Banjir Elipsis
Sejak tahun 2012, awal aku jadi penanggung jawab sebuah lomba menulis di penerbit indie, aku sudah musuhan sama naskah yang banjir Elipsis. Bagi Dedek Gemes (Read : penulis pemula) pasti bertanya, “Elipsis itu apa sih? Terus naskah banjir elipsis kayak apa?”
Elipsis adalah tanda titik (...), sedangkan naskah yang banjir elipsis contohnya kayak gini :
Misalnya:
Penyebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa negara ialah ….
..., lain lubuk lain ikannya.
Catatan:
Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik empat buah).
Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog.
Misalnya:
“Menurut saya … seperti … bagaimana, Bu?”
“Jadi, simpulannya … oh, sudah saatnya istirahat.”
Catatan:
(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
(2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik empat buah).
(3) Tanda elipsis juga bisa digunakan ketika tokoh berbicara gugup, terbata, atau kondisi ketakutan dan panik.
Kebiasaanku, kalau habis baca naskah banjir elipsis pasti mengomel panjangxtinggixlebar di status facebook. Tiap postinganku ada aja yang nyeletuk seperti ini, “Namanya juga penulis pemula. Wajar aja dia nggak tau soal elipsis.”
Hello, walaupun penulis pemula dan nggak tau soal elipsis bukan berarti nulis seenaknya sendiri. Coba posisikan diri sebagai pembaca. Enak nggak sih dilihat kalau naskah banjir elipsis? Yang ada bikin sakit mata editor. Apapun alasannya menulis novel, puisi, atau cerpen nggak diperbolehkan banjir elipsis.
Keseleo Penulisan Kata Di+kata tempat dan di+kata kerja
Misal :
Diluar, didalam, di perbuat.
3 kata yang aku tulis di atas itu penulisannya salah ya, guys. Di+kata kerja itu wajib disambung, sedangkan di+kata tempat maka wajib dipisah.
Jika masih terus ada yang salah berarti fix dia nggak pernah mendengarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Kenapa? Sebab sudah pernah diajarkan sejak bangku SD. Bahkan SMP dan SMA pelajaran soal itu diulang lagi.
Kasian guru Bahasa Indonesia, beliau udah capek-capek jelasin tapi nyatanya nggak nyantol di otak. Terus gimana dong biar nyantol di otak? Coba kita ibaratkan cinta. Berbicara cinta biasanya lebih melekat di hati.
Di+kata tempat, anggep aja sebuah cinta terlarang. Kalau kamu tetap menyatukannya, maka akan berdosa.
Di+kata kerja, anggep aja cintanya bak Romeo dan Juliet. Susah dipisahkan.
Ucapin berkali-kali sampai tertanam di alam bawah sadar. Otomatis kita akan terbiasa menulis di+kata kerja dan di+kata tempat dengan baik sekaligus benar. Dengan mengamalkan ilmu Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, bisa jadi cara kita berterima kasih pada Guru Bahasa Indonesia kita.
Keseleo Meletakkan Tanda Baca Pada Sebuah Dialog
Setiap aku baca naskah yang masuk di Arsha Teen, pasti ada aja yang keseleo meletakkan tanda baca pada sebuah dialog. Yang harusnya menggunakan koma malah memakai titik. Begitu pula sebaliknya, yang memakai titik malah memakai koma. Bahkan ada yang meletakkan tanda titik/koma setelah tanda kutip akhir dialog.
Contoh :
“Aku terluka terlalu dalam.” Ujar Nina pada sahabatnya.
“Aku sakit hati atas perbuatan si Ivan,” Maretha memancarkan ekspresi kosong.
“Kamu mau makan nasi”, kata Wiwi.
Contoh nomor 1 dan 2 itu kebalik. Jika ada kata ‘ujar, ucap, kilah, sambung’ dan lain-lain, maka penulisannya menggunakan koma sebelum tanda kutip akhir dialog. Jika tidak, maka harus menggunakan tanda titik. Sehingga dua clontoh tersebut penulisan yang benar sebagai berikut :
“Aku terlalu terlalu dalam,” ujar Nina pada sahabatnya.
“Aku sakit hati atas perbuatan si Ivan.” Maretha memancarkan ekspresi kosong.
Kalau soal contoh nomor 3, aku sendiri heran kenapa banyak banget penulis pemula yang menulis dialog seperti itu? Dari mana mereka dapat ilmunya? Segitu malasnya kah membaca? Dari zaman tahun 90-an aku nggak pernah menemukan novel yang tanda bacanya diletakkan setelah tanda kutip akhir dialog.
Ayolah Guys, nggak ada ruginya kok membaca karya orang lain. Semakin rajin kita membaca, maka ilmu kita akan bertambah dengan senditrinya. Om Endik Koeswoyo pernah berkata, “Membaca adalah hal paling mudah dalam belajar.”
Suka Masukin Adegan Nggak Penting
90% naskah yang terbit di Arsha Teen pasti pernah pemangkasan secara besar-besaran. Yang naskah awal 170 halaman, setelah dipangkas jadi 90 halaman. Pemangkasan terjadi karena banyaknya adegan nggak penting. Untuk menghindari hal itu coba deh sebelum masukin sebuah adegan, pikirkan dulu adegan itu bakal mempengaruhi cerita selanjutnya nggak?
Misal :
Kamu masukin adegan rapat. Nah, adegan rapat tersebut berdampak baik di bab selanjutnya? Kalau rapat itu ujungnya cuma bahas onde-onde mending nggak usah dimasukin. Beda halnya jika dari rapat itu si tokoh utama dapet jodoh atau awal keretakan rumah tangga si tokoh baru wajib dimasukin.
Masukin adegan nggak penting bisa bikin plot naskah nggak fokus. Akibatnya pembaca bosan dan menyudahi baca novelmu sebelum tamat. Lagi pula kan sayang kamu udah panjangxlebarxtinggi¬ masukin adegan ini itu nyatanya di mata editor dianggep nggak penting tetep aja harus dipangkas.
Suka Masukin Tokoh Nggak Penting
Selain suka masukin adegan nggak penting, penulis pemula juga suka menjelaskan silsilah keluarga tokoh utama di bab awal. Aku yakin sih itu pasti karena penulis bingung cara bikin opening menarik. Dan sebenarnya masukin silsilah keluarga sah-sah aja. Tapi 1 hal yang harus kamu ingat, silsilah keluarga tokoh yang kamu masukin harus jelas ada fungsinya dalam naskahmu.
Misalnya :
Kamu masukin kakek, nenek, mama, papa, tante, om, sampe sepupu, kamu libatin mereka di bab selanjutnya.
Bisa kamu bikin bab 2 tokoh utama liburan bareng sama keluarga besar, di tengah liburan kakek dan nenek ditemukan tewas secara nggak wajar. Tokoh utama beserta seluruh keluarga yang lain tertuduh sebagai tersangka. Dan salah satu dsri mereka ada sebagai pembunuh.
Selain jelas ada fungsinya, harus jelas karakternya. Karakter sifat, fisik sampe kebiasaan unik. Sekecil apapun peran di naskahmu detail itu penting. Seandainya novelmu best seller terus difilmkan, ph gampang nyari pemain yang tepat klo karakternya jelas.
Posting Komentar untuk "5 Kebiasaan Buruk yang Paling Sering Dilakukan Penulis"