Chapter 4.
Pergerakan jarum jam di
dinding kian menjemput malam, menyisakan hawa dingin yang menyengat kulit
manusia. Sudah lebih dari 3 jam Tania tidak sadarkan diri, membuat Arka
semangin diselimuti rasa bersalah. Ia tidak pernah sadar, selama ini Tania
sering mengonsumsi obat-obatan antidepresan,
sesuatu yang hanya memberikan efek buruk padah tubuh.
“Tania, apa yang ada di
pikiranmu? Kenapa kamu melakukan ini, bukannya aku sudah pernah bilang, berikan
bebanmu untukku, agar kita berbagi, melewatinya bersama.” Arka berbisik pelan,
lalu menyentuh lebut tangan Tania untuk digenggam.
“Maaf, kalau aku sudah
menambah bebanmu. Jika dengan mendapatkan cintaku membuatmu bebas dari
masalahmu, akan aku berikan, asalkan kamu mau kembali, dunia tidak sekejam yang
ada di benakmu.” Seperti terlalu mendramatisir keadaan, Arka benar-benar tidak
ingin kehilangan Tania, kejadian ini membuka matahatinya,perempuan lemah
seperti Tania butuh seseorang yang mampu memberinya kekuatan, berjalan
bergandengan di lorong yang sangat gelap, keluar dari dunia yang hanya memberi
luka.
Arka mendesah resah,
melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 12 malam. Rasa kantuk
sedikitpun tidak menyerang matanya, terlalu fokus untuk menunggu Tania membuka.
Arka mengambil
ponselnya, tidak satupun balasan pesan dari kedua orangtua Tania, mereka
benar-benar telah melupakan Tania, buah cinta yang telah dibuang.
“Arka, mending sekarang
kamu istirahat. Biar mamah yang jagain, Tani.”
Arka menggeleng,
menolak permintaan mamahnya.
“Biar aku aja yang
jagain Tania, Mah. Aku nggak ngantuk.”“Tapi Arka, besok kamu harus masuk
sekolah. Subuh-subuh kamu juga harus pulang ke rumah.”
“Tapi mah, Arka harus
temanin Tania. Besok, Arka nggak usah masuk sekolah.” Arka membuat keputusan
konyol, tante Kirana menggeleng, tidak setuju.
“Arka, jangan
aneh-aneh. Kamu itu udah kelas 12, sebentar lagi kamu akan ujian, mamah nggak
pingin nanti kamu ketinggalan pelajaran kamu.” Arka menyerah, percuma berdebat
dengan mamahnya.
***
Arka tidak bisa fokus,
pikirannya dipenuhi dengan sosok Tania, ditambah dengan kekhawatiran yang tidak
menentu, ketakutan demi ketakutan kian memenuhi otaknya. Bahkan, tidak
memperhatikan Bu Linda yang sedang menerangkan pelajaran matematika di depan
kelas.
Lima menit lagi
pelajaran akan berakhir, semua siswa akan dipulangkan, tapi nyatanya, waktu
terasa begitu lamban berputar.
“Ka, lo kenapa?” sentak
Dion, Arka nyaris terjengkal, ia sampai tidak sadar, seluryh siswa di kelas
sudah berhamburan keluar.
“udah pulang?” tanya
Arka polos, kening Dion berkerut dalam.
“lo kenapa sih, bengong
mulu kaya sapi mau dibantai.” Arka berdecak lidah, malas meladeni Dion yang
konon tidak bisa serius. Telak, Arka mendogakkan tubuhnya, menyambar tas yang
ada di atas meja, lalu melangkah cepat meninggalkan kelas. Meninggalkan Dion
yang masih biduat bingung, “kenapa tu bocah, sensi amat kayaknya.”
Arka berjalan cepat di
lorong rumah sakit, setengah berlari, nyaris menabrak beberapa perawat yang
mendorong brangkar. Di ujung lorong, Arka melihat tante Kirana menangis di
depan ruangan Tania, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Arka menelan
ludahnya yang dirasa berubah menjadi benda padat, menyulitkan tenggorokannya.
