BALADA PENGEMIS
TUA DI KOTA TUA
Pengemis tua itu terlihat duduk
termenung di pinggir Kali Berok. Beberapa orang yang lewat merasa iba dan
memberikan uang receh ke dalam batok kelapa di dekatnya. Ia terdiam seakan-akan
memikirkan sesuatu kemudian keluar bulir-bulir air mata di pipinya. Seketika
air mata dihapusnya dan berjalan kembali menyusuri jalan di pinggir kota lama.
Ketika melewati di depan Gereja Blenduk seketika pengemis tua itu berhenti dan
bulir-bulir air matanya keluar kembali. Lirih pengemis tua itu berkata, “Ah,
seandainya.......”. Dan seketika bulir-bulir air mata berjatuhan kembali di
pipinya.
Sepulang sekolah Deni mampir membeli
koyor di warung yang berada di dalam gang depan Gereja Blenduk. Warung itu
tidak terlihat dari jalan raya. Deni senang sekali membeli koyor di warung
kecil itu. Dulu ketika ayahnya masih belum sesibuk sekarang ini sering diajak
makan di warung itu terutama setelah ayahnya menerima gaji. Deni dijemput di
sekolahnya, sebuah sekolah menengah pertama yang terfavorit di Kota Semarang
kemudian diajak makan koyor di warung tersebut. “Deni, ayo ikut ayah makan di
Kota Tua!” kata ayahnya saat itu. Tentu saja Deni sangat senang. Sepiring nasi,
semangkuk koyor dan segelas es teh seketika habis dilahapnya. Kenangan itu akan
selalu diingat seumur hidupnya. Sayang sekarang ayah sering pergi ke luar kota
untuk mengurusi bisnisnya. Tapi Deni bersyukur bahwa kehidupan keluarganya
turut membaik meskipun ayah lebih sibuk dan banyak kehilangan momen
kebersamaan.
Saat Deni keluar dari gang, ia diam
sejenak memandang ke Gereja Blenduk. Dari kecil Deni sangat mengagumi keindahan
Gereja yang dibangun dengan arsitektur Eropa. Semasa kecil Deni pernah memasuki
Gereja Blenduk saat mengantar neneknya beribadah. Deni ingat betul keindahan di
dalam Gereja Blenduk. Saat itu nenek menjelaskan tentang sejarah bangunan yang
ada di Kota Tua. Sesaat ia melihat di sekeliling kawasan Kota Lama. Sebagian
besar bangunan di kawasan ini masih dipertahankan keasliannya sehingga
seakan-akan terasa berada di abad 18.
Tiba-tiba mata Deni tertuju kepada
seorang pengemis tua yang sedang bersandar di dinding Gereja Blenduk. Deni
tidak tahu mengapa matanya tertarik memperhatikan pengemis tua itu. Awalnya
Deni mengira bahwa pengemis tua tersebut tengah beristirahat melepas lelah atau
mengharap orang-orang yang keluar dari gereja memberi uang kepadanya. Tetapi
Deni melihat pengemis itu tengah mengusap pipi kempotnya. Deni juga melihat air
mata dari pengemis tua itu. Namun Deni hanya membiarkan dan beranjak pulang ke
rumah dengan membawa koyor titipan bundanya. “Ah, bunda pasti sudah tidak sabar
menunggu koyor ini untuk lauk makan siang.” batin Deni.
Di hari Minggu pagi yang cerah Deni
bersepeda ramai-ramai bersama teman-temannya. Mereka bersepeda mengitari
kawasan Simpang Lima yang menjadi pusat Kota Semarang. Simpang Lima selalu
ramai di Minggu pagi. Kebanyakan mereka ingin berolahraga dan refreshing
melepas penat setelah seminggu dengan kesibukan masing-masing. Orang tua, anak
kecil dan muda-mudi yang sedang memadu kasih tumpah ruah jalan-jalan di pusat
Kota Semarang itu. Penjual menawarkan berbagai macam dagangan dengan suara yang
riuh rendah. Jika perut terasa lapar, dapat memilih kuliner yang disukainya. Ada
kuliner wajib yang disukai oleh Deni jika berolahraga pagi di Simpang Lima.
Bubur ayam gurih langganan keluarga yang dijual oleh Si Tacik cantik. Deni
mengajak teman-temannya untuk makan bubur ayam langganannya. “Kita makan bubur
ayam langganan keluargaku yuk. Dijamin enak bingit! Pasti nanti ketagihan!”
Teman-temannya menyetujui usul Deni.
“Biasa tante, semangkuk bubur ayam
dengan dua telur coklat dan teh botol dingin!” kata Deni. “Kalian mau pesan
apa? Bilang sendiri sama Tante ya!” kata Deni kepada teman-temannya. Dan Si
Tacik cantik meramu bubur ayam pesanan Deni dan teman-temannya dengan cekatan. “Bagaimana
kabar mamamu, Den?” tanya Si Tacik cantik. “Baik tante.” jawab Deni. “Ini sate
usus kesukaanmu.” kata Tacik. “Terima kasih tante.” Si Tacik cantik mengerti
betul kesukaan Deni karena keluarga Deni telah menjadi langganan tetapnya jika
kuliner ke Simpang Lima saat Deni masih di dalam perut mamanya. Deni memakan
bubur ayam kesukaannya dengan sangat lahap. “Enak sekali Tante.” Deni memuji
masakan bubur ayam langganannya yang benar-benar lezat.
“Mamamu nggak kamu belikan Den?” tanya
Si Tacik cantik. “Tentu saja Tante, bungkuskan satu untuk mama dan satu lagi
untuk adik.” jawab Deni. “Telurnya 3 biji dipisah ya Tante.” tambah Deni. “Ayahmu
nggak dibungkuskan sekalian?” tanya Tacik. “Ayah masih di Jakarta, Tante.
