Pada senja temaram yang
selalu menjuntai sunyi dikeheningan malam. Terbesit sejumput asa dalam raga
yang rapuh namun tetap tegar bak setangkai bunga diterpa angin yang berembus
kencang, walaupun meliuk bergoyang tetap bertahan hidup. Mungkin seperti itulah
lukisan yang tergores dalam perjalanan kisah hidup. Sementara malam kian
meninggi, hingga tiada dapat terlihat jejak-jejak langkah yang telah menapak
pada dinding kalbu, seolah kembali terhalang kabut. Walau hari tiada dipenuhi
mendung dan mega selalu berarak cerah.
Ketika kembali
menikmati kehidupan dengan berbagai cobaan, tetaplah tersenyum untuk
melewatinya. Walau pahit itu pasti dan dapat dirasakan namun cobalah telaah
lebih dalam kembali, bukankah kadang kepahitan dalam hidup dapat dijadikan sebagai
obat di kemudian hari?
Hari-hari penuh
kesunyian yang dirasakan oleh Aisyah kujadikan penuh berwarna, meski dalam hati
kesunyian semu pun mewarnai kehidupanku. Seperti siang ini kami bercanda sambil
menikmati film kartun yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi.
Diam-diam kupandangi wajahnya yang tersenyum saat menyaksikan film kartun
kesukaannya.
Nak, andai saja kau terlahir seperti teman-temanmu
yang lain, tentu saat ini lebih memilih bermain dengan mereka. Beruntungnya
diriku, yang bisa setiap saat selalu bersamamu. Melihatmu tertawa, bermain
bahkan menangis saat keinginanmu tidak terpenuhi, karena aku sebagai ibumu
kadang tidak memahaminya, batinku sambil
tersenyum menghibur diri.
“Aisyah, maafkan
keadaan ini, mungkin suatu saat nanti waktu ‘kan berpihak pada kita, Nak,”
gumamku dengan mata yang mengembeng.
Tiba-tiba suara
handphone berbunyi, saat kulihat di layar tertera “noname” nama yang kuberikan
saat nomor itu menelepon beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya malas sekali
untuk menerima telepon ini. Tapi sudah beberapa kali nomor itu menghubungiku.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalaam,
Mbak Dewi apa kabar?”
“Alhamdulillah, maaf
ini siapa ya?” tanyaku sambil terus memutar ingatan tentang suara siapa ini.
“Bagaimana kabar
Aisyah, Mbak? Sudah pulang sekolah ya, Mbak?” Tanpa menjawab pertanyaanku, Dia
menanyakan kabar Aisyah.
“Aisyah belum sekolah,
karena anakku tidak seperti anak-anak seusianya. Aisyah tidak bisa berbicara.”
ucapku seakan tercekat saat mengatakan semua ini.
“Oh! Bagaimana kabar
Bang Ipul, Mbak? Kabar yang saya dengar Abang sekarang sering tugas luar kota?”
tanyanya lagi.
“Iya!” jawabku singkat,
sambil terus berusaha mengingat suara ini.
“Mbak masih belum ingat
siapa Saya?” ujarnya kemudian, sambil kudengar Dia menarik napas.
“Saya Dian, Mbak! Teman
Bang Ipul dahulu, Mbak ingat saya sekarang?” Dia balik bertanya setelah
mengenalkan diri.
“Dian? Ya, aku ingat
sekarang, bagaimana kabar Dimas? Tentunya Dia sudah bersekolah ya?” Sekarang
aku balik bertanya dengan nada riang, karena Dian adalah teman kerja Bang Ipul
dahulu.
“Sudah, Mbak! Tahun ini
Dimas akan masuk SD.” Dian menjawab dengan antusias.
“Bagaimana kabar Mas
Anto suamimu? Kalian masih di Surabaya?” Kini aku yang mengajukan pertanyaaan
pada Dian.
“Kamu sudah punya anak
dua ya, Dian? Sewaktu kemarin kamu
telepon dan mengatakan Friska menangis, berapa usia Friska sekarang?” Kembali
aku mengajukan pertanyaan secara bertubi-tubi kepadanya.
“Hmmm!”
Kembali kudengar Dian
hanya berdeham.
“Dian?”
“Ya, Mbak?” Dian menjawab
setengah hati seakan tidak menyukai pertanyaanku. Tak lama terdengar suara anak
kecil menangis.
“Maaf, Mbak! Lain kali
saya telepon lagi, salam untuk Bang Ipul ya, Mbak? Assalaamu’alaikum!” Dian
mengakhiri percakapan di telepon.
“Wa’alaikumussalaam,”
jawabku sambil mendengar suara tangisan Friska dan suara seorang lelaki
lamat-lamat dari telepon memanggil nama Dian, sebelum telepon ditutup.
Suara itu ... Ah! Sepertinya aku mengenal suaranya,
namun terlalu samar untuk mendengar secara jelas. Anto? Ah, sudahlah, batinku menenangkan diri.
Setelah selesai
berbenah, kemudian kembali melanjutkan aktivitas di depan laptop, sebagai teman
setia selama ini. Namun kembali aku mengingat tentang percakapan telepon dengan
Dian. Ada rasa senang, sebab sudah lama tidak bertemu apalagi berbincang dengannya
seperti tadi.
Dian! Ya, Dian teman
kerja Bang Ipul dulu sebelum menikah denganku. Sambil memandangi Aisyah yang
sedang bermain dengan boneka hello kittynya, tiba-tiba kembali aku teringat
tentang Dian.
Bukankah dahulu Dian ... Ah! Sudahlah, batinku kembali sambil menerawang pada kisah
beberapa tahun yang lalu. (bersambung)
DR.
Bekasi, 30 Maret 2018
15:51
Posting Komentar untuk "CINTA YANG DIDUSTAKAN (4) Oleh Dewy Rose."