💔 Part 5 💔
~~~~~
~~~~~
Kamu membawaku menghela gelap. Membiarkan embusan angin memanjakan kulit yang nyaris jarang tersentuh dingin malam. Terang saja. Tuan Muda Jung tidak akan mengizinkan anak-anaknya keluar malam. Jam 9 teng harus masuk kamar, terserah di kamar mau melakukan apa. Sama sekali tidak memberi sempat untuk kami--entah untuk Lyrana, sekadar menonton pijaran bulan dan bintang.
"Kita mau ke mana, Gala?" tanyaku sedikit berteriak. Berusaha untuk tidak kalah dari derum motor Gala. Oh, ya, tidak tanggung-tanggung transport yang diberikan Keluarga Jung untuk cowok ini. Motor sport yang ..., ya, kalian tahu bagaimana bentuk boncengannya, 'kan? Mau tidak mau membuatku memeluk punggungmu daripada sok-sokan tidak pegangan. Bisa masuk rumah sakit nanti.
"Jangan cerewet, Pendek! Ikut saja."
Aku mencebik. Entah berapa banyak kosakata dalam otakmu sehingga selalu saja menemukan kata untuk mengolokku.
Pendek-lah. Mini-lah. Kurus-lah.
Ya, ya, ya. Memang tubuhku seperti itu, tapi tidak harus dipanggil begitu juga, 'kan? Pengawal macam apa yang ngelunjak begitu?
"Janji kalau tempat itu menyenangkan?" Aku kembali bertanya. Sebelah tanganmu terangkat tinggi-tinggi, lantas ibu jari teracung. Ya, kamu menjanjikan itu.
Di bawah kaki bukit, kamu menghentikan laju kendaraan. Turun lebih dulu untuk kemudian membantuku. Angin bukit yang menderu memainkan rambut kemerahan yang sengaja kugerai.
"Ini ...."
"Ayo!" Kamu menggenggamku, membawa langkah kita menuju entah ke mana. Aku hanya percaya jika kamu akan menunjukkan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah aku temui. Begitulah kamu selama ini.
Gelap bukit membuat langkahku beberapa kali tersandung batu. Aku lupa kalau mata ini minus. Seharusnya sebelum pergi tadi kuambil kacamata di kamar. Ya, mau bagaimana lagi. Aku lupa.
"Taraaaaa!" Kamu melepas genggaman, berdiri di hadapanku dengan tangan terentang. Menunjukkan jika kita sampai ke tujuan. "Kita akan bersenang-senang di sini."
Aku mengernyit, tidak mengerti maksudmu. Bersenang-senang dengan apa?
Seolah membaca ketidakmengertianku, kamu menghampiri salah satu semak. Dari sana, kamu mengeluarkan sepeda. Wow! Bagaimana bisa ada sepeda di tempat seperti ini? Beruntung sekali tidak ada yang mencurinya.
"Untuk apa?" tanyaku setelah beberapa saat. Kamu tidak menjawab, justru bersiap menaiki sepeda gunung. Ya, itu sepeda gunung jika tidak salah tebak.
"Liat ini, Pendek!" katamu seraya meluncur dari ketinggian bukit dengan sepedamu.
Baru aku tahu jika ada jalan melandai ke kaki bukit di bawah sana. Lebih mengejutkan lagi, ada liukan sejauh berkilo-kilo meter dengan banyak cadas dan air mengalir.
"Ayo ke sini, Pendek!" teriakmu dari bawah.
Hei! Ke sana dengan apa? Menggelinding, begitu? Memangnya aku trenggiling yang bisa membulatkan tubuh?
.
"Ke semak tadi, Jung Mini! Ada satu sepeda lagi, kamu bisa pakai itu!" teriakmu dari bawah bukit.
"Sebentar!"
Seperti perintahmu, aku pun mengobrak-abrik semak tempat sepeda tadi kamu sembunyikan. Benar! Satu sepeda gunung kutemukan. Agaknya tempat ini bukan sekali dua kali kamu kunjungi.
Susah payah aku mengeluarkan sepeda itu. Merasakan goresan-goresan tajam saat melewat semak tadi. Ya, Gala harus bertanggung jawab jika kulitku tergores tidak karuan. Tuan Muda Jung akan menyangka jika anak bungsunya berkelahi dengan orang luar; cakar-cakaran hingga meninggalkan bekas di kulit kekurangan zat melanin ini.
"Aku dapat, Gala!" teriakku dari atas bukit.
"Naik dan meluncurlah! Teriak sekuat suaramu bisa teriak! Itu melegakanmu nantinya. Jangan lupa! Hirup sedalam-dalamnya lebih dulu angin bukit! Rasakan kesejukan mengaliri darahmu! Tapi, aku tidak bertanggung jawan kalau sampai kamu masuk angin! Makanya, jangan kurus-kurus jadi orang!"
Aku mendengus demi mendengar nasihatmu. Nasihat sekaligus olokan. Begitulah kamu. Satu detik memperlakukanku selayaknya adik, tapi detik kedua mengolok-olokku. Sepertinya, hidup tidak akan menyenangkan bagimu jika tidak mengolokku.
Aku tercenung. Menatap nelangsa sepeda gunung yang kupegang. Menaikinya? Meluncur dari ketinggian segini? Aduh, bagaimana ini? Aku, 'kan ....
"Gala!" teriakku lagi. Gelap membuatku tidak dapat menangkap dengan jelas apa yang kamu lakukan di bawah sana.
"Apa, Ceking?"
Astaga! Seenak jidatmu kembali mengganti panggilan? Awas kamu!
"Sebenarnya ...."
Aduh, kalau aku jujur, kamu akan tertawa 7 hari 7 malam. Makin gencar mengolokku. Makin senang mengejekku.
"Apa, Jung Mini? Aku tidak mendengarnya! Kamu bicara apa?"
Aku menggigit bibir, berpikir. Naik dan meluncur, artinya rumah sakit menanti. Jujur dan mengaku, artinya siap menjadi bahan ejekan Gala berhari-hari.
Pilih mana?
"Gala, aku ...."
"Bicara yang jelas, Irana Ceking!"
Sialan! Aku ingin menimpukmu, tahu!
"Gala, aku tidak bisa naik sepeda!" teriakku. Menahan malu sebisa mungkin. Bersiap telinga mendengar olokanmu.
Hening. Sepi. Hanya deru angin dan arus sungai yang menjadi simfoni pengiring.
Namun, hanya dua detik bertahan kesunyian tersebut. Kamu meledakkan tawa pada detik ketiga. Ya, aku tahu akan seperti ini.
Tidak peduli dengan tawamu, aku menjatuhkan sepeda begitu saja. Lantas duduk, menekuk lutut hingga dagu bisa bersandar di tempurungnya. Aku merajuk, Gala.
Aku mendengar langkahmu kembali naik; menghampiri yang tak kunjung meluncur. Ya, bagaimana mau meluncur, menaikinya saja tidak bisa.
Kamu terbahak, tidak peduli wajahku yang menekuk lusuh dengan bibir cemberut.
"Jadi, Tuan Putri Mungil ini tidak bisa naik sepeda?" Pertanyaan olokan, aku tahu.
"Diamlah!" bentakku frustrasi. Akhirnya kamu tahu apa ketidakbisaanku. "Dan tolong, konsistenlah kalau mau mengejekku. Pilih salah satu! Pendek, Mini, Mungil, Ceking, atau Kurus?"
Seberapa pun aku bersungut, kamu membalasnya dengan tawa. Terbahak, itu lebih tepat.
"Ini mulutku. Aku bebas menggunakannya untuk memanggil apa pun."
Ya, begitu menyebalkannya dirimu sampai aku tidak tahu bagaimana membalas semuanya.
"Jadi?" tanyamu sembari menghempaskan diri di samping.
"Jadi? Masih tanya jadi? Ya, jelaslah aku tidak bisa meluncur!" Rumput tak berdosa menjadi sasaran kekesalanku; tercabut lalu terbuang begitu saja.
Ada helaan napas yang kudengar. Entah kamu pun frustrasi atau mengasihani, aku tidak tahu yang mana.
Beberapa menit berjalan, kami masih terduduk. Terpaksa hanya langit yang menjadi tontonan.
Jangan salah. Dari ketinggian bukit ini, aku menemukan langit bersih. Tanpa kelebatan awan sedikit pun. Tampak beberapa rasi bintang terlihat. Dunia astronomi memang menarik perhatianku. Lebih baik mempelajari seberapa jauh jarak Bumi dengan Pluto yang katanya bukan lagi planet, daripada menghitung saham perusahaan yang selalu mengirimkan efek mual setiap melihat angka-angka yang diberikan. Aduh, aku benci menghitung. Sebenci diriku pada kucing.
"Ayo!" Kamu beranjak lalu menggenggam kembali tanganku. Kali ini apa lagi?
"Mau apa?"
"Meluncur," katamu. Mengambil sepeda yang tadi kujatuhkan sembarang lantas menaikinya. "Naik!" Kali ini kamu memerintah.
"Naik? Naik di mana? Tidak ada boncengan!"
"Ini." Gala menunjuk sesuatu di ban sepeda. Dua tabung besi berdiameter tidak lebih dari dua sentimeter menonjol di kanan dan kirinya. Aku tidak tahu namanya, tapi tahu kegunaannya.
"Aku tidak yakin bisa berdiri di sana," kataku mencicit. Membayangkan berdiri di atas sepeda yang meluncur dari ketinggian bukit yang entah berapa puluh meter tingginya, seketika memacu adrenalin dengan sedikit rasa ngeri.
"Makanya, ayo coba!" katamu sembari menggeretku lebih dekat. "Rasanya sangat seru," bisikmu kemudian. Membuatku seketika merinding.
"Kalau sampai kita jatuh lalu aku tewas, aku akan menghantuimu," ancamku sembari naik.
Kamu terbahak untuk kesekian kalinya.
"Tidak akan, Pendek!"
Perlahan, tapi pasti. Kamu melajukan sepeda. Awalnya pelan, tapi begitu meluncur ....
Refleks aku berteriak. Tidak peduli jika suara melengkingku mengganggu dedemit bukit. Masa bodoh. Dengan cara ini, aku bisa melepaskan beban.
~~~~~
~~~~~
Kamu tahu, tawa itu bergema bukan hanya di telinga. Lebih jauh lagi, tawamu mengendap dalam jiwa sebagai memori tak terlupakan.
Sanggupkah aku melepasmu?
*tbc
Posting Komentar untuk "Cerbung Melepasmu Part 5"