CINTA YANG DIDUSTAKAN
Tok! Tok! Tok!
“Ya Allah, Nak? Ada
apa?” Tiba-tiba Aisyah berlari dan menangis dalam pelukanku yang baru saja
selesai salat duha. Lalu makin jelas suara ketukan di pintu, bukan hanya
ketukan tetapi lebih tepatnya rumahnya digedor dari luar, dan ...
Prang!
“Ya Allah, apa yang
telah terjadi ini?” Sambil menuntun Aisyah, aku mencoba keluar kamar dan
melihat apa yang terjadi. Dilihatnya banyak ibu-ibu dengan wajah marah berusaha
masuk kedalam rumahnya dengan mendobrak pintu dan memecahkan kaca jendela.
Aisyah, gadis kecil berusia sembilan tahun itu semakin ketakutan memeluk
Uminya.
Brak!
Pintu berhasil terbuka
dan beberapa ibu-ibu langsung marah mencaci maki sambil berjalan cepat menuju
arahku. Masih kuingat ibu-ibu itu adalah tetangga di perumahan ini, ada yang
membawa sapu, bahkan dengan marahnya mereka memukuli aku dan menendang, sambil
berjongkok, kupeluk Aisyah, agar tidak terkena pukulan mereka
.
“Dasar Pelakor!
Seenaknya saja merebut suami orang!”
“Gak usah sok alim! Buka
saja itu jilbabnya!”
Mereka terus saja
mencaci maki dan memukuli tubuhku yang masih berbalut mukena. Tiba-tiba ...
“Sudah-sudah! Bubar
semuanya, jangan main hakim sendiri, kita belum mengetahui kebenarannya!”
Teriak Pak RT dan Pak Ustaz Ridho yang berusaha melindungi aku dan Aisyah dari
kemarahan mereka.
Mereka diam saat masih
kudengar Pak RT marah atas tindakan mereka. Lalu sambil menahan isak tangis
karena sakit sempat kudengar suara terakhir seorang wanita yang mengatakan,
“Pandainya menipu semua
orang, dengan menjadi seorang penulis! Seolah kami tak tahu kelakuan Kau
sebagai pelakor! Dasar perempuan sok suci, teganya merebut suami orang!”
Ya Tuhan! Rupanya mereka marah dan mengatakan aku
adalah pelakor? Lantas suami siapa yang telah aku ambil? Sedangkan keseharianku
jarang keluar rumah. Hanya berteman laptop lusuh sebagai usahaku untuk mencari
tambahan biaya makan kami sehari-hari, ya Aku dan Aisyah! Dengan ibu-ibu di
sini pun rasanya mustahil jika aku mengenal mereka semua. Bagaimana mungkin mengenal
suami mereka? Apakah suamiku adalah suami dari salah seorang ibu-ibu yang tinggal di sini? Batinku perih. Bagaimana tidak perih? Menerima tuduhan
yang mereka layangkan padaku, sungguh keji!
Sepertinya aku
mengenali suara itu, suara yang tidak asing lagi dan sangat kukenal, walau
sudah lama sekali tak mendengarnya. Sambil menahan sakit, otakku terus
berpikir, siapakan wanita itu?
Segera aku paksakan
untuk bergerak dan bangun, demi Aisyah yang masih menangis ketakutan dalam
pelukanku.
“Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalaam
warahmatullahi wabarakaatuuh,” jawab Pak RT dan Pak Ust. Ridho berbarengan
sambil menoleh dan berdiri, karena yang datang adalah Pak Syarifudin, tokoh
masyarakat dan bakal calon anggota dewan di sini. Kemudian Pak RT menyambutnya,
sementara Pak Ustaz melanjutkan membersihkan pecahan kaca jendela yang
berserakan.
“Bu Bidan, tolong
periksa keadaan Ibu Dewi dan Putrinya Aisyah!” Demikian perintah Pak Syarif
kepada Bidan Yulia.
Sempat kulihat
kekesalan pada wajahnya, kemudian Dia berkata dengan sinis, “Kalau bukan Bapak
yang meminta saya, tidak mau saya menolong pelakor ini! Walau saya sudah di
sumpah, biarkan saja dia mencari rekan medis lainnya!”
“Pak Ust, Ridho,
biarkan si Juned saja yang membersihkan dan merapikannya, sekalian nanti Dia
menggantikan kaca jendela yang pecah dan memperbaiki pintu serta menggantikan
kuncinya!” Begitu ucap Pak Syarif.
Kemudian Juned menggantikan Pak Ust. Membersihkan
pecahan kaca dan merapikan bangku dan meja yang berantakan.
Selesai Bidan Yulia
memeriksa luka memar pada tangan dan bahu serta kakiku, kemudian Dia ingin
memeriksa Aisyah. Namun Aisyah menolak dengan berlindung memeluk tubuhku.
Sempat terlihat kekesalan kembali pada wajahnya. Ust. Ridho segera mengusap
rambut Aisyah lembut sambil memandang dengan penuh iba serta kasih pada Aisyah.
Ya! Aisyah putriku,
walau telah berusia sembilan tahun, namun Dia sangat istimewa. Bidan itu tidak
mengetahui keadaan Aisyah yang sesungguhnya, karena yang aku tahu, Dia adalah
orang baru di perumahan ini.
Aisyah memandangi wajah
Uminya dan mengusap, sambil menangis. Perih! Aku lihat luka yang mendalam pada netranya. Sementara wajahnya masih pucat karena peristiwa tadi. Dengan
sedikit mendengus kesal, Bidan Yulia berdiri dan segera menjauh dari kami. Samar
kudengar Pak Syarif menceritakan tentang keadaan Aisyah. Karena Aisyah anakku seorang
difabel. Sambil tertunduk, Bidan Yulia menatap putriku dengan iba walau tanpa belas
kasih saat menatap diriku.
DR.
Bekasi, 09 Maret 2018
Posting Komentar untuk "Cerbung CINTA YANG DIDUSTAKAN Oleh Dewy Rose"