“Aku mohon Mbak.
Tolong aku.”
Wida duduk
bersimpuh di kaki Nensa. Sesekali Wida memijit kaki Nensa, berharap pijatan itu
bisa melunakkan hati Nensa. Gambaran dua sahabat itu mirip dengan seorang putri
raja dan emban yang sedang memohon. Air mata yang bergelayut di susut mata
Wida, membuat suasana semakin haru, cenderung menyedihkan dan menyesakkan. Air
mata itu hampir tak mampu terbendung lagi.
“Anakmu mana?” Nensa
membuka suara. Suaranya pelan tapi tegas, hampir sama dengan suara nyonya besar
di sebuah rumah belanda tempo dulu. Ia menarik kakinya, seolah tak ingin
tersentuh oleh Wida. Gelang-gelang emas yang berada di pergelangan tangannya
ikut bergoyang ketika ia menarik kaki.
“Di rumah, tak
sanggup rasanya aku harus membawanya berkeliling untuk memohon dari satu orang
ke orang lainnya. Aku tak sanggup Mbak,” isak Wida. Air mata yang semula masih
terbendung, sekarang telah menganak sungai. Membasahi pipinya yang kusam dan
pucat.
Nensa tak
menggubris, dia mengangkat wajahnya, membetulkan kalung emas yang melingkar di
leher. Ia seperti tak sudi melihat Wida yang semakin tertunduk lesu dan malu.
Wida sudah kehabisan
cara untuk mendapat uang yang dibutuhkan.
“Uangnya untuk
apa sih, Wid? Suamimu tidak cukup memberi uang?” Nensa sedikit melunak, meski
tatapannya masih sama. Tak peduli.
“Suamiku di luar
kota, bekerja. Tapi tanggal tua begini mana punya uang lebih dia,” Wida
membetulkan pakaian yang tampak lusuh dan longgar di badannya. Suaminya sudah
mengirimkan uang untuk minggu ini. Gaji bulan ini tak akan cukup untuk
membiayai keadaan darurat seperti ini.
“Kalau bukan
untuk si Kiki, aku enggak akan keliling begini mbak. Si Kiki harus segera
diobati. Mbak tahu sendiri, anak kecil tak bisa diberi obat warung, Mbak?”
tambah Wida.
Nensa kembali
terdiam. Ruangan kecil di sudut ruang tamu milik Nensa lengang, sepi, seperti
tak ada kehidupan. Dua orang di dalam ruangan itu sibuk mengatur napas
masing-masing. Tak mempedulikan sekitar, bahkan suara nyamuk pun mungkin akan
terdengar nyaring di ruangan itu. Bunga plastik yang menjadi penghias ruangan
tampak bersinar di bawah terangnya lampu yang menjadi sumber cahaya.
“Kita sama-sama
membutuhkan uang, Wid. Aku butuh untuk membeli keperluanku. Kau tahu sendiri,
hidup menjadi janda itu tidak mudah. Ah, tapi mungkin kau tak paham,” Nensa
masih berusaha menolak.
“Kebutuhan mbak
bisa menunggu ‘kan. Kiki enggak bisa menunggu mbak. Dia butuh segera di bawa ke
dokter. Tolong aku, mbak. Minggu depan aku kembalikan mbak. Kalau perlu aku
lipat gandakan, Mbak.”
Air mata Wida
mengalir deras, ia kembali memohon-mohon di kaki Nensa. Berharap Nensa akan
berbaik hati menolongnya kali ini. Nensa menarik napas dalam. Ia berlalu
meninggalkan Wida yang masih terduduk di lantai.
Wida tersenyum.
“Wah, Mbak Wida
ini memang hebat ya!” Dian menatap Wida yang baru datang di pengajian, di sore
hari yang sama ketika ia bertemu Nensa. Dian yang sejak tadi duduk langsung
berdiri ketika Wida datang. Matanya berbinar-binar ketika melihat Wida datang.
Wida baru pindah
satu bulan lalu di lingkungan Dian. Mereka langsung menjadi teman dekat. Selain
karena sama-sama memiliki anak kecil, Dian merasa nyaman berteman dengan Wida.
“Hebat
bagaimana, Di? Apanya yang hebat, sih?”
“Bagaimana
enggak hebat mbak, minggu kemarin baru beli isi rumah, hari ini malah pakai
motor baru. Keren mbak.”
Wida menangkap
maksud hebat yang dimaksudkan Dian. Ia hanya tersenyum menanggapi Dian, sambil
memarkir motor berwarna merah mengkilap miliknya.
“Sebenarnya enggak mau dipakai dulu. Tapi ini,
si Kiki minta jalan-jalan pakai motor baru. Jadi mau enggak mau harus dipakai,”
Wida tersenyum, menuntun Kiki. Dian mengacungkan kedua jempol.
“Lagi ada rezeki
aja. Kalau enggak ada rezeki, sama aja kok, enggak bisa beli apa-apa.”
“Mas Yanto kerja
apa sih, mbak? Kok enak banget ya. Enggak kayak suamiku. Mau ganti hape aja
susah,” Dian mulai mengeluh.
“Sebenarnya gaji
Mas Yanto enggak terlalu banyak, cuma aku bisa memutarnya lagi. Jadi bisa beli
ini itu sesuai kebutuhanku.”
“Wah, diputar bagaimana
mbak?” Dian tak bisa lagi membendung rasa penasaran. Ia ingin bisa hidup
seperti Wida. Setidaknya tidak menyusahkan suaminya.
“Sini, sini, aku
kasih tahu caranya. Dibuat usaha lagi. Kalau enggak seperti itu mana bisa kayak
ini,” setengah berbisik Wida memberitahu. Wajahnya berseri-seri menunjuk motor
baru yang terparkir manis.
“Aku ikutan
usaha kayak mbak dong. ‘Kan mau hidup kayak mbak?”
“Bagus! Gampang,
itu bisa diatur,” Wajah Wida tambah berseri, senyum lebar tercipta. Matanya
berbinar-binar, mengalahkan kilauan motor barunya. Ia mengalihkan pandangan
pada ibu-ibu yang sudah berada di dalam ruangan.
Ponsel Wida
berbunyi, “Aku terima telepon dulu ya.”
Dian
meninggalkan Wida yang wajahnya berubah drastis. Wajah senyum merekah berganti
dengan wajah dingin dan pucat. Ia ragu antara menjawab panggilan itu atau
mengabaikannya. Meski panggilan itu entah yang ke berapa ratus kali.
Nensa.
Panggilannya
terputus. Wida tersenyum sambil bernapas lega. Ia menatap puas layar ponsel
yang kembali berwarna gelap. Tapi sebuah pesan lantas masuk.
Wid, katanya anakmu sakit. Bu Tresna bilang kamu
pakai motor baru. Kembalikan uangku. Sekarang!
Wida tak
membalas pesan itu. Ia terkekeh dengan kencang, pundaknya ikut terguncang
seiring tawanya yang semakin menjadi. Dian dan ibu-ibu yang lain tampak menoleh
ke arah Wida yang tertawa.
Wida tertawa lebih
pelan, menutup mulutnya dengan tangannya yang lentik. Ia menatap motor baru
miliknya yang dibeli dengan uang dari pinjaman Nensa, dan juga uang dari
orang-orang yang berhasil dibujuk untuk ikut bisnis fiktif yang dirancangnya.
Posting Komentar untuk "Perempuan-Perempuan"