RETAK
Cerpen : Oleh Lannary
Foto By Endik Koeswoyo |
Sudah setahun
terakhir aku sibuk dengan kecintaanku pada merancang baju. Tiap ada event busana. Aku selalu ikut
menyumbangkan banyak designku yang ternyata menyedot perhatian kalangan
menengah atas—padahal aku terlahir dari kalangan bawah.
Aku terlahir
dari orang tua yang pekerjaannya sebagai petani. Di kota atas,
Tembalang,Semarang. Tempat yang masih asri. Sejuk dan indah membuat
syaraf-syaraf dalam otakku selalu tenang. Itu memudahkanku untuk berfikir
rancangan baju yang bagaimana lagi yang akan aku buat.
Di rumah yang
hanya sepetak, berpondasi batu bata merah. Dengan dinding triplek seadanya. Aku
merasa bahagia di sini, tak perlulah mewah. Bersama keluargaku—Bapak,Mamak,dan
kedua adikku—semua terasa menyenangkan. Bersahaja. Ah, keluaraga sederhana ini
membuatku nyaman. Tak pernah aku malu dengan kenyataan bahwa Bapak dan Mamak
hanya seorang petani. Hobby merancang baju itu sudah ada sejak aku duduk di
Sekolah Menengah Atas. Ketika pelajaran Seni Budaya, aku selalu mendapat ponten
tertinggi jika di tugaskan untuk menggambar. Aku selalu menggambar baju yang
ada dalam imajiku.
***
Malam ini,
lagi-lagi aku duduk di balai desa. Di sana ada satu dua buah komputer yang
lengkap dengan akses internet. Itulah, yang membuatku betah berada di sana.
Sekadar browsing model baju yang sekarang lagi booming dan aku siap merancang yang–mungkin–lebih hebat lagi.
Sampai lupa,
seminggu yang lalu ada event
pencarian Designer Muda. Acara bergengsi yang tak diduga-duga itu semacam jalan
lebar penuh bebungaan untukku. Aku yakin bisa menjadi nominasi terbaiknya. Jika
iya, aku akan dikontrak untuk merancang baju selama waktu yang tak ditentukan.
Selama hasil rancanganku bagus, aku akan terus diminta untuk merancang baju.
Dan kabarnya, yang memakai hasil rancangan itu adalah artis ibu kota sepantaran
Vidi Aldiano, Raisa, Luna Maya.
Aku semangat
sekali malam ini, pukul 20.00. Itu artinya sudah ada daftar pemenang tiga puluh
menit lalu. Harap campur cemas bersatu padu dalam dadaku. Ah, berlebihan
mungkin. Tapi itulah yang aku rasakan. Aku buka website terkait. Aku click.
Menunggu loading....
Aku tak sedang
bermimpi bukan? Aku pandangi lagi layar komputer di hadapanku dengan saksama. Mengelus dada. Mencoba menenangkan
diri. Namaku. Iya. Di sana. Di layar persegi yang tertulis PENGUMUMAN DESIGNER
MUDA INDONESIA. Aku tak kuasa menahan haru. Berteriak senang tak terkendali.
Orang-orang di balai desa memandangiku. Lalu menjulurkan kepala ke arah benda
persegi itu. Seketika mereka memberiku selamat. Untuk ukuran orang kampong, aku tak kampungan,
aku selalu update dan tak gagap teknologi.
Aku pulang
dengan perasaan gembira. Paling, sejam dua jam lagi panitia itu akan menelponku
untuk mengurusi kontrak. Aku tinggal di Jakarta, mengurusi ini itu untuk meniti
karir. Hih, mimpiku begitu menggantung di depan mata. Ah ini berita gembira
untuk Bapak dan Mamak di rumah.
***
Seminggu
berlalu. Tiket sudah ada di tanganku. Tapi malang, semua berujung malapetaka.
Seminggu ini aku lelah membujuk Bapak dan Mamak untuk mengizinkanku pergi
menjemput mimpiku di Jakarta. Berprofesi sebagai designer muda seperti impiku.
Semua sudah di depan mata,Pak. Bapak paling tak mengizinkanku. Kenapa semua tak
mengerti? Harusnya mereka bangga anak sulungnya ini berhasil mengejar cita-cita.
