Hello,
Nomaden!
Karya, Dyah Purbo Arum
Larasati
Jalan
koridor yang tergelar disepanjang kelas itu masih terlihat bersih mengkilat
selesai dipel. Tidak sedikit pun noda membandel yang melekat diatas ubinnya.
Mentari pagi yang sudah menyembul keluar dari ufuk timur kali ini juga telah
bersinar cerah. Secerah hati Gania yang sedang berbunga-bunga.
Dengan
sepatu kulit berwarna hitam, kaus stocking
tinggi selutut, baju putih abu-abu yang terpasang dibadannya, hingga sebuah
jaket krem kalem yang dikenakannya, dia berjalan seperti terlihat tergesa-gesa,
tampak dari gaya berjalannya yang cepat melintasi jalan koridor itu.
Perawakan
gadis pintar ini yang kutilang, alias kurus,tinggi,langsing, dengan rambut ikal
panjang terurai, serta tumpukan buku-buku tebal yang ditumpuk ditangan kiri
yang dibawanya, tampak terlihat anggun saat berjalan, walau sesaat sedikit
gadis si kutu buku ini harus menaikkan kacamata perseginya yang kelonggaran
hingga turun beberapa senti dari batang hidungnya.
Gadis ini terus saja melangkah lebar
tak henti-hentinya. Angin sepoi pagi yang berusaha menggelitik terlihat
sesekali mencoba meniup ringan rok abu-abunya. Untung saja si anak karate ini
langsung dengan sigap menghalang roknya yang perlahan ditiup angin.
“Pagi Ganiaa...”
“Hai Gania... Kok cepet kali nihh
jalannya?? Sibuk yaa?!”
“Ganiaa...mau kemana nih?? Ihh,
sombong banget sich??
Beberapa
suara teman laki-laki yang sudah sering melonglong setiap paginya itu sudah
menjadi makanan kesehariannya Gania.
Ya,
siapa sih yang tidak tertarik dengan dia? Hampir satu sekolah itu pernah menembaknya atau bahkan hanya untuk
sekedar basa-basi aja. Tapi bagi Gania itu semua tidak seberharganya, jika dia
harus melepaskan tambatan hatinya saat ini.
Sepikat
aroma parfum lily terasa merebak di udara, sebuah bunyi kedukan sepatu di
lantai terdengar mengikuti langkah kakinya, suara itu datang dari arah
belakangnya. Langkah tempo kaki itu terdengar tidak lagi asing ditelinganya.
“Waa......! Gania!! Pagi my best
friend forever young..!!” teriak suara itu.
Dia
adalah Tyan, sahabat Gania dari kecil yang cukup narsis,imut, dan humoris, tapi
juga nyebelin setengah hidup.Suara lengkingan cewek pengkolektor lollypop dan candy itu tampaknya berhasil membuat Gania me-mending langkahnya.
“Huhh..Tyan...
pagi-pagi udah ngemut lolli ajach lo.. Lama-lama tuch gigi ompong kayak nenek
peyot baru tahu
luu yaa...!”
Memang
tidak ada kerjaan cewek lolli yang satu ini,dalam sekali duduk saja, dia
sanggup untuk menghabiskan lima bungkus
lolli ukuran diameter sepuluh senti yang diukur dengan giginya. Tapi, anehnya
giginya
tetap sehat dan bersinar bersih.
“Lo,
mau kemana sich, Gan?
Pagi-pagi udah kayak stocker oplet
keliling pasar loak.. Sibuk
banget sichh??”
Terdengar
helaan nafas Gania yang mencoba menjawab
soal sepele dari kawannya itu.
“Gue
mau ketemu sama Pak Galih nihh..Ada tugas yang harus gue selesaikan..” ucap
gadis itu yang sesekali menaikkan kacamatanya yang lagi-lagi turun beberapa senti.
Tampaknya,
pertanyaan yang di lontarkan oleh Tyan tidak berhenti sampai disitu, rangkaian
pertanyaan pun mulai sambung menyambung menjadi satu bak rel kereta api
lokomotif yang panjangnya hingga ratusan meter.
Gania
hanya bisa
diam saja, sambil
meneruskan tujuan awalnya untuk bertemu Pak Galih. Karena merasa dirinya dicuekin oleh
temannya sendiri, Tyan lalu buru-buru menggerogoti setangkai lollipop yang di emutnya dan mempercepat langkahnya
yang tertinggal jauh dengan Gania. Tangkai
lolli itu yang sekarang bermain dengan rambuit Gania dengan ulah usilnya.
