Ketika datang saatnya mewawancara seorang tokoh besar sekelas Budi Sumarno, saya merasa tersanjung sekaligus gugup. Karena ini pertama kali saya melakukan interview dengan salah seorang penggiat perfilman Indonesia. Siapa sangka, bahwa Budi Sumarno yang termasuk jajaran senior di kancah perfilman Indonesia ini sangat kooperatif dan rendah hati. Beliau tidak membatasi diri belajar dengan yang lebih muda, bahkan beliau juga tidak segan untuk menerima saran serta kritikan dari juniornya, apabila ada kesilapan dalam upayanya memajukan perfilman dalam negeri.
Cita-Cita Dari Kecil
Producer, line producer, creative, script writer, dan business development. Setidaknya itu sederet title membanggakan yang mengekor di belakang nama Budi Sumarno. Seluruh gelar yang berhubungan dengan dunia industri kreatif tersebut tidak semata-mata didapatnya secara instan. Semua butuh proses panjang sekaligus usaha luar biasa. Sejak remaja Budi memang bercita-cita ingin terjun ke dalam industri kreatif.
“Sejak SMP saya berteater di sekolah. Cita-cita awal sih mau jadi aktor makanya belajar teater,” ujar Budi mengenang masa lalunya.
Minatnya itu mengarahkannya mengambil ekskul teater, bahkan hingga melanjutkan ke STM beliau juga mengikuti ekskul teater yang bernama Teater Keset (Kelompok Seniman Teknik). Selain itu Budi juga pernah belajar pantomim dengan Paulus Budiyanto, yang merupakan kakak kelasnya ketika bersekolah di STM 3, dan saat itu sedang kuliah di LPKJ (sekarang IKJ).
Sulung dari empat bersaudara ini pernah mengikuti audisi pemilihan pemain dalam drama “ACI”—Aku Cinta Indonesia yang akan ditayangkan di TVRI kala itu. Budi sudah lolos dan ikut syuting beberapa episode, namun sayang perjalanannya saat itu tidak semulus harapannya. Drama itu tayang dengan pemain yang berbeda. Sampai di situ, Budi tidak menyerah untuk terus berusaha mewujudkan cita-citanya. Tidak ada kata putus asa dalam kamus seorang Budi Sumarno. Cita-cita dan mimpi harus terus dikejar sampai dapat.
Menjadikan Kerja Sebagai Langkah Awal Meraih Cita-Cita
Dengan berpedoman pada tujuan dan passion terhadap industri kreatif, lulus dari STM, Budi bekerja di perusahaan elektronik dan IT. Dalam perusahaan IT tersebut Budi menjadi distributor Matrox dan Adobe—hardware dan software editing untuk TV. Dari situlah keinginan Budi untuk memperdalam pengetahuan serta kemampuan dalam industri kreatif, khususnya film semakin menggebu. Pria penyuka bidang IT ini mulai memasuki bidang perfilman pada tahun 2002, yang diawalinya dengan ikut kursus broadcasting. Tak sampai di situ saja, tawaran demi tawaran seputaran dunia TV menghampirinya. Di tahun berikutnya, Budi menjadi ghost writer dan membantu sebuah PH untuk menjadi koordinator penulis skenario sekaligus editor. Hingga pada tahun 2004 Budi memutuskan untuk resign dari pekerjaannya di perusahaan elektronik dan IT, guna memfokuskan diri pada bidang perfilman dan broadcasting yang amat dicintainya. Setelah meninggalkan pekerjaannya, ayah dari tiga anak; Amalia Putri Andini, Adinda Dwi Luthfiyah, dan Rahmandika Wibowo ini, mulai menjadi penulis freelance.
Dengan Usaha dan Kerja Keras, Pintu Dari Segala Penjuru Terbuka Lebar
Tahun 2004 dan 2005 menjadi awal Budi menapaki karier bergengsi di dunia industri kreatif. Budi didapuk menjadi casting director dan asisten produser dalam film “Tangisan Bidadari” (Angel Cry), yang disutradarai oleh (Alm) Tedy Setiadi. Sedangkan di tahun 2005 menjadi associated producer dalam film “Gerbang 13”, yang disutradarai oleh (Alm) Nanda Umbara—kakak dari Anggi Umbara, sutradara “Warkop DKI Reborn”. Melalui seorang Paulus Budiyanto (Opung), pintu dari segala penjuru terbuka. Budi ditawari untuk menulis cerita anak-anak yang diangkat dari majalah Bobo, Cerita Dari Negeri Dongeng sebanyak 26 episode bersama Chelvia Ch Meizar. Kala itu ditayangkan oleh TV7 dan diproduksi oleh Sandikha Widia Sinema. Dan mulai saat itu, Budi juga terjun untuk menulis pada iklan dan dokumenter, serta beberapa FTV. Tahun 2005 Budi membuat ide cerita “Sahabat Mainku” sebanyak 26 episode.
“Saat itu skenarionya dikerjakan beberapa penulis karena saya harus kosentrasi sebagai produser pelaksana,” tutur Budi dalam salah satu sesi wawancara. “Serial itu tayang di TVE Pustekkom, dan menjadi program unggulan. Sutradaranya adalah Sam Sarumpaet,” imbuhnya.
Pada tahun 2008 Budi dipercaya kembali oleh Pustekkom TVE untuk membuat cerita dan dummy serial anak yang berjudul “Rumah Rahasia”. Mulai dari ide cerita, naskah dummy, ditulis sendiri oleh Budi. Juga penyutradaraan dan produser pelaksana, semua dihandle sendiri. Budi turut serta mengajak Nandina Prajanto sebagai pemeran pembantu utama dalam serial anak itu.
“Saat itu skenarionya dikerjakan beberapa penulis karena saya harus kosentrasi sebagai produser pelaksana,” tutur Budi dalam salah satu sesi wawancara. “Serial itu tayang di TVE Pustekkom, dan menjadi program unggulan. Sutradaranya adalah Sam Sarumpaet,” imbuhnya.
Pada tahun 2008 Budi dipercaya kembali oleh Pustekkom TVE untuk membuat cerita dan dummy serial anak yang berjudul “Rumah Rahasia”. Mulai dari ide cerita, naskah dummy, ditulis sendiri oleh Budi. Juga penyutradaraan dan produser pelaksana, semua dihandle sendiri. Budi turut serta mengajak Nandina Prajanto sebagai pemeran pembantu utama dalam serial anak itu.
Tahun demi tahun Budi mengukir prestasi. Pada tahun 2009 tepatnya, Budi mendirikan PT. Pijar Citra Cakrawala, dan berhasil memproduksi iklan layanan masyarakat serta film dokumenter. Disusul dengan pendirian PH Tujuh Aksara Film pada tahun 2014. Selain menjadi owner Tujuh Aksara Film, Budi juga turut terjun langsung menjadi produser FTV, iklan, dan film dokumenter hingga sekarang.
Perjalanan Masih Panjang
Sederet prestasi dan sepak terjang yang telah diraih Budi belum cukup membuatnya puas. Budi juga aktif dalam beberapa organisasi. Diantaranya menjadi ketua bidang kegiatan PARCI, Persatuan Artis Remaja dan Cilik Indonesia, pendiri sanggar anak Gempita Istana Anak Taman Mini, bersama Hari De Fretes mendirikan Lenong Caberawit, serta menjadi Senior Inspiring Adisurya Abdi, bersama Sam Sarumpaet dan Dedi Setiadi. Pendiri dan ketua umum Komunitas Cinta Film Indonesia. Pendiri Creative Movie Community (CMC) Kumunias film yang bertemu di Bundaran Monas saat kegiatan CFD (Car Free Day) dimana anggotanya adalah olahragawan, bodybulider, petinju, ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa yang tertarik di dunia perfilman. Budi juga menjadi kurator film di Sinematek indonesia, serta menjadi anggota KFT dan PARFI.
Puluhan skenario FTV, sinetron, film, serta reality show sudah dilahapnya. Salah satunya Budi pernah didapuk menjadi Creative and Supervision Director & Production “Short Movie Kata Hati “ dan menjadi the 2nd Winner Police Movie Festival 2014, Production IW Picture (Workshop Film Brimob Bangka Belitung).
Saat ini Budi menjadi asisten sutradara Adisurya Abdy dalam pengerjaan Film Layar Lebar “Stadhuis Scandaal” yang akan tayang Juli 2018. Selain itu Budi juga menjadi Co Director Pilot Project Serial “Sehari Sebelum Mati“ yang disutradarai oleh Dedi Setiadi.
Ke depan Budi berniat membuat sebuah film layar lebar tentang tuna netra dengan judul “Mata Hati”. Budi sudah melakukan riset mendalam semenjak tahun 2002. Bahkan pria kelahiran tahun 1964 ini pernah tinggal di sebuah yayasan tuna netra di Citereup. Budi ingin melihat segala aktifitas tuna netra, sekaligus dalam rangka riset skenario. Itulah segelintir totalitas yang didedikasikan Budi dalam bidang yang disukainya, filmografi.
Ada sebuah pesan yang ingin disampaikan Budi kepada generasi muda yang ingin terjun ke dunia perfilman ataupun produksi seperti dirinya, “jangan takut bikin film,” ucapnya. Sebuah pesan singkat namun syarat akan motivasi dan semangat positif. [Ang]
1 komentar untuk "Budi Sumarno, Senioritas Tak Membatasi Dirinya Belajar Pada yang Lebih Muda"