Bukan malah menghancurkan semangat dengan larangan-larangan yang entahlah. Aku
tak begitu mengerti.
Hari ini, koper
besarku sudah rapi terisi. Aku tak pedulikan Bapak dan Mamak. Seminggu ini
semuanya berubah, tak ada lagi Mamak yang menyuruhku untuk makan. Tak ada lagi
Bapak yang mengingatkanku shalat. Semua berbeda. Tak lagi sama. Mereka
mendiamkanku seminggu ini. Sebenarnya aku merasa ada yang kurang dari keluarga
kecilku ini, tapi mimpi itu. Sangat penting untukku. Keluargaku? Juga penting.
Ah, sungguh memuakkan berada pada posisi seperti ini.
“Kakak mau
kemana?” adik bungsuku bertanya.
Memasang wajah yang ah,wajah
itu terluka. Tak menginginkanku meninggalkannya.
“Ke Jakarta,
jaga Mamak ya,Din.” Aku tak melihat wajahnya. Tak kuasa.
“Kau jadi pergi?
Bapak fikir keluarga ini lebih penting untukmu!” Bapak datang. Di susul mamak
dan adik tengahku. Semua berada di ruang tengah—walaupun itu juga ruang tamu.
Berdiri penuh arti. Aku menatap wajah-wajah itu. Sekilas. Lalu menatap lurus ke
arah jendela di depanku. Aku diam, tak menjawab apapun. Membisu.
“Lalu apa yang
harus aku lakukan di sini? Menjadi
pembajak sawah seumur hidup?”
“Apa yang bisa
aku impikan,Pak?”
“Menjadi
pemilik sawah? Pemilik koperasi desa?” Pertanyaan berderet itu tertumpahkan.
Aku menatap Bapak lamat-lamat. Penuh kesal.
“Bapak tak abis
fikir, anak sulung yang selama ini Bapak banggakan menjadi pembangkang seperti
ini!” Bapak berkata tertahan. Aku tidak peduli. Mamak sudah kadung menangis.
Apalagi adik-adikku. Sesenggukan melihat kejadian ini. Ini begitu ganjil. Selama ini aku selalu
nurut. Itulah alasannya, aku selalu menurut! Jadi tak bisakah aku sekarang
mengejar impianku sendiri?
“Bapak tak
mengerti betapa aku mencintai bidang ini….” Aku berkata pelan.
“Tahu!
Setidaknya bidang ini membuatmu melupakan cinta dalam keluarga kecil ini.”
Mamak melihatku
dengan ekspresi wajah yang menyilukan hati. Aku sebisa mungkin menahan
tangisku. Aku tak mau kalah dalam perdebatan ini.
“Cukup,Bil....”
Mamak menangis terisak.
“Selama ini,
dua puluh tahun aku hidup bersama kalian. Aku tumbuh menjadi wanita yang baik
bukan? Yang menurut apa saja yang kalian perintahkan. Termasuk untuk tetap
kuliah di sini. Bersama kalian.
Meninggalkan beasiswaku di Belanda. Mamak juga tahu itu!” Aku mengingatkan mereka pada kejadian beberapa
tahun lalu, saat aku mencoba peruntungan test beasiswa di luar negeri. Yang
akhirnya kutinggalkan, dan mati-matian mencari dana sekolah di dalam negeri. Di
Semarang.
“Beasiswa yang
orang lain impikan pula. Aku yang dapat,Mak. Tapi apa? Aku relakan itu semua
demi kalian,keluargaku.” Mulutku tak bisa kuhentikan. Ia langsung kejam berkata
begitu di depan orang tuaku. Ah, aku tak bermaksud melukai mereka.
“Lalu sekarang,
aku punya mimpi. Aku bukan anak kecil lagi yang harus di atur. Mamak tak lihat?
Pura-pura tak tahu? Designku menang dalam kompetisi Designer Muda,Mak!” Aku
menyombongkan diri pada Mamak. Kesal. Jengkel. Tapi sebenarnya tak tega.
“Terserah
kalian! Dengan atau tanpa restu kalian. Aku akan tetap pergi. Assalamualaikum.”
Kataku. Langsung pergi menuju bibir pintu dan seketika lenyap. Sudah ada taksi
yang menungguku di depan.
