.
Puluhan pasang mata menatap padaku. Hal yang paling kubenci adalah menjadi pusat perhatian. Well, meski sikapku sendiri terkadang menjatuhkanku sebagai yang diperhatikan.
Kamu menyerahkan sebuah gitar akustik cokelat. Mengerti jika sang penyanyi tak 'kan mau menempatkan jemarinya di atas tuts-tuts hitam putih. Mengerti, jika yang bisa dimainkan seorang Irana hanyalah sebuah gitar. Alat musik yang tidak sekeren piano ataupun biola, begitu yang dikatakan Tuan Besar Jung untuk menurunkan minatku pada gitar.
"Aku tidak meminta kamu menyanyikan lagu-lagu Taylor Swift atau Mariah Carrey, kok."
Aku tersenyum demi mendengar pengertianmu. Kamu bahkan masih mengingat jika Irana tidak menyukai lagu-lagu luar. Tidak peduli seberapa romantisnya lagu A Thousand Years, Irana tidak akan memetik gitarnya untuk lagu Christina Perry itu.
"Bisa memberikan pilihan?" Aku mencoba mengulur waktu. Setidaknya, menyiapkan hati untuk pedih. Menyiapkan ruh agar tidak terbang tergesa ke nirwana demi sebuah lagu romantis yang harus dinyanyikan sepenuh hati.
Sepenuh hati? Aku gila. Bukan, bukan. Aku harusnya memiliki alter ego, yang mana salah satunya tidak menaruh hati pada Galaraez Dwipala. Akan sangat menguntungkan jika jiwaku yang lain muncul saat ini; mengambil alih kesadaran dan membiarkan ia bernyanyi tanpa berdarah.
Sayangnya, aku tidak punya. Tuhan tidak memberkatiku dengan kelebihan semacam itu. Mungkin takut jika memberiku alter ego akan menjadikan Irana yang lain sebagai pembunuh. Bukankah dalam banyak drama, salah satu jiwa selalu berprofesi sebagai antagonis? Tuhan lebih tahu jika wajah Irana tidak cocok menjadi pembunuh, meski tingkahnya petakilan.
Kamu menjulurkan sebelah tangan; meminta tanganku menanggapinya. Sangat drama. Sayangnya, bukan sebagai Tuan Putri kamu memberikan uluran tanganmu. Mungkin, lebih kepada sebuah pertolongan barangkali Irana akan terjatuh saat melangkah dengan heels 13 sentimeternya. Kamu sangat paham, pemain gitar cantik satu ini tidak bisa memakai heels. Jika bukan karena tatapan galak Nyonya Besar Jung, serta ultimatum Nyonya Muda Jung, sepatu ini sudah dilempar ke tong sampah. Menyiksa. Membuat sakit. Mengenaskan.
"Aku menolongmu untuk tidak jatuh, Irana Jung," katamu berlagak berbisik, tapi suaramu terdengar sampai langit-langit katedral. Menyebabkan beberapa orang menahan senyum, bahkan sang peri cantik bergaun indah itu.
"Terima kasih, Tuan Galaraez Dwipala. Pertolonganmu amat membantu," balasku sembari melengkungkan senyum peringatan. Sementara kamu justru terkekeh.
Itulah kamu. Galaraez Dwipala yang suka menggodaku. Mungkin lebih tepat membuatku dalam situasi memalukan. Hal yang entah bagaimana memberikan pengertian jika kamu ada hanya untukku.
Sayangnya, hatimu untuk Irana yang lain.
Sebuah kursi tinggi diletakkan di tengah-tengah altar. Terlalu tinggi hingga kamu membantuku untuk duduk di sana. Aku melirik Lyrana. Berharap wajahnya masam karena cemburu. Sayang, wajahnya bertabur senyum. Seolah yang dilakukan Galaraez bukanlah apa-apa. Dan memang bukan apa-apa. Hanya Irana yang ingin menganggapnya sebagai apa-apa.
"Tidak akan jatuh, 'kan?" Bergurau, itulah cirimu. Atau lebih tepatnya lakumu padaku. Menjadikanmu selalu menyenangkan bukan saja untuk mataku, tapi hatiku.
"Aku punya tulang ekor. Bokongku juga bertulang, meski aku kurus." Aku berdalih dengan sedikit tersinggung. Kamu pun terkekeh.
Hal lumrah. Semua tahu jika Irana dan Galaraez seperti dua bocah yang memperebutkan satu mainan. Berselisih, tapi saling menertawakan. Hal yang tidak pernah kulakukan dengan Lyrana.
"Bernyanyilah untuk kami," bisikmu. Kali ini benar-benar bisikan.
Aku tersenyum sebagai tanggapan. Namun, ada yang berdarah di dalam sana. Rasanya lebih dari pedih.
Petikan senar pertama. Aman. Hanya saja gemanya seperti silet yang menyayati pembuluh darah.
.
*tbc
Posting Komentar untuk "Cerbung Melepasmu (Part 2)"