Oleh: Farah Frastia
Akhir-akhir ini, publik seolah alergi
apabila mendengar kata jihad. Kegagalan dalam memahami konsep jihad dan keengganan
dalam menelusuri jejak sejarah, hukum, rukun, syarat serta adab berjihad telah
memunculkan beragam aksi dan reaksi yang kontradiktif. Jihad disama artikan
dengan terorisme. Bahkan agama Islam dianggap sebagai agama teroris lantaran
mengajarkan konsep jihad. Publik pun berbondong-bondong menjauhi Islam lantaran
takut terpengaruh oleh ajaran agama yang mereka anggap intoleran dan radikal.
Bukan hanya umat non muslim, umat muslim pun seolah ikut larut dalam stereotipe
tersebut.
Salahkah Berjihad?
Jika merunut pada pendapat Sayyid
Sabiq, jihad berasal dari kata juhd
yang berarti ‘upaya’, ‘usaha’, ‘perjuangan’ dan ‘kerja keras’. Dalam konteks
syariat Islam, jihad adalah suatu upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh dengan
mengorbankan segenap harta dan jiwa dalam rangka menegakkan agama Allah serta
memerangi musuh Islam.
Jihad memiliki beberapa syarat dan
adab yang harus dipatuhi. Syarat yang pertama adalah niat karena Allah. Kedua, atas
izin ulil amri/imam. Ketiga, mendapat izin dari orang tua. Keempat, memberikan
kesempatan terakhir kepada musuh untuk memeluk Islam atau membayar jizyah. Kelima, tidak diperkenankan
membunuh anak-anak, wanita, dan orang lanjut usia. Keenam, tidak diperbolehkan
merusak fasilitas umum, rumah ibadah serta lingkungan. Perang juga wajib
dihentikan apabila musuh menyatakan damai (QS. An-Nisaa: 90).
Dalam sejarah Islam, perintah jihad turun
untuk pertama kalinya pada tahun kedua Hijriyah atau kurang lebih 14 tahun masa
dakwah Nabi Muhammad SAW. Sebelum perintah jihad turun, Rasulullah SAW terus bersabar
menghadapi berbagai teror dan intimidasi yang dilakukan oleh kaum pagan yang
mencoba menghentikan dakwahnya. Namun kaum Quraisy terus mendesak dan bahkan berencana
membunuh Rasulullah SAW. Umat muslim di Mekkah pun diberikan pilihan untuk tetap
tinggal di Mekkah dengan syarat keluar dari Islam atau sebaliknya keluar dari
Mekkah jika tetap bersikeras memeluk agama Islam. Pada akhirnya umat muslim di
Mekkah memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Di sanalah kemudian perintah
jihad turun.
Dalam konteks keindonesiaan, aksi
jihad para syuhada juga tidak bisa dilepaskan dari rangkaian sejarah kemerdekaan
Indonesia. Salah satu fragmen terpenting dalam rangkaian sejarah tersebut adalah
lahirnya Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad merupakan maklumat
yang disampaikan NU kepada warganya untuk berjihad melawan kedatangan Inggris.
Resolusi Jihad sendiri merupakan
rumusan tertulis dari “fatwa jihad” yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari pada
pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng pada 14 September 1945.
Meski tidak tercatat dalam buku sejarah nasional, namun Resolusi Jihad adalah gagasan
terpenting yang mengobarkan api semangat perlawanan rakyat Surabaya pada 10
November 1945. Hari bersejarah itulah yang kemudian kita peringati sebagai Hari
Pahlawan.
Resolusi Jihad bermula dari
kekhawatiran Soekarno menghadapi kedatangan NICA yang membonceng enam ribu
tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, yang akan segera
tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Soekarno yang bimbang lantas menemui
KH Hasyim Asy’ari untuk meminta bantuan. Soekarno menyadari kekuatan besar yang
dimiliki umat Islam dan keberanian mereka dalam melawan kaum penjajah. Namun
untuk menggerakkan massa, diperlukan suatu perintah dari imam/pemimpin umat
muslim. Oleh sebab itulah beliau menemui KH Hasyim Asy’ari. Sebagai Rais NU, KH
Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama yang sangat disegani oleh para kiai dan
santri di Jawa dan Madura. Beliau juga merupakan komandan spiritual laskar
Hizbullah dan PETA (Pembela Tanah Air) yang dikomandani para kiai dan
beranggotakan para santri.
Setidaknya ada tiga poin penting dalam
naskah Resolusi Jihad tersebut. Pertama, hukum membela negara dan
melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi
setiap mukallaf yang berada dalam radius 94 km dari episentrum pendudukan
penjajah (masafat al-safar) dan fardlu kifayah bagi setiap mukallaf yang berada di luar radius
tersebut. Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fisabilillah, maka
yang gugur di peperangan adalah syahid. Ketiga, hukum bagi orang yang
mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah belah persatuan serta memihak
kepada penjajah, wajib hukumnya dibunuh.
Melalui Resolusi Jihad tersebut, puluhan
ribu kiai dan santri seantero Jawa berjihad hingga meledaklah pertempuran 10
November 1945. Dengan semangat jihad fisabilillah, laskar santri berhasil
mendesak lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan canggih dan membunuh
Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.
Ketaatan santri terhadap perintah kiai
merupakan wujud ketaatan beragama, dimana kiai dianggap sebagai orang yang
memiliki pemahaman agama secara baik. Oleh karena itu, setiap perintah kiai
selalu disambut dengan semangat yang membara.
Keluarnya Resolusi Jihad tidak
terlepas dari pandangan KH Hasyim Asy’ari mengenai Islam dan kenegaraan. Dalam
pandangannya, Indonesia merupakan Dar
al-Islam selama orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk
melaksanakan syariat Islam. Oleh karena itu, mempertahankan NKRI wajib hukumnya
karena menyangkut kepentingan umat.
Selain merampas sumber daya alam
Indonesia, Belanda juga membawa misi gospel,
yakni menyebarkan agama mereka dengan cara merusak agama Islam. Hal ini
terlihat dari upaya Belanda mengkristenkan Syekh Yusuf al-Maqassari, ulama yang
juga pemimpin pasukan perang di hampir seluruh Jawa Barat. Begitupun pada masa
pendudukan Jepang, warga Indonesia dipaksa untuk melakukan seikerei (pendewaan
terhadap kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan 90 derajat mengarah pada
matahari terbit). KH Hasyim Asy’ari menentang kebijakan tersebut lantaran seikerei
menyerupai gerakan ruku’ dalam shalat. Misi gospel
inilah yang menguatkan perlawanan para ulama kepada penjajah.
Berbagai bentuk ketidakadilan dan
kezaliman yang dilakukan oleh penjajah juga menjadi faktor lain yang mendasari sikap
perlawanan beliau terhadap penjajah. Bahkan karena sikap nonkooperatif
tersebut, pesantren Tebuireng pernah dihancurkan oleh Belanda. Akan tetapi
bukannya surut, semangat perlawanan umat Islam terhadap Belanda justru semakin
membara.
Melalui sejarah singkat itu, kita
dapat menyimpulkan bahwa perintah jihad turun sebagai respon atas tindakan kaum
kafir yang mencoba menghalang-halangi umat Islam dari kemerdekaannya. Jihad
dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh, membela agama
Allah serta membela hak-hak asasi manusia. Jihad diperbolehkan apabila
seseorang dimusuhi, dizalimi, diusir dari kampung halamannya dan dirampas
hak-haknya, termasuk hak beragama.
Sebagai makhluk yang diberi kelebihan
akal, kemerdekaan adalah hal mutlak yang harus dimiliki manusia untuk mencapai
kemuliaan hidup. Dalam konteks Islam, kemerdekaan adalah suatu keadaan yang
dapat membawa manusia pada kebenaran (al-haq). Yakni penyembahan manusia hanya
kepada Allah semata. Namun sebagai makhluk sosial, manusia diharuskan mencapai
kemerdekaan kolektif sebagai komunitas atau bangsa. Tanpa kemerdekaan kolektif,
kemerdekaan manusia sebagai individu akan menjadi sangat rapuh dan mudah
terampas. Itulah mengapa penting bagi umat Islam untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
*Artikel ini menjadi juara ke-3 dalam Lomba Muslim Kstaria Pemberani Pengawal NKRI 2017
Posting Komentar untuk "Hidup Merdeka Atau Mati Syahid"