Oleh: Dina Pertiwi
Sungguh,
Konstatinopel akan ditaklukan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan
(yang menakhlukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.
***
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah ditanya, “Kota manakah yang dibebaskan
lebih dulu, Konstatinopel atau Roma?” Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius
dibebaskan lebih dulu, yaitu Konstatinopel.”
***
Arus waktu membawaku pergi jauh dari
tempat semula. Ada begitu banyak bandara-bandara besar, kemudian pula
pelabuhan-pelabuhan yang membongkar muat barang selundupan dan arus itu terus
menekan, menarikku melewati seluruh terminal yang penuh kebisingan. Tapi aku
tidak berhenti, melainkan terus terbawa arus yang menderu-deru di telinga.
Wajahku terasa tertarik menjadi lebih
lebar dan lebih jelek. Rambutku terpangkas hingga gundul, dan seluruh kulitku
mengelupas sedikit demi sedikit, meninggalkan jejak potongannya di sepanjang
arus yang aku lalui. Aku mengecil, seiring dengan semakin jauhnya aku tertarik.
Kemudian sebuah kesadaran membuat aku
bertanya-tanya, sebenarnya siapa aku?
Bersamaan dengat kilatan dan dentingan
keras di seluruh penjuru, kesadaranku lenyap. Termakan arus waktu yang
mengganas. Mungkin, aku juga sudah lenyap tanpa pernah di lahirkan dan tanpa
menjelajahi media-media cetak atau pun daring. Atau mungkin, penulis cerita ini
sudah mati.
***
Matahari tersangkut tinggi di kaki
langit, tapi keberadaannya seperti berada tepat di atas kepalaku. Langit hari
itu bersih, tapi tidak berwarna biru cerah, melainkan biru pucat karena sudah
terkontaminasi cahaya matahari yang kuat. Awan-awan yang tersangkut di tubuhnya
seperti kapas yang terbang. Tipis dan ringan sehingga tidak dapat membantu buat
menaungi.
Angin bertiup deras, menerbangkan
pelepah-pelepah kurma kering yang berserakan di padang. Kemudian menyapu
rumah-rumah berbentuk kotak, menampar-nampar daun-daun zaitun yang menggugurkan
daun keringnya, menyelisik pucuk-pucuk pakaian perawan Romawi yang tersembunyi
di balik jendela rumah, menyapu jalanan lengang lalu terlontar jauh, jauh
meninggalkan padang pasir yang terik. Merayapi tubuh dengan membawa hawa panas
yang membakar.
Di bawah pemerintahan Konstatinus XI di
Kekaisaran Romawi, adalah seorang tua yang wajahnya bercahaya bernama Ghalip.
Ia tinggal di sudut kota dengan rumah sederhana, berbanding terbalik dengan
kebanyakan bangunan di sana. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti berapa
umurnya, tetapi juga tidak ada yang terlalu peduli. Meskipun begitu, namanya
terkenal di seantero negeri. Ghalip si Penjahit.
Dan sekarang ia, Ghalip si Penjahit,
membuka tirai rumah, kepalanya yang telah dipenuhi uban menyembul dari sana.
“Masuklah,” dia berbisik pelan kepada
pemuda yang berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu mengangguk sekilas dan masuk
ke rumah Ghalip yang kecil. Dia memandangi setiap inci rumah itu dengan mata
menyipit.
“Kau tinggal di sini?”
Pemuda itu bertanya dengan tangan
terlipat di belakang. Cuping hidungnya mengecil, seolah sedang mencium bau
busuk yang menyolok hidung. Padahal, rumah itu dipenuhi aroma manis garmen dan
potongan-potongan kain.
“Ya.”
“Tidak bisa dipercaya.”
Ghalip tersenyum mendengar sarkasme yang
keluar dari mulut pemuda itu. Ia sudah terbiasa. Menghadapi orang-orang yang
tinggal di istana memang butuh kesabaran ekstra. Lagipula, Ghalip tidak merasa
terhina dengan kalimat yang dilontarkan pemuda itu. Sebab dia tahu bahwa dia
bukan orang hina.
“Ghalip, Kaisar ingin kau menjahit
pakaiannya.”
Ghalip menangkap bungkusan yang
dilemparkan si Pemuda. Dikeluarkan secarik kertas berisi pesanan Kaisar yang
ditulis dengan detail; jenis kain, benang, bahan dan segala macam hal yang
mewah. Hati Ghalip merasa tidak enak membayangkan setiap kemewahan yang ditulis
di atas kertas itu.
“Pakaian ini akan dipakai bulan Nisan
oleh Kaisar. Tidak boleh terlambat! Kabilah dari Syam akan datang bulan depan,
dan ini uang mukanya,” pemuda itu melempar kantong uang berwarna merah darah
dan bersimbol bulan sabit di depannya. Ghalip mengintip isinya.
