By : Raya Mipi
AKU terbangun mendengar ketukan pintu
yang sangat keras, terpaksa kuayunkan langkah kaki sambil melirik jam dinding.
“Siapa yang bertamu tengah malam begini?”
Seorang lelaki yang tak asing lagi
bagiku langsung masuk dengan tergesa saat pintu kubuka. Kemudian ia dengan
cepat menutup kembali dan menguncinya. Wajahnya tegang, ia ketakutan sekali,
tampangnya juga lusuh. “Tolongin aku Marwah, aku lagi dikejar-kejar banyak
orang.” ujarnya panik.
“Kenapa Mas Anton bisa...”
“Nanti kujelaskan. Kau...”
Terdengar ketukan pintu lagi, aku
segera menyibakkan tirai jendela. Kulihat ada beberapa orang di luar.
“Jangan bilang aku ada di sini.”
pintanya memelas.
“Tidak, aku tidak mau berbohong. Mas
Anton pasti telah melakukan kesalahan lagi, makanya mereka mengejar Mas. Aku
tidak mau membantu penjahat.”
“Aku mohon... cepat singkirkan mereka
dari sini.” Dia segera berlari, bersembunyi.
Aku membuka pintu. Ternyata benar,
mereka mencari Mas Anton, jumlah mereka sangat banyak. Mas Anton bisa mati
konyol di tangan mereka. Tak apalah, aku menolongnya. Aku bersikap biasa agar
tidak dicurigai mengumpat penjahat.
“Baiklah... kami permisi. Maaf telah
menganggu, Mbak. Selamat malam.”
Aku menghela nafas lega. Aku tidak
terbiasa berbohong, apalagi di depan orang sebanyak itu.
Setelah dirasa cukup aman, Mas Anton
keluar dari persembunyiannya. “Terimakasih kau telah menolongku.” katanya
sembari duduk di sofa.
“Iya... tapi aku tidak suka berbohong
untuk melindungi seorang penjahat. Itu namanya...”
“Sudahlah... kau kan berbohong demi
kebaikan, berbohong untuk menyelamatkan nyawaku dari amukan mereka. Lagian,
kalau kau berbohong dengan menyebut nama Tuhan kepada rakyat untuk mendapatkan
kursi jabatan, itu baru salah.”
“Lalu kenapa mereka mengejar Mas
Anton? Mas mencopet lagi, ya? Atau jangan-jangan Mas membunuh?”
“Husst! Pikiranmu selalu negatif padaku.
Sejahat-jahatnya aku, aku tidak mungkin membunuh. Aku tidak tega.”
Mas Anton mulai bercerita. Ia diusir
dari kontrakannya karna nunggak tiga bulan uang kontrakan. Ia sudah mencari
pekerjaan kemana-mana. Sayangnya ditolak terus, alasannya inilah, itulah. Memang
sulit mendapatkan pekerjaan jika tidak ada orang dalam, orang yang bisa
membantu kita bekerja di tempatnya.
Uang Mas Anton sudah habis. Dia makan
di pinggir jalan tanpa uang sepesen pun di dalam dompetnya. Setelah makan, dia
berusaha untuk kabur. Tapi ketahuan tukang jualan, terpaksa dia mengeluarkan pisau
untuk mengancam. Aksinya itu dilihat pembeli lain yang kemudian berteriak
meminta tolong. Dia kemudian berlari, orang-orang yang di sekitar tempat itu
mengejarnya.
“Sebenarnya aku bisa saja mencopet,
tapi aku malu dengan Mas-mu. Aku sudah berjanji tidak akan berulah lagi setelah
dia mengeluarkan aku dari penjara bulan lalu.” jelas Mas Anton sembari meneguk
teh manis yang baru kubuat. “Oh ya, ngomong-ngomong dia kemana? Kenapa tidak
kelihatan dari tadi?”
“Mas Ikhsan sedang ada tugas di luar
kota selama lima hari, tadi pagi dia baru berangkat.”
“Ah, dia beruntung punya pekerjaan
untuk menghidupimu dan si kecil Laura. Sedangkan aku tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.”
keluh Mas Anton.
“Kan Mas punya kami. Aku dan Mas Ikhsan
sudah menganggap Mas Anton keluarga sendiri.”
Aku jadi teringat awal bertemu Mas
Anton. Dulu... dia tidak seperti ini. Dia punya rumah, keluarga dan juga
pendidikan. Aku dan Mas Ikhsan satu kampus dengan Mas Anton. Kami berteman
baik, sebelum akhirnya orangtua Mas Anton meninggal dalam kecelakaan. Rumah Mas
Anton dijual untuk menutupi hutang orangtuanya. Tidak adanya biaya membuat dia
berhenti kuliah dan mencoba peruntungan berkerja sana sini untuk bertahan
hidup.
“Untung saja tadi kamu bisa mengelabuhi mereka,”
ujarnya menyadarkanku dari lamunan. “...aku tidak mau lagi masuk penjara karna
mencopet atau karna kepepet seperti tadi, kecuali aku kerjanya berdasi, bisa
mendapat uang banyak. Kalau masuk penjara palingan satu, dua atau tiga tahun.
Nah, setelah keluar dari penjara, aku bisa menikmati hasil kejahatanku, uang
yang berlimpah.”
“Mas ngomong apa, sih? Kejahatan itu
sama-sama tidak baik, walaupun kecil ataupun besar.” kataku, menasehatinya.
Dia hanya diam, tak berkomentar. Sedikit
ragu, kemudian dia berkata. “Hm... apa aku boleh nginap di sini untuk malam ini?”
“Maaf Mas. Bukan bermaksud lancang, Mas tidak
bisa nginap di rumahku soalnya Mas Ikhsan kan tidak ada di rumah, aku dan Laura
saja. Nanti apa kata tetangga?”
Sebenarnya, aku kasihan pada Mas Anton
yang harus tidur di jalanan. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak mau
dijadikan bahan omongan tetangga, memasukkan lelaki ke rumah saat suamiku tidak
ada. Mereka pasti akan berpikiran yang tidak-tidak tentangku.
“Tak apa, aku paham. Jaga anakmu
baik-baik, ya. Aku pergi.”
--- o o o ---
AKU terbangun mendengar ketukan pintu
yang sangat keras, terpaksa kuayunkan langkah kaki sambil melirik jam dinding.
“Siapa yang bertamu tengah malam begini? Apa Mas Anton kena masalah lagi?”
Seorang lelaki yang tak asing lagi
bagiku langsung masuk dengan tergesa saat pintu kubuka. Kemudian ia dengan
cepat menutup kembali pintu dan menguncinya. “Mas...” Belum sempat aku
menyelesaikan kata-kataku, Mas Anton menarikku untuk duduk di sofa sambil
meletakkan tas yang ia bawa di atas meja.
“Ini apa?” tanyaku heran.
Mas Anton membuka isi tasnya. Aku
terperangah dengan mata membelalak tak percaya. Isi tas Mas Anton perhiasan dan
uang yang sungguh banyak.
“Mas merampok?” tuduhku.
“Bukan, aku tidak punya nyali untuk
merampok uang sebanyak ini sendirian. Aku menemukannya di tong sampah saat sedang
mencari sisa makanan, soalnya aku lapar. Aku tidak tahu harus berbuat apa
dengan uang ini, makanya kubawa ke rumahmu. Kalau ketahuan orang lain bisa
bahaya, kan?”
“Lalu...”
“Aku tidak tahu uang ini milik siapa.
Kurasa ada orang yang sengaja menaruhnya di tong sampah setelah merampok karna keharusan
yang mendesak, mungkin...”
“Mau Mas apakan uang sebanyak ini?”
“Untuk modal usahaku. Itung-itung amal
dari orang kaya.”
“Uang ini bukan milik Mas, Mas tidak
berhak memakainya. Mas harus meletakkan kembali di tempat Mas menemukannya.”
“Itu ide yang buruk. Kalau ditemukan
orang lain yang bukan pemiliknya, rugi kan aku.”
“Kalau ini uang hasil rampokan berarti...”
“Dengar ya, terkadang orang melakukan
kejahatan untuk uang karna dua alasan. Pertama, ada kesempatan dan notabene-nya orang itu memang jahat.
Kedua, karna lapar, harus makan untuk bertahan hidup. Aku yang kedua, masih dimaklumilah.
Aku malam ini tidur di sini, ya? Aku tidak mungkin tidur di jalanan, hotel atau
tempat lainnya dengan uang sebanyak ini. Aku bisa dicurigai telah merampok.”
“Hm...”
“Kau tenang saja, aku akan pergi
sebelum tetanggamu bangun.”
--- o o o ---
“Diminum, Mas.” Aku meletakkan secangkir
kopi yang masih panas di atas meja. “Mas lagi baca tentang apa, kelihatannya
serius sekali?” tanyaku ingin tahu, melihat mata Mas Ikhsan fokus membaca koran
yang ada di tangannya.
“Berita perampokan di rumah salah satu
pengusaha sukses.” Mas Ikhsan lalu meminum kopinya. “Pelakunya sudah ditangkap.
tapi tidak dengan uangnya. Menurut keterangannya, uang itu ia letakkan di tong
sampah di pinggir jalan. Malam itu setelah merampok terjadi razia. Kemudian dia
membawa polisi ke tempat itu, tapi uangnya tidak ada, kemungkinan sudah diambil
para pemulung.”
“Di tong sampah, Mas?” Aku memastikan,
teringat uang yang dibawa Mas Anton seminggu yang lalu.
“Ya. Pengusaha itu sudah menyuruh
semua anak buahnya untuk mencari tahu keberadaan uangnya sekarang.” Mas Ikhsan
melirikku. “Kau tahu kenapa?”
“Kenapa, Mas?”
“Uang yang dirampok itu jumlahnya
sangat banyak, ditambah lagi perhiasan dan emas batangan yang jumlahnya semua
kalau dihitung milyaran rupiah. Pengusaha itu tentu tidak mau uangnya hilang begitu
saja, kan?”
Apa uang yang dibawa Mas Anton adalah
uang pengusaha itu, ya? pikirku. Kalau iya, berarti dia dalam bahaya jika
sampai ketahuan. Apalagi sampai ketemu anak buah pengusaha itu, bisa tambah
parah urusannya, dia...
“Marwah...” panggil Mas Ikhsan
menyadarkan lamunannku. “Kau kenapa, apa kau tahu sesuatu tentang berita ini? Ini
berita besar. Bosku pasti senang seandainya aku bisa menemukan siapa yang
menemukan uang itu dan menerbitkannya di koranku.”
Mas Ikhsan bekerja sebagai wartawan di
salah satu koran swasta di kotaku, ia selalu memburu berita penting. Bahkan,
sampai diberi tugas keluar kota seperti minggu lalu.
“Iya, Mas.” gumamku pelan. Secara
singkat kuceritakan semuanya.
“Anton, apa...” Kata-kata Mas Ikhsan
terputus mendengar ketukan pintu. Mas Anton muncul dari balik pintu dengan
wajah bersimbah keringat, nafasnya tak beraturan.
“Aku dikejar oleh anak buah seorang pengusaha
yang kemarin uangnya kutemukan di tong sampah, padahal sebagian uangnya sudah
kupakai untuk modal usahaku.” jelas Mas Anton dengan nafas memburu.
TAMAT.
Sumber gambar : google.
Sumber gambar : google.
Posting Komentar untuk "CERPEN - KETUKAN PINTU TENGAH MALAM"