Asal Usul Gunung
Kaba
Oleh: Yuyun
Sukarsih
Pada zaman dahulu, terdapat desa
yang ramai penduduknya yaitu Desa Bukit Batu. Masyarakat di sana sangatlah
ramah-ramah. Begitu juga dengan Kepala Desa, ia terkenal dengan kemurahan
hatinya. Kepala Desa mempunyai anak tunggal, seorang perempuan yang bernama
Sinta.
“Ayah, apa hari ini ayah sibuk?”
tanya Sinta. Ayahnya tengah bersiap-siap untuk keluar dari rumah.
“Iya. Ayah akan pergi berkeliling
untuk melihat kerja bakti desa. Sinta mau ikut?”
Sinta mengangguk, lalu berpamitan
dengan ibunya. Mereka berjalan-jalan untuk melihat-lihat. Nampak warga yang
tengah sibuk kerja bakti.
“Eh, Pak Kades sama Dek Sinta,”
tutur salah satu warga. Sinta tersenyum, “Sinta boleh nolongin kan, Yah?”
“Jangan Dek Sinta. Nanti tangannya
kotor, loh,” ucap warga lagi.
Sinta menoleh ke arah ayahnya.
“Lakukanlah apa yang kamu mau, Nak. Tapi ingat, kalau capek istirahat ya.”
Sinta yang berumur sepuluh tahun,
meski masih muda, tapi semangatnya begitu membara. Ia sangat senang karena bisa
membantu warga. Begitu juga dengan Pak Kades. Ia juga ikut kerja bakti.
Setelah merasa agak lelah, Sinta pun
beristirahat. Ia berlari ke arah sungai, berniat mencuci tangan yang kotor. Selesai
membersihkan tangannya, ia duduk sebentar. Memandangi sungai yang nampak
tenang.
“Sinta ...”
Terdengar bisikan samar-samar.
“Sinta ...”
Sinta menoleh ke arah samping dan
belakang, tidak ada orang di dekatnya. Namun, suara itu tak henti memanggilnya.
“Sinta ...”
Kali ini suara itu terdengar lebih
jelas. Sinta pun berdiri, ia mencoba mengikuti alur suara. Ternyata, suara itu
berasal dari arah rumah di dekat sungai. Dengan rasa penasaran, Sinta mengikuti
suara tersebut. Ia memandangi rumah kecil itu. Walau dalam hatinya sempat ragu,
tapi ia ingin mencari tahu. Siapa tahu, itu hanya ulah iseng temannya.
Sinta membuka pintu rumah secara
perlahan. Tercium aroma debu yang pekat. Sekali-kali Sinta terbatuk. Ia menutup
hidungnya dengan sebelah tangan.
“Siapa?” tanya Sinta. Ia masih maju,
memandang sekeliling. Rumah itu hanya penuh dengan jerami, namun banyak juga
ruang kosong. Sinta mencoba melangkah, mencari tahu apakah ada seseorang yang
tinggal di sana.
“Sinta ...”
Suara itu, suara perempuan.
Terdengar seperti suara nenek-nenek. Namun, suara itu lembut sekali.
“Ya? Sinta di sini. Siapa ya?”
Sinta melangkah lagi, kali ini ada
sebuah pintu. Mungkin ini ruangan tempat orang menyimpan sesuatu.
CKLEK!
Saat Sinta membuka gagang pintu,
tiba-tiba Pak Darman berteriak, “Sinta. Di mana kamu?”
Sinta menghela napas, dan pergi ke
luar. “Sinta di sini, Pak.”
Pak Darman menghampirinya, “Kamu
ngapain ke sini. Ini kan gudang desa kita.”
Sinta hanya menggeleng. Ia tidak
ingin menceritakan hal itu kepada siapapun. “Tidak apa-apa, Pak. Cuma
lihat-lihat aja.”
“Ya sudah. Kamu pulang aja, gih. Si
Ibu nyariin kamu.”
“Baiklah, Pak. Terima kasih.”
Sinta bergegas meninggalkan rumah
itu. Pak Darman mengunci rumah lalu pergi dari sana.
***
Hari ini terasa melelahkan bagi
Sinta. Karena besok ia harus sekolah, maka hari ini ia harus tidur awal.
“Bu ... Yah, Sinta tidur dulu, ya.”
