Hijab
I’m In Love
Karya: Dyah Purbo Arum Larasati
Sumber gambar: www.konfrontasi.com
|
Jakarta,
5 Juni 2001
Gadis itu tak ubah-ubahnya menggerak-gerikkan tubuhnya yang molek di panggung Cafe Triopla yang sekaligus salah satu hunian hotel di ibukota. Beserta iringan musik yang menggelegar. Dev-Dancing In The Dark.
Gadis itu tak ubah-ubahnya menggerak-gerikkan tubuhnya yang molek di panggung Cafe Triopla yang sekaligus salah satu hunian hotel di ibukota. Beserta iringan musik yang menggelegar. Dev-Dancing In The Dark.
“Tell me baby if it’s wrong
To let my hands do what they want?
Late at night I pretend we are dance-dance Dancing in the Dark
Yeah, I’m like – come on let me hit that
Love when it’s Pitch black”
Terra namanya. Setiap akhir pekan yang sudah menjadi tugasnya untuk menimba kemandirian hidupnya. Hidup tanpa ayah ibu sejak kecil dan harus menelan kisah bahwa ia dirawat oleh seorang penari membuat dirinya terciprati ilmu penari itu.
Jakarta, 11 September 2002
“Hei,
sepertinya aku pernah mengenalimu? Tapi dimana yaa?” – Aghhrrr! Aku begitu malu
menanyakan itu padanya. Tapi sungguh, rasanya ini bukanlah mimpi belaka. Ini
nyata! Aku benar-benar bahagia hari ini. Meski anak dance tadi agak kacau balau karena lola menghayati ilmu gerak yang kuajarkan, tapi kehadirannya memang
salah satu obat penawar semuanya. Ternyata alam mimpi itu benar, dan dia adalah
rupa dari seorang dokter. Aku bertemu dengannya setelah kakiku terkilir akibat
terlalu semangat mengajarkan anak dance. Dan
dia adalah seorang dokter spesialis tulang. Feri namanya.
Jakarta, 12 September 2003
“Feri,
aku mencintaimu. Apa kau juga mencintaiku?” – Dan ternyata jawaban Feri sungguh
membuatku pedih , bagai ditancap belati.
“Apa maksudmu? Selama ini aku hanya menganggapmu adik, Terra. Lagian sudah berapa kali aku bilang, aku hanya berniat mencari pasangan hidup yang terhormat, islami, dan berbudi luhur, bukan seperti halnya penari yang berbusana urak-urakan super ketat.” Aku sungguh benci dengannya, tapi kujawab langsung.
“Apa kau pikir dirimu sudah sempurna, hingga dirimu tega layangkan kata sehebat itu padaku? Apa kau pikir dirimu terhormat, padahal dirimupun belum tentu terhormat karena telah dan akan terus memegang para pasienmu, yang sebaliknya itu menentang hukum agama bahwa memegang yang bukan mahram itu haram?!” – Aku pergi menjauhinya.
Jakarta, 28 Desember 2003
Kini aku sudah berhias pengantin. Adat jawa tepatnya. Tapi,
hingga kinipun aku belum tau siapa pasangan hidupku itu. Aku bukannya tidak
tau. Tapi aku tidak ingin tau. Aku hanya mendengar desas desusnya Icha, dia
saudara kandung Bian, mama angkatku yang telah lama meninggal. Katanya, pria
yang ia carikan sebagai pendamping hidupku itu adalah yang telah layak bagiku.
Profesinya sebagai wiraswasta dengan usaha berupa villa dan resort megah di
jantung kota Jakarta.
Aku berjalan memijaki bulu karpet Vindina yang begitu halus ditelapak
kaki. Tampaknya pria yang kunikahi ini benar-benar kaya raya, hingga pelaminan
pun tampak berlangsung meriah disana.
***
“Kamu?” – Aku begitu tidak percaya
atas apa yang kulihat. Dia berada di hadapanku sekarang.
“Ya, aku. Aku mencintaimu.”
Air mataku begitu luruh seketika.
Tidak tahu apa yang mesti kuperbuat, kupikirkan. Kukepalkan tanganku dan amukan
terasa ingin menggoyahkan semuanya. Tanganku melayang seketika, tapi rupawannya
membuat aku hanya ingin menangis, lantas air danau bening inipun tak sanggup
dibendung. Ia meluluh-lantahkan semuanya.
“Jangan menangis. Tenanglah… Maafkan
aku telah menyakiti perasaanmu. Tapi, jujur aku tidak seperti yang kamu bilang
waktu itu. Aku hanya ingin mengetahui seberapa besar imanmu untuk bertahan
menjauh dariku, dan tentu ini semua hanya sandiwaraku agar aku mampu melihat
kedalam dirimu, jauh dari apa yang kubayangkan bahwa kamu adalah yang terbaik
untukku.”
“Aku … aku… akk..” – entah bagaimana
bisa aku tersendat berucap padanya. Tapi yang kutahu air mataku masih tak bisa
dibendung. Dan petir terasa berkecamuk dalam diriku. Hebat. Sangat berkecamuk
hebat.
“Aku mencintamu, Terra. Jauh sebelum
kau mengetahuiku. Dan kau tahu, dalam pandang pertama itu aku mengibaratkanmu
memakai busana yang lebih sopan. Hijab. Jilbab. Kau tahu? Dan aku sangat bangga
sekarang, karena telah melihatmu menjadi wanita beriman dan berinsan sekarang.”
Lesung pipitnya begitu memoles hatiku. Dan aku memeluknya, hingga pelaminan
kami berlanjut pada doa untuk bahtera cinta.
***
“Saya terima nikahnya Terra Zaskia
Bianca binti Demas Pamungga dengan mas kawin seperangkat alat sholat, emas dua
puluh satu karat, serta satu hafalan quran dibayar tunai.”
Aku begitu terkejut mendengar ijab kabul
yang keluar dari bibir Feri. Tapi, ternyata ia benar-benar menyuarakan semua
hafalan quran itu dengan penuh dan tanpa ada satupun yang keliru.
“Shadaqallahull
adzziim...” – Tiba-tiba tak terasa Feri sudah selesai merampungkan
hafalannya. Air mataku luruh. Ditambah lagi ketika itu dia malah memelukku
erat, seperti tertidur. Aku membangunkannya, beserta seluruh hadirin yang
menyaksikan pelaminan kami. Kagum.
“Feri? Ferii..?” – Aku terkejut, mengapa
tidak ada jawaban? Aku kembali menangis kencang, dan tak terasa air mataku
berubah menjadi histeris, ketika aku menyadari tangannya tak mendenyutkan nadi
lagi. Seketika itu semuanya berubah menjadi gelap dan aku tak tahu atas apa
yang telah terjadi.
***
Canberra, 29 Desember 2008
Ini adalah akhir tahun yang kembali
telah genap lima usianya, setelah aku
menyadari aku baru siuman setelah koma lima tahun. Dan kini, aku kembali
mengenangnya dengan memakai sebuah jilbab dan hijab, hadiah maharnya dulu,
serta sebuah buku usang yang bertuliskan riwayat pesan terakhirnya,,
“Pakailah
hijab yang dapat memberikan ketenangan dalam dirimu, perdalami agamamu, dan
benahilah akhlakmu. Dibanding dulu yang malah menjadi pemantik api, jurang
kenistaan perkaraNya. Karena dengan pakaian yang sempit itu tentu akan
menyempitkan keimananmu sebab ragamu telah dipertontonkan oleh mata yang tak
pantas melihatnya, dan sebaliknya pada pakaian yang longgar itupun belum tentu
imanmu bertambah longgar dan melebar luas di langit pahala sang Pencipta, tapi
minimal itu akan mengurangi dosa-dosa para netra yang di undang oleh yang bukan
halalnya”.
“Hufft…” aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
Mesjid yang hanya satu di negeri kanguru disini membuat semuanya menjadi menarik. Dan aku masih
menyaksikan para dara putih bertengger di jejeran kawat listrik yang ditutupi
salju akhir musim ini. Ramai. Diluar sana anak-anak bermain lemparan bola salju,
sedang di ruangan biruku, masih ramai dikunjungi para pelancong Australia
maupun dari Indonesia sendiri yang ingin membeli bingkisan untuk pulang ke
kampung halamannya. Hijab dan aneka ragam motif hias jilbab. Dan, sebuah lagu
yang menggumam keras di ruangan ini. Hijab I'm in Love (Feat. Shindy) - Oki Setiana
Dewi.
Ketika mengenalmu
aku selalu bertanya
Sudah siapkah aku
Akhirnya ku mengerti ku telah jatuh hati
Dan menghijabkan diri
Indahnya oh teduhnya
Cantikkan hatiku
Hijab hijab i'm in love
Kau menjaga hati dan diriku ooh
Hijab hijab i'm in love
Ku tentram bersamamu
Sudah siapkah aku
Akhirnya ku mengerti ku telah jatuh hati
Dan menghijabkan diri
Indahnya oh teduhnya
Cantikkan hatiku
Hijab hijab i'm in love
Kau menjaga hati dan diriku ooh
Hijab hijab i'm in love
Ku tentram bersamamu
Posting Komentar untuk "Cerpen - Hijab I’m In Love"