Aku tinggalkan
Mamak, Bapak dan juga kedua adikku demi mimpiku. Tak tahulah, ini pilihan yang
tepat atau tidak. Yang pasti, aku bersiap meniti karirku.
***
“Bagaimana
sih,Bil! Rancanganmu semakin hancur! Siapa yang mau pakai rancanganmu! Dasar,
designer kampung!” Bosku membentak. Aku menunduk tak karuan. Kampung? Apa
salahnya aku terlahir di kampung. Bukankah itu tak masalah? Lagi pula,
rancangan itu sudah aku buat sebagus mungkin,Kok..
Sekarang aku punya meja kerja sendiri. Penuh
dengan kertas, pena, pensil, penghapus dan apapun. Sudah ada sekitar 50
rancangan sepanjang tahun ini. Tapi akhir-akhir ini apa yang aku buat selalu
salah. Aku di maki-maki. Di hina-hina masalah asal mausalku. Aku membuka laci
meja. Aku merogohnya–berniat mengambil pulpen cair—tapi yang kudapati malah
secarik foto. Aku rindu. Berfikir panjang.
Setahun ini,
Mamak tak pernah mengabariku, aku juga tak begitu semangat mengabari mereka.
Aku tak tahu bagaimana keadaan Bapak. Apa mereka sudah memaafkanku? Ah, aku
kehilangan keluargaku. Tak ada yang lebih nyaman selain berada di lingkaran
mereka. Sekarang hidupku di bawah suruhan orang. Di perintah. Apa mungkin ini
yang tak mereka inginkan? Aku dihina-hina karena asalku dari keluarga rendah.
Apa itu juga yang Bapak takutkan? Oh Tuhan! Kenapa semua semenyakitkan ini?
Aku baru tahu,
keluargaku adalah orang yang paling menerimaku. Ternyata mimpiku malah
membuatku seperti orang dungu yang mau saja di maki-maki macam pembantu!
***
“Kau kami
pecat! Kontrakmu kami cabut! Ini uang pesangonmu. Pergilah ke kampungmu dan
buatlah baju untuk ternak-ternak di sana
hahah!” Bos sialan itu. Melemparkan uang ke mukaku. Aku mengambilnya, tak
peduliah.
Aku berfikir
keras. Hidup di Jakarta sendirian. Tak punya siapa-siapa. Akan membuatku
menambah jumlah pengemis di jalanan. Aku memutuskan kembali ke kampung.
Kakiku sudah
menapak di pelataran rumah. Di kampung.
Aku mengetuk
pintu. Melepaskan tas begitu saja. Jatuh terduduk. Seorang perempuan paruh baya
membuka pintu. Aku memegang tangannya sambil duduk.
“Maafkan
Sabila,Mak. Tanpa restu Mamak
dan Bapak,Bila bukan apa-apa.” Kataku sesenggukan merasa bersalah sudah pergi
setahun tanpa kabar.
“Maaf Mak..”
Aku bersimpuh di depan Mamakku. Menangis terisak. Tak kuasa lagi menahan
kerinduan ini.
“Bangun Bil,
Mamak sudah memaafkanku. Masuklah, bersihkan badanmu.”
Aku memeluk Mamak
dan minta maaf pada Bapak juga adikku.
Benar, ketika
dunia mencampakkan dan tak menganggap kita berarti. Justru keluargalah yang
dengan senang hati memperlakukan istimewa. Mamak,Bapak dan kedua adikku menjadi
bukti. Mereka jauh lebih berharga dari siapapun. Tak pedulilah masalah
cita-cita. Bagaimanapun, sekarang aku mengerti. Keluarga adalah
seindah-indahnya tempat berbagi...
------------------------------------------------------
TENTANG PENULIS
Lannary.
Lebih suka
dipanggil LR. Lahir di Ngawi, 25 Februari 1996.
Anak kedua dari tiga bersaudara. Anak tengah lulusan SMK jurusan Akuntansi yang
lebih menyukai aksara dari pada angka. Mencintai tulisan dan hobby
menggambar.
Feel
Free to contact her:
Intagram :
Lr.lanna
Email : Wulanarya253@yahoo.com
Blogger : wulanarya.blogspot.com
Tumblr :
Lannarylanna
Posting Komentar untuk "RETAK Cerpen : Oleh Lannary"