Mimpi Kecil Mentari (Bagian 2)
Penulis : Asih Rehey
Mentari berjalan menyusuri
jalanan desa. Gadis kecil itu nampak lebih ceria sore itu. Dia sesekali
memperhatikan para tetangganya yang sedang menanam padi di sawah. Mentari
memetik beberapa bunga yang tumbuh di pinggir selokan itu. Gadis kecil itu
tersenyum karena banyak sekali bunga yang bisa dia petik sore itu.
Setelah puas memetik bunga, dia
bergegas untuk pulang. Beberapa tetangga melihatnya dengan tatapan sinis. Memang
banyak sekali tetangga yang tidak suka dengan keluarga Mentari. Apalagi kalau
sang ibu kambuh. Makian demi makian tetangga sudah kebal dia dengarkan.
“Tari!” panggil Laila dari depan
rumahnya.
Gadis itu segera melihat ke arah suara
tersebut. Sebenarnya Tari tidak menyukai
Laila karena ibunya yang selalu mencibir keadaan ibunda Mentari. Laila terus menerus melambaikan tangan memberi kode agar
Mentari menuju ke arahnya. Dengan ragu Mentari pun berjalan sambil memegang
bunga – bunga di tangannya.
“Tari, kita main yuk! Aku punya
mainan baru.” Kata Laila sambil menyeret tangan Mentari. Mentari tak bisa
mengelak. Dia menuruti permintaan Laila. Kedua gadis kecil itu pun menuju ke
teras rumah Laila. Di teras itu banyak sekali mainan yang baru saja dibelikan
oleh ayah Laila yang bekerja di kota.
Mentari hanya diam saja mengagumi
mainan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Nampak dia memperhatikan salah
satu boneka di antara mainan tersebut. Laila menyadari sorot mata Mentari yang
tertuju pada boneka itu.
“Kamu mau main itu, Tari?” tanya
Laila.
Mentari hanya menggeleng kepala,
tetapi pandangan matanya masih saja tertuju pada boneka cantik itu. Laila
tersenyum, dia segera meraih boneka itu dan mengeluarkan dari box mika
pembungkusnya.
“Kamu main pakai ini ya. Biar aku
main pakai yang itu.” kata Laila sambil menyodorkan boneka itu ke atas pangkuan
Mentari. Laila tersenyum karena baru kali itu Mentari mau bermain bersamanya. Di
saat mereka sedang asik bermain, ibu Laila keluar dari rumahnya. Dia melihat
mainan baru anaknya dipegang Mentari.
“La! Kenapa mainannya dikasih ke
Mentari?” bentak ibunya.
“Mak, kan Mentari aku yang ajak
tadi.”
“Boneka itu mahal, La. Gimana kalau
boneka itu rusak?”
Mentari menunduk sambil meletakkan
boneka yang dia pegang sedari tadi. Mentari memandang wajah ibu Laila yang
terlihat marah. Tampak Laila masih bersitegang dengan ibunya. Mentari segera
berdiri dan mengambil bunga yang dipetiknya tadi, kemudian dia berlari dari
rumah Laila. Laila memanggil – manggil Mentari tapi dia tak menggubris
panggilan Laila. Sebenarnya diantara teman satu kelas Mentari, Laila lah yang
selalu mau berteman dengan Mentari.
“Mamak, kan kasihan Mentari, Mak!”
kata Laila sedikit memprotes ibunya.
“Kamu kalau main jangan sama anak
orang gila itu! kalau dia nanti menyakiti kamu bagaimana, La?” ibunya mencoba
menasehati.
“Mamak, bukannya Mamak sendiri
yang menasehati aku tidak boleh membeda-bedakan orang. Mentari kan sama kayak
kita. Cuma ibunya dan Mbah Kakungnya saja kan yang memang kadang sakit. Tapi Laila
juga bingung, kenapa orang – orang menyebut mereka gila. Padahal Mbah Tejo dan
Budhe Yarni itu pintar mengaji. Coba deh nanti habis Ashar, Mamak dengerin
Budhe Yarni mengaji di masjid. Tapi orang – orang kenapa selalu mematikan
speaker masjid kalau Budhe Yarni mengaji, Mak?”
“Itu karena mereka tu beda kayak
kita. Makanya kamu jangan main sama Mentari!”
“Ah, Mamak tidak kontisten.”
Sontak yang ibu tertawa mendengar
ucapan anaknya yang salah tadi.
“Konsisten, Laila.”
“Nah, itu! Aku tidak mau jadi
orang jahat, Mak. Aku harus bisa baik sama siapa saja. Termasuk Mentari.”
“Ah, kamu ini keras kepala kayak
ayah kamu!” kata ibunya sambil meninggalkan Laila bermain di teras.
Laila tersenyum mendengar ucapan
ibunya. Dia melihat ibunya berjalan menuju warung Bu Ana di gang sebelah.
Keluarga Mentari memang tidak
seperti keluarga orang lain. Kakek dan Ibunya sendiri mengalami depresi berat. Dan
hanya neneknya yang bisa diandalkan di keluarga tersebut. Neneknya menjadi
tulang punggung dan juga merawat empat anggota keluarganya.
***
Mentari terengah – engah menuju
rumahnya. Ditaruhnya bunga yang dia petik ke dalam sebuah botol yang tergeletak
di teras rumah sederhana itu. Adzan Ashar bertalu – talu memanggil umat untuk
melaksanakan sholat. Neneknya menyuruh Mentari mandi, tetapi dia masih
menolaknya.
“Nduk, kamu mandi dulu. Biar segar.”
Bujuk neneknya.
“Nanti, Mbah.”
“Nanti keburu dingin. Kamu jadi
tidak mandi lagi. Nanti dimarahi bu guru kalau kamu tidak mandi.” Ancam neneknya.
Akhirnya Mentari luluh, dia bergegas menggambil air dan mengguyur badannya yang
lusuh.
Suara iqomah sudah terdengar
lantang. Seperti biasanya ibu Mentari selalu datang ke masjid desa itu. Meskipun
dia di anggap gila oleh warga desa itu, dia selalu rajin sholat berjamaah. Sehabis
sholat berjamaah ibu Mentari selalu mengaji. Suara lembut tetapi seperti
memiliki beban tersendiri.
Suara bacaan ayat suci Alquran
menggema di masjid. Surat Alfatihah membuat beberapa penduduk termangu. Banyak yang
menganggap Bu Yarni adalah orang yang gila. Tetapi bacaannya sangatlah fasih. Tidak
seperti orang gila pada umumnya. Bu Yarni dan Pak Tejo juga selalu menjalankan
ibadah seperti orang pada umumnya. Hanya saja terkadang mereka mengamuk tak
terkendali yang membuat penduduk desa itu menjauhi keluarga mereka.
Suara mengaji perlahan diam, dan
tampak ada seseorang yang sedang mengusir keberadaan Bu Yarni di masjid
tersebut. Mentari berlari menuju arah masjid. Dia tahu apa yang akan terjadi
pada ibunya. Panggilan neneknya tak dihiraukannya, kaki kecil itu dengan sekuat
tenaga diayunkan menuju masjid. Tampak Pak Kusman sedang memarahi Bu Yarni yang
dianggap mengganggu. Pak Ustad yang melihatnya hanya geleng – geleng kepala
saat Pak Kusman memarahi Bu Yarni. Mentari menatap ibunya dari luar masjid. Tampak
wanita separuh baya itu hanya penuh tatapan kosong.
“Man, jangan seperti itu. Kasihan
Yarni!” kata Pak Ustad mencoba menasehati Pak Kusman.
“Tapi dia ini bandel Kang Ustad. Nanti
kalau dibiarkan habis mengaji dia hanya ngomong nglantur di speaker.” Jawab Pak
Kusman membela diri.
“Sudah, sudah. Biar saya antar
dia pulang saja. Ayo Yarni, Wak antar pulang.” kata Pak Ustad sambil membujuk
Yarni. Mentari bergegas melepas sandalnya dan masuk ke dalam masjid. Dia berusaha
menuntun ibunya. Pak Ustad pun tersenyum melihat Mentari begitu perhatian
kepada ibunya. Dialah satu-satunya harapan keluarga itu. Mentari berjalan
bersama ibunya.
“Tari, Mbah Ustad ada keperluan. Kamu
tuntun ibumu sampai rumah, ya.”
“Baik Mbah Ustad. Terima kasih.” Ucap
lirih Mentari.
Mentari menuntun ibunya berjalan
menyusuri jalanan desa. Beberapa tetangga memperhatikan Mentari yang berjalan
beriringan bersama ibunya yang masih saja penuh tatapan kosong. Terkadang gadis
kecil itu menangis di dalam hatinya. Di saat teman sebayanya bisa larut dalam
kehangatan perhatian ibu mereka, Mentari malah sebaliknya.
***
Posting Komentar untuk "Mimpi Kecil Mentari (Bagian 2)"