahan Buyung menggulungnya menggunakan
sebuah kaleng bekas. Apa daya, ujungnya tergumpal pada sebuah ranting.
Sementara Dayat menurunkan layangannya, bergegas Buyung naik
di pohon yang tidak terlalu tinggi tersebut. Baru mencapai setengahnya, tanpa sengaja lewat ventilasi yang menganga lebar, pandangannya menembus ke
dalam kamar tidur Pak Gani.
“Mak …!” Buyung terperanjat dan terbelalak. Dadanya berdebur
bagai ditabuh. Dia menyaksikan Pak Gani
menyiksa isterinya dengan bringas. “Tolong
…!” Bocah itu berteriak histeris. Buru-buru dia turun. Dengan terengah-engah
Buyung melapor ke Bang Amir tetangga sebelah.
Spontan, Bang Amir meluncur ke lokasi. Sesuai laporan
Buyung, sasarannya persis di balik jendela
kamar Pak Gani. “Pak …! Pak Gani …! Jendelanya dibuka Pak!” panggilnya sambil
mengetuk-ngetuk.
Anehnya, tiada sahutan dari dalam. Meski diteriaki berkali-kali.
“Jangan-jangan keduanya dah mati,” gumam Bang Amir.
Satu persatu masyarakat sekitar berdatangan di tempat
kejadian. Terus bergabung dengan Bang Amir.
Beberapa menit kemudian, Pak Gani keluar lewat pintu depan
sambil tersenyum-senyum manis.
“Kata Si Buyung Pak Gani berantam ma Ibu. Benarkah?” tanya satu
dari beberapa orang di sana.
“Kata siapa saya berantam?”
“Si Buyung.”
“Ah gila itu anak. Pengen tau urusan orang laki bini.” Lagi-lagi Pak Gani tersenyum tipis dan
malu-malu asam.
“He he he …” Sorak sorai menanggapi jawaban Pak Gani.
***
Ketika Buyung pulang, ayah dan ibunya
sudah berada di rumah. “Aduh …! Kemana aja kau Yung …! Sambal ludes dimakan
kucing. Nasi tercelangah tidak kau tutup.” Gemetar tangan Mak Buyung menahan
cubit.
“Maafkan Yung, Mak. Yung main
layangan.”
“Pantas. Peralatan dan sampah
bertebaran. Pintu terdedah tidak kau
kunci. Kalau maling sempat masuk, selesailah seluruh isi rumah.”
“Memang ada maling siang-siang, Mak?”
“Allaahuakbar, Yung …! Kapan otakmu
bisa mikir.” Bapak Buyung buka suara. Masih di atas sajadah usai melaksanakan
shalat Ashar.
Sehari kemudian, Buyung diserbu pertanyaan
dari ibu-ibu, “Yung …! apa betul kemaren kau tepergok Pak Gani dan isterinya
berhubungan badan?”
“Hah …? Hubungan
badan? Tak taulah,” jawab Buyung sambil menggelengkan kepala. Bocah polos itu bingung seribu gunung. Jawaban
apa yang harus dia berikan pada mulut-mulut usil tersebut.
***
Catatan :
|
Cerita
ini diangkat dari kisah nyata 35 tahun lalu. Namun dipoles dengan unsur
fiktif. Mohon maaf! Tidak bermaksud untuk porno-pornoan. Hanya ingin berbagi.
Seandainya pihak JPI menganggap cerpen ini tidak layak untuk diposting, mohon
dikembalikan (dikabari) pada penulis.
|
Simpang
Empat Tanjung Tanah, 26 November 2016.
Hj.
Nursini Rais
-----------------------------------------------------------------------------
TENTANG PENULIS :
Hj.
Nursini Rais, Lahir di Muara Sakai, Inderapura Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Tanggal 05 Agustus 1954. Sejak remaja, nenek pensiunan guru SD ini suka membaca
dan berkirim surat antar sahabat pena. Menekuni dunia tulis menulis mulai tahun
2010. Yang ingin berkenalan silakan mampir ke Simpang Empat Tanjung Tanah,
Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi. Atau ke Pondok maya-nya, facebook
HajjahNursini Rais, instagram, @nursini_rais. Dan email nursini_rais@yhoo.co.id.
Posting Komentar untuk "CERPEN - Buyung Dirundung Bingung oleh : Hj. Nursini Rais"