“Shuthh....Shutthhhh..cewekk...Gania...”
ucapnya yang terus mengganggu Gania.
Gania
pun membalikkan badannya.
”Ada
apa Tyan?? Okay, aku
tau pasti lo mau ngajak nanti pulang bareng kan...??”tanyaanya.
“Teruss..?
“Terus
kita nanti mampir ke Candy Cindy’s House.. Yakan?!”
“Teruss..
“Kok
terus-terus lagi sichh?Terus apanya lagii??”
Gadis yang satu ini terlihat
mulai sedikit kesal dengan sikap teman sejawatnya yang nyebelin itu. Tapi
perlahan kesalnya mulai hilang saat Tyan bialng,,
“Teruss...
Ehhmmg.. Happy birthday my best friend
forever!!! I hope you’ll be better and gets all of your dreams...!!”
Teriakan
suara Tyan yang melengking ini tampaknya telah membangunkan seluruh warga
sekolah, hingga ada diantara mereka yang sedikit marah campur kesal sambil
mengunci lubang telinga gara-gara terlanjur
mendengar teriakan cempreng maut cewek lolli itu.
Sedang Gania hanya merasa bahagia hingga senyum riang
terlukis diraut wajahnya.
“Trimakasih ya Tyan..Lo emang sahabat gue yang paling
baik.. Sekali lagi thanks yaa..”
“Iyaa, Gan..
“Iyaa, Gan..
“Haamm..Tapi maaf gue harus buru-buru pergi nih sekarang.
Ada tugas yang harus gue selesaikan. Sorry banget ya..,Yan..
“Iyaa,iya. Gak apa kok..Ya sudah lo duluan aja. Kita
sambung natik aja yaa.. Okayy??,thx..”
“Thanks,
Yan..”
Gania mengakhiri perbincangannya dengan sahabatnya itu,
dan kembali melanjutkan perjalanan sesuai tujuan awalnya.
Baru dua langkah berjalan. Terasa ada yang mengusik rambutnya lagi. Kali ini dia benar-benar
kesal dan marah, terlebih lagi waktu suara Tyan,sahabatnya itu terus memanggilnya
dengan keras.
“Shuthh..shutt…heheh..
shuthhh…Hmmm..”
Suara itu terus saja memanggil Gania, dia pun menjadi
kesal dan berkata,,
“Ada apa
lagi sichh Tyan??! Apa lagi yang harus gue jawab?! Aduhhh..hughht!”
Suara Gania terdengar kesal ditelinganya, desahannya
terdengar melambangkan keletihan untuk menjawab ocehan Tyan, sahabatnya itu.
Gania pun memundurkan kakinya tiga langkah kebelakang. Ketika dia membalikkan
badannya,ternyata saat ini dia sedang berada tepat di depan seorang cowok
ganteng, berkulit putih dengan batang hidngnya
yang mancung. Tampaknya laki-laki ini agak sedikit bingung, ketika sebuah
tatapan kesal penuh ketergesa-gesaan tu menatap balik kedua matanya.
Bagaikan
ada kipas angin disitu, rambut Gania terasa mulai beterbangan, senyum tipisnya
mulai meringis tersipu malu-malu.
“Kelihatannya kamu buru-buru banget, mau kemana??” Tanya
lelaki itu dengan nada rendah.
“Aghh? Hmm.. Aku..aku..hm..” Wajah Gania jadi kaku saat
itu,dan mulai terasa salah tingkah dan mati gaya. Suasana pun jadi hiruk-pikuk dan kaku untuk beberapa saat.
Tapi untungnya cowok ini sukses menetralkan keadaan.
“Ohh,hmm..ya sudah, aku cuman mau ngembaliin ini,milik
kamu . Yang kemaren aku pinjam. Makasihh yaa..” ucapnya dengan senyum lebar.
Laki-laki itu menyodorkan sebuah sapu tangan petak berukuran
lima belas kali lima belas sentimeter. Bewarna coklat. Sapu tangan itu
diberikan oleh Gania sewaktu tangannya terkena letupan gas H2SO4
di ruang lab IPA.
“Ya sudah kalau begitu, aku balik dulu yaa, sekali lagi
terima kasih buat sapu tangannya…” ucapnya
lalu membalikkan badan dan berlari menuju kearah persimpangan kelasnya.
Gania
pun berkata,
“Saaa..ma-saaa..maa..”
ucapnya lambat.