“Iya. Selamat malam ya, Sayang,”
ucap sang ibu sembari mengecup kening Sinta. Sinta berlari ke kamar. Berbaring
sebentar karena sebenarnya belum terlalu ngantuk. Ia masih penasaran siapa yang
memanggilnya itu.
Tak lama memikirkan itu, Sinta pun
larut dalam tidur. Saat tidur, ia bermimpi. Di mana seorang nenek melambai ke
arahnya. Tepatnya tempat itu berada di rumah tadi. Sinta pun mengikuti nenek
itu.
“Apa nenek sendirian?”
Nenek itu mengangguk.
“Kenapa nenek sendirian?”
Nenek mengelus rambut Sinta. Mereka sedang
duduk di kursi panjang. “Namamu Sinta, kan? Nama yang sama dengan nama nenek.”
“Ah, benarkah?” ujar Sinta.
“Ya. Alasan nenek berada di sini,
karena permintaan nenek belum terkabul.”
Sinta mengerjitkan dahi, “Apa itu,
Nek?”
Nenek itu tersenyum. “Sinta. Nenek
nggak bisa menjelaskan banyak. Nenek cuma punya ini.”
Nenek memberikan sebuah kalung
bermata biru. “Untuk apa ini, Nek?”
“Simpanlah. Jadikan dia temanmu.
Kalung ini, bisa mengabulkan satu permintaan.”
Sinta menatap kalung tersebut dengan
serius, “Benarkah?”
“Ya.”
Sinta terbangun dari mimpi, dan
duduk sebentar. Ia melihat genggaman tangan kanannya. Ternyata, kalung itu
benar-benar ada. Sinta memakai kalung itu dan merabanya perlahan. “Terima
kasih, Nek.”
***
Pak Kades tengah sibuk membaca koran,
Sinta yang sejak tadi penasaran akhirnya menghampiri ayahnya. “Ayah baca apa
sih?”
Ayahnya menggumam, “hm ... ini, ada
lomba.”
“Lomba apa?”
“Membuat gunung.”
“Haaaa!” Sinta berteriak, lalu
menggaruk kepalanya. “Maksudnya, Yah?”
“Lomba membuat gunung antar desa,
Nak.”
Sinta berpikir, ternyata ada juga
perlombaan yang seperti itu. “Jadi?”
“Ayah akan memberitahu warga tentang
ini.”
Sinta penasaran, apakah yang akan
terjadi nanti? Daripada pusing memikirkan hal itu, akhirnya Sinta memutuskan
untuk bermain dengan teman-temannya.
***
Sebenarnya, perlombaan semacam ini
bukanlah hal yang asing lagi. Karena, dulu juga ada lomba yaitu membuat bukit.
Karena warga saat itu masih terpecah beberapa kelompok. Akhirnya kelompok yang
menang memutuskan untuk membangun sebuah desa di sini. Dan, dari situlah nama
Bukit Batu menjadi nama desa yang sekarang.
“Kali ini, lombanya sungguhlah
berat.”
Membuat gunung? Tentulah akan
memakan waktu yang lama. Namun, mereka hanya diberi waktu selama setahun untuk
membuat gunung yang sempurna. Dengan berbagai upaya, Pak Kades memberikan
arahan kepada warganya.
***
3 hari lagi lomba akan segera
berakhir. Namun, Pak Kades sakit keras. Sudah satu bulan ia tidak kunjung
sembuh. Warga menjadi panik dan khawatir. Sinta dan ibunya juga turut bersedih.
“Ayah, cepat sembuh, ya.”
Ayahnya hanya tersenyum, bahkan
dalam keadaan susah pun ia masih bisa tersenyum. “Iya, Ayah janji bakalan
sembuh.”
Sinta yang tidak tahan dengan
keadaan itu akhirnya memutuskan keluar dan berjalan-jalan. Ia memperhatikan
sekeliling. Nampak gunung yang hampir mengelilingi. Mungkin, kali ini desanya
akan kalah. Mengingat gunung yang diperjuangkan warga itu, sangat rendah.
“Apa yang harus aku lakukan
sekarang?”
Sinta duduk di bawah pohon,
bersandar. Menghela napas dalam-dalam. Ia memegang kalung dari nenek.
“Hanya satu permintaan. Kenapa tidak
dua?”
Sinta berharap. Seandainya saja
kalung itu bisa mengabulkan dua permintaan, tentulah ia akan senang. Karena
dengan begitu, Sinta bisa meminta agar ayahnya sembuh dan juga desanya menang.