“Sisanya, boleh kau buat untuk makanmu
sehari-hari,” pemuda itu melangkah dengan congkak menuju pintu rumah yang hanya
dibatasi tirai, “Kau mesti ingat, Ghalip, bulan Nisan.”
Kemudian, pemuda itu menghilang di balik
tirai. Meninggalkan Ghalip sendirian menatap daftar yang akan ia pakai buat
menjahit pakaian Kaisar.
***
Adalah Ghalip si Penjahit yang sekarang
sibuk berputar-putar di pasar, siang ini.
“Kau lebih baik tetap membeli di sana,
Pak Tua,” ucapku yang sudah pusing melihatnya melalui jalan ini berulang kali. Ia
hanya melihatku sebentar, kemudian mengeluarkan uang pecahan kecil dan
memberikannya padaku.
“Aku bukan pengemis. Aku hanya tidak
suka melihatmu berjalan bolak-balik dari satu toko ke toko yang lain,” aku
mengembalikan uang itu kepadanya, “Toko yang tadi kau datangi sudah memberikan
harga paling murah dengan bahan terbaik. Nanti kau akan mencari ke toko sana
dan situ. Kau akan bertanya ke pedagang satu dan dua. Lalu, kau akan menemukan
bahwa apa yang aku ucapkan ini benar. Beli saja di sana sebelum kau
menghabiskan energi tuamu itu.”
Tapi, Ghalip hanya memandang seolah aku
orang yang kurang waras. Wajahnya yang bercahaya tersenyum, ia tidak mengambil
uang yang aku sodorkan dan malah mengucapkan terima kasih secara singkat. Dia
tidak menganggap aku serius.
Jadi, aku melihat ia berjalan
bolak-balik beberapa kali lagi, sampai kurasai kakiku ikut pegal hanya dengan
melihatnya saja. Matahari hari ini masih sama tidak bersahabatnya, tapi alunan
nada yang dihasilkan langkah kaki di arena jual beli ini, diiringi dengan
angin-angin lembut yang bertiup memeluk badan membuat aku betah duduk di sudut
pasar.
Ghalip lewat sekali lagi. Wajah tuanya
tampak lelah, meski pun cahaya pada wajahnya tidak pudar. Ikal rambut putihnya
jatuh ke kening, membuat wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Bukan berarti
aku tahu berapa usia Ghalip. Aku hanya tahu.
“Hai, Anak Muda! Bagaimana kau bisa
menebaknya?”
Ghalip sudah terduduk di depanku,
jinjingannya sudah bertambah.
“Aku berkeliling terus seperti yang kau
katakan. Beritahu aku bagaimana kau menebaknya? Kau penjahit juga?”
“Bukan.”
“Kau ahli nujum? Tukang-tukang ramal?”
“Tidak.”
“Jadi bagaimana kau tahu?”
“Aku hanya
tahu, Pak Tua,” jawabku, “Sama seperti aku hanya tahu kau bernama Ghalip si
Penjahit yang sedang mengerjakan pesanan Kaisar terakhir dinasti ini. Atau kau
yang setelah ini akan membeli bahan makanan atau sebetulnya para pedagang itu
menipumu, sedang kau tidak sabar menunggu kafilah dari Syam yang jujur. Aku hanya tahu. Begitu saja.”
“Coba ulangi yang kau katakan tadi.”
“Apa?”
“Yang sedang mengerjakan pesanan Kaisar
terakhir dinasti ini? Apa maksudmu, Anak Muda?”
“Ya itu tadi sudah mengandung maksudku
sebenarnya,” jawabku.
Wajah Ghalip mendadak berubah menjadi
datar. Dia melirik dan ke kanan, kemudian menarik tanganku untuk pergi menjauhi
pasar. Dari belakang, kurasa Ghalip tidak setua itu. Rambutnya memang telah
memutih, tapi punggungnya masih tegap dan tegak. Langkah kakinya lebar dan
pasti.
Namun, baik dari depan maupun belakang,
aku tetap tidak mampu menebak isi kepalanya. Meskipun aku tahu segala macam
informasi tentang dirinya, aku tetap tidak dapat melihat jalan pikirannya.
Mungkin aku tidak diizinkan, atau bisa saja memang harus seperti ini supaya
ceritanya tidak terlalu aneh.
Raut muka Ghalip yang ramah menyiratkan
pesan bahwa dia manusia baik. Dia manusia yang memanusiakan manusia. Ghalip si
Penjahit, Pak Tua itu, tidak sekalipun menyentuh budak-budak perempuan yang
berjejal di pasar. Dia tidak mengintip penuh penasaran pada tirai-tirai rumah yang
tersibak angin. Ghalip, sekali pun miskin, dia memiliki jiwa terhormat.
