Hari-hari kulalui
bersama Aisyah merupakan momen yang terindah, walaupun Aisyah tak sempurna,
hanya bisa memperhatikan semua gerak-gerik dan kadang tertawa ketika kami
bercanda. Bahkan sering kali menangis, saat semua keinginannya tidak bisa aku
penuhi, karena memang tidak mengerti apa yang diinginkannya. Walau usianya
sudah sembilan tahun, namun karena keterbatasan ekonomi, makanya Aisyah tidak
bersekolah.
Sejak mengetahui Aisyah
lahir dengan keterbatasan, ada sedikit perubahan dalam diri Bang Ipul, dirinya
menjadi lebih pendiam. Sebenarnya kehidupan kami cukup lumayan, namun
sepertinya kehadiran Aisyah yang berbeda, seperti ada perasaan yang mengganjal
dalam dirinya. Tak hanya Bang Ipul, keluarganya pun kadang suka mencemooh kehadiran
Aisyah. Sehingga membuat hubungan kami sedikit renggang.
Sejak tujuh tahun yang
lalu kami membeli sebuah rumah mungil di pinggiran kota. Dengan alasan agar
jauh dari keluarga Bang Ipul, menghindari juga dari omongan keluarga dan tetangga
tentang Aisyah, karena rumah di sini masih banyak tanah kosong dan berjauhan dengan
tetangga.
Tetapi semenjak pindah
rumah, sikap Bang Ipul semakin berubah, dengan alasan kerja tugas luar atau
banyak kerjaan sehingga jarang pulang. Sebenarnya pendidikan akademisku cukup
tinggi, sebelum Aisyah lahir dan kami pindah ke sini, aku adalah seorang guru,
namun kondisi Aisyah membutuhkan seorang ibu yang intensif untuk merawatnya,
ditambah lagi semua mesti dilakukan sendiri sekarang. Ini tak pernah
mempersulit keadaan dan membuat berkecil hati, sebagai seorang penulis lepas di
berbagai media cetak maupun online, hingga sedikit demi sedikit bisa membantu
keuangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari bersama Aisyah. Pengalaman
mengajarkanku untuk kuat menahan semua cobaan yang telah diberikan oleh Yang
Maha Kuasa.
***
“Ma! Ma!” Suara Aisyah
memanggil dari ruang depan. Sementara aku segera bergegas dari dapur, melihat
apa yang terjadi dengannya.
“Aisyah!” Panggilku
setengah berteriak mendekatinya.
Kulihat Dia menunjuk ke
arah pintu dan pandanganku segera mengikuti arah tangan mungilnya. Tak lama
pintu pagar dibuka, terdengar suara motor memasuki halaman.
Alhamdulillah, Bang Ipul pulang dengan selamat,
setelah hampir seminggu pergi tugas luar,
batinku bersyukur.
“Assalaamu’alaikum!” ucap Bang Ipul.
“Wa’alaikumussalaam,”
jawabku segera membukakan pintu
Kemudian Bang Ipul
masuk, Aisyah memberikan pelukan hangat setelah aku mencium tangan Bang Ipul.
“Apak! Apak!” ucap
Aisyah sambil memeluk Bapaknya, untuk meluapkan rasa kangennya.
“Bapak mau istirahat
dulu ya, Sayang?” Bujukku kepada Aisyah. Sementara Bang Ipul hanya menatap ke
arah kami tanpa berucap.
Nanar netraku menatap
sendu ke wajah Aisyah yang berubah mendung, karena sudah menitik butiran bening
pada pipi tirusnya.
Ya Tuhan! Berikan kekuatan dan kesabaran dalam diri
hamba, limpahkanlah kasih dan sayangMU untuk hamba dan Aisyah, batinku berdoa.
Sambil memeluknya,
kemudian kucoba alihkan perhatiannya dengan boneka hello kitty kesayangan
Aisyah.
“Aisyah, bermain dengan
boneka dulu ya, Nak? Mama mau melanjutkan masak sebentar, nanti kita makan
bersama dengan Bapak,” ucapku membujuk lalu beerdiri mengunci pintu dan
melanjutkan masak kembali.
Selepas salat zuhur,
kulihat Bang Ipul sudah bangun dan bersiap mandi. Sambil menyiapkan baju yang
akan di pakai, tanganku sibuk berbenah ruangan bekas mainan Aisyah yang berserakan.
Selesai salat, makanan sudah kusiapkan di lantai beralaskan tikar. Kemudian
kami duduk dan makan bersama tanpa ada sepatah kata.
***
Malam hari, ketika
Aisyah sudah tidur, lamat-lamat aku mendengar suara Bang Ipul berbicara dengan
seseorang. Kemudian aku menghampirinya, rupanya Ia sedang menelpon seseorang.
Mungkin Bang Ipul sedang menelpon teman kerjanya,
hingga berbicara pela-pelan, karena Aisyah sudah tidur, batinku sambil tersenyum saat melihat wajahnya
yang sedikit terkejut karena tiba-tiba aku berada di sampingnya. Kemudian Ia
segera menyelesaikan urusannya dan mematikan handphonenya.
***
Kepulangan Bang Ipul
yang sudah beberapa hari, membuat perasaan bahagia terlukis di wajah Aisyah.
Seperti ada sesuatu yang berbeda, karena rasa kangen dari seorang anak yang
telah terobati kini. Walau itu tak berlangsung lama, karena pagi ini Bang Ipul
sudah berkemas kembali.
“Ma! Mungkin Bapak seminggu
ini tidak pulang lagi, ada banyak kerjaan,” ucapnya.
“Bapak baru beberapa
hari berada di rumah, kami masih kangen, Pak,” jawabku
“Kalau tidak banyak pekerjaan,
Bapak juga akan di rumah terus kok ,” jawabnya sambil memandang wajah Aisyah dan
menatapku. Dari pandangannya ada sesuatu
yang disembunyikan di sana.
Mungkin saja karena sedang banyak pekerjaan, batinku segera menepis pikiran macam-macam yang
mulai hinggap di kepala.
Kemudian Ia bergegas keluar,
setelah kami bersalaman.
“Hati-hati di jalan ya,
Bang!” ucapku mengingatkan setelah mesin motor dinyalakan. Sementara Bang Ipul hanya
tersenyum sambil mengangguk.
Ketika tubuhku
berbalik, Aisyah sudah berdiri dengan mata yang mengembeng. Segera kuraih bahu
dan memeluknya sambil berucap lirih,
“Sabar ya, Sayang! Bapak
pergi kerja lagi, kita bantu doa agar Bapak cepat selesai pekerjaannya,”
Walau aku tahu Aisyah
tidak bisa mendengar, namun Dia bisa merasakan semua doa dan pintaku pada Yang
Maha Kuasa.
DR.
Bekasi, 24 Maret 2018
04:44
Posting Komentar untuk "CINTA YANG DIDUSTAKAN (3) Oleh Dewy Rose."