Minggu depan baru pulang” jawab Deni. “Wah, tambah sibuk aja ayahmu sekarang
Den.” sahut Tacik. Si Tacik Cantik membungkus pesanan Deni dan Deni segera
membayar bubur yang dimakan dan dibungkus. Teman-teman Deni pun membayar satu
per satu bubur ayam yang dimakannya. “Terima kasih ya, Tante.” kata Deni. “Iya,
sama-sama. Salam buat mamamu ya Den!” kata Si Tacik Cantik. “Ok Tante!” Deni
melanjutkan acara bersepedanya. “Kita mau kemana lagi nih?” tanya Deni kepada
teman-temannya. “Kita ke kawasan Kota Lama yuk!” Salah satu teman Deni
mengusulkan. “OK!” Deni dan teman-teman lainnya menyahut.
Deni dan teman-temannya bersepeda dengan
riang penuh canda tawa. Mereka bersepeda dengan santai sambil mengobrol dan
bercanda. Sebenarnya cukup jauh juga jarak yang harus ditempuh dari Simpang
Lima ke kawasan Kota Lama. Namun mereka memang telah berniat ingin bersepeda
ria mengelilingi Kota Semarang. Kebetulan salah satu teman Deni memimpin
kegiatan mading di sekolahnya dan ingin menulis tentang sejarah Kota Lama. Ia
ingin memotret bangunan-bangunan tua yang ada di sana untuk mempercantik
madingnya.
Tidak
lama kemudian Deni dan teman-temannya sampai di kawasan Kota Lama. Teman Deni
yang menjadi pimpinan mading di sekolahnya segera beraksi dengan memotret
beberapa bangunan tua yang dianggapnya menarik. Sedangkan Deni dan teman-teman
lainnya hanya duduk di pingir jalan sambil becanda. Tiba-tiba mata Deni tertuju
pada pengemis tua yang tiba-tiba lewat di depannya. Deni mencoba mengingat-ingat
siapa pengemis tua itu karena Deni merasa pernah mengenal wajahnya. Sangat lama
Deni mengingat wajah pengemis tua itu. “Hei! Kenapa kamu bengong, Den?” tanya
salah satu temannya. “Ah, enggak. Rasa-rasanya aku pernah melihat pengemis tua
itu deh. Wajahnya tidak asing bagiku. Tapi dimana ya? Aku mencoba
mengingatnya.” kata Deni. Tidak beberapa lama Deni sudah larut dalam canda tawa
dengan teman-temannya.
“Hei Agus, sudah selesai belum foto-fotonya?
Foto kita juga dong!” kata salah satu teman Deni. “Sebentar lagi, aku harus
dapat angle yang bagus untuk mading kita!” kata Agus. “Ayo deh, aku foto-foto
kalian dulu. Nanti lanjut lagi foto bangunan tua bersejarah ini.” sambung Agus.
Deni, Agus dan teman-teman lainnya berfoto dengan gaya-gaya ceria khas anak
muda. “Nah, sekarang tunggu sebentar ya. Aku lanjutkan memotret untuk mading.”
kata Agus. “Ok deh, tapi jangan lama-lama ya. Cuaca sudah mulai panas nih!” kata
salah satu teman Deni. “Oke” sahut Agus. Sang pemimpin mading sekolah kembali
tenggelam dalam potret-memotret.
“Oke, sudah finish nih! Ayo kita
pulang!” kata Agus. Ia telah memperoleh beberapa foto bangunan di Kota Tua dari
beberapa angle. Ia sangat puas dengan perburuan fotonya kali ini. “Nanti foto
ini tinggal dicetak dan besok akan kubawa ke sekolah untuk didiskusikan dengan
tim mading.” batin Agus. Deni, Agus dan teman-teman lainnya bergegas pulang
karena sinar matahari sudah mulai naik dan cuaca bertambah panas. Olahraga
sepeda di hari Minggu pagi ini cukup melelahkan tetapi ada hasil yang dapat
dibawa untuk kegiatan mading sekolah.
Deni menyandarkan sepedanya di dinding
rumah dan segera masuk ke dalam untuk memberi kejutan kepada bundanya. “Bun,
ini Deni bawakan bubur ayam kesukaan Bunda.” Deni menyerahkan 2 bungkus bubur
ayam kepada Bunda. “Wah, asyik ni.....tau aja kesukaan Bunda.” kata Bunda
kegirangan. “Ayo dik, kita makan bubur ayam!” ajak Bunda kepada Dini, adik
Deni. Bunda dan Dini makan bubur ayam dengan lahap.
“Bun, tadi Deni ada peristiwa aneh deh.”
cerita Deni kepada Bundanya. “Peristiwa aneh apa itu Den? Kamu sukanya lebay
deh!” celetuk Bunda. “Ihhh...beneran deh bun. Hari ini entah kenapa Deni
tertarik dengan seorang pengemis yang tadi bertemu waktu Deni nongkrong di Kota
Tua. Kayaknya Deni pernah lihat deh, nggak asing gitu. Tapi Deni ingat-ingat
kok ya nggak ingat.” Deni nerocos bercerita. “Ah, pengemis di kota ini khan
banyak Den. Paling juga kamu ketemu orang yang mirip dengan pengemis itu.” kata
Bunda. “Udah, nggak usah terlalu dipikir!” tambah Bunda lagi. Tapi Deni masih
penasaran dengan keberadaan pengemis tua yang ditemuinya di Kota Tua tadi pagi.
