Tiba-tiba bulu kudukku
merinding kembali! Saat angin berembus membelai wajah, mempermainkan anak
rambutku dan bau amis darah itu tercium semakin kuat di dalam kamar! Hingga
membuat mual karena baunya yang menyengat.
Angin yang berembus
seakan meliukkan tubuh dan mencoba mengalihkan pandangan pada tirai jendela yang
bergerak perlahan dan menanpakkan sebuah bayangan. Namun karena terlalu takut
malam ini, sehingga aku berusaha memejamkan mata sambil berbaring di samping
Sa.
***
Suara azan subuh
membangunkan, aku bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu. Selepas salat, kemudian
segera berbenah membersihkan rumah, masak untuk sarapan dan mencuci pakaian
kotor yang ada sebelum mandi dan berangkat kerja pagi ini. Ketika hendak mencuci,
baru kemudian teringat kembali akan keberadaan Sa, gadis kecil yang semalam aku
temukan menangis di pinggir sungai tempat pembuangan sampah warga. Segera diri
ini berlari menuju kamar dan menyibak tirai pada pintunya.
Ah! Ternyata Sa masih tertidur pulas, batinku. Lalu aku menyibak
tirai jendela, agar sinar mentari memasuki ruangan kamar dan udara pengap
berganti. Namun ...
“Aaahh!” teriak Sa,
sambil menutup muka dengan bantal ketika sinar matahari membias wajahnya.
“Sa? Kamu kenapa,
Sayang?” Perlahan kudekati dirinya dan berusaha memeluk serta melepaskan bantal
dari wajahnya. Tetapi seperti ada kekuatan dalam diri Sa, hingga bantal dalam
pegangan Sa tak berhasil kuraih.
“Aaahhh!” teriaknya
lagi sambil menunjuk ke arah jendela.
Kemudian segera
kualihkan pandangan ke arah jendela, karena khawatir ada seseorang di luar
sana. Sementara Sa semakin kencang berteriak sambil tangannya menunjuk ke arah
jendela. Karena tak ingin membuatnya semakin menangis dengan tingkahnya yang
gelisah, segera jendela dan tirainya ditutup kembali. Saat tubuh ini berbalik
terlihat wajah Sa yang tetap pucat seperti semalam. Kemudian Dia menatap ke
arahku dengan tatapan kosong. Sambil tersenyum, tubuh mungilnya kurengkuh dan
segera memandikannya. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, sebelum berangkat
kerja, kami sarapan bersama. Ketika akan berangkat, tak lupa memberikan pesan
padanya.
“Sa, Tante akan
berangkat kerja, jika kamu lapar, makanan ada di lemari makan. Jika kamu ingin
bermain keluar rumah, jangan lupa pintu rumah ditutup. Nanti sore jangan lupa
mandi ya, Sayang?” ucapku setelah memberikan wejangan padanya, segera kupeluk
Dia dan mencium keningnya, dingin! Tubuhnya masih sama seperti semalam.
Sa tak mau beranjak
dari kamar, matanya tajam mengikuti langkah kakiku menuju pintu kamar yang
tertutup.
“Krek!”
Tiba-tiba pintu kamar
terbuka dengan sendirinya, karena kaget aku hanya termangu menatap pintu yang
bergerak.
“Sssss!”
Angin kencang menerpa
wajah, hingga mempermainkan ujung hijabku. Sambil mundur selangkah, ada
sekelebat bayangan hitam lewat di depan pintu!
“Ya Tuhan!” teriakku
karena kaget sambil menoleh pada Sa. Wajahnya pucat, tatapannya kosong menatap
pintu dan bau amis darah itu kembali lagi, kian menyengat dalam kamar.
Segera aku berlari
memeluk Sa untuk melindunginya, tubuhnya tak bergeming, dingin!
“Sa, jangan takut ya?
Ada Tante di sini, Sayang,” kataku sambil menatap wajahnya.
Ah! Mungkin Sa sangat ketakutan, hingga semakin
dingin tubuhnya, batinku
menenangkan diri. Setelah bau amis yang menyengat hilang perlahan, angin yang
berembus mempermainkan tirai pintu pun berhenti.
Karena merasa keadaan
sudah membaik, segera aku berpamitan pada Sa untuk berangkat kerja sambil
mencium keningnya lagi, dingin masih terasa. Sambil menutup pintu kemudian setengah
berlari menyusuri jalan menuju pinggir sungai. Setelah melewati warung Pak
Dullah dan menyapa beberapa orang yang sedang sarapan dan berbelanja lainnya di
sana, kemudian aku sampai pada tempat pembuangan sampah, tempat menemukan Sa di
sana tadi malam. Saat masih setengah berlari, tiba-tiba angin kencang kembali
berembus dan meliukan pepohonan perdu di sekitar. Bau amis darah kembali menyeruak,
menembus penciuman, sangat menyengat hingga rasanya terhuyung sambil setengah
berlari menahan mual.
“Pak! Tunggu!” kataku
setengah berteriak, ketika melihat getek sudah siap berjalan dengan beberapa
orang penumpang lainnya.
Sambil berhati-hati
menuruni jalan menuju bibir sungai untuk menyebrang dengan getek, perlahan
dengan berpegangan pada bambu di sepanjang turunan, karena jalanan masih licin akibat
hujan semalam. Getek pun bergerak ketika tangan kekar si Bapak Tua berwajah keriput
itu menarik kawat baja sebagai penggerak geteknya. Kami perlahan berbaris untuk
menuju darat dan tak lupa membayar jasa dengan memasukan sejumlah uang ke dalam
kotak. Setelah sampai pada pinggir sungai, dengan jalan menanjak menuju jalanan,
akhirnya sampailah pada halte bus. Tak lama kemudian bus karyawan datang,
segera aku naik dan duduk sambil beristirahat sejenak sebelum sampai di
Pabrik.
***
Waktu istirahat tiba,
selepas salat zuhur segera menuju kantin untu makan siang dan bertemu dengan
Mas Dion, teman yang selama ini sering membantuku, dari mulai mencarikan rumah
kontrakan hingga kadang-kadang mengantar pulang atau sesekali mentraktir makan.
“Mas, semalam Widya
bertemu dengan seorang anak perempuan usianya sekitar empat tahun. Kasihan Mas,
Dia sedang menangis di pinggir jalan dekat pembuangan sampah warga,
badannya sampai dingin dan wajahnya pucat karena kehujanan semalam,” kataku memulai
cerita, sambil makan.
“Sekarang bocah itu ada
di mana, Wid?” tanya Mas Dion.
“Ada di kontrakan, Mas!
Sendirian di dalam rumah, tapi tadi sudah aku masakin dan berikan pesan,
sepertinya Sa juga mengerti.”
“Sa?”
“Iya, Sa namanya,
karena saat aku tanya namanya semalam, Dia hanya berkata Sa,” kataku sambil
terus makan.
“Entah Sari, Sasa atau
Sania namanya, Mas.” Lanjutku lagi.
“Ya sudah, nanti pulang
kamu bareng sama Mas ya? Sekalian kita belikan makanan untuk Sa dan beberapa
baju salin, sampai nanti ada yang mencarinya sebagai orang tuannya,” kata Mas Dion antusias.
“Sekalian kalau tidak
kemalaman nanti kita melaporkan pada Pak RT Maman, siapa tahu ada yang sudah
melaporkan kehilangan anaknya.” Tambahnya lagi sembari menghabiskan makanannya.
Aku hanya mengangguk tanda setuju.
***
Setelah pulang kerja,
kami mampir sebentar ke pasar membeli beberapa pasang pakaian untuk Sa, serta
makanan dan kudapan kesukaan anak-anak.
***
Tiba di rumah, kami heran
karena lampu belum nyala, rumah gelap serasa tidak ada orang. Setelah
memarkirkan motornya, Mas Dion mengikuti aku berjalan menuju pintu dan
mengucapkan salam.
“Brak!”
Pintu terbuka dengan
sendirinya, sebelum kami masuk dan aku menyalakan lampu, angin bertiup kencang
meliuk di ruang tengah. Kami saling berpandangan setelah lampu dinyalakan. Dan
... bau amis darah itu kembali menyeruak di ruangan, membuat mual dan merinding. Sampai Mas Dion menatap kearahku yeng terlihat bergidik ketakutan, karena
tirai kamar bergerak dipermainkan angin
yang berembus di depan pintu kamar.
“Sa!” teriakku
tiba-tiba sambil berlari menuju ke dalam kamar.
“Brak!”
Tiba-tiba pintu kamar tertutup
dengan sendirinya.
“Wid!”
Samar kudengar suara Mas
Dion dari dalam kamar yang gelap dan ... (Bersambung)
DR.
Bekasi, 22 Maret 2018
19:19
Posting Komentar untuk "SANIA (2) Oleh Dewy Rose."