Kepalaku mulai terasa pening,
namun serasa ada yang mengguncangkan bahu ini, sambil sayup-sayup terdengar
suara lembut.
“Ma ... ma!”
Segera mataku terbuka
dan menatap seraut wajah mungil tersenyum memandangi sambil tangannya menunjuk
ke arah pintu. Aisyah membangunkan diri ini, sebab ada seseorang di luar
membuka pagar bambu di teras. Masih setengah sadar, kemudian aku memandangi
seluruh ruangan rumah. Masih rapi rupanya, lantas kenapa tadi
seakan-akan ada yang mendobrak pintu rumah dan memecahkan kaca jendela? Dan
suara itu? Suara siapakah yang terakhir aku dengar? Batinku kembali
mengingat semua kejadian yang ternyata hanya mimpi. Tak lama kemudian ...
Tok! Tok! Tok!
“Assalaamu’alaikum!”
Terdengar suara di luar memberikan salam setelah mengetuk pintu.
“Wa’alaikumussalaam
warahmatullahi wabarakaatuuh!” jawabku seraya berdiri dan berjalan menuju
pintu.
Rupanya aku ketiduran
selepas salat dzuhur tadi dan masih menggunakan mukena, kemudian membukakan pintu.
“Pak Syarif dan Ibu
Winda? Silakan masuk, Pak, Bu,” kataku sambil mempersilakan mereka masuk, walau
masih kaget dengan kedatangannya. Kemudian mempersilakan duduk di tikar yang
sudah digelar. sekejap aku ke dapur, membuatkan minuman untuk mereka.
“Maaf ya Pak, ada apa?”
Sambil meletakkan minuman, aku bertanya.
“Bapak ada, Bu?” tanya
Pak Syarif kemudian
“Kebetulan bapak sedang
ada tugas luar, Pak,” jawabku
“Sebenarnya kedatangan
kami ke sini hanya sekedar silaturahmi dan ingin memberikan sedikit buah tangan
untuk Aisyah,” jawab Bu winda, istri Pak Syarif sambil menyerahkan beberapa kantung
plastik, saat kulirik ada sembako di sana dan beras dalam karung kecil, serta
makanan ringan dan susu untuk Aisyah.
“Ya Allah, terima kasih
ya Bu,” ucapku sambil tertunduk, haru.
“Sama-sama, Bu Dewi!
Kebetulan kami lagi ada rezeki untuk Aisyah juga, ya Pak?” jawab Bu Winda
sambil menatap Pak Syarif yang tersenyum bijak menanggapi.
“Alhamdulillah, semoga
berkah dan semakin bertambah rezeki Ibu sekeluarga, amin,” ucapku kembali.
“Amin!” jawab mereka
berbarengan.
Sementara kulihat
Aisyah sedang sibuk bermain dengan boneka baru pemberian mereka juga. Aisyah,
semenjak lahir memang ada kelainan, telinganya tidak bisa mendengar dengan baik
sehingga bicaranya pun hanya satu dua kata yang Dia bisa. Biar bagaimanapun
aku sangat bersyukur, dengan segala keterbatasannya, walau Aisyah tumbuh tidak seperti
anak-anak lainnya. Setelah cukup lama kami berbincang dan menikmati hidangan seadanya, kemudian mereka
berpamitan.
***
Malamnya, ketika Aisyah
sudah tidur, segera mencoba mengingat-ingat tentang mimpi tadi siang. Mimpi
yang membuat semua orang merinding, bahkan bergidik ketakutan. Siapa yang tidak
ngeri mendapat perlakuan kasar dari warga dan parahnya lagi tuduhan mereka itu,
yang mengatakan aku adalah pelakor, ya! Pelakor, perebut laki orang. Entah
suami siapa yang telah direbut dan bagaimana mereka dalam mimpi itu seolah begitu nyata. Hingga kembali
kucoba mengingat tentang suara itu, suara seorang wanita yang terasa tidak
asing lagi, tapi di mana aku pernah mendengarnya? Dan kapan? Kepala ini mulai
terasa pening saat mengingatnya dan ternyata sudah cukup larut untuk mengingat
semua kejadian dalam mimpi itu, segera kutarik selimut dan berdoa lalu tidur.
***
Dua minggu setelah
mimpi itu, tiba-tiba handphone berbunyi, terpampang sebuah nomor tak dikenal,
ragu untuk menjawab sebenarnya namun sudah tiga kali nomor itu menghubungi ponselku.
Lalu dengan terpaksa segera aku menjawabnya.
“Assalaamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalaam!
Mbak Dewi? Halo!” Terdengar suara seorang wanita memanggil namaku.
“Ya, dengan siapa aku
bicara?” jawabku
“Sudah lupa dengan
Saya? Bertahun-tahun kita tak pernah bertemu, bahkan berbicara melalui telepon
juga kita tak pernah. Hampir lima tahun kita tak saling menyapa, karena memang
jarak yang telah memisahkan kita.” Jawabnya lagi mencoba mengingatkanku tentang
siapa dirinya.
“Bagaimana kabar Aisyah
sekarang? Sudah besar tentunya ya? Kelas berapa sekarang Aisyah?” Serentetan
pertanyaan tentang putriku kini dia berikan.
Bang Ipul kerja, Mbak?
Bagaimana kabarnya juga dengan Abang? Rasanya kangen ingin bertemu dengan
kalian kembali, terutama Aisyah. Tentunya sekarang sudah besar dan cantik
seperti Mbak ya?” Belum sempat kujawab pertanyaan yang tadi, Dia sudah
memberikan beberapa pertanyaan dan kali ini tentang Bang Ipul. Ya! Bang
Saepulloh adalah suamiku, bagaimana wanita itu mengenal dengan baik tentang kami?
Sambil mencoba mengingat-ingat
siapa wanita ini melalui suaranya, sepertinya aku mengenalinya juga. Belum sempat
menjawab semua pertanyaan itu, tiba-tiba Dia berkata kembali,
“Maaf, Mbak! Friska anakku
bangun, lain waktu kita bicara lagi ya Mbak? Assalaamu’alaikum Mbak Dewi!” katanya
segera mengakhiri telepon saat kudengar suara tangisan seorang anak kecil dari sana
dan suara seorang lelaki yang terdengar samar, sepertinya aku mengenalinya juga.
Siapakah Dia? Suara wanita itu sepertinya sudah sangat
familier, bahkan sepertinya baru kemarin aku mendengar suaranya. Dan suara lelaki
itu? Ah! Mungkin Dia adalah suaminya,
batinku sambil menaruh handphone. Kemudian melanjutkan menulis kembali.
DR.
Bekasi, 16 Maret 2018
16:52
Posting Komentar untuk "CINTA YANG DIDUSTAKAN (2) Oleh Dewy Rose."