Ghalip menyuruhku memasuki rumahnya
dengan isyarat, kemudian mengikati pinggir-pinggirnya ke dinding. Disumpalnya
tiap lobang dengan kain sisa, seakan-akan dia ini tidak mau ada angin yang
masuk. Ia lempar buntalan berisi kain ke sudut ruang begitu saja dan menarikku
ke sisi sudut yang lain.
“Kabarkan padaku,” bisiknya dengan suara
yang amat pelan. Nadanya mendesak.
“Kabarkan padaku apa yang engkau ketahui
dari negeri di luar.”
“Apa yang ingin kau ketahui?”
“Benarkah ia Kaisar terakhir?”
“Ya.”
“Bagaimana kau tahu?” matanya menyipit
curiga, “Kau pasti tukang sihir dari yang lari dari Mesir. Siapa kau
sebenarnya?”
Siapa aku? Nah, itu pertanyaannya.
Pertanyaan aku juga. Siapa aku? Aku sendiri tidak tahu. Aku ini cuma seorang
anak kecil, tanpa punya nama, kebangsaan, negara dan sekalian juga aku tidak
punya identitas. Yang kutahu hanya aku berada di sini buat menyelesaikan sebuah
kisah. Aku ini tokoh yang diletakkan begitu saja di pusat dunia ini oleh
seseorang yang menyebut dirinya penulis.
“Demi Tuhan yang menguasai seluruh alam,
aku bukan tukang sihir. Kenapa kau berburuk sangka? Bukankah Tuhan dan Rasulmu
telah melarang kau buat berburuk sangka?”
Ghalip memucat.
“Katakan padaku, kabarkan. Dari mana kau
tahu semua itu? Bahkan kau tahu agama yang kutukar diam-diam kala aku berguru
pada pedagang Syam?”
“Pertama-tama, tentang kabar keruntuhan
dinasti ini. Bukannya sudah ada kabar dari ratusan tahun lalu? Para Sahabiyah,
Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in telah mengabarkannya dari dulu?”
Sungguh,
Konstatinopel akan ditaklukan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan
(yang menakhlukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.
Ghalip bertakbir pelan. Puji-pujian ia
panjatkan ke pangkuan-Nya dengan cepat. Sudut matanya meleleh dan dia tertawa.
Kemudian, dia mengambil uang yang akan ia gunakan buat membeli pakaian dan
berlari keluar.
Ia tebus setiap budak yang ia temui. Ia
beri makan orang duafa di sudut kota.
“Apa yang kau perbuat, wahai Pak Tua
Ghalip?” tanyaku saat ia menyodorkan sekantung koin untukku.
Dengan wajah berseri, dia menjawab, “Aku
tengah merayakan kemenangan yang telah dijanjikan, Saudaraku. Aku telah
merindui mereka yang akan mendirikan rumah ibadah buatku. Mengajariku membaca
Al-Huda, Al-Furqan. Ini adalah perayaan besar buat kemenangan besar.”
Aku tersenyum, dan ketika akan menerima
sekantong koin, aku kembali tersedot oleh arus keras yang sama dengan yang
mengantarkan aku ke sini.
***
Perempuan itu melihatku dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Mulutnya mengerucut dan matanya tajam dengan tatapan
tidak puas. Dia menelitiku sekali lagi, seakan-akan menelanjangiku dengan
matanya
“Cukup menarik. Kau tidak buruk.”
Dia kembali mengamati gawai dengan
seksama, tanpa peduli padaku yang ada di hadapannya.
“Ada yang mau kau tanyakan?”
“Ya,” sambarku langsung, “Bagaimana
keadaan Ghalip lepas perayaannya?”
“Siapa peduli? Aku tidak memikirkannya.
Kau pun jangan memikirkannya, masih banyak tugas buatmu. Nanti kau mati capek.”
“Kalau begitu, pikirkan Ghalip sekarang
juga buat aku. Kau kan bisa mengabarkannya padaku?”
Dia tertawa. Perempuan itu tertawa
ringan, tapi melecehkan. Matanya memandangku sekali lagi, tapi tak mengatakan
apa-apa. Sudut pipinya tertarik ke atas. Dia mengantongi gawai dan berdiri.
Sekali lagi, dia tertawa lalu keluar dari ruang kerjanya. Meninggalkan aku yang
termangu-mangu sedih ketika tahu nasib Ghalip.
Tak kusangka, aku lahir dari penulis
sekejam perempuan itu.
Posting Komentar untuk "Awan-Awan di Langit Konstatinopel"