“3 hari lagi, perlombaan akan
berakhir. Jika ayah tidak kunjung sembuh, maka tidak ada pilihan lain.”
***
Sinta merasakan firasat buruk. Di
hari terakhir, ayahnya malah semakin parah. Ibunya sempat terus menangis,
bingung harus bagaimana. Sudah beberapa dokter yang mengobati, tapi tak juga
sembuh. Bahkan dari obat tradisional juga hasilnya sama. Tidak ada pilihan
lain, selain menggunakan kekuatan kalung biru. Walau, sebenarnya Sinta sempat
ragu. Apa benar kalung itu bisa mengabulkan permintaan?
Tapi, tak banyak
waktu untuk berpikir. Sinta memeluk erat kalung itu dengan genggamannya. Ia
menangis.
“Nenek, tolonglah aku. Satu kali ini
saja. Kabulkan keinginanku. Aku ingin ayah sembuh. Aku ingin ayah sehat, aku
ingin ayah kembali kepada kami. Aku mohon.”
Tak perlu waktu lama, tiba-tiba sang
ayah terbangun dari tidurnya. Pak Kades merebahkan diri. Warga begitu bahagia
melihat kabar itu. Sinta dan ibunya tak henti memeluk Pak Kades.
“Syukurlah, ayah sudah siuman.”
Pak Kades merasa tubuhnya begitu
ringan. Aneh sekali. Entah bagaimana bisa ia sembuh tiba-tiba. Tapi, syukurlah.
Akhirnya ia bisa sembuh.
“Ayah sudah sembuh.”
“Akhirnya, Pak Kades sudah sehat. Selamat,
Pak,” ucap warga.
“Ayah minum dulu ya.” Sinta
memberikan air mineral kepada ayahnya.
“Apa lombanya sudah berakhir?”
“...”
Semua nampak diam. Namun, Pak Kades
bisa membaca wajah mereka. “Maafkan saya,” ucapnya.
“Ah, tidak. Pak Kades tidak bersalah.
Kami lah yang ....”
“Tidak. Kalian sudah berusaha keras.
Terima kasih.”
***
Hari ini adalah penilaian lomba
tersebut. Semuanya nampak sedikit tegang, karena yakin bahwa mereka akan kalah.
“Baiklah, penilaian sudah selesai.
Terima kasih atas partisipasinya, Pak,” tutur penilai kepada Pak Kades.
“Terima kasih kembali, Pak.”
Seminggu kemudian, pengumuman pun tiba. Seperti yang diduga bahwa Desa Bukit Batu
kalah. Bahkan gunung mereka terletak di urutan yang paling bawah. Yaitu gunung
terendah. Gunung dari desa bukit batu, kalah bersaing dengan gunung jempol.
Semua warga nampak lesu dan kecewa.
Tapi, Pak Kades tetap memberikan semangat kepada mereka.
“Maafkan
aku. Seandainya saja, aku bisa menolong. Mungkin, gunung kita akan menang,”
ucap Sinta dalam hati.
“Ayah ...”
Pak Kades menoleh ke arah Sinta.
“Kenapa, Nak?”
Sinta tersenyum. “Bagaimanapun juga,
gunung ini tetaplah gunung. Meskipun hanya gunung terendah. Bukankah sebaiknya
kita memberikan nama pada gunung ini?”
Semua warga mangut-mangut, “Itu
benar, Pak. Bagaimana jika kita memberi nama untuk gunung kita ini?”
Pak Kades berpikir sejenak. “Benar
juga, ya. Kamu pintar, Sinta. Lalu, apa nama yang cocok untuk gunung kita ini?”
“Bagaimana dengan Kaba?” usul Sinta.
“Kaba? Apa itu, Sin?” tanya Pak
Darman.
“Kaba itu artinya tidak jadi. Ya,
sepertinya cocok untuk nama gunung ini?”
“Bagaimana, bapak dan ibu?” ucap Pak
Kades. Semua warga mengangguk-angguk. “Boleh juga, Pak Kades. Saya setuju!”
“Saya juga!”
“Saya setuju!”
Pak Kades tersenyum, ia mengelus
rambut Sinta. “Kamu pintar, ya.”
“Baiklah. Mulai sekarang nama gunung
kita ini Gunung Kaba.”
***
Posting Komentar untuk " "