Jantung Arka berdentam keras, nyaris keluar dari tempatnya.
“Mah, mamah kenapa?”
tanya Arka, suaranya bergetar.
“Arka,...” Tante Kirana
seolah tidak sanggup menyampaikannya pada Arka, semuanya benar-benar begitu
mendadak.
“Mah, kenapa?” tanya
Arka lagi, kali ini matanya tertuju pada om Dio.
“Pah?”
Om Dio mendesah,
menarik nafas dalam, sebelum menyampaikan sebuah kalimat.
“Tania, sudah
meninggal.”
Arka tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya, melangkah mundur hingga menyentuh permukaan
tembok, menggosokkan punggungnya yang sudah tak tegap.
“Nggak mungkin.” Lirih
Arka pelan, menggelengkan kepalanya. Ulu hati Arka terasa sangat nyeri, Tania
tidak mungkon pergi meninggalkannya, air mata Arka sudah melaju mulus di
permukaan pipi.
“kenapa, tadi malam dia
masih baik-baik aja, Mah. Aku masih pegang tangan dia.” wajah Arka memerah,
menahan emosi. Andai saja tadi ia tidak berangkat kesekolah, pasti Tania tidak
mungkin meninggal, pikirannya sudah kacau. Kembali berdiri, Arka masuk kedalam
ruangangan tania, gadis itu sudah terbaring di atas brangkar, siap di pindahkan
keruangan jenazah.
Langkah Arka
terseok-seok, ada yang mengukung di dalam hatinya, meramasnya dengan kuat,
menimbulkan rasa sakit yang teramat. Tangan Arka yang bergetar, menyibak kain
yang menutupi seluruh tubuh Tania, Arka terjerembab, wajah pucat itu
benar-benar Tania, sahabat yang telah pergi meninggalkannya, air mata Arka
kembali lolos.
“Ta—tania, kenapa kamu
malah pergi.” Ucap Arka sesak, sulit untuk melontarkan kalimat, nafasnya sudah
tersendat-sendat, untuk pertama kali, Arka menangis karena seorang gadis.
“kamu nggak mau dengar
aku ungkapin cinta juga? Kamu bilang sama aku, kamu ingin minta cinta aku, dan
sekarang saat aku mau ngasih, kenapa kamu malah pergi, kamu ingkarin janji
kamu.” Tangan Arka menyentuh pipi mulus tania, kulitnya sudah dingin. Semasa
hidupnya, perempuan itu tidak pernah bahagia, gorean-goresan lukanya semakin
dalam bertambah. Semuanya sudah terlambat, Arka tidak bisa menyembuhkan luka
Tania.
““oke, gue minta cinta lo buat ngasih gue kekuatan.”
kalimat itu masih terus terniang di telinga Arka, membuat rasa bersalah semakin bertambah, andai saja saat itu ia mau memberikannya untuk Tania, sudah pasti sekarang tania akan tetap berada di sini. Sekarang, gadis itu telah pergi, kepergian yang tak mampu Arka cegah, telah bahagia, melupakan kehidupan di dunia yang telah mencengkramnya. Siang itu, kepergian Tania menyisakan luka mendalam di hati Arka, laki-laki yang telah menyesal mengabaikannya.
kalimat itu masih terus terniang di telinga Arka, membuat rasa bersalah semakin bertambah, andai saja saat itu ia mau memberikannya untuk Tania, sudah pasti sekarang tania akan tetap berada di sini. Sekarang, gadis itu telah pergi, kepergian yang tak mampu Arka cegah, telah bahagia, melupakan kehidupan di dunia yang telah mencengkramnya. Siang itu, kepergian Tania menyisakan luka mendalam di hati Arka, laki-laki yang telah menyesal mengabaikannya.
“i love you...”
percuma, percuma kalimat itu diucapkan, orang yang menginginkannya sudah pergi,
Arka tidak sempat membalasnya.
***
Tamat
Tamat
Posting Komentar untuk "-Goresan Hati- 4"