Esok harinya Deni bersiap-siap berangkat
ke sekolah. Deni harus berangkat pagi-pagi karena harus mengikuti upacara
bendera di hari Senin. “Bunda, Deni pamit berangkat sekolah dulu ya!” kata
Deni. “Sudah habis sarapannya, Den?” sahut Bunda dari dapur. “Sudah habis,
Bun.” kata Deni. Deni pergi ke dapur untuk menemui Bunda dan salam tangan
meminta restu dari Bunda. “Ini uang saku untuk hari ini ya, Den.” kata Bunda.
“Terima kasih Bunda. Deni berangkat sekolah dulu ya!” Deni bergegas berjalan
menyusuri gang agar segera memperoleh mobil angkutan umum yang akan membawanya
ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, Deni segera
menuju ke ruang kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Kemudian bersiap-siap
untuk melaksanakan upacara bendera. Ingatan Deni masih melayang ke pengemis tua
itu dan rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Di saat jam pelajaran pun wajah
pengemis tua itu masih melekat di pelupuk matanya. “Ada apa dengan pengemis tua
itu? Mengapa wajahnya serasa tidak asing? Siapa sebenarnya pengemis itu? Apakah
aku pernah bertemu dengannya sebelum Minggu pagi itu?” Batin Deni berkecamuk
dan banyak pertanyaan yang ingin segera ia dapatkan jawabannya.
Saat istirahat, Deni melihat-lihat
majalah dinding sekolahnya. Ada banyak artikel yang menarik disana. Agus
sebagai pimpinan mading sekolah memang sangat kreatif menyusun tulisan dan
artikel menjadi mading yang menarik. Ternyata Deni sudah memajang hasil
pemotretannya di hari Minggu pagi kemarin saat mereka bersepeda di Kota Tua. “Pintar
juga Agus mencari angle yang bagus untuk foto. Hasilnya sangat bagus.” batin
Deni senang. Selain suka dunia tulis menulis, Agus juga menyukai dunia
fotografi. Agus banyak belajar tentang menulis dan fotografi melalui
teman-teman di dunia mayanya. Agus sering mengirimkan hasil karya tulis dan
fotografinya ke majalah-majalah dan koran. Bahkan Agus telah dapat memperoleh
hasil dari hobbynya. Deni sangat salut kepada temannya yang satu ini. Yang
awalnya hanya hobby dapat menjadi sumber penghasilan untuknya.
Deni asyik melihat foto-foto hasil
jepretan Agus. Di bagian bawah foto disertai dengan keterangan bangunan dan
sedikit cerita sejarahnya. Dan dibawah artikel terdapat paraf Agus yang
menandakan bahwa artike tentang Kota Tua Semarang tersebut merupakan hasil
karya Agus. Ketika Deni melihat foto Gereja Blenduk, hati Deni sangat riang.
“Wah, ada foto Gereja Blenduk juga!” Namun tiba-tiba mata Deni tertumbuk pada
sebuah sosok yang menjadi rasa penasaran sejak Minggu pagi kemarin. Yah, sosok
pengemis tua itu! Pengemis tua itu terlihat bersandar di dinding Gereja
Blenduk. Dan ingatan Deni segera melayang di kejadian beberapa hari sebelumnya.
Yah! Deni sudah ingat sekarang. Pengemis tua itu pernah ia lihat saat membeli
koyor di warung kawasan Kota Tua. Deni juga masih ingat saat pengemis tua itu
mengusap bulir-bulir air mata yang mengalir di matanya. Deni sudah ingat
sekarang! Krriiiiiiiing........ Bel tanda masuk telah berbunyi. Dan Deni masuk
kembali ke kelasnya untuk melanjutkan pelajaran berikutnya.
Pengemis tua di kawasan Kota Tua
Semarang itu sebenarnya sama saja dengan pengemis-pengemis lainnya di penjuru
kota ini. Namun tingkah laku pengemis tua itulah yang membuat rasa penasaran
Deni menjadi menggebu-gebu. Mengapa pengemis tua itu menyandarkan punggungnya
di dinding Gereja Blenduk dan menangis? Apakah ia memiliki suatu kenangan masa
lalu di tempat itu dan mengingatnya sehingga ia menangis? Ah, penasaran Deni
sekarang berubah. Pada awalnya penasaran mengingat wajahnya. Sekarang Deni
menjadi lebih penasaran lagi dengan kejadian yang mungkin menimpa pengemis tua
itu di masa lalu. Siang ini sepulang sekolah Deni akan ke kawasan Kota Tua
untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh si pengemis tua. Apakah Deni akan
bertemu dengannya siang ini?
Sepulang sekolah Deni benar-benar ke
kawasan Kota Lama dengan membawa rasa penasarannya. Setelah sampai di depan
Gereja Blenduk, ia melihat ke sekelilingnya. Deni mencari-cari sosok orang yang
telah membuatnya penasaran. Tapi sayang, Deni tidak menemukan sosok tersebut.
Deni menunggu hingga 2 jam di tempat itu. Namun tampaknya sosok itu tidak akan
ditemui Deni di siang ini. Deni merasa lapar dan segera ingin pulang ke rumah
untuk makan siang. “Pasti Bunda telah memasak makanan yang lezat.” batin Deni
riang. Deni pulang ke rumah dengan setumpuk rasa penasaran yang masih melekat
di hatinya. “Kapan-kapan aku akan kesini lagi dan semoga dapat bertemu dengan
sosok pengemis tua itu.” tekad Deni.
Di rumah, Bunda sangat cemas menanti
Deni yang tidak kunjung pulang. Tidak biasanya Deni pulang terlambat. Jika ada
kegiatan di sekolah atau ada keperluan lain Deni pasti akan pamit kepada
Bundanya. Tetapi pagi tadi Deni tidak mengatakan akan ada kegiatan setelah
pulang sekolah. Padahal Bunda telah memasakkan makanan kesukaan Deni, rendang
jengkol! “Bunda, Mas Deni belum pulang?” tanya Dini. “Belum. Tumben nih masmu
pulang terlambat.” jawab Bunda. “Bunda, lihat-lihat foto yuk! Kita lihat
foto-foto waktu Dini masih bayi.” ajak Dini. Bunda menyetujuinya. “Ayo! Foto
Dini kecil yang imut-imut bikin gemes.” Dini segera mengambil album foto lama
yang tertata rapi di lemari buku.
Satu persatu lembaran foto dilihat oleh
Dini dan Bunda. Terkadang Dini tertawa-tawa melihat tingkah polah lucunya di
foto itu. “Wah, ternyata Dini gendut ya Bunda sewaktu bayi.” kata Dini. “Iya,
gendut dan putih. Bikin gemes semua orang tau!” kata Bunda. “Ini ayah ya Bunda.
Ayah ganteng ya....” kata Dini. “Iya dong! Ayahnya siapa dulu....” sahut Bunda.
Tiba-tiba Dini tertarik dengan salah satu foto yang agak usang. Di foto itu terlihat
beberapa muda-mudi berseragam putih abu-abu di depan bangunan sekolah. “Ini
foto apa, Bunda?” tanya Dini. “Oh, ini foto Bunda dengan teman-teman Bunda saat
SMA. Tuh lihat, ada Bunda di foto itu. Hayo tebak, Bunda yang mana?” jawab
Bunda. “Pasti yang cantik ini khan!” tebak Dini. “Yap, betul!” Bunda
membenarkan. Di masa mudanya Bunda memang sangat cantik. Tidak heran banyak
pemuda yang suka dan naksir padanya. “Ini yang disebelah Bunda ayah ya?” tanya
Dini. “Iya....kok Dini tahu?” tanya Bunda. “Tahu dong Bunda. Ayah Dini khan
orang paling ganteng sedunia.....hahaha....” jawab Dini. Bunda jadi gemas
melihat tawa Dini dan dengan serta merta menyubit pipi Dini yang tembem. Bunda
dan ayah Deni adalah teman semasa SMA. Mereka telah memadu kasih sejak duduk di
sekolah menengah. Namun perjalanan cinta mereka tidak serta-merta berjalan
dengan mulus. Banyak lika-liku perjalanan cinta mereka yang harus
diperjuangkan.
“Bunda, Deni pulang!” teriak Deni sambil
masuk ke dalam rumah. “Wah! Baru pada ngapain nih? Asyik sekali!” tanya Deni.
Deni salim kepada Bunda. ”Darimana saja kamu Deni? Jam segini baru pulang?
Makan dulu sana. Bunda sudah masak makanan kesukaanmu tuh!” tanya Bunda. “Deni
habis dari Kota Tua tadi, Bun. Deni penasaran dengan sosok pengemis tua yang
kemarin Deni ceritakan ke Bunda.” cerita Deni. “Walah Den. Kamu itu lho.
Ngapain coba, penasaran kok sama pengemis.” Bunda heran dengan kelakuan Deni.
“Deni juga nggak tau Bunda, ada rasa penasaran yang teramat dalam dengan sosok
itu. Perasaan wajahnya nggak asing gitu, Bun.”
“Mas Deni, lihat deh. Ini foto bunda dan
ayah waktu SMA. Masih cantik dan ganteng ya, Mas!” kata Dini. “Iya dong...ayah
bundanya Mas Deni....” kata Deni menggoda adiknya. “Ihh...Mas Deni! Khan ayah
bundanya Dini juga!” sahut Dini. Deni melihat foto yang ditunjukkan oleh Dini.
Beberapa kali Deni telah melihat foto tersebut saat Bunda bercerita tentang
kenangan masa kecil mereka. Tiba-tiba Deni berteriak, “Bunda, lihat!” Bunda
yang sedang melihat foto-foto sangat terkejut mendengar Deni berteriak. “Apa
sih, Den. Bikin kaget aja!” kata Bunda. “Ini lho, Bun. Foto ini! Ini foto
semasa Bunda dan Ayah SMA khan? Ini siapa Bun?” tanya Deni sambil menunjuk
sesosok pemuda yang ada di foto itu. “Oh, itu...Itu khan teman sekelas Bunda.
Namanya Feri.” jelas Bunda. “Memangnya kenapa dengan Feri?” tanya Bunda heran.
“Wajah pengemis tua itu mirip dengan foto Feri teman Bunda ini. Jadi Deni
merasa nggak asing dengan wajah pengemis itu, Bun.” Deni menjelaskan dengan
berapi-api. “Ah, kamu ada-ada aja sih Den. Teman Bunda kok disamakan dengan
pengemis” Bunda menyahut. “Paling juga hanya mirip wajahnya, Den. Feri anak
orang kaya kok Den. Nggak mungkin kalau menjadi pengemis. Sudah sana makan
dulu!” tambah Bunda.
Deni masih memandangi foto usang
kenangan semasa ayah dan bundanya bersekolah. Deni yakin sekali, wajah teman
Bunda yang bernama Feri ini mirip banget dengan wajah pengemis tua itu. Hanya
saja gurat-gurat ketuaan telah menutupi ketampanan wajahnya. Wajah itu....ya,
wajah itu.....bertambah melekat di pelupuk mata Deni. Deni berjanji kepada
dirinya sendiri untuk mengetahui siapa sebenarnya pengemis tua itu. Ia memang
seorang pengemis namun ia tidak selusuh pengemis lainnya. Sisa-sisa
ketampanannya masih tersisa yang selalu ditutupi dengan topi lebarnya.
Esok harinya, sepulang sekolah Deni
kembali di kawasan Kota Tua. Deni mencoba mencari-cari sosok pengemis tua yang
membuat dirinya penasaran selama beberapa hari ini. Namun Deni tidak menemukan
sosoknya. Selama beberapa hari Deni nongkrong ke kawasan Kota Tua tetapi sosok
pengemis tua itu tidak pernah terlihat bagaikan tertelan bumi. Di hari Minggu
pagi Deni kembali ke Kota Tua dan bertanya kepada orang-orang di sekitar
tentang pengemis tua yang biasa berada di kawasan itu. Pemilik warung minuman
bercerita kepada Deni tentang pengemis tua yang sering berada di kawasan Kota
Tua ini. “Saat awal dia datang di kawasan ini beberapa tahun yang lalu tidak
terlihat seperti peminta-minta. Dia hanya berlalu-lalang di sekitar kawasan
Kota Tua ini. Duduk termenung di pinggir jalan. Tetapi dia sering sekali
berdiri mematung di depan Gereja Blenduk. Lama-kelamaan dia seperti menangis
sesenggukan. Entah apa yang dipikirkannya.” Pemilik warung minuman itu mulai
bercerita.
“Hampir setiap 9 pagi hingga siang dia
berdiri di depan Gereja Blenduk. Seperti menunggu seseorang yang diyakininya
akan datang.” tambah pemilik warung itu. “Sejak kapan pengemis itu berada di
kawasan ini, bu?” tanya Deni. “Mungkin sekitar 5 atau 7 tahun yang lalu.” jawab
ibu pemilik warung. “Apa tidak ada keluarganya, Bu? Ibu tau dia tinggal
dimana?” tanya Deni. “Tidak tau, Nak. Ibu hanya sering melihatnya berada di
daerah sini dan berdiri berjam-jam di depan Gereja Blenduk.” jawab ibu pemilik
warung. “Baik, Bu. Terima kasih banyak atas ceritanya.” kata Deni. “Tunggu,
Nak. Memangnya ada hubungan apa dengan pengemis tua itu? Apa ada hubungan
keluarga?” tanya ibu pemilik warung. “Tidak, Bu. Saya hanya penasaran dengannya.
Saya juga pernah melihat pengemis tua itu berdiri bersandar di dinding Gereja
Blenduk dan mengusap-usap pipinya. Sepertinya dia habis menangis.” jawab Deni.
“Benar, Nak. Dia sering terlihat menangis di depan gereja. Entah apa yang
dipikirkannya.” imbuh ibu pemilik warung.
Deni berusaha mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang sosok pengemis tua yang membuatnya penasaran. Kali
ini Deni mencoba bertanya kepada penjual asongan yang kebetulan lewat di
depannya. Deni membeli minuman yang ditawarkannya kemudian mengajak mengobrol
dan bertanya tentang si pengemis tua. “Pak, apakah Bapak tahu tentang pengemis
tua yang ada di kawasan ini?” tanya Deni. “Pengemis tua yang mana, Nak? Oh,
pengemis tua yang biasa berdiri di depan gereja?” tebak bapak penjual asongan.
“Iya betul, Pak!” Deni berteriak kegirangan. “Oh...orang itu. Memang ada apa
dengannya, Nak?” tanya bapak penjual asongan. “Tidak ada apa-apa, Pak. Saya
hanya penasaran dengannya. Saya pernah melihatnya berdiri di depan gereja dan
mengusap pipinya. Sepertinya dia habis menangis.” Deni mencoba menjelaskan rasa
penasarannya kepada bapak penjual asongan.
“Iya, Nak. Dia memang selalu berdiri di
depan gereja dan menangis sesenggukan.” kata bapak penjual asongan. “Apa yang
terjadi dengan pengemis itu, Pak? Apakah tidak ada orang yang tahu asal-usul
atau apapun tentang pengemis itu?” tanya Deni. “Setahu Bapak, pengemis itu
dulunya seorang anak dari pengusaha kaya. Karena usahanya bangkrut, keluarganya
menjadi hidup dalam kemiskinan.” cerita bapak penjual asongan. “Hah! Apakah ada
hubungannya antara pengemis itu dengan teman Bunda yang dilihatnya di foto
teman-teman SMA Bunda?” batin Deni. “Rumah pengemis itu dimana, Pak?” tanya
Deni. “Kalau itu Bapak tidak tahu, Nak.” jawab bapak penjual asongan. “Tapi
beberapa hari ini saya tidak melihat pengemis tua itu disini. Kira-kira apa
yang terjadi dengannya, Pak?” tanya Deni. “Beberapa hari yang lalu Bapak
melihat pengemis itu berbicara dengan seseorang dan sejak hari itu Bapak tidak
pernah melihatnya lagi.” kata si bapak penjual asongan. “Tapi lihat itu!
Sepertinya pengemis itu datang lagi kesini!” kata bapak penjual asongan sambil
menunjuk ke arah Gereja Blenduk. “Benar, Pak. Itu pengemis yang saya lihat
kemarin dan membuat saya penasaran.” kata Deni. “Terima kasih banyak ceritanya
ya, Pak. Saya ingin mendekati pengemis itu.” imbuh Deni. “Ya, Nak. Hati-hati.
Tidak perlu dipaksakan kalau pengemis itu tidak mau didekati atau ditanya-tanya
tentang kehidupannya.” kata bapak penjual asongan.
Dengan sangat antusias tetapi tetap
berhati-hati, Deni menghampiri pengemis tua yang membuatnya penasaran. Deni
mengamati pengemis tua itu sedang berdiri di dekat dinding gereja. Perlahan
Deni mendekati sosok pengemis tua yang membuatnya penasaran selama beberapa
hari ini. Namun tiba-tiba langkah Deni terhenti. Deni melihat pengemis tua itu
menggenggam sesuatu di tangannya. Deni mengamati sesuatu yang digenggam oleh
pengemis itu di tangan kanannya. Ternyata, Deni melihat bahwa tangan pengemis
tua itu menggenggam sebuah foto kecil yang dibingkai dengan rapi dan bersih.
Deni berpikir, mungkin foto itu adalah foto anaknya, istrinya atau keluarganya.
Sebenarnya Deni tidak ingin mengusik pengemis
tua yang sedang tenggelam dalam pikirannya. Namun rasa penasaran Deni akan
sosok pengemis tua itu semakin menjadi-jadi. Apalagi setelah mengetahui foto
yang digenggam di tangan pengemis tua itu. “Maaf, Pak. Apakah ada yang bisa
saya bantu?” Deni mencoba menyapa pengemis tua dengan suara perlahan. Pengemis
tua itu terlihat kaget dan sedikit ketakutan. Ia menggeser beberapa langkah ke
samping untuk menghindar dari Deni. “Pak, saya Deni. Saya tidak ingin
mengganggu Bapak. Saya hanya ingin memberikan makanan ini kepada Bapak.” kata
Deni. Deni mengeluarkan bungkusan roti dari tasnya dan memberikan kepada sosok
yang telah membuatnya penasaran. “Terima kasih banyak, Nak!” kata pengemis tua
itu lirih. “Silakan dimakan Pak. Semoga Bapak suka.” tambah Deni senang.
Pengemis tua itu membuka bungkus roti
dan memakannya sedikit demi sedikit. “Nak, mengapa baik sekali kepada saya?” Tiba-tiba
pengemis tua bertanya kepada Deni. Deni terlihat kaget mendengar pertanyaan
dari pengemis tua. Padahal Deni sedang mereka-reka apa yang harus dibicarakan
kepada pengemis tua untuk membunuh rasa penasarannya. “Kebetulan saya lewat disini
dan melihat Bapak.” kata Deni. “Maaf Pak. Boleh saya tahu nama Bapak?” tanya
Deni kepada pengemis tua. “Apa arti sebuah nama, Nak!” kata pengemis tua. “Panggil
saya Bapak tua saja.” tambah pengemis tua. “Nak, hidup ini Cuma sementara. Di
kehidupan ini berlaku roda yang berputar. Jika saat ini kita sedang berada di
atas hendaknya tidak perlu menyombongkan diri dengan materi yang kita punya.
Tidak selamanya yang di atas selalu menjadi di atas dan tidak selamanya yang di
bawah menjadi di bawah. Jika Gusti menghendaki semuanya dapat terjadi.” kata
bapak pengemis tua. Tiba-tiba Deni takjub dengan sosok bapak tua ini. Seseorang
yang disisihkan oleh masyarakat dapat memberikan nasehat tentang kehidupan
kepadanya.
Deni memperhatikan bapak pengemis tua
itu dengan seksama. Masih terlihat gurat-gurat ketampanan dari wajah tuanya
saat dilihat dari dekat. Deni juga sangat heran. Kata-kata yang keluar dari
mulut pengemis tua sangat bijaksana dan terlihat sebagai seorang dengan
pendidikan. “Nak, mumpung umurmu masih muda. Pergunakan waktumu sebaik-baiknya.
Jangan sia-siakan hidupmu. Jalan hidupmu masih panjang. Masih banyak yang harus
diperjuangkan.” lanjut bapak pengemis tua. Deni mendengarkan dengan seksama
semua kata-kata yang keluar dari sosok misterius ini. Deni tidak menyangka jika
bapak pengemis tua akan langsung merasa akrab dengan dirinya dan memberikan
banyak wejangan tentang kehidupan. “Hormati orang tuamu. Jaga mereka, jangan
sia-siakan mereka dan jaga nama baik mereka. Bagaimanapun keadaan orang tuamu, dari merekalah kamu
dapat hidup dan menghirup udara di bumi ini. Kamu masih punya orang tua khan,
Nak?” tanya bapak pengemis tua. “Masih, Pak.” jawab Deni.
“Dulu Bapak sepertimu. Muda dan gagah. Tapi
semua kesempatan dan kebahagiaan yang pernah diberikan pada hidup Bapak
terdahulu Bapak sia-siakan meskipun tidak semua kesalahan dari Bapak.” Pengemis
tua ini mulai membuka diri kepada Deni meskipun Deni belum bertanya apapun dari
dirinya. Kelihatannya, bapak pengemis tua ini membutuhkan teman bicara untuk
melepaskan segala kepenatan pikirannya selama ini. Namun mungkin tidak ada yang
mau mendekatinya. Beberapa orang hanya berbelas kasihan dan memberikan rejeki
sekadarnya untuk pengemis tua ini dan berlalu begitu saja. Deni hanya diam
mendengarkan curahan hati dari bapak pengemis tua yang mungkin memendamnya
selama bertahun-tahun. “Nak, seandainya semasa Bapak muda dulu mau menuruti
kata-kata orang tua pasti Bapak tidak akan seperti ini. Bapak hanya dapat
berpesan kepadamu untuk menuruti perkataan orang tuamu. Mereka pasti akan
memberikan segala yang terbaik untukmu. Orang tuamu lebih pengalaman dari
dirimu yang masih muda. Mereka lebih mengerti yang terbaik untuk diri anaknya.”
Bapak pengemis tua itu melanjutkan nasehatnya.
“Maaf, Pak. Boleh saya tahu mengapa
Bapak selalu berdiri di depan Gereja Blenduk ini dan terlihat menangis? Apakah
ada suatu peristiwa pada Bapak yang berkaitan dengan tempat ini?” Akhirnya Deni
memberanikan diri untuk bertanya kepada sosok pengemis di hadapannya. “Semua
berlalu sangat cepat, Nak. Seandainya saat itu Bapak berada disini.......”
Tiba-tiba bapak pengemis tua menghentikan kata-katanya dan matanya terlihat
berkaca-kaca. “Lihat foto ini, Nak!” Deni melihat foto yang dipegang oleh bapak
pengemis tua dan memperhatikannya dengan seksama. “Dia yang aku inginkan
menjadi pendamping hidupku.” Deni sudah mulai mengerti sekarang tentang
sekelumit kehidupan bapak pengemis tua ini.
“Aku mencintainya. Dia menungguku disini
di siang itu. Tapi suatu kejadian membuatku tidak dapat menemuinya saat itu. Di
hari itu...ya, tepat di hari yang seharusnya aku datang ke tempat ini untuk
menemui pujaan hatiku, aku ditangkap polisi dan harus masuk penjara karena
kebrutalanku. Saat itu aku protes dengan kelakuan ayahku yang selalu menyakiti
ibuku di saat keluarga kami memiliki harta melimpah. Ayahku merasa di atas
langit karena dapat membeli semuanya dengan uang dan harta. Itulah, Nak. Aku
harus bertanggung jawab dengan perbuatanku yang melanggar hukum dan dipenjara
selama beberapa tahun. Selama di penjara hanya beberapa kali ibuku menjenguk.
Setelah itu aku mendengar berita jika ibuku sakit-sakitan dan akhirnya
meninggal dunia. Sedangkan ayahku pergi bersama selingkuhannya.” Akhirnya
pengemis tua ini menceritakan kehidupan masa lalunya.
“Namun sayangnya, selingkuhan ayahku
tidak benar-benar mencintainya. Ia hanya mengambil harta dari ayahku. Setelah
semua harta diatasnamakan dirinya, ia pergi mengusir ayahku dari rumahnya
sendiri. Beberapa minggu sebelum aku keluar dari penjara, aku memperoleh berita
bahwa ayahku sudah meninggal dunia. Saat aku keluar dari penjara, aku bingung
hendak kemana. Aku menjadi sebatang kara karena aku anak tunggal. Aku berjalan
kesana kemari tidak tentu arah. Aku bekerja serabutan untuk menyambung hidup
dan tidur di jalanan.” Pengemis tua itu terlihat menitikkan bulir-bulir air
matanya. “Setelah keluar dari penjara, tujuan utamaku adalah ke depan gereja
ini untuk menemui kekasihku. Aku berusaha mencarinya kemana-mana. Aku pergi
kerumahnya dan bertemu dengan ibunya. Namun ibunya marah besar kepadaku. Aku
menanyakan kabar kekasihku tapi tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaanku.
Aku segera pergi dari rumah kekasihku. Di ujung gang rumahnya, ada yang
mengatakan kepadaku bahwa kekasihku diculik saat menunggu kedatanganku di depan
Gereja Blenduk ini. Aku merasa bersalah kepadanya. Seandainya saat itu aku
menuruti kata-kata ibuku untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang brutal
tentu aku tidak akan masuk ke bui dan pasti aku dapat menemui kekasihku di
tempat ini.”
“Aku tidak tahu kabar kekasihku, apakah
dia sudah ditemukan dan pulang ke rumah atau belum. Atau terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Aku tidak berani datang ke rumahnya lagi. Aku hanya berdoa
untuknya agar selamat terbebas dari penculikan itu dan hidup dengan bahagia.
Tetapi, Nak....aku tetap menunggunya untuk datang menemuiku di tempat ini
sesuai dengan janji terakhir kami. Setiap hari aku menunggunya disini. Ditempat
ini pada jam yang sama. Tetapi kekasihku tidak kunjung datang menemuiku.”
Pengemis tua itu terlihat menangis sesenggukan. Deni merasa trenyuh dengan
cerita dari sosok yang membuatnya penasaran. Sekarang Deni mengerti, mengapa
bapak pengemis tua ini berdiri di depan gereja dan menangis. Tapi Deni masih
penasaran dengan teman bunda yang ia kira mirip dengan wajah pengemis tua ini.
Deni pulang dengan perasaan yang sedikit
lega. Ada nasehat dan cerita yang ia peroleh dari pengemis tua itu. Di rumah,
Deni menceritakan tentang pertemuan dirinya dengan pengemis tua kepada Bunda. Deni
menceritakannya dengan berapi-api dan Bunda mendengarkan dengan seksama.
“Sepertinya, pengemis tua itu memiliki masa lalu yang kurang baik ya Den.” kata
Bunda memberikan kesimpulan. “Iya Bunda, sepertinya ia juga orang yang
berpendidikan. Kehidupan mengajari banyak hal kepadanya.” Deni menambahkan.
“Tapi Bunda, Deni masih penasaran deh dengan foto teman Bunda itu. Wajahnya
mirip dengan pengemis tua itu.” kata Deni. “Ah, Deni....jangan mengada-ada.”
Sanggah Bunda.
Minggu berikutnya Deni mendatangi ke
kawasan Kota Tua dengan membawa foto kenangan SMA orang tuanya. Deni ingin
mengetahui apakah benar dugaannya bahwa ada hubungan antara foto milik bunda
dengan pengemis tua yang membuatnya penasaran. Deni menunggunya beberapa saat
dan sosok pengemis tua itu benar-benar muncul dan mendatangi depan gereja pada
jam yang sama seperti minggu lalu. “Pak, saya bawakan ini untuk Bapak. Nanti
Bapak makan ya.” kata Deni yang mengejutkan bapak pengemis tua. “Ah, Nak. Kamu
datang lagi kesini. Terima kasih banyak ya, Nak. Setelah Bapak bercerita
kepadamu minggu yang lalu Bapak sedikit merasa lega dan beban menjadi lebih
berkurang.” kata pengemis tua itu. Raut wajah bapak pengemis tua sudah terlihat
lebih riang daripada minggu yang lalu. Dan Deni sangat senang dengan peristiwa
ini karena berarti dirinya telah diterima oleh bapak pengemis tua.
Setelah mengajak bapak pengemis tua
untuk duduk, Deni mengeluarkan foto yang dibawanya dari rumah. Tiba-tiba raut
bapak pengemis tua menjadi berubah. Berkali-kali ia melihat ke Deni dan ke foto
berulang-ulang. “Kamu dapat foto ini dari mana Nak? Siapa sebenarnya kamu ini?”
Bapak pengemis tua menjadi curiga dengan Deni. “Maaf sebelumnya Pak. Sebenarnya
saya penasaran dengan Bapak karena saya merasa bahwa wajah Bapak mirip dengan wajah
yang ada di foto ini. Apakah yang ada di foto ini benar Bapak?” Deni
memberanikan diri untuk bertanya. “Benar Nak. Ini foto Bapak dengan teman-teman
Bapak semasa SMA.” kata Bapak pengemis tua menjelaskan. BLAARRR.......Deni
benar-benar terperanjat kaget. “Berarti benar perasaanku selama ini. Ada
hubungan antara pengemis tua ini dengan foto yang pernah dilihatnya.” batin
Deni. “Ini foto orang tua saya saat SMA Pak. Ini bunda saya dan ini ayah saya.”
kata Deni. Pengemis tua itu memandangi wajah Deni.
“Bunda, ternyata benar lho perkiraan
Deni selama ini tentang pengemis itu.” kata Deni berapi-api. “Memang kenapa
Den?” tanya Bunda. “Ternyata pengemis tua yang Deni ceritakan di kawasan Kota
Tua itu memang benar teman Bunda lho!” kata Deni lagi. “Walah Deni, kamu
itu....masih penasaran aja sama pengemis itu. Lha ya nggak mungkin to, masak
teman Bunda jadi pengemis. Terus yang kamu bilang pengemis itu si Feri...nggak
mungkin banget lah Den, orang tuanya khan super kaya. Malah dia yang paling
kaya di antara teman-teman Bunda saat itu.” sanggah Bunda. “Bun, pengemis itu
khan juga cerita kalau memang tadinya dia orang kaya dan sekarang jatuh miskin
gara-gara ayahnya.” kata Deni lagi. “Tapi tunggu Den, Bunda seperti mengingat
sesuatu. Mungkin ayah juga ingat teman kita si Feri itu memang kabarnya
dipenjara gara-gara ulahnya yang melanggar hukum. Ayah ingat nggak?” tanya
Bunda kepada Ayah. Ayah hanya mengangguk-angguk sambil mengingat-ingat. “ Oke
Den, besok Minggu kita kesana. Ayah juga jadi penasaran nih!”
Hari Minggu berikutnya, Ayah dan Deni
pergi ke kawasan Kota Lama untuk menemui pengemis tua itu. Awalnya ayah tidak
mengenali pengemis tua itu karena wajahnya ditutupi topi yang lebar. Saat ayah
turun dari mobil, ayah langsung mengenali wajah temannya. “Feri, kamu benar
Feri? Apa yang terjadi denganmu?” tanya Ayah dengan rasa kaget. Pengemis tua
bernama Feri itu juga merasa kaget ada orang yang mengenali namanya. “Gunawan?”
kata pengemis tua menyebut nama ayah Deni. “Iya, ini benar Feri teman ayah
Den!” seru ayah. “Feri, apa yang terjadi denganmu? Ayo ikut denganku ke rumah”
kata Ayah sambil menuntun Feri. “Anakku Deni sudah menceritakan peristiwa yang
menimpamu.” tambah Ayah. Pengemis tua itu menurut saja ketika dituntun ayah
masuk ke mobil untuk dibawa ke rumah.
Setelah sampai di rumah, pengemis tua
itu disuruh mandi membersihkan badan dan diberi pakaian yang pantas oleh ayah.
Sekarang pengemis tua itu sudah terlihat lebih bersih. Ayah dan pengemis tua
bercerita tentang masa lalu mereka. Tiba-tiba Bunda datang dan menceritakan
bahwa kekasih Feri yang dulu diculik telah kembali ke rumahnya. Ternyata yang
menculiknya adalah orang pacarnya dahulu dan tidak rela saat mengetahui
kekasihnya akan menikah. Mereka akhirnya menikah dengan diiringi tangisan
kesedihan dari kekasih Feri. Setelah mendengarkan cerita Bunda tentang kisah
kekasihnya kini Feri, si pengemis tua telah menerima takdir bahwa kekasihnya
bukan jodohnya. Ia sekarang lebih ikhlas menerimanya.
Tetapi sayangnya, hanya beberapa hari
saja Feri si pengemis tua di Kota Lama tinggal di rumah Deni. Ternyata selama
ini Feri mengidap penyakit kanker hati akibat di masa mudanya dulu sering minum
minuman keras. Feri akhirnya meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari di
rumah sakit. Balada pengemis tua di Kota Tua telah berakhir. Dan sekarang sudah
tidak ada lagi pengemis tua yang menangis di depan Gereja Blenduk meratapi
kekasihnya. Sekarang pengemis tua itu telah tenang di alamnya dan mendapat
kekasih bidadari yang lebih baik.
style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-2596818841430923"
data-ad-slot="3784520715"
data-ad-format="auto">
Posting Komentar untuk "BALADA PENGEMIS TUA DI KOTA TUA"