Gania masih tertegun diam, tangannya masih memegang sapu tangan cokelat berukuran mini
itu. Perlahan diangkatnya benda itu.
“Aghhh! Rayann…!!” teriaknya kencang sambil mencium sapu
tangan dan lalu berbalik arah serta berjaan pada tujuan awalnya.
Seorang lelaki paruh baya tampak berjalan menuju ke arah kantor, badannya tingi berkulit putih dengan dada tegap,serta berjalan dengan menjinjing sebuah tas kerja berwarna hitam. Sesayup suara terdengar
memanggilnya.
“Pak
Galih…!! Bapakk..!!” Pria itu membalikkan badannya.
“Aduhh..Ya ampun, Pak.. Saya sudah mencari bapak dari
tadi. Ternyata bapak disini.. hufhht..” keluh gadis itu
samba menyapu tets kerigat yang mengcur deras di dahinya.
“Ohh maaf Gania..Tadi ban motor bapak bocor di tengah
jalan, teruss…”
Sebelum Pak Galih melanjutkan pembicaraannya, Gania
melihat sebuah goresan luka panjang yang terukir ditangan kiri pria itu. Bercak
darah tipis pun terlihat meresap di lengan kiri kemejanya.
“Ya ampun, Pak!! Tangan Bapak kenapa??! Bapak jatuh?? Yaa
ampun..”
Cewek kutu buku ini segera mengeluarkan sapu tangan cokelat
yang tadi dikembalikan Rayan. Dia langsung mengikat aliran darah tersebut dan
membiarkan lengan kemeja pria itu terbuka setengah bawahnya. Tampak olehnya
sebuah otot besar dan urat biru menghiasi lengan pria yang sedang menatapnya
saat ini.
“Bapak atlet binaraga yaa,Pak??” tanyanya lirih sambil
mengikat sapu tangan itu.
“Tidak.. saya atlet bina cintaa..” kata pria itu.
“Haa?! Bina apa,Pak?!” Tanya Gania ragu.
“Ehehh.. Maksud saya, iya. Binaraga..” ucapnya tenang.
Tampaknya pria ini terkesan melihat remaja cantik yang
mengobati lukanya, yang saat ini berdiri tepat dihadapannya, dan yang pastinya
adalah muridnya. Ini tertangkap dari
cara tatapannya memandang Gania.
“Dahh,Pak.. Sekarang sudah siap...”ucap Gania riang. Dan
melihat Pak Galih. Pria itu langsung memalingkan pandangannya ke arah yang
lain, lalu berkata,
“Ohh..trimakasih
ya, Gania..Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot seperti ini..”
“Aghh..tidak apa, Pak..O iya, Pak, ini proposal yang
bapak minta kemaren. Semua kegiatannya juga sudah saya rangkum,
“Oh ya, cepat sekali kamu mengerjakannya?” tanya pria itu.
“Oh,tidak ah, Pak. Ini belum seberapa dibandingkan
bapak yang yang sukses menulis buku hanya satu malam” ucap Gania yang memuji
pria yang memenangi kontes penulisan Grammy
Award Best Writer Festival itu, yang juga merupakan salah seorang pengisi
hatinya sekaligus guru ter-favorit nya.
“Okay,baiklah,
nanti bapak periksa lagi proposalnya yaa..”
“Okee,siip, Pak! Hm.. ya sudah,Pak saya permisi dulu ya, PakTrimakasih Pak..”
“Ya, Ganiaa..” ucapnya.
Gania pun membaikkan badannya lalu turun melangkah dari lantai
bertangga kecil di depan kantor itu. Tapi
lalu..
“Gania…?!” ucap salah satu sumber suara. Gania kembali
membalikkan badannya. Begitu dia membalikkan badan, rambutnya yang panjang
terurai itu pun langsung beterbangan
tertiup angin timur yang bersepoi sejuk.
“Iya, Pak?? Ada yang perlu saya bantu lagi??” ucapnya
kepada pria tadi.
“Hmm.. trimakasih
ya sapu tangannya..” ucap guru seninya itu..
“Ohh, iya, Pak”. Balas Gania lalu melanjutkan
perjalanannya tadi. Sedang pria itu kembali
masuk kedalam ruangan ber-full AC.
Gania kembali berjalan dengan penuh riang akan dua hal
yang tadi telah membuat hatinya menjadi istana bunga pagi ini. Setumpuk buku
yang dibawanya telah bertransmigran pada guru seninya tadi. Kini hanya sebuah
tas ransel berwarna biru dongker yang
yang menggantung di punggungnya. Sesaat sedikit dinaikkannya kacamata
perseginya yang kembali turun beberapa senti dari batang hidungnya.
Sesaat kemudian, terdengar sebuah teriakan dari arah
belakangya.
“Gania!! Gania!! Wait me!! Gania!!..” teriak sumber
suara itu. Kali ini yang datang
bukanlah temannya si lolli girl itu,
bukan pula tambatan hatinya, tapi melainkan hanya sekedar teman dekat, tapi
mesra.. yaa.. begitulah cocoknya.
“Eh, Heru.. Ngapain lo lari-lari gitu? Kayak ngejar hantu aja lo..” ucap Gania seraya
menyetop langkahnya.
“Uhh.. Untuk apa gue ngejar hantu?! Akun
ngejar kamu lagii..!” balas laki-laki Sunda
yang sedang mengunyah bubble gum
itu.
“Ehh.. tapi boleh dengg.. kalau hantunya cantik kayak
kamu…” tambahnya lirih.
“Apa??
Ihh!! Sejak kapan kamu jadi gombal gituch?! Hmm.. dasar culun…”
“Ehheh..
kamu yang ngajarin kok…”balasnya.
“Iyuuuhh.. Sorry dulu yaa…” ejek Gania.
“Eh.. ngomong-ngomong, mana oleh-olehnya dari tanah
Sunda? Main kesana gak ngajak-ngajak, minimal bawa buah tangan lah, bawa dodol
gitu… Huuu..” celetuk si cewek kutu buku ini.
“Apa? Lo, nanya buah tangan? Nih, gue ada bawa..” ucap
Heru. Si cowok culun ini lalu berhenti dan duduk di salah satu bebatuan semen
yang mengeras, lalu merogoh isi tasnya.
“Yeei..asiiik.. Ternyata Heru gak peliit. Hihi..”
teriak Gania kegirangan. Tapi,
sesaat kemudian Heru berhenti merogoh dan mengeluarkan tangannya dari dalam tas
dengan tangan kosong.
“Mana buah tangannya??” tanya Gania kebelet.
“Kutu buku mau minta buah tangan?? Iniii..
Weekkk..” tunjuknya ke lidahnya
yang menjulur sedang mengunyah
permen karet. Tampak permen karet
itu lengket dan berlumuran air liurnya yang bening dan lembek.
“ Aghh! Uweekkk…Heruuu! Awas lo yaa!! Ya sudah biar gue yang ngasih buah tangan ke lo! Nih, buah tangannya! Tinju!!” teriak Gania yang mulai
bersiap-siap mencuri start dan
mengepalkan tangannya dan mengejar Heru yang berlari di depannya.
Mereka pun berkejaran bersama, membiarkan perasaan
keduanya terbawa suasana. Meski sebenarnya, Gania tau bahwa Heru, teman sepermainannya itu memiliki hati untuknya.
Tapi, dia masih belum berani untuk mengungkapkannya pada Gania. Dan begitu juga
dengan Gania yang terkadang harus bingung jika harus memilih antara tiga dermaga yang terbangun
megah di pulau hatinya itu. Ya, tiga dermaga, antara Heru, Rayan, atau bahkan..
Pak Galih, guru seninya.
Dan di antara rajutan kisah cinta yang cukup pelikdia
lebih memilih untuk menjalaninya, dan menjadikan dirinya seperti kucing kecil
yang labil. Karena dahulu, ia pernah memikirkannya. Tapi yang muncul tiba-tiba
diruang pikirnya adalah berupa seekor monyet kecil yang berkata..
“Kau Juliet… cintamu nomaden..u’uuk..aak…” ejek monyet
kecil yang meloncat sambil memakan setandan pisang ambon.
Dan, ternyata saat itu Gania hanya terbangun dari
mimpinya yang sebelumya dia harus berfikir untuk menetapkan perahu cintanya diantara tiga
dermaga. Tapi yang anehnya, sebuah kulit pisang ambon tergeletak di atas kacamata perseginya, yang
Ia letakkan di atas tumpukan buku-buku
tebal yang sudah selesai dia baca.
“Lantas, siapa yang makan pisang ini?? Ahg! Entahlah!
Tapi aku harap ini bukan seekor monyet …” ujarnya penuh tanda tanya.
Posting Komentar untuk "CERPEN - HELLO